Model Edukasi Kewirausahaan Berbasis Potensi Pasar Lokal: Kasus di Lingkungan PTN dan PTS di Solo

(1)

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN HIBAH BERSAING

MODEL EDUKASI KEWIRAUSAHAAN BERBASIS POTENSI PASAR LOKAL: KASUS DI LINGKUNGAN PTN DAN PTS DI SOLO

Oleh:

H.M. Sholahudin, SE, MSi (NIDN: 0628057301) Drs. M. Nasir, MM (NIDN: 0611096201)

dibiayai oleh:

Koordinasi Perguruan Tinggi Wilayah VI, Kemendikbud RI, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian Nomor: 008/K6/KL/SP/2013,

Tanggal 16 Mei 2013

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA DESEMBER 2013


(2)

(3)

RINGKASAN

Sinergi antara peran dunia pendidikan tinggi dan kewirausahaan sangatlah penting terutama untuk mereduksi adanya gap antara kuantitas dan kualitas sarjana yang mencari kerja dan yang menciptakan lapangan kerja. Penelitian ini berusaha untuk membangun model edukasi kewirausahaan berbasis potensi pasar lokal. Hal ini sangatlah penting karena potensi pasar lokal lebih membuka peluang dalam pengembangan kewirausahaan, terutama yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana model untuk edukasi kewirausahaan yang terbaik bagi mahasiswa, terutama mengacu pada potensi pasar lokal. Teknik analisis pada tahun pertama adalah dengan pendekatan kualitatif mengacu pemetaan hasil berbagai riset empiris terkait kewirausahaan untuk membangun hipotesis dan model awal, sedangkan untuk tahun kedua yaitu dengan pendekatan kualitatif melalui diseminasi – FGD untuk verifikasi model dan pendekatan kuantitatif dengan uji model.

Hasil pemetaan menunjukan bahwa riset tentang kewirausahaan dilakukan dengan berbagai model pendekatan dengan mengacu setting amatan yang berbeda, kasus di negara yang berbeda dan keragaman variabel, juga alat analisis. Tahun amatan dari hasil pemetaan yaitu periode 2004-2010 dari publikasi di emerald, negara amatan untuk kasus riset empiris tentang kewirausahaan di negara maju dan negara berkembang, model pendekatan adalah kualitatif dan kuantitatif sedangkan untuk alat analisis dilakukan dengan dua cara yaitu alat analisis mengacu statistik dan alat analisis hasil interview dengan keyperson. Alat analisis dengan statistik dibedakan menjadi dua yaitu dengan SEM dan regresi sederhana. Temuan ini menunjukan bahwa keberagaman riset tentang kewirausahaan menjadi bagian penting dalam memahami fluktuasi perkembangan kewirausahaan sehingga memperkaya temuan hasil dan generalisasinya.


(4)

PRAKATA

Assalamu'alaikum wr.wb.

Alhamdulillah. Akhirnya penelitian ini selesai sesuai jadwal yang ditetapkan. Terlepas dari kekurangan - kelemahan yang ada dari penelitian ini, yang jelas, penelitian tentang identifikasi pemetaan riset empiris kewirausahaan sangatlah penting, tidak saja terkait pengembangan kewirausahaan di era otda, tetapi juga dalam konteks penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga pengembangan kurikulum untuk pengajaran di jenjang pendidikan tinggi.

Konsekuensi hasil penelitian ini tentu menjadi suatu pemicu bagi peneliti lainnya untuk lebih mengembangkan berbagai celah penelitian yang nantinya akan dapat memberikan kontribusi optimal bagi riset empiris, tidak hanya untuk kasus kewirausahaan, tapi juga pemberdayaan wirausaha dan juga pengembangan kurikulum berbasis kewirausahan di pendidikan tinggi. Dengan kata lain kelemahan penelitian ini menjadi stimulus untuk pengembangan penelitian lainnya.

Akhirnya, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penelitian ini dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Surakarta, Desember 2013


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ……… i

Halaman Pengesahan ……… ii

Ringkasan ……… iii

Prakata ……… iv

Daftar Isi ……… v

Daftar Tabel ……… vi

Daftar Gambar ……… vii

Daftar Lampiran ……… viii

Bab 1 Pendahuluan ……… 1

1. Latar Belakang ……… 1

2. Urgensi (Keutamaan) Penelitian ………... 4

3. Rumusan Masalah ……… 5

Bab 2 Tinjauan Pustaka ……… 6

1. Kewirausahaan: Edukasi dan Proses ……… 6

2. Kewirausahaan dan Generasi Muda ……… 7

3. Kewirausahaan dan Industri Kreatif ……… 12

Bab 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 14

1. Tujuan Penelitian ……… 14

2. Manfaat Penelitian ……… 15

Bab 4 Metode Penelitian ……… 16

1. Definisi Kewirausahaan ……… 16

2. Lokasi Penelitian ……… 16

3. Penelitian Sebelumnya ……… 16

4. Populasi dan Sampel ……… 18

5. Pengumpulan Data dan Alat Analisis ……… 19

6. Tahapan Penelitian ……… 19

7. Roadmap Penelitian ……… 20

Bab 5 Hasil dan Pembahasan ……… 21

1. Pemetaan Riset Empiris ……… 21

2. Hasil Penelitian ……… 22

Bab 6 Rencana Tahapan Berikutnya ……… 24

1. Rencana Riset Lanjutan Tahun Kedua ……… 24

2. Rencana Publikasi Hasil Riset ……… 24

3. Rencana Penerbitan Buku Ajar ……… 24

Bab 7 Kesimpulan dan Saran ……… 25

1. Kesimpulan ……… 25

2. Saran ……… 25

Daftar Pustaka ……… 26


(6)

DAFTAR TABEL


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Interaksi Kewirausahaan ……… 11

Gambar 4.1 Roadmap Penelitian ……… 20


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kewirausahaan merupakan salah satu isu penting saat ini karena relevansinya terhadap perekonomian dan kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan (Mason, 2011). Oleh karena itu, isu-isu tentang kewirausahaan dan faktor-faktor yang menjadi pemicu perkembangan kewirausahaan menjadi sangat menarik. Terkait ini, perguruan tinggi mempunyai peran penting untuk dapat mendukung pendidikan dan pengajaran kewirausahaan, termasuk penerapan kurikulum kewirausahaan dan program link and match. Meski demikian program kewirausahaan yang ada masih belum menciptakan wirausahawan baru dalam jumlah yang proporsional, terutama untuk kelompok sarjana. Indikasinya terlihat masih kuatnya animo sarjana mencari kerja dan sedikitnya sarjana yang mampu menciptakan lapangan kerja. Oleh karena itu peran edukasi kewirausahaan berbasis potensi pasar lokal menjadi sangat penting, terutama mengacu setting amatan dari potensi pasar lokal yang tumbuh dan berkembang di sekitar kampus.

Peran pendidikan tinggi sangat penting terutama terkait menumbuhkembangkan semangat kewirausahaan dan tidak sekedar menciptakan mitos sarjana pengangguran atau sarjana pencari kerja tapi justru sarjana pencipta lapangan kerja, tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain. Terkait ini, institusi pendidikan tinggi di berbagai negara maju, seperti di Inggris dan Amerika telah menempatkan kewirausahaan sebagai bagian dari kurikulum – model pengajaran, tidak hanya di program sarjana tapi juga di pascasarjana (Adcroft, et.al., 2004; Klappa, 2004). Artinya, pembelajaran ini semakin menumbuhkembangkan etos kewirausahaan di semua kalangan tanpa terkecuali dan ini akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan dunia usaha dan perekonomian.

Sinergi antara pendidikan, pengajaran dan pembelajaran tentang kewirausahaan adalah sangat penting (Buang, et al., 2009). Meski demikian pendidikan dan pengajaran sangat kompleks untuk menjawab tuntutan pengembangan kewirausahaan. Konsekuensi


(9)

dari pendidikan yang kompleks, maka sistem pendidikan yang dinamis, termasuk juga pembentukan kurikulum pada umumnya dan kurikulum kewirausahaan menjadi muara dari penting penciptaan pembelajaran sosial sehingga pendidikan bisa mereduksi semua “perangkap” yang melingkupinya (Doherty, 2008). Salah satu “perangkap” yang klasik adalah predikat bahwa PT menjadi pencetak sarjana pengangguran. Dari fakta ini maka pembelajaran tentang kewirausahaan di PT menjadi semakin penting dan relevan untuk diberlakukan secara nasional.

Persoalan mendasar dari perkembangan kewirausahaan adalah bagaimana hal ini bisa dilahirkan. Selain itu, realita yang tidak bisa diabaikan adalah bagaimana dunia PT mampu membangun sinergi dengan pihak lain sehingga mampu mendukung lahirnya wirausahawan baru, termasuk yang dilahirkan dari para alumni (Millman, et al., 2008).

Hal ini nampaknya menjadi persoalan yang penting dan karenanya kurikulum terhadap kewirausahaan menjadi salah satu faktor yang berperan terhadap upaya PT untuk dapat menciptkan wirausahawan baru dan juga alumninya berani mengembangkan diri untuk berwirausaha.

Kurikulum kewirausahaan haruslah memadukan kepentingan teoritis sebagai bekal dan juga pengajaran praktis dari pelaku usaha sehingga teoritis yang disampaikan sinkron dengan dunia nyata. Problem riil penciptaan kurikulum kewirausahaan adalah ketidaksinkronan terhadap tujuan itu sendiri (Solomon, et al., 2002). Implikasi lebih lanjut dari hal ini adalah munculnya gap dalam transfer ilmu pengetahun, termasuk juga kerancuan terkait praktek ilmunya yang di dapat di pendidikan dengan aplikasi di dunia kerja sehingga muncul istilah pengangguran terdidik. Artinya, pendidikan – pengajaran bisnis tidak sesuai dengan dunia bisnis riil dan kasus ini tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang (Covin, et al., 2006). Problem ini tidak hanya memicu gap antara dunia pendidikan dan dunia kerja, tetapi juga berpengaruh terhadap siklus pencarian kerja dan menambah laju pengangguran terdidik (Saboe, et.al., 2002). Oleh karena itu, pengenalan dan pengajaran sejak dini tentang kewirausahaan mulai diberlakukan di semua negara, mulai plyagroup sampai pendidikan tinggi (Fayolle dan


(10)

Klandt, 2006). Realitas ini menunjukan bahwa riset tentang kewirausahaan cenderung terus berkembang seiring perkembangan kewirausahaan itu sendiri.

Mengacu urgensi terhadap riset kewirausahaan dan juga berbagai persoalan lain yang melatarbelakangi maka hasil review yang dilakukan Harms, et al. (2007) sangatlah menarik dicermati. Hasil pemetaan dari melakukan review sejumlah riset empiris pada rentang waktu 1994 – 2006 menunjukan bahwa keberagaman faktor yang mendukung keberhasilan kewirausahaan memberikan pengaruh terhadap temuan lanjutan, terutama mengacu kasus-kasus di berbagai negara. Selain itu, hasil review tersebut juga menjadi argumen bahwa beragam pendekatan dan model yang berkembang dari kewirausahaan menjadi acuan terhadap pengembangan riset selanjutnya.

Temuan lain yang juga menarik dikaji yaitu dari Nurmi dan Paasio (2007) yang menunjukan bahwa ada nilai keterkaitan antara pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dengan kewirausahaan. Hal ini secara tidak langsung menunjukan bahwa proses pembelajaran melalui kurikulum dapat menciptakan stimulus terhadap niat untuk dapat mengembangkan kewirausahaan. Meskipun kajian tersebut dilakukan di Finlandia, tapi pengembangan dari temuan riset tersebut memungkinkan untuk diaplikasikan di negara lain karena fokus keberhasilannya yaitu aspek mengembangkan kurikulum di perguruan tinggi yang sejalan dengan potensi kewirausahaan di lingkungan sekitar.

Fakta lain yang juga menarik dicermati adalah hasil pemetaan dari Dickson, et al (2008) bahwa kewirausahaan tidak bisa terlepas dari pembelajaran yang terangkum di kurikulum. Oleh karena itu, teoritis dan praktis harus sejalan sebab teoritis yang tidak relevan dengan implikasi praktis justru memberikan gambaran yang abstrak, sebaliknya teoritis yang dilengkapi dengan tindakan konkret dan didukung oleh praktisi memberi potensi terhadap kesempatan untuk melihat situasi riil yang sebenarnya dan ini sangat penting dalam upaya mengembangkan kewirausahaan. Artinya, perguruan tinggi sangat berkepentingan untuk mencetak sarjana yang siap untuk mengembangkan kewirausahan sedari dini. Jika ini berhasil maka jumlah wirausaha akan terus berkembang.


(11)

Membangun etos dan spirit kewirausahaan tentu harus juga dilandasi pemikiran jangka panjang, termasuk jaminan dari iklim usaha. Selain itu, menumbuhkembangkan kewirausahaan dalam jangka panjang pada dasarnya tidak bisa terlepas dari komitmen untuk membangun kualitas SDM yang mandiri dan jika ini berhasil maka muaranya adalah membangun ekonomi dan sekaligus ini bisa membangun generasi muda untuk berwirausaha mandiri. Artinya, pemerintah harus memecahkan masalah pengangguran dengan solusi praktis yaitu melalui penciptaan wirausaha muda.

Memang diakui tidak mudah membangun wirausaha baru, terutama jika iklim makro tidak sejalan dengan komitmen ini, belum lagi ancaman suku bunga perbankan jika ini dikaitkan bantuan modal untuk wirausaha. Padahal, jika gerakan kewirausahaan berhasil maka selain memacu kewirausahaan, juga akan dapat mereduksi kemiskinan - pengangguran. Selain itu, munculnya wirausaha baru menjadi dasar pengembangan mental wirausaha secara nasional sehingga akan semakin banyak lagi muncul wirausaha yang menyerap tenaga kerja. Hal ini selain membangun karakter generasi muda juga memacu etos kewirausahaan di kalangan generasi muda.

2. Urgensi (Keutamaan) Penelitian

Keberagaman faktor yang mendukung kewirausahaan memberikan peluang bagi pengembangan riset tentang kewirausahaan. Oleh karena itu, sasaran riset yang terfokus kepada mahasiswa akan memberikan manfaat ganda, yaitu tidak saja dapat membangun etos kewirausahaan bagi mahasiswa, tapi juga implikasinya terhadap perekonomian di daerah. Artinya, ada hubungan positif antara pengembangan kewirausahaan di kalangan mahasisa dan potensi pengembangan perekonomia (Luthje dan Franke,2003).

Keyakinan tentang sinergi antara kurikulum, pendidikan dan pengajaran tentang kewirausahaan terhadap potensi ekonomi di dukung oleh temuan Noel (2001). Bahkan, riset ini juga menunjukan peran self-efficacy dalam mendukung keberhasilan wirausaha. Oleh karena itu, penelitian terkait model edukasi kewirausahaan berbasis potensi pasar lokal di sekitar lingkungan kampus menjadi sangat menarik dilakukan sebagai embrio pengembangan wirausaha lainnya.


(12)

3. Rumusan Masalah

Potensi pengembangan kewirausahaan yang sangat besar dan juga kontribusinya terhadap perekonomian dan kesejahteraan pelakunya maka temuan berbagai hasil riset menjadi acuan untuk melakukan pengembangan kajian (Grégoire, et al., 2011). Oleh karena itu, keberagaman hasil riset tentang kewirausahaan memberikan gambaran fakta tentang persoalan yang berkembang, baik untuk kasus di negara berkembang ataupun di negara industri. Hal ini menunjukan bahwa pengembangan kurikulum kewirausahaan di negara berkembang tentu berbeda jika dibandingkan di negara industri. Fakta perbedaan ini juga berpengaruh terhadap perbedaan dalam pendidikan dan pengajarannya. Artinya, keberagaman tersebut memberikan peluang untuk dapat mengembangkan pembelajaran tentang kewirausahaan (Fiet, 2000; Katz, 2003; Bechard dan Gregoire, 2005). Terkait ini, rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana model edukasi kewirausahaan yang terbaik bagi mahasiswa, terutama mengacu pada potensi pasar lokal.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kewirausahaan: Edukasi dan Proses

Edukasi tentang kewirausahaan memang haruslah dilakukan sedari dini dimulai dari level pendidikan yang terendah. Hal ini dilakukan untuk membentuk spirit terkait kewirausahaan sebab kewirausahaan tidak bisa langsung terbentuk ketika dewasa tetapi kewirausahaan bisa dibangun sedari dini (Poon, et al., 2006). Keberhasilan membangun sedari dini etos kewirausahaan secara tidak langsung akan membentuk kekuatan untuk meminimalisasi risiko yang ada.

Pentingnya edukasi tersebut maka perguruan tinggi bisa menciptakan stimulus dengan melibatkan masyarakat yang ada di sekitar lingkungan kampus. Selain itu, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan usaha mandiri dengan sistem magang dan atau praktek langsung yang terstruktur. Proses ini bisa dilakukan melalui sistem perkuliahan namun juga bisa lewat praktek langsung dalam waktu tertentu yang kemudian mendapatkan penilaian.

Kejelian mahasiswa dalam praktek langsung wirausaha pada dasarnya menjadi proses pembelajaran untuk melihat potensi yang ada dan hal ini merupakan acuan untuk melihat potensi resource-based view (Newbert, 2007). Oleh karena itu, lingkungan yang ada di sekitar kampus pada dasarnya adalah potensi untuk melakukan wirausaha. Dari realitas ini maka pengembangan kewirausahaan bagi mahasiswa dapat dibangun dengan melihat potensi yang ada di sekitar lingkungan kampus. Alasan yang mendasari karena lingkungan sekitar kampus adalah pasar yang memberikan prospek terhadap perputaran uang dan peluang usaha di sekitar lingkungan kampus cenderung terus berkembang dan menimbulkan interaksi sosial – ekonomi (Yohson, 2003).

Kewirausahaan yang melibatkan generasi muda pada dasarnya dapat dibangun melalui proses edukasi yaitu dengan melibatkan praktisi secara langsung sehingga dapat


(14)

menciptakan motivasi dan keinginan untuk melakukan hal yang sama. Keterlibatan dari praktisi diyakini memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding dengan penyampaian konsep teoritis. Alasan yang mendasari karena pelibatan para praktisi cenderung lebih mengacu kepada realitas usaha yang terjadi dan dialami sehingga memungkinkan suatu gambaran terhadap potensi, peluang dan juga ancaman (Mason, 2011).

Faktor lain yang juga mendukung terhadap kewirausahaan adalah dengan cara melihat situasi lingkungan. Cara ini disebut sebagai proses pengembangan terkait aspek eksternal. Artinya, potensi yang ada dan terjadi di lingkungan memberikan pencerahan terhadap proses motivasi bagi seseorang untuk bertindak. Keyakinan bertindak tersebut kemudian menjadi stimulus untuk melakukan wirausaha. Oleh karena itu, cara kedua ini lebih cenderung mengacu kepada interpretasi dari kemauan atau motivasi internal yang tercipta dari melihat situasi lingkungan. Realitas ini pada dasarnya adalah mengacu sisi kognitif seseorang yaitu apakah akan bertindak atau tidak setelah melihat realitas yang ada di lingkungan sekitar. Proses kognisi ini menjadi salah satu faktor penting sebagai langkah awal untuk bertindak selanjutnya (Grégoire, et al., 2011). Oleh karena itu, jiwa wirausaha pada dasarnya dapat terbangun dari kejelian melihat lingkungan sekitar.

2. Kewirausahaan dan Generasi Muda

Urgensi terhadap kewirausahaan bagi generasi muda dan juga dalam perspektif umum menjadi kajian yang menarik terutama mengacu kepada proses bagaimana dapat menciptakan wirausaha baru di berbagai bidang (Bruni, et.al., 2004; Boyd, 2005). Hal ini menjadi penting karena kecenderung di negara berkembang yaitu mencari pekerjaan dan situasi ini tidak bisa terlepas dari rendahnya kesempatan kerja dan juga jumlah para pencari kerja lebih banyak sehingga proporsi yang tersedia tidak seimbang. Oleh karena itu, bagaimana menciptakan lapangan kerja merupakan persoalan serius yang menjadi beban pemerintah.

Ketidakmampuan pemerintah menciptakan lapangan kerja, terutama yang padat karya, maka seleksi terhadap pekerjaan menjadi semakin ketat dan jika dibandingkan


(15)

dengan jumlah pencari kerja yang lebih banyak maka konsekuensi terhadap kesempatan kerja tidak sebanding. Oleh karena itu, seleksi alam terhadap angkatan kerja dan jumlah kesempatan kerja tidak pernah memberikan hasil yang memuaskan dan konsekuensinya adalah jumlah pengangguran terus meningkat setiap tahun. Situasi ini akan berpengaruh terhadap kondisi kesejahteraan sosial dan juga memungkinkan terjadinya bias gender di bidang ketenagakerjaan karena pekerja pria lebih banyak di sektor formal sedangkan di sektor informal lebih didominasi pekerja wanita (Langowitz dan Minniti, 2007).

Bias gender dalam ketenagakerjaan pada dasarnya juga dipengaruhi oleh jumlah kependudukan dan persebaran penduduk. Oleh karena itu, ketika proporsi penduduk di suatu negara lebih dominan wanita maka hal ini akan berpengaruh terhadap komposisi ketenagakerjaan yang diperankan oleh wanita, begitu juga sebaliknya. Meski demikian, proporsi tersebut juga berpengaruh terhadap komposisi gender dalam kesempatan kerja sehingga bidang-bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pria mungkin juga ditangani oleh wanita. Situasi ini akan terus berubah sesuai dengan situasi yang berkembang dan memungkinkan terjadinya perubahan komposisi ketenagakerjaan. Oleh karena itu, logis jika fenomena kewirausahaan di berbagai negara juga muncul karena terjadi perubahan komposisi ketenagakerjaan.

Pada kasus di negara berkembang ternyata komposisi ketenakerjaan juga terkait dengan status sosial dan situasional. Di sejumlah negara berkembang menunjukan ada temuan bahwa pelaku wirausaha dari kaum wanita cenderung lebih banyak karena hal ini tidak bisa terlepas dari tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, sektor informal di negara berkembang yang memungkinkan berkembangnya kewirausahaan juga sangat potensial sehingga memungkinkan kaum wanita untuk berpartisipasi dalam sektor informal dan sekaligus menjadi pelaku usaha dengan berwirausaha. Selain dapat meningkatkan pendapatan, wirausaha yang dijalankan wanita di banyak negara miskin berkembang ternyata juga berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Paling tidak, hal ini terjadi dalam lingkup keluarga yang terdekat. Persoalan yang muncul dari situasi ini adalah sistem pembayaran upah yang tidak sesuai standar sehingga fenomena


(16)

ini juga dikenal dengan istilah setengah pengangguran karena mereka bekerja tapi nilai riil dari nominal upah tidak sesuai dengan regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Fenomena kewirausahaan dan juga berbagai faktor yang mendasari secara tidak langsung memberikan gambaran bahwa generasi muda dan kalangan mahasiswa secara umum memiliki potensi yang sangat besar untuk melakukan kewirausahan. Potensi ini harus juga didukung oleh kalangan perguruan tinggi dan juga pemerintah. Pihak lainnya yang juga penting untuk mendukung adalah dari kalangan perbankan. Alasan mendasar adalah temuan kasus adanya keterbasan modal dari kewirausahaan. Meski sebenarnya modal uang tidak dominan namun banyak temuan kasus membuktikan bahwa proses kewirausahaan memang tidak bisa terlepas dari modal. Oleh karena itu, perbankan perlu terlibat dalam mendukung penumbuhkembangan kewirausahaan bagi generasi muda. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa mahasiswa memiliki potensi sangat besar untuk menjadi wirausaha dan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sukses wirausaha adalah:

a. Usia: kecenderungan psikologis dan kematangan emosi dipengaruhi oleh usia dan kewirausahaan juga tidak bisa terlepas dari situasi ini karena dituntut setiap saat mengambil keputusan. Oleh karena itu, usia menjadi faktor yang memberi pengaruh terhadap keberhasilan wirausaha. Meski demikian, pengaruh ini juga terkait dengan jenis wirausaha yang dilakukan. Artinya generalisasi dari aspek pengaruh usia ditentukan juga oleh karakteristik wirausaha yang dibangun. Usia yang tepat untuk memulai wirausaha pada dasarnya tidaklah ada batasan. Sedari dini bisa mengembangkan wirausaha tentu akan semakin baik dan seiring waktu akan berproses terhadap tantangan dan pengambilan keputusan yang kompleks. Oleh karen itu, aspek usia akan terkait dengan proses perkembangan wirausaha yang dilakukan oleh individu (Levesque dan Minniti, 2005).

b. Human Capital. Pemahaman tentang human capital cenderung beragam, namun aspek mendasar yang sering menjadi pertimbangan adalah pendidikan karena ini


(17)

akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran dan bekal pengetahuan untuk menjalankan wirausaha yang dilakukan. Ketika pendidikan, termasuk dalam hal ini adalah proses pengajaran, maka kurikulum menjadi salah satu bagian untuk menciptakan motivasi bagi seseorang melakukan wirausaha, apapun jenis usaha yang dikembangkan. Oleh karena itu, pendidikan yang beragam pada akhirnya juga akan menciptakan peluang wirausaha yang beragam pula dan tentu hal ini berpengaruh positif terhadap keberagaman dunia usaha dan akhirnya berdampak positif terhadap potensi ekonomi yang berkembang dan aspek penyerapan bagi ketenagakerjaan, baik dari sektor formal ataupun informal. Terkait pentingnya human capital dari aspek pendidikan muncul nilai keyakinan jenjang pendidikan yang tinggi memiliki potensi dan sekaligus peluang lebih besar (Davidsson dan Honig, 2003).

c. Gender: aspek gender merupakan komposisi kewirausahaan yang tidak bisa lagi dianggap remeh, meski beberapa temuan riset menunjukan adanya perbedaan dalam memahami kasus gender dalam kewirausahaan (Krasniqi, 2009). Riset dari Noorderhaven, et.al. (2004) untuk kasus di negara berkembang dan riset dari Wagner dan Sternberg (2002) untuk kasus di Jerman menunjukan bahwa pria - wanita cenderung memiliki intensitas yang berbeda dalam berwirausaha. Hal ini pada dasarnya lebih terfokus pada proses pengambilan keputusan untuk kasus-kasus tertentu dan juga keyakinan dalam memandang suatu risiko (Maire, et.al. 2004). Hasil riset juga menunjukan bahwa mayoritas kaum wanita dalam berwirausaha cenderung mengacu kepada feminisme atau penguasaan di bidang yang sesuai dengan spirit kewanitaan (Beaver, 2002).

d. Status Perkawinan: faktor yang dominan dalam berwirausaha adalah tuntutan bagi pemenuhan kebutuhan sehingga perkawinan menjadi faktor penting dalam membangun kewirausahaan (Krasniqi, 2009). Selain itu, faktor perkawinan juga berpengaruh terhadap keyakinan pelaku usaha dalam pengambilan keputusan dan juga penentuan risiko usaha yang dibangun (Maire, et.al., 2004).


(18)

Hasil sejumlah riset yang menunjukan nilai urgensi kewirausahaan secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap motivasi bagi generasi muda untuk mencoba dan terus mencoba semua peluang wirausaha yang ada. Bahkan perkembangan internet secara tidak langsung juga memberikan peluang terhadap semakin terbukanya prospek dan potensi wirausaha di dunia maya. Sinergi antara dunia nyata dan dunia maya dapat memberikan peluang yang sangat besar bagi kewirausahaan dan hal ini semakin nyata didukung oleh tarif internet yang semakin murah dan juga ketersediaan piranti gadget yang semakin banyak dengan berbagai tipe - ukuran. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah ‘cyberentrepreneurship’ (Carrier, et.al., 2004). Shane dan Venkataraman

(2000) meyakini cyberentrepreneurship yaitu konsep wirausaha yang tidak bisa terlepas dari peran internet yaitu melalui model e-commerce. Colombo dan Delmastro (2001)

menegaskan bahwa tipikal internet entrepreneurs pada umumnya berusia muda dan familiar dengan internet atau media gadget lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa teoritis dan empiris dari kasus-kasus kewirausahaan cenderung terus berkembang dan menjadi kajian yang sangat menarik diteliti (Simpeh, 2011). Hal ini menjadi alasan mengapa kewirausahaan bisa dipengaruhi oleh banyak faktor (lihat gambar 2.1).

Gambar 2.1 Interaksi kewirausahaan

Sumber: Krueger dan Carsrud (1993 diadopsi dari Fayolle dan Gailly, 2008) EKSTERNAL INFLUENCES ON ENTREPRENEURIAL ACTIVITY PERCEIVED ATTRACTIVENESS OF ENTREPRENEURIAL BEHAVIOUR

PERCEIVED SOCIAL NORMS ABOUT ENTREPRENEURIAL

BEHAVIOURS

PERCEIVED SELF-EFFICACY / CONTROL FOR ENTREPRENEURIAL BEHAVIOUR INTENTIONS TOWARD ENTREPRENEURIAL BEHAVIOUR TARGET ENTREPRENEURIAL BEHAVIOUR HYPHOTHESIZED EXOGENOUS PRECIPITATING, FACILITATING OR INHIBITING INFLUENCES


(19)

3. Kewirausahaan dan Industri Kreatif

Kewirausahaan di era otda juga memberikan kesempatan bagi daerah untuk bisa meningkatkan perekonomiannya. Hal ini tercipta dari nilai tambah yang dihasilkan dan juga mata rantai dari industri kreatif yang dibangun. Oleh karena itu kewirausahaan dan industri kreatif pada dasarnya adalah saling terkait. Semakin banyak industri kreatif di suatu daerah maka pada dasarnya menunjukan semakin berkembangnya kewirausahaan di daerah tersebut. Artinya pemerintah daerah harus melakukan pemetaan terhadap nilai potensi industri kreatif yang bisa dikembangkan di daerah. Selain itu, pemerintah juga perlu belajar dari proses pengembangan kewirausahaan di Cina yang memberikan aspek penting terhadap generasi muda (Millman, et al., 2008).

Adanya aspek peluang terhadap kewirausahaan dan industri kreatif, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menegaskan bahwa untuk tahun 2013 dikembangkan 132 desa produktif di 33 propinsi dengan tujuan untuk mendorong kewirausahaan yang mengembangkan sektor riil, utamanya adalah berbasis potensi sumber daya lokal dan industri kreatif yang sifatnya padat karya. Terkait pencanangan ini, semua daerah harus dapat memanfaatkan program ini untuk dapat memetakan potensi industri kreatif dan sektor unggulan lainnya sehingga berkontribusi positif terhadap perekonomian dan juga mereduksi pengangguran. Hal ini pada akhirnya akan menghidupkan ekonomi di daerah dan meningkatkan kesejahteraan juga menstimulus generasi muda untuk membangun kewirausahaan sedari dini.

Jika ditelusur, sebenarnya ada banyak potensi industri kreatif yang ada, tumbuh dan juga berkembang di semua daerah. Oleh karena itu, pemda dengan mitra dan pihak lainnya bisa bersinergi demi penguatan mata rantai yang terkait dengan eksistensi sentra-sentra industri yang ada sehingga dapat dipetakan sebagai desa produktif sesuai kategori yang ditetapkan Depnakertrans. Sinergi mata rantai itu mulai dari pasokan bahan baku, proses produksi dan juga kualitas kontrol serta yang terpenting adalah pemasaran. Sinergi yang terbentuk akan bisa menggerakan ekonomi di daerah sehingga nilai tambah yang dihasilkan meningkat dan geliat perekonomian terbangun.


(20)

Jika ditelusur, pengembangan desa produktif dan industri kreatif adalah sinergi terhadap tujuan pertumbuhan ekonomi. Artinya pencanangan dan pengembangan desa produktif adalah muara dari komitmen pengembangan industri kreatif, utamanya yang berbasiskan sumber daya lokal, padat karya serta bernilai ekspor tinggi. Industri kreatif menjadi alternatif harapan di tengah kelesuan pasar ekspor global saat ini dan ancaman PHK massal akibat kondisi ekonomi dunia. Di sisi lain, penumbuhkembangan industri kreatif juga tidak bisa lepas dari pemberdayaan sektor informal sehingga mata rantai dari program penumbuhkembangan industri kreatif sangat kompleks. Terkait hal ini, beralasan jika pemerintah mencanangkan pertumbuhan 3,6% untuk target konservatif nilai ekspor dari industri kreatif ini dengan target moderat mencapai 8%. Dari kalkulasi pengembangan industri kreatif diprediksi menyerap 4,9 juta tenaga kerja dan memberi kontribusi rata-rata 6,3% dari PDB. Prestasi ini akan sangat bagus jika setiap tahun bisa dipacu lebih banyak penumbuhkembangan berbagai industri kreatif, termasuk yang berbasis kearifan lokal sangatlah penting dikembangkan. Oleh karena itu generasi muda harus didorong untuk mengembangkan kewirausahaan dan industri kreatif yang dapat dilakukan karena adanya potensi besar yang bisa dilakukan.


(21)

Daftar Pustaka

Adcroft, A., Wills, R. dan Dhaliwal, S. (2004). Missing the point? Management education and entrepreneurship. Management Decision. 42(3): 512-521.

Antoncic, B. (2007). Intrapreneurship: A comparative structural equation modeling study.

Industrial Management & Data Systems. 107(3): 309-325.

Baum, J.A. dan Locke, E.A. (2004). The relationship of entrepreneurial traits, skill, and motivation to subsequent venture growth. Journal of Applied Psychology. 89(4): 587-598.

Beaver, G. (2002). Small Business, Entrepreneurship and Enterprise Development. Pearson Education, London.

Bechard, J.P. dan Gregoire, D. (2005). Entrepreneurship education research revisited: The case of higher education. Academy of Management, Learning & Education. 4(1): 22-43.

Boyd, R.L. (2005). Race, gender, and survival entrepreneurship in large northern cities during the Great Depression. Journal of Socio-economics. 34. 331-339.

Brindley, C. (2005). Barriers to women achieving their entrepreneurial potential: Women and risk. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 11(2): 144-161.

Bruni, A., Gheradi, S. dan Poggio, B. (2004). Entrepreneur-mentality, gender and the study of women entrepreneurs. Journal of Organizational Change Management. 17(3): 256-268.

Buang, N.A. , Halim, L., dan Meerah, M.T.S., (2009). Understanding the thinking of scientists entrepreneurs: Implications for science education in Malaysia. Journal of Turkish Science Education. 6(2): 3-11.

Carrier, C., Raymond, L., dan Eltaief, A. (2004). Cyberentrepreneurship: A multiple case study. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 10(5): 349-363.

Cheung, C.K. (2008). Entrepreneurship education in Hong Kong’s secondary curriculum: Possibilities and limitations. Education + Training. 50(6): 500-515.

Colombo, M.S. dan Delmastro, M. (2001). Technology-based entrepreneurs: Does internet make a difference. Small Business Economics. 16. 177-190.

Covin, J. G., Green, K. M., dan Slevin, D. P. (2006). Strategic process effects on the entrepreneurial orientation - sales growth rate relationships. Entrepreneurship Theory and Practice, 30(1): 57-81.

de Pillis, E. dan Reardon, K.K. (2007). The influence of personality traits and persuasive messages on entrepreneurial intention: A cross-cultural comparison. Career Development International. 12(4): 382-396.

Davidsson, P. dan Honig, B. (2003). The role of social and human capital among nascent entrepreneurs. Journal of Business Venturing. 18. 301-331.

Dickson, P.H., Solomon, G.T., dan Weaver, K.M. (2008). Entrepreneurial selection and success: Does education matter? Journal of Small Business and Enterprise Development. 15(2): 239-258.


(22)

Doherty, G.D. (2008). On quality in education. Quality Assurance in Education. 16(3): 255-265.

Fayolle, A., Gailly, B., dan Lassas-Clerc, N. (2006). Assessing the impact of entrepreneurship education programmes: A new methodology. Journal of European Industrial Training. 30(9): 701-720.

Fayolle, A. dan Klandt, H. (2006). Issues and newness in the field of entrepreneurship education: New lenses for new practical and academic questions, dalam Fayolle, A. dan Klandt, H. (Eds). International Entrepreneurship Education, Edward Elgar Publishing, Northampton, MA.

Fayolle, A. dan Gailly, B. (2008). From craft to science: Teaching models and learning processes in entrepreneurship education. Journal of European Industrial Training. 32(7): 569-593.

Fiet, J.O. (2000). The theoretical side of teaching entrepreneurship. Journal of Business Venturing. 16(1): 1-24.

Grégoire, D.A., Corbett, A.C., dan McMullen, J.S. (2011). The cognitive perspective in entrepreneurship: An agenda for future research.jJournal of Management Studies.

48(6): 1443-1477.

Hamidi, D.Y., Wennberg, K., dan Berglund, H. (2008). Creativity in entrepreneurship education. Journal of Small Business and Enterprise Development. 15(2): 304-320.

Harms, R., Kraus, S., dan Reschke, C.H. (2007). Configurations of new ventures in entrepreneurship research: Contributions and research gaps. Management Research News. 30(9): 661-673.

Hegarty, C. (2006). It’s not an exact science: Teaching entrepreneurship in Northern Ireland. Education + Training. 48(5): 322-335.

Hytti, U. (2005). New meanings for entrepreneurs: From risk-taking heroes to safe-seeking professionals. Journal of Organizational Change Management. 18(6): 594-611. Johnson, D., Craig, J.B.L., dan Hildebrand, R. (2006). Entrepreneurship education:

Towards a discipline-based framework. Journal of Management Development. 25 (1): 40-54.

Kamaruddin, A. (2006). Proyeksi pengembangan kebutuhan wirausaha baru dalam rangka kesiapan menuju liberalisasi perdagangan dan investasi. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM. 1(2): 84-98.

Katz, J.A. (2003). The chronology and intellectual trajectory of American entrepreneurship education. Journal of Business Venturing. 18(3): 283-300.

Kearney, C., Hisrich, R.D., dan Roche, F. (2009). Public and private sector entrepreneurship: Similarities, differences or a combination? Journal of Small Business and Enterprise Development. 16(1): 26-46.

Klappa, R. (2004). Government goals and entrepreneurship education. Education + Training. 46(3): 127-138.

Kocak, A. dan Abimbola, T. (2009). The effects of entrepreneurial marketing on born global performance. International Marketing Review. 26 (4/5): 439-452.

Krasniqi, B.A. (2009). Personal, household and business environmental determinants of entrepreneurship. Journal of Small Business and Enterprise Development. 16(1): 146-166.


(23)

Langowitz, N. dan Minniti, M. (2007). The entrepreneurial propensity of women.

Entrepreneurship Theory and Practice. 31(3): 341-364.

Le´vesque, M. dan Minniti, M. (2005). The effect of aging on entrepreneurial behaviour.

Journal of Business Venturing. 21. 177-194.

Luthje, C. dan Franke, N. (2003). The making of an entrepreneur: Testing a model of entrepreneurial intent among engineering students at MIT. R&D Management.

33(2): 135-147.

Maire, D., Petersen, J. dan Schjerning, B. (2004). An econometric inquiry into self-employment in Denmark. working paper no. 2004-02, Center for Economic and Business Research (CEBR), London.

Malach-Pines, A. dan Schwartz, D. (2008). Now you see them, now you don’t: Gender differences in entrepreneurship. Journal of Managerial Psychology. 23(7): 811-832.

Mason, C. (2011). Entrepreneurship education and research: Emerging trends and concerns.

Journal of Global Entrepreneurship. 1(1): 13-25.

McClelland, E., Swail, J., Bell, J., dan Ibbotson, P. (2005). Following the pathway of female entrepreneurs: A six-country investigation. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 11(2): 84-107.

Millman, C., Matlay, H., dan Liu, F. (2008). Entrepreneurship education in China: A case study approach. Journal of Small Business and Enterprise Development. 15 (4): 802-815.

Morrisette, S. dan Schraeder, M (2007). Affirming entrepreneurship: The best hope for organizations. Development and Learning in Organizations. 21(1): 15-17.

Murphy, P.J., Liao, J., dan Welsch, H.P. (2006). A conceptual history of entrepreneurial thought. Journal of Management History. 12(1): 12-35.

Newbert, S. L. (2007). Empirical research on the resource-based view of the firm: An assessment and suggestions for future research. Strategic Management Journal. 28(2): 121-146.

Noel, T.W. (2001). Effects of entrepreneurial education on intent to open a business.

Frontiers of Entrepreneurship Research, Babson Conference Proceedings, www.babson.edu/entrep/fer

Noorderhaven, N., Thurik, R., Wennekers, S. dan van Stel, A. (2004). The role of dissatisfaction and per capita income in explaining self-employment across 15 European countries. Entrepreneurship Theory and Practice. 28(5): 447-66.

Nurmi, P. dan Paasio, K. (2007). Entrepreneurship in Finnish Universities. Education + Training. 49(1): 56-66.

Pines, A.M., Lerner, M., dan Schwartz, D. (2010). Gender differences in entrepreneurship: Equality, diversity and inclusion in times of global crisis. Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal. 29(2): 186-198.

Pittaway, L. (2005). Philosophies in entrepreneurship: A focus on economic theories.

International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 11(3): 201-221. Poon, J. M. L., Ainuddin, R. A., dan Junit, S. H. (2006). Effects of self-concept traits and

entrepreneurial orientation of firm performance. International Small Business Journal. 24(1), 61-82.


(24)

Priyono, E. (2011). Pemetaan potensi kewirausahaan di sekitar kampus: Kasus di UMS, Laporan Penelitian Kolaboratif, FE - UMS, Solo.

--- (2010). Identifikasi unit usaha dan potensi pengembangan kewirausahaan di sekitar lingkungan kampus: Kasus di UMS. Laporan Penelitian Kolaboratif, FE - UMS, Solo.

Saboe, L.R., Kantor, J. dan Walsh, J. (2002). Cultivating entrepreneurship. Educational Leadership. 59(7): 80-82.

Schwarz, E.J., Wdowiak, M.A., Almer-Jarz, D.A., dan Breitenecker, R.J. (2009). The effects of attitudes and perceived environment conditions on students’ entrepreneurial intent: An Austrian perspective. Education + Training. 51(4): 272-291.

Shane, S. dan Venkataraman, S. (2000). The promise of entrepreneurship as a field of research. Academy of Management Review. 25(1): 217-226.

Shaw, E. dan Carter, S. (2007). Social entrepreneurship: Theoretical antecedents and empirical analysis of entrepreneurial processes and outcomes. Journal of Small Business and Enterprise Development. 14(3): 418-434.

Shepherd, D.A. (2004). Educating entrepreneurship students about emotion and learning from failure. Academy of Management Learning & Education. 3(3): 274-287. Simpeh, K.N. (2011). Entrepreneurship theories and empirical research: A summary review

of the literature. European Journal of Business and Management. 3(6): 1-9. Solomon, G.t., Duffy, S. Tarabishy, A. (2002). The state of entrepreneurship education in

the United States: A nationwide survey and analysis. International Journal of Entrepreneurship Education. 1(1): 65-86.

Urbano, D., Aponte, M., dan Toledano, N. (2008). Doctoral education in entrepreneurship: A European case study. Journal of Small Business and Enterprise Development. 15(2): 336-347.

van Praag, C.M. dan Versloot, P.H. (2008). The economic benefits and costs of entrepreneurship: A review of the research. Foundations and Trends Entrepreneurship. 4 (2): 65-154.

Wagner, J. dan Sternberg, R. (2002). Personal and regional determinants of entrepreneurial activities: Empirical evidence from regional entrepreneurship monitor (REM) Germany. discussion paper no. 624, Institute for Study of Labour (IZA), Bonn.

Wibawani, S. dan Harpowo (2009). Budaya wirausaha pada mahasiswa fakultas pertanian Universitas Muhammadiyah Malang. Laporan Penelitian, UMM Malang.

Yohnson (2003). Peranan universitas dalam memotivasi sarjana menjadi young entrepreneurs. Jurnal Manajemen & Kewirausahaa. 5(2): 97-111.

Yu, C.W.M. dan Man, T.W.Y. (2009). Social interaction and the formation of entrepreneurial characteristics: A case study in authentic enterprise activity.


(1)

3. Kewirausahaan dan Industri Kreatif

Kewirausahaan di era otda juga memberikan kesempatan bagi daerah untuk bisa meningkatkan perekonomiannya. Hal ini tercipta dari nilai tambah yang dihasilkan dan juga mata rantai dari industri kreatif yang dibangun. Oleh karena itu kewirausahaan dan industri kreatif pada dasarnya adalah saling terkait. Semakin banyak industri kreatif di suatu daerah maka pada dasarnya menunjukan semakin berkembangnya kewirausahaan di daerah tersebut. Artinya pemerintah daerah harus melakukan pemetaan terhadap nilai potensi industri kreatif yang bisa dikembangkan di daerah. Selain itu, pemerintah juga perlu belajar dari proses pengembangan kewirausahaan di Cina yang memberikan aspek penting terhadap generasi muda (Millman, et al., 2008).

Adanya aspek peluang terhadap kewirausahaan dan industri kreatif, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menegaskan bahwa untuk tahun 2013 dikembangkan 132 desa produktif di 33 propinsi dengan tujuan untuk mendorong kewirausahaan yang mengembangkan sektor riil, utamanya adalah berbasis potensi sumber daya lokal dan industri kreatif yang sifatnya padat karya. Terkait pencanangan ini, semua daerah harus dapat memanfaatkan program ini untuk dapat memetakan potensi industri kreatif dan sektor unggulan lainnya sehingga berkontribusi positif terhadap perekonomian dan juga mereduksi pengangguran. Hal ini pada akhirnya akan menghidupkan ekonomi di daerah dan meningkatkan kesejahteraan juga menstimulus generasi muda untuk membangun kewirausahaan sedari dini.

Jika ditelusur, sebenarnya ada banyak potensi industri kreatif yang ada, tumbuh dan juga berkembang di semua daerah. Oleh karena itu, pemda dengan mitra dan pihak lainnya bisa bersinergi demi penguatan mata rantai yang terkait dengan eksistensi sentra-sentra industri yang ada sehingga dapat dipetakan sebagai desa produktif sesuai kategori yang ditetapkan Depnakertrans. Sinergi mata rantai itu mulai dari pasokan bahan baku, proses produksi dan juga kualitas kontrol serta yang terpenting adalah pemasaran. Sinergi yang terbentuk akan bisa menggerakan ekonomi di daerah sehingga nilai tambah yang dihasilkan meningkat dan geliat perekonomian terbangun.


(2)

Jika ditelusur, pengembangan desa produktif dan industri kreatif adalah sinergi terhadap tujuan pertumbuhan ekonomi. Artinya pencanangan dan pengembangan desa produktif adalah muara dari komitmen pengembangan industri kreatif, utamanya yang berbasiskan sumber daya lokal, padat karya serta bernilai ekspor tinggi. Industri kreatif menjadi alternatif harapan di tengah kelesuan pasar ekspor global saat ini dan ancaman PHK massal akibat kondisi ekonomi dunia. Di sisi lain, penumbuhkembangan industri kreatif juga tidak bisa lepas dari pemberdayaan sektor informal sehingga mata rantai dari program penumbuhkembangan industri kreatif sangat kompleks. Terkait hal ini, beralasan jika pemerintah mencanangkan pertumbuhan 3,6% untuk target konservatif nilai ekspor dari industri kreatif ini dengan target moderat mencapai 8%. Dari kalkulasi pengembangan industri kreatif diprediksi menyerap 4,9 juta tenaga kerja dan memberi kontribusi rata-rata 6,3% dari PDB. Prestasi ini akan sangat bagus jika setiap tahun bisa dipacu lebih banyak penumbuhkembangan berbagai industri kreatif, termasuk yang berbasis kearifan lokal sangatlah penting dikembangkan. Oleh karena itu generasi muda harus didorong untuk mengembangkan kewirausahaan dan industri kreatif yang dapat dilakukan karena adanya potensi besar yang bisa dilakukan.


(3)

Daftar Pustaka

Adcroft, A., Wills, R. dan Dhaliwal, S. (2004). Missing the point? Management education and entrepreneurship. Management Decision. 42(3): 512-521.

Antoncic, B. (2007). Intrapreneurship: A comparative structural equation modeling study.

Industrial Management & Data Systems. 107(3): 309-325.

Baum, J.A. dan Locke, E.A. (2004). The relationship of entrepreneurial traits, skill, and motivation to subsequent venture growth. Journal of Applied Psychology. 89(4): 587-598.

Beaver, G. (2002). Small Business, Entrepreneurship and Enterprise Development. Pearson Education, London.

Bechard, J.P. dan Gregoire, D. (2005). Entrepreneurship education research revisited: The case of higher education. Academy of Management, Learning & Education. 4(1): 22-43.

Boyd, R.L. (2005). Race, gender, and survival entrepreneurship in large northern cities during the Great Depression. Journal of Socio-economics. 34. 331-339.

Brindley, C. (2005). Barriers to women achieving their entrepreneurial potential: Women and risk. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 11(2): 144-161.

Bruni, A., Gheradi, S. dan Poggio, B. (2004). Entrepreneur-mentality, gender and the study of women entrepreneurs. Journal of Organizational Change Management. 17(3): 256-268.

Buang, N.A. , Halim, L., dan Meerah, M.T.S., (2009). Understanding the thinking of scientists entrepreneurs: Implications for science education in Malaysia. Journal of Turkish Science Education. 6(2): 3-11.

Carrier, C., Raymond, L., dan Eltaief, A. (2004). Cyberentrepreneurship: A multiple case study. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 10(5): 349-363.

Cheung, C.K. (2008). Entrepreneurship education in Hong Kong’s secondary curriculum: Possibilities and limitations. Education + Training. 50(6): 500-515.

Colombo, M.S. dan Delmastro, M. (2001). Technology-based entrepreneurs: Does internet make a difference. Small Business Economics. 16. 177-190.

Covin, J. G., Green, K. M., dan Slevin, D. P. (2006). Strategic process effects on the entrepreneurial orientation - sales growth rate relationships. Entrepreneurship Theory and Practice, 30(1): 57-81.

de Pillis, E. dan Reardon, K.K. (2007). The influence of personality traits and persuasive messages on entrepreneurial intention: A cross-cultural comparison. Career Development International. 12(4): 382-396.

Davidsson, P. dan Honig, B. (2003). The role of social and human capital among nascent entrepreneurs. Journal of Business Venturing. 18. 301-331.

Dickson, P.H., Solomon, G.T., dan Weaver, K.M. (2008). Entrepreneurial selection and success: Does education matter? Journal of Small Business and Enterprise Development. 15(2): 239-258.


(4)

Doherty, G.D. (2008). On quality in education. Quality Assurance in Education. 16(3): 255-265.

Fayolle, A., Gailly, B., dan Lassas-Clerc, N. (2006). Assessing the impact of entrepreneurship education programmes: A new methodology. Journal of European Industrial Training. 30(9): 701-720.

Fayolle, A. dan Klandt, H. (2006). Issues and newness in the field of entrepreneurship education: New lenses for new practical and academic questions, dalam Fayolle, A. dan Klandt, H. (Eds). International Entrepreneurship Education, Edward Elgar Publishing, Northampton, MA.

Fayolle, A. dan Gailly, B. (2008). From craft to science: Teaching models and learning processes in entrepreneurship education. Journal of European Industrial Training. 32(7): 569-593.

Fiet, J.O. (2000). The theoretical side of teaching entrepreneurship. Journal of Business Venturing. 16(1): 1-24.

Grégoire, D.A., Corbett, A.C., dan McMullen, J.S. (2011). The cognitive perspective in entrepreneurship: An agenda for future research.jJournal of Management Studies.

48(6): 1443-1477.

Hamidi, D.Y., Wennberg, K., dan Berglund, H. (2008). Creativity in entrepreneurship education. Journal of Small Business and Enterprise Development. 15(2): 304-320.

Harms, R., Kraus, S., dan Reschke, C.H. (2007). Configurations of new ventures in entrepreneurship research: Contributions and research gaps. Management Research News. 30(9): 661-673.

Hegarty, C. (2006). It’s not an exact science: Teaching entrepreneurship in Northern Ireland. Education + Training. 48(5): 322-335.

Hytti, U. (2005). New meanings for entrepreneurs: From risk-taking heroes to safe-seeking professionals. Journal of Organizational Change Management. 18(6): 594-611. Johnson, D., Craig, J.B.L., dan Hildebrand, R. (2006). Entrepreneurship education:

Towards a discipline-based framework. Journal of Management Development. 25 (1): 40-54.

Kamaruddin, A. (2006). Proyeksi pengembangan kebutuhan wirausaha baru dalam rangka kesiapan menuju liberalisasi perdagangan dan investasi. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM. 1(2): 84-98.

Katz, J.A. (2003). The chronology and intellectual trajectory of American entrepreneurship education. Journal of Business Venturing. 18(3): 283-300.

Kearney, C., Hisrich, R.D., dan Roche, F. (2009). Public and private sector entrepreneurship: Similarities, differences or a combination? Journal of Small Business and Enterprise Development. 16(1): 26-46.

Klappa, R. (2004). Government goals and entrepreneurship education. Education + Training. 46(3): 127-138.

Kocak, A. dan Abimbola, T. (2009). The effects of entrepreneurial marketing on born global performance. International Marketing Review. 26 (4/5): 439-452.

Krasniqi, B.A. (2009). Personal, household and business environmental determinants of entrepreneurship. Journal of Small Business and Enterprise Development. 16(1): 146-166.


(5)

Langowitz, N. dan Minniti, M. (2007). The entrepreneurial propensity of women.

Entrepreneurship Theory and Practice. 31(3): 341-364.

Le´vesque, M. dan Minniti, M. (2005). The effect of aging on entrepreneurial behaviour.

Journal of Business Venturing. 21. 177-194.

Luthje, C. dan Franke, N. (2003). The making of an entrepreneur: Testing a model of entrepreneurial intent among engineering students at MIT. R&D Management.

33(2): 135-147.

Maire, D., Petersen, J. dan Schjerning, B. (2004). An econometric inquiry into self-employment in Denmark. working paper no. 2004-02, Center for Economic and Business Research (CEBR), London.

Malach-Pines, A. dan Schwartz, D. (2008). Now you see them, now you don’t: Gender differences in entrepreneurship. Journal of Managerial Psychology. 23(7): 811-832.

Mason, C. (2011). Entrepreneurship education and research: Emerging trends and concerns.

Journal of Global Entrepreneurship. 1(1): 13-25.

McClelland, E., Swail, J., Bell, J., dan Ibbotson, P. (2005). Following the pathway of female entrepreneurs: A six-country investigation. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 11(2): 84-107.

Millman, C., Matlay, H., dan Liu, F. (2008). Entrepreneurship education in China: A case study approach. Journal of Small Business and Enterprise Development. 15 (4): 802-815.

Morrisette, S. dan Schraeder, M (2007). Affirming entrepreneurship: The best hope for organizations. Development and Learning in Organizations. 21(1): 15-17.

Murphy, P.J., Liao, J., dan Welsch, H.P. (2006). A conceptual history of entrepreneurial thought. Journal of Management History. 12(1): 12-35.

Newbert, S. L. (2007). Empirical research on the resource-based view of the firm: An assessment and suggestions for future research. Strategic Management Journal. 28(2): 121-146.

Noel, T.W. (2001). Effects of entrepreneurial education on intent to open a business.

Frontiers of Entrepreneurship Research, Babson Conference Proceedings, www.babson.edu/entrep/fer

Noorderhaven, N., Thurik, R., Wennekers, S. dan van Stel, A. (2004). The role of dissatisfaction and per capita income in explaining self-employment across 15 European countries. Entrepreneurship Theory and Practice. 28(5): 447-66.

Nurmi, P. dan Paasio, K. (2007). Entrepreneurship in Finnish Universities. Education + Training. 49(1): 56-66.

Pines, A.M., Lerner, M., dan Schwartz, D. (2010). Gender differences in entrepreneurship: Equality, diversity and inclusion in times of global crisis. Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal. 29(2): 186-198.

Pittaway, L. (2005). Philosophies in entrepreneurship: A focus on economic theories.

International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research. 11(3): 201-221. Poon, J. M. L., Ainuddin, R. A., dan Junit, S. H. (2006). Effects of self-concept traits and

entrepreneurial orientation of firm performance. International Small Business Journal. 24(1), 61-82.


(6)

Priyono, E. (2011). Pemetaan potensi kewirausahaan di sekitar kampus: Kasus di UMS, Laporan Penelitian Kolaboratif, FE - UMS, Solo.

--- (2010). Identifikasi unit usaha dan potensi pengembangan kewirausahaan di sekitar lingkungan kampus: Kasus di UMS. Laporan Penelitian Kolaboratif, FE - UMS, Solo.

Saboe, L.R., Kantor, J. dan Walsh, J. (2002). Cultivating entrepreneurship. Educational Leadership. 59(7): 80-82.

Schwarz, E.J., Wdowiak, M.A., Almer-Jarz, D.A., dan Breitenecker, R.J. (2009). The effects of attitudes and perceived environment conditions on students’ entrepreneurial intent: An Austrian perspective. Education + Training. 51(4): 272-291.

Shane, S. dan Venkataraman, S. (2000). The promise of entrepreneurship as a field of research. Academy of Management Review. 25(1): 217-226.

Shaw, E. dan Carter, S. (2007). Social entrepreneurship: Theoretical antecedents and empirical analysis of entrepreneurial processes and outcomes. Journal of Small Business and Enterprise Development. 14(3): 418-434.

Shepherd, D.A. (2004). Educating entrepreneurship students about emotion and learning from failure. Academy of Management Learning & Education. 3(3): 274-287. Simpeh, K.N. (2011). Entrepreneurship theories and empirical research: A summary review

of the literature. European Journal of Business and Management. 3(6): 1-9. Solomon, G.t., Duffy, S. Tarabishy, A. (2002). The state of entrepreneurship education in

the United States: A nationwide survey and analysis. International Journal of Entrepreneurship Education. 1(1): 65-86.

Urbano, D., Aponte, M., dan Toledano, N. (2008). Doctoral education in entrepreneurship: A European case study. Journal of Small Business and Enterprise Development. 15(2): 336-347.

van Praag, C.M. dan Versloot, P.H. (2008). The economic benefits and costs of entrepreneurship: A review of the research. Foundations and Trends Entrepreneurship. 4 (2): 65-154.

Wagner, J. dan Sternberg, R. (2002). Personal and regional determinants of entrepreneurial activities: Empirical evidence from regional entrepreneurship monitor (REM) Germany. discussion paper no. 624, Institute for Study of Labour (IZA), Bonn.

Wibawani, S. dan Harpowo (2009). Budaya wirausaha pada mahasiswa fakultas pertanian

Universitas Muhammadiyah Malang. Laporan Penelitian, UMM Malang.

Yohnson (2003). Peranan universitas dalam memotivasi sarjana menjadi young entrepreneurs. Jurnal Manajemen & Kewirausahaa. 5(2): 97-111.

Yu, C.W.M. dan Man, T.W.Y. (2009). Social interaction and the formation of entrepreneurial characteristics: A case study in authentic enterprise activity.