Selain dalam KUHAP, ditemukan pula di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP pengaturan implicit mengenai perlindungan
saksi itu, yakni ketentuan Pasal 334 KUHAP. Ketentuan itu mengancam dengan pidana perbuatan yang memaksa orang lain untuk melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan atau perbuatan lain atau perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi KUHAP ternyata lebih menitikberatkan pengaturan
mengenai kewajiban saksi, yang tentunya membebankan saksi dengan berbagai ancaman apabila tidak memberikan kesaksian, misalnya:
Pasal 224: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang- undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 522: Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau
jurubahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
Dan Korban
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan,
terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi
dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama
ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi
dan korban yang takut memberikan kesaksian kepada aparat penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui dan menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana
yang terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberikan perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum
dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan hal itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur
dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan dihadapan hukum equality before the
law yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun
pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:
1. Perlindungan dan hak saksi dan korban;
2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;
3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan
4. Ketentuan pidana.
31
Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini bukan hanya melegakan para anggota DPR yang mengusulkan pada bulan
juni 2002 silam. Namun Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini diharapkan mampu membuka kebuntuan yang selama ini menjadi kendala
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dalam mengungkap tindak pidana korupsi karena selama ini, kesaksian dalam proses peradilan tindak pidana
korupsi sangat minim. Selain itu keberadaan Undang-undang perlindungan saksi dan korban
ini diharapkan dapat menjadi terobosan di dunia peradilan pidana Indonesia. Salah satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum
acara pidana atau peraturan perundang-undangan lainnya belum memberikan
31
Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
perlindungan hukum bagi saksi dan korban untuk dapat menyampaikan sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Seharusnya pembahasan Undang-undang ini kelar pada april 2006, tetapi molor hingga 13 juli 2006. Pembahasan pertama RUU ini di Panja
dimulai pada januari 2006. Setelah melakukan pembahasan dan sinkronisasi pasal-pasal, pada 13 juni 2006, Komisi III melakukan Raker dengan Menkum
dan HAM rapat tingkat I untuk mengambil keputusan RUU Perlindungan Saksi dan Korban.
32
Berdasarkan proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan
dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana dimaksud.
Masalah krusial yang muncul selama pembahasan diantaranya mengenai substansi pelapor telah dirumuskan bahwa terhadap kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun ketentuan
tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan dalam memberikan keterangan tidak dengan etikad baik.Artinya, “Saat memberikan kesaksian, yang
bersangkutan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu atau permufakatan jahat,”jelasnya.
33
32
http:hukumonline.comdetail.asp?id=15179cl=-berita, judul DRP setujui RUU Perlindungan Saksi dan Korban, diakses pada tanggal 15 maret 2015.
33
http:www.parlemen.netsiteidetails.php?guid=baee06da68922a888206f829c46d 0af8docid-=tpakar, Urgensi PerlunyaUndang-undang Perlindungan Saksi, ditulis oleh
Muhammad Yusuf, diakses pada tanggal 15 maret 2015.
Adapun asas dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 3 yaitu perlindungan
saksi dan korban berasaskan pada : a.
Penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b.
Rasa aman; c.
Keadilan; d.
Tidak diskriminatif; dan e.
Kepastian hukum; Penghargaan atas harkat dan martabat manusia berarti bahwa peran
saksi dan korban selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai dari penegak hukum, walaupun saksi dan korban yang bersangkutan berperan
besar mengungkap suatu tindak pidana. Rasa aman adalah suatu hak dalam hal ini termaksud pula hak untuk
tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, sesuai dengan konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia. Tersangka atau terdakwa yang telah diberikan seperangkat hak dalam
KUHAP dan seharusnya saksi dan korban mendapat keadilan pula. Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif” adalah asas yang
membuka diri terhadap hak rakyat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
wewenang Lembaga Perlindungan Saksi.
Tujuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada Pasal 4 yaitu perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan memberikan rasa
aman kepada saksi dankorban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
34
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika