Nenggo Budaya Hukum Keraton Surakarta Sebagai Kerangka Acuan Dalam

Tabel 5 Palilah Kontrak Griyo Pasiten Wewengkon Baluwarti NO NAMA KAMPUNG GRIYO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 SASONO MULYO LANGEN SARI MANGKUYUDAN SURONATAN TAMTAMAN CARANGAN SEKULLANGGEN HORDENASAN JOYODININGRATAN WIRENGAN SONTOSUMAN 29 38 31 9 4 4 6 9 3 14 10 JUMLAH 157 Sumber : Parentah Keraton Surakarta Tahun 2003.

i. Nenggo

3 Pengertian : nenggo merupakan hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk menempati bangunan di atas tanah pamijen keraton dengan jangka waktu 3 tahun. 4 Terciptanya : karena pemberian pengageng parentah keraton Surakarta dengan sepengetahuan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan. 5 Subyek : sentono 6 Kewajiban pemegang hak nenggo : • Mengindahkan dengan itukat baik segala peraturan atau perintah dari parentah keraton Surakarta baik yang telah ada maupun yang akan diperintahkan. • Berjanji : a Menggunakan tanah untuk rumah tangga b Tidak akan menyewakan atau menjual c Bersedia memperbaiki bila ada kerusakan ringan dengan biaya sendiri d Tidak boleh menerima magersari e Tidak merubah bangunan bila tidak diijinkan parentah keraton Surakarta. • Bila jangka waktu habis, dan diminta parentah keraton Surakarta sebelum habis jangka waktu pemegang hak harus bersedia: a Mengembalikan dalam keadaan kosong dan kondisi baik b Semua yang menempati harus pindah dari tempat tersebut. c Tidak minta uang pesangon • Selama menempati nenggo harus mentaati semua aturan yang berlaku di kampungdusun tersebut. 7 Jangka waktu : 3 tahun dan dapat diperbaharui 8 Hapusnya : • Jangka waktunya berakhir • Tanahnya diperlukan parentah keraton Surakarta • Orang yang nenggo meninggal dunia • Orang yang nenggo melanggar salah satu kewajiban tersebut di atas. 9 Pembuktian : palilah griyapasiten yang dikeluarkan pengageng parentah keraton Surakarta dengan sepengetahuan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan SISKS. Sampai dengan tahun 2003 di kelurahan Baluwarti terdapat 45 nenggo griyo lihat tabel 6 Tabel 6 Palilah Nenggo Griyo Pasiten Wewengkon Baluwarti NO NAMA KAMPUNG GRIYO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 LANGEN SARI HORDENASAN SURONATAN MANGKUYUDAN SASONO MULYO BROTODENINGRATAN TAMTAMAN SEKULLANGGEN BALAI AGUNG 6 6 5 1 22 2 1 1 1 JUMLAH 45 Sumber : Parentah Keraton Surakarta Tahun 2003. Berdasarkan pendapat Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, tingginya aspirasi kerabat keraton Surakarta atas hak atas tanah Baluwarti disebabkan karena lemahnya peraturan perundang-undangan mengenai bekas tanah swapraja. Berdasarkan ketentuan Diktum Keempat UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA, maka hak keraton Surakarta atas tanah Kasunanan, yang terdiri dari Domein Rijks Surakarta DRS, Domein Keraton Surakarta DKS, dan Sunan Grond SG, menjadi hapus dan beralih kepada Negara Republik Indonesia. Tanah Baluwarti merupakan tanah DKS. Berdasarkan Pasal 4 PP No. 224 tahun 1961 maka tanah-tanah yang sudah beralih kepada negara diberi peruntukan sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak swapraja atas tanah itu, dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat menurut ketentuan landreform yang diatur menurut peraturan pemerintah ini. Yang dimaksud kepentingan pemerintah ialah kepentingan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan mereka yang dirugikan ialah mereka yang pada waktu hak dan wewenang atas tanah dari swapraja dan bekas swapraja itu belum dihapuskan, memperoleh penghasilan berhubung mereka diserahi untuk mengurusnya atau mengusahakannya ataupun karena memegang suatu jabatan. Dalam Pasal 1 Kepres No. 23 Tahun 1988 dinyatakan bahwa tanah dan bangunan keraton kasunanan Surakarta berikut segala kelengkapannya yang terdapat didalamnya termasuk masjid Agung dan alun-alun keraton adalah milik Kasunanan Surakarta yang perlu dilestarikan sebagai peninggalan budaya bangsa. Ada tiga hal yang tidak dijelaskan dalam Keppres ini yaitu luas, letak dan batas tanah; pengertian milik; dan pengertian kasunanan Surakarta. Ketentuan Keppres ini sejalan dengan Pasal 6 UU No. 5 tahun 1992 yang menentukan bangunan keraton Surakarta sebagai benda cagar budaya adalah milik Sri Susuhunan. Mengingat keraton Surakarta merupakan sistem kemasyarakatan feodal yang dipimpin Sinuhun dapat diinterpretasikan sebagai badan keagamaan maka pada satu sisi berdasarkan Pasal 49 UUPA jo PP No. 38 Tahun 1963 jenis hak atas tanah Baluwarti yang dapat diberikan kepada Sinuhun PB XIII selaku pimpinan kerabat keraton Surakarta adalah : Hak milik untuk bangunan dan usaha di bidang keagamaan dan atau Hak pakai untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya. Pada sisi yang lain berdasarkan interpretasi penjelasan umum angka III 1 UUPA jo Pasal 21 ayat 1 UUPA maka keraton Surakarta sebagai sistem kemasyarakatan feodal yang dipimpin Sinuhun tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah, termasuk tanah Baluwarti. Berdasarkan pendapat Lon L. Fuller mengenai delapan prinsip legalitas, 260 tidak jelas dan tidak rincinya UUPA, PP No. 224 Tahun 1961 dan Keppres No. 23 tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas tanah kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi antara UUPA dan PP No. 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan Keppres No. 23 Tahun 1988 di sisi lain dapat menyebabkan kegagalan UUPA untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum tanah. Menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin peraturan perundang- undangan mengenai hak atas tanah Baluwarti lemah telah mendorong kerabat keraton Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak atas tanah Baluwarti, yang tidak cocok dengan cara pandang pemerintah kota Surakarta dan masyarakat Baluwarti. 261

D. Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya

Merupakan Hasil Integrasi Pendapat Pemerintah Kota Surakarta, 260 Lon L. Fuller melihat hukum, sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Ada delapan nilai-nilai delapan prinsip legalitas yang harus diwujudkan oleh hukum. Mengenai delapan prinsip legalitas dapat di baca dalam Satjipto Rahardjo, 2000, op. cit, hal 51-52. 261 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, op. cit, hal 32