Buku Ajar Terbitan Intan Pariwara

3.2 Buku Ajar Terbitan Intan Pariwara

Buku ajar bahasa Indonesia berjudul Pelajaran Bahasa Indo- nesia SD terbitan Intan Pariwara (Klaten) yang dibahas dalam pe- mantauan ini meliputi 6 jilid (3 jilid untuk kelas 5 dan 3 jilid untuk kelas 6); dan masing-masing jilid memuat materi ajar setiap catur wulan (cawu). Buku ajar yang unik ini—disusun berdasarkan kurikulum 1994 tetapi telah diterbitkan tahun 1993—merupakan buku peleng- kap yang banyak digunakan pula di sekolah-sekolah di Yogyakarta. Adapun keberadaan sastra (puisi, prosa, dan drama) dalam buku- buku tersebut sebagai berikut.

3.2.1 Puisi

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan bahan ajar (materi) puisi dalam buku ajar bahasa Indonesia kelas 5 terbitan Intan Pariwara relatif sedikit. Dinyatakan demikian karena selama setahun para siswa hanya disuguhi lima kali pelajaran puisi (cawu 1 tiga kali, cawu 2 satu kali, dan cawu 3 satu kali).

Pada cawu 1, pertama-tama siswa disuguhi puisi modern ber- judul “Jeritan Anak Sampah” (dalam tema: kependudukan, hlm. 28—

29) karya Lo Econk dan Lo Amonk yang dikutip dari majalah Bobo, Nomor 2, Tahun XVII, 1991. Dilihat dari tingkat kesukarannya, puisi tersebut tampaknya sesuai dengan tingkat pengalaman dan daya nalar anak. Di dalamnya ada indikasi untuk mendidik jiwa dan pribadi anak agar peduli dan memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama. Puisi tersebut meng-gambarkan bagaimana susahnya seorang pemu- lung dalam memperjuangkan hidupnya.

Jika dicermati perintah-perintah yang disertakan dalam materi puisi tersebut—siswa diminta untuk membaca, mendeklamasikan, mendiskusikan, memahami isi, dan menyadur puisi ke dalam bentuk prosa—tampak bahwa semua itu telah sesuai dengan kemampuan

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

anak. Jika perintah itu benar-benar dilaksanakan, tentu siswa dapat mengapresiasi puisi dengan baik. Konsekuensinya ialah bahwa guru dan siswa dituntut lebih aktif dan kreatif dalam menggeluti berbagai hal tentang puisi.

Berikutnya, masih dalam cawu 1, siswa disuguhi dua kali pela- jaran puisi, yaitu dalam pelajaran 4 (tema: ekonomi/koperasi, hlm. 69—70) dan pelajaran 5 (tema: kepahlawanan, hlm. 89). Akan tetapi, dalam pelajaran itu siswa hanya disuguhi serentetan gambar. Dari gambar itulah siswa diminta untuk berekspresi membuat puisi. Na- mun, yang menjadi masalah adalah bahwa sebelum diminta untuk me- nulis puisi siswa tidak diperkenalkan terlebih dulu bagaimana cara- cara menyusun puisi berdasarkan gambar. Ada kemungkinan bahwa cara-cara penyusunan puisi berdasarkan gambar itu telah diperkenal- kan terlebih dulu di jenjang sebelumnya (kelas 4, misalnya), tetapi akan lebih baik jika hal itu diperkenalkan lagi agar siswa tidak merasa kesulitan. Apalagi, jika dikaitkan dengan alokasi waktu yang disedia- kan untuk tatap muka—yang tentu sangat terbatas—jelas bahwa pela- jaran puisi semacam itu cenderung gagal; kecuali jika hal itu dilakukan pada waktu lain di luar kelas.

Perlu dikemukakan bahwa pelajaran sastra dengan bahan ajar puisi boleh jadi merupakan pelajaran yang cukup sulit dan mem- bosankan seandainya cara mengajarkannya tidak mampu menarik minat siswa untuk aktif dan dinamis. Namun, persoalan itu agaknya tidak akan terjadi apabila bahan ajar puisi beserta tugas-tugas yang disuguhkan kepada siswa berupa bahan (puisi) seperti yang disajikan dalam cawu 2 (tema: perhubungan, hlm. 57) berikut.

C. Tugas

Tugas Satu Bacalah puisi berikut ini!

Naik Delman

Tik, tak, tik, tak Bunyimu di sepanjang jalan Tik, tak, tik, tak

T IRTO UWONDO S , DKK .

Irama yang enak didengar Kuda ‘kan selalu membawaku Menari seiring jalan berliku

Aku senang bersamamu Aku senang mengendaraimu Jarang kurasakan kebahagiaan ini Duduk santai dalam delman sore hari

Memandang sawah nan luas membentang Menatap gunung yang tinggi menjulang Sungguh senang hatiku selalu Berjalan denganmu nikmati jalan berliku

Puisi berjudul “Naik Delman” (tanpa nama pengarang) di atas agaknya menjadi bahan ajar yang menarik karena cara penyampai- annya kepada siswa disertai dengan sebuah ilustrasi (gambar) yang memikat (delman, penumpang, dan suasana lingkungan yang akrab). Dengan cara seperti itu, siswa dituntun untuk mengembangkan imaji- nasinya dalam membaca teks puisi. Bahasa puisi yang semula sulit untuk dimengerti dapat diatasi dengan mudah karena siswa dibantu

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

oleh adanya media gambar. Mengajarkan puisi memang seyogianya harus secara bertahap agar kepekaan dan kemampuan siswa mema- hami bahasa puisi tidak terasa dipaksakan.

Selanjutnya, dalam cawu 3, siswa kelas 5 tidak lagi disuguhi bahan ajar puisi modern, tetapi puisi tradisional (pantun). Dalam pe- lajaran itu siswa diminta untuk membuat dan mengartikan pantun. Seperti halnya bahan ajar dalam cawu 2, untuk menarik perhatian siswa, bahan ajar tersebut disajikan juga dilengkapi dengan ilustrasi gambar dua orang anak yang tengah mengadakan percakapan me- ngenai ciri-ciri pantun. Cara ini tentu sangat efektif untuk mendorong anak-anak agar mengakrabi pantun, apalagi setelah itu diberikan be- berapa contoh pantun yang disertai dengan penjelasan bagian ma- sing-masing pantun (bagian sampiran dan isi). Teknik penyajian bahan ajar sastra seperti ini tentunya akan membuka peluang bagi siswa untuk benar-benar mengenali bentuk pantun. Kepandaian siswa untuk berpantun dituntun dengan tugas mengisi titik-titik (pada bagian yang dikosongkan) dengan baris-baris pantun yang tersedia pada lajur se- belah kanan seperti berikut.

a. Burung kecil burung ketilang 1) hidup sehat idaman keluarga berayun riang di pohon mangga jangan teman berlaku bimbang 2) burung jalak dalam sangkar

b. Beli rambutan di pasar mangga 3) tuntutlah ilmu sekuat tenaga rambutan dikemas dalam ikatan 4) bermain tali di tanah lapang

Karena itu jagalah kebersihan

c. Burung pipit makan padi 5) membangun negara, nusa, dan bangsa

T IRTO UWONDO S , DKK .

Kalau kamu ingin berprestasi rajin-rajinlah kamu belajar

d. ....

melompat-lompat tiada berhenti janganlah lewatkan waktu yang panjang belajarlah teman tuk hidup nanti

Tugas berikutnya merupakan upaya mengembangkan apresiasi siswa terhadap pantun dengan menugasi siswa memahami isi bebe-

rapa buah pantun. Untuk tidak menimbulkan kebingungan siswa da- lam melaksanakan tugas tersebut sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu tentang bagaimana cara memahami isi pantun.

Hasil pemantauan menunjukkan pula bahwa keberadaan bahan ajar puisi dalam buku ajar kelas 6 masih memiliki kecenderungan yang sama dengan bahan ajar dalam buku ajar kelas 5. Dari 16 tema yang diajarkan di kelas 6 (selama setahun), bahan ajar puisi hanya diberi- kan kepada siswa sebanyak empat kali (cawu 1 dua kali dan cawu

2 dua kali). Dalam empat kali pelajaran puisi tersebut, puisi modern diberikan tiga kali, yaitu dalam pelajaran 2 (cawu 1, tema: komunikasi,

judul “Duta Ilmu” karya Kikin, hlm. 27), pelajaran 2 (cawu 2, tema: kehidupan masyarakat, judul “Bela Sungkawa” karya Kikin, hlm. 24), dan pelajaran 4 (cawu 2, tema: pahlawan, judul “Pahlawan” karya Santi Indrawati, dikutip dari majalah Bobo, Nomor 19, Tahun XVIII, 1990, hlm. 72); sementara itu, puisi tradisional diberikan dalam satu kali, yaitu dalam pelajaran 5 (cawu 1, tema: kerajinan tangan, judul “Awang Sulung Merah Hendak Merantau” yang dikutip dari buku Puisi Lama karya Sutan Takdir Alisjahbana).

Ada hal menarik yang perlu dicatat sehubungan dengan bahan atau materi ajar dalam buku ajar kelas 6. Tidak seperti bahan ajar yang berupa puisi-puisi modern, bahan ajar yang berupa puisi tradi-

sional agaknya terasa sulit bagi siswa. Hal itu disebabkan oleh bahasa

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

puisi lama yang disajikan dalam cawu 1 (pelajaran 5) adalah bahasa khas dari daerah tertentu (Minangkabau) sehingga siswa-siswa di dae- rah selain Minang-kabau tidak akan mampu memahaminya. Kata- kata seperti kandis, landak, guliga, setambun, dan kelat adalah kata-kata yang asing bagi dunia anak. Jika diamati secara pragmatik, puisi lama tersebut mengandung unsur pendidikan. Akan tetapi, objek yang disampaikan di dalamnya tampak kurang dekat dengan dunia anak-anak. Selengkapnya puisi lama karya STA tersebut adalah berikut.

Awang Sulung Merah Hendak Merantau

Awang Sulung Merah Muda: “Ribu-ribu jalan ke kandis, Landak membawa guliganya. Bunda kutinggal jangan menangis Anak membawa akan nasibnya.”

Maka dibalas anak bungsunya: “Air berolak menjala ikan, Encik semau menjala udang. Anakku bertolak bunda pesankan, Jangan lama dirantau orang.”

Maka menyahut Awang Sulung Muda: “Berbuah benda setambun tulang, Boleh dibuat obat membantau. Jikalau untung, anak nin pulang, Jikalau tidak hilang dirantau.

Maka dibalas pula anak bungsunya: “Pisang kelat digonggong elang, Jatuh ke lubuk Indragiri, Jikalau berdagang di rantau orang, Baik-baik membawa diri.”

T IRTO UWONDO S , DKK .

Dalam contoh di atas tampak jelas bahwa banyak kata yang khas yang berasal dari daerah tertentu. Oleh karena itu, agar siswa kelas 6 dapat mengapresiasi puisi tersebut, seharusnya disertakan pula daftar kata-kata sulit dan sekaligus penjelasan maknanya. Barangkali tidak hanya siswa, guru pun akan mengalami kesulitan untuk memberi makna kata-kata itu kecuali di tangannya ada kamus.

Seperti telah dikatakan bahwa bahan ajar puisi dalam buku ajar terbitan Intan Pariwara lebih sedikit dibandingkan dengan bahan ajar prosa (yang dalam buku ajar ini sering hanya disebut bacaan saja). Hal itu terjadi karena puisi sebagai bahan ajar merupakan salah satu jenis sastra yang membutuhkan kecermatan tertentu dibandingkan dengan jenis lainnya, misalnya cerpen atau novel. Kemungkinan lain yang mengakibatkan peminimalan tersebut ialah bahwa di wilayah ter- tentu (yang ingin dijangkau penerbit Intan Pariwara) tingkat pema- kaian bahasa Indonesia belum begitu intens.

Tampak pula bahwa keberadaan bahan ajar puisi dalam buku- buku ajar terbitan Intan Pariwara sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sejarah perpuisian (Indonesia). Akan sangat bijaksana apabila sejak dini, di sekolah dasar, siswa sudah diperkenalkan dengan sastra Indonesia beserta para penyairnya. Di dalam buku pelajaran serupa itu, misalnya, diperkenalkan figur-figur yang menjadi tonggak- tonggak penting dalam sejarah sastra (puisi). Figur-figur tersebut tidak hanya diterangkan namanya, tetapi juga disinggung biodata dan seba- gainya meskipun hanya dalam bentuk sederhana. Melalui cara seperti itu, niscaya anak akan lebih mengenal tokoh-tokoh dalam jagat kesu- sastraan Indonesia sehingga hal itu akan lebih memperkaya wa- wasannya. Melalui metode tersebut, kemungkinan besar siswa akan lebih mudah mengingat dan kelak jika ia telah memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dorongan mentalnya untuk belajar sastra akan lebih mendalam.

3.2.2 Prosa

Hasil pengamatan membuktikan bahwa bahan ajar sastra yang berupa prosa dalam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Intan Pari-

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

wara, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, cukup dominan. Hanya persoalannya, bahan ajar prosa dalam buku itu seringkali tidak dinya- takan secara eksplisit sebagai genre sastra tertentu, tetapi sering ha- nya disebut sebagai bacaan atau wacana. Bahan ajar prosa itu seba- gian besar berupa cerita rakyat atau dongeng; sementara cerpen ha- nya beberapa buah saja.

Setelah diadakan pengamatan terhadap keberadaan prosa da- lam buku-buku tersebut, secara umum, dapat dikatakan bahwa bahan ajar atau materi yang disajikan cukup baik dan sesuai dengan kemam- puan dan tingkat pengalaman anak. Jika dilihat secara umum, materi yang disuguhkan cukup menarik, terutama objek-objek dan cerita- cerita yang disampaikan. Anak-anak akan merasa senang jika disu- guhi cerita-cerita fantasi yang berbau khayal seperti cerita tentang “Karang Bolong” karya Nora Hasyuti (kelas 5, cawu 1, pelajaran 3, tema: keamanan atau keselamatan, hlm. 51—53). Cerita rakyat yang berjudul “Karang Bolong” berhubungan dengan mitos tentang ratu pantai selatan. Karena itulah, dalam cerita itu muncul kepercayaan bahwa pemilik sarang burung walet yang ada di gua pantai selatan adalah Nyi Lara Kidul. Dengan demikian, orang baru boleh mengam- bil sarang burung tersebut jika sudah mendapat izin dari yang me- nguasai pantai selatan.

Selanjutnya, dongeng lucu yang berjudul “Lebih Baik Berkata Jujur” (cawu 1, pelajaran 1, tema: hiburan, hlm. 11—13), yang dikutip dari majalah Tomtom, Nomor 217, Tahun XIV, 1990, mengandung unsur pendidikan (moral) agar anak dibiasakan berkata jujur. Bahan ajar dongeng tersebut agaknya disampaikan dengan cara yang bagus sehingga anak-anak tidak merasa digurui tetapi secara tidak sadar mereka akan berkata jujur.

Jika dihubungkan dengan kurikulum (GBPP kelas 5), cawu 1, bahan ajar sastra yang terdapat dalam buku tersebut dapat dikata- kan cukup memenuhi syarat. Butir GBPP yang berbunyi “menceri- takan kembali sastra lisan atau tertulis cerita rakyat dari daerah sendiri atau daerah lain yang telah dibaca atau didengar, kemudian membi-

T IRTO UWONDO S , DKK .

carakannya”, dapat dipenuhi oleh adanya dua buah cerita rakyat yang berjudul “Lebih Baik berkata Jujur” dan “Karang Bolong”. Sementa- ra itu, butir (GBPP) yang berbunyi “Membaca buku cerita yang se- suai untuk anak, kemudian membicarakan hal-hal yang menarik” dapat dipenuhi oleh sajian cerita “Teuku Umar”.

Berkenaan dengan bahan ajar prosa, dalam kurikulum (GBPP kelas 5) cawu 3, diprogramkan siswa diminta memperbaiki karangan berdasarkan saran teman atau guru, menceritakan kembali isi bacaan, dan menyusun cerita bersama-sama. Materi menyusun cerita/karang- an bersama-sama disajikan dalam kegiatan kelima (pelajaran 1, tema: transportasi, hlm. 14). Tugas yang diberikan telah diperhitungkan de- ngan sungguh-sungguh, hal ini tampak pada pemilihan judul karangan yang diperkirakan mampu ditulis oleh siswa: “Stasiun Kereta Api”, “Pemakai Jalan yang Baik”, “Manfaat Transportasi bagi Kita”, dan “Transportasi di Daerahku”. Imajinasi siswa untuk memilih salah satu judul yang telah ditetapkan itu dibantu dengan menampilkan ilustrasi beberapa gambar alat transportasi tradisonal dan modern, meskipun penampilan ilustrasi itu diprioritaskan untuk pembelajaran materi ba- hasa Indonesia. Materi tersebut di samping dimaksudkan agar siswa terlibat dalam tukar pengalaman penciptaan karangan, juga merupa- kan upaya yang lebih jauh lagi memberikan kesempatan kepada sis- wa untuk mengekspresikan diri dalam kegiatan menulis dan memba- cakan karya tulis.

Pembelajaran memperbaiki karangan dikenakan pada karangan “Cita-Citaku” (pelajaran 3, tema: lapangan kerja, hlm. 46) dan “Pan- tai yang Indah” (pelajaran 4, tema: kehidupan di laut, hlm. 55). Perin- tah perbaikan yang diinstruksikan tidak banyak berkaitan dengan pemahaman terhadap sastra, tetapi lebih demi kepentingan materi pembelajaran bahasa Indonesia. Tugas yang diberikan untuk per- baikan karangan “Cita-Citaku” adalah menuliskan kembali karangan dengan ejaan yang baik dan benar. Jadi tidak ada kemungkinan bagi siswa untuk untuk menambahkan imajinasinya, memasukkan pilihan katanya sendiri ke dalam perbaikan karangan. Hal tersebut berbeda

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

dengan tugas yang diberikan untuk memperbaiki karangan “Pantai yang Indah”; meskipun tetap terkait erat dengan bahasa—memper- hatikan teknik penulisan karangan maupun penggunaan tanda baca— masih ada peluang bagi siswa untuk melatih mengembangkan imaji- nasi dan berekspresi dengan kata-kata pilihannya sendiri; ini dapat dikaitkan dengan tugas kedua: perbaikilah karangan tersebut agar menjadi karangan yang baik!

Hasil pemantauan membuktikan pula bahwa bahan ajar sastra dalam buku ajar itu seringkali diselewengkan. Misalnya, bahan ajar yang terdapat dalam cawu 2 kelas 6 (pelajaran 6, tema: budi pekerti, hlm. 109—111), yakni cerita “Berdirinya Kerajaan Cahlang”, disele- wengkan menjadi bahan ajar untuk pelajaran budi pekerti seperti di bawah ini.

Kegiatan Lima Bacalah cerita tentang budi pekerti berikut ini dengan saksama!

Berdirinya Kerajaan Cahlang

Pada zaman dahulu berdirilah Kerajaan Tampuh di Aceh. Kera- jaan ini dipimpin oleh seorang raja bernama Teuku Marali dan permaisurinya yang bernama Cah Mah. Beliau memerintah Kera- jaan Tampuh dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya makmur sejah- tera. Beliau mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Nini. Kecantikannya sangat terkenal, bahkan di luar wilayah Kerajaan Tampuh.

Pada saat itu hiduplah seorang pangeran yang bernama Cah Saiman. Kerajaannya sangat besar dan kuat. Mendengar berita tentang kecantikan Putri Nini, Cah Saiman ingin meminangnya. Sayang, Putri Nini dan keluarganya tidak menyukai Cah Saiman. Cah Saiman seorang pangeran yang angkuh dan tamak. Dia suka memukuli orang lain. Dia selalu merendahkan derajat orang lain. Selain alasan tersebut, Putri Nini memang telah mempunyai se- orang kekasih. Dia bernama Gama Dewa. Dia berasal dari ka- langan rakyat biasa. Perkenalannya dengan Putri Nini terjadi saat

T IRTO UWONDO S , DKK .

dia menyelamatkan Putri Nini yang terjatuh ke dalam Sumur Muara Tujuh.

Suatu ketika, Gama Dewa akan dipukuli oleh Cah Saiman. Saat itu Gama Dewa menasihati Cah Saiman tentang sifat kikir, tamak, dan angkuh. Mendengar semua ini, Cah Saiman semakin murka. Untung saja tindakannya dapat dicegah oleh salah seorang dayang Putri Nini.

Hubungan Putri Nini dengan Gama dewa diketahui oleh Cah Saiman. Dia begitu murka. Dia memutuskan akan menggempur Kerajaan Tampuh. Hati Teuku Marali menjadi risau dan gundah karena rencana itu. Teuku Marali kemudian mengutus Tuanku Gampong, salah seorang penasehat beliau, untuk membujuk niat Cah Saiman itu. Seorang dayang Putri Nini pun berusaha membu- juk Cah Saiman agar tidak menuruti nafsu jahatnya. Sebagai aki- batnya, dayang Putri Nini dipenjara oleh Cah saiman. Dia tahu bahwa ucapan dayang itu seperti ucapan Gama Dewa.

Bersamaan dengan itu, Teuku Marali memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap Gama Dewa. Beliau mengang- gap Gama Dewalah penyebab keadaan gawat tersebut.

Akan tetapi Gama Dewa tidak dapat ditemukan. Bahkan di Sumur Muara Tujuh, para pengawal justru berjumpa dengan utusan dari Kerajaan Dewa. Utusan itu ingin berjumpa dengan Teuku Marali. Teuku Marali diminta datang ke tempatnya. Dengan dite- mani oleh permaisuri, Putri Nini, penasihat, pengawalnya, Cah Saiman, Tuku Marali datang ke Sumur Muara Tujuh. Mereka segera membicarakan masalah yang dihadapi Kerajaan Tampuh itu.

Ketika mereka sedang asyik membicarakan masalah tersebut, tiba-tiba muncullah seorang pemuda tampan berjubah putih. Ia datang dari semak-semak tempat persembunyiannya. Dia adalah Gama Dewa. Dia telah berganti rupa setelah mencuci mukanya dengan air suci.

Utusan tersebut, yang bernama Tuanku Patih, segera menasi- hati tentang ajaran-ajaran agama kepada mereka. Cah Saiman juga dinasihati untuk menghentikan tindakan jahatnya. Cah Saiman menjadi marah. Dia berusaha membunuh Tuanku Patih dengan

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

rencongnya. Untunglah hal itu dapat digagalkan Tuanku Patih. Beliau menjadikan tubuh Cah Saiman kaku, tidak dapat bergerak.

Melihat keadaan Cah Saiman, Tuanku Patih segera menyem- buhkannya. Beliau sadar bahwa perangai Cah Saiman masih dapat diperbaiki. Justru sebaliknya. Cah Saiman malah mengamuk dan berhasil membunuh Teuku Marali dan permaisurinya. Selang be- berapa saat Cah Saiman berhasil ditangkap. Sayang, saat dibawa ke kerajaan untuk diadili, Cah Saiman bunuh diri.

Akhirnya, Putri Nini menikah dengan Gama Dewa. Gama De- walah yang kemudian memerintah Kerajaan Tampuh. Pusat kera- jaan itu kemudian dipindahkan ke tempat Teuku Marali dan per- maisurinya gugur. Kerajaan itu bernama Cahlang, dari kata cecah alang, yang berarti memotong lalang.

Sumber: James Danandjaja, Cerita Rakyat dari Sumatra, Grasindo, 1992

1. Ceritakan ciri-ciri, sifat-sifat, atau kebiasaan-kebiasaan para pelaku cerita tersebut! 2. Diskusikan tema dan pesan yang terkandung dalam cerita tersebut! Laporkan hasilnya kepada gurumu! 3. Simpulkan isi cerita tersebut 4. Ceritakan kembali cerita tersebut dan bacalah di depan kelas!

Contoh di atas menunjukkan bahwa penyiapan materi pelajaran sastra memang dapat mendatangkan berbagai segi. Di satu sisi siswa ingin diperkenalkan dengan cerita rakyat, tetapi di sisi lain siswa di- ajak untuk memasuki pelajaran budi pekerti. Harus diakui bahwa sastra memang dapat menjadi bahan pelajaran budi pekerti, tetapi apakah sudah pada tempatnya kalau pelajaran budi pekerti dicampur dengan bidang studi lain. Dengan kata lain, pencampuran seperti itu sebaiknya dapat ditiadakan dalam studi sastra. Pernyataan ini dida- sarkan oleh suatu penilaian bahwa studi sastra akan menjadi lebih apresiatif seandainya lebih dikhususkan untuk mempelajari sastra daripada hanya sebagai pelengkap bidang-bidang studi lain.

Salah satu tuntutan kurikulum (GBPP kelas 6) cawu 3 adalah pembelajaran membaca cerita dan mencatat hal-hal yang penting.

T IRTO UWONDO S , DKK .

Buku ajar ini mengabstraksikan tuntutan itu melalui bacaan “Perpus- takaan Sekolah” (pelajaran 1, tema: pendidikan, hlm. 2—4) dan “Pepaya” (pelajaran 4, tema: pertanian, hlm. 28—30). Tugas yang diberikan lebih berkaitan dengan pemahaman anak terhadap per- pustakaan dan bagaimana mengembangbiakkan tanaman pepaya, tidak dalam rangka meningkatkan apresiasi anak terhadap bacaan naratif (karya sastra). Wacana “Pepaya” bersifat teknis, berisi “pe- tunjuk” (yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar) bagaimana me- ngembangbiakkan tanaman pepaya dengan baik—wacana tersebut diambil dari majalah Trubus (majalah untuk petani/pengusaha per- taniaan). Meskipun demikian, masih ada peluang bagi siswa untuk mengembangkan imajinasi dalam menulis cerita lewat tugas menyusun kembali kedua cerita tersebut dan membacakannya di depan kelas.

Pada bagian yang lain, siswa diberi tugas mencari buku cerita anak-anak di perpustakaan kemudian membacakannya di depan kelas serta mengemukakan hal-hal yang menarik dari cerita yang dibaca- kan. Tugas tersebut setidaknya mampu membuka cakrawala apresia- tif anak-anak terhadap buku cerita, setidaknya merupakan upaya un- tuk mendekatkan atau memperkenalkan karya sastra kepada anak- anak. Demikian selintas tentang keberadaan bahan ajar prosa dalam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Intan Pariwara.

3.2.3 Drama

Hasil pemantauan menunjukkan bahwa keberadaan bahan ajar drama dalam buku ajar terbitan Intan Pariwara, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, tidak mendapatkan tempat semestinya. Dalam seba- gian tema pembelajaran memang terdapat perintah agar siswa mem- baca, memahami, atau mendramatisasikan drama. Namun, drama yang dimaksudkan itu bukan drama dalam arti sesungguhnya yang berasal dari naskah, melainkan hanya sebuah percakapan atau dialog yang dalam buku itu disebut sebagai wacana.

Sebagai contoh, dalam pelajaran 2 cawu 3 (kelas 5) terdapat wacana berjudul “Oleh-Oleh dari Jawa Timur” (hlm. 21—23) karya Indah (1996). Wacana yang disajikan itu bukan naskah drama, me- lainkan hanya sebuah percakapan. Itulah sebabnya, manakala terda-

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

pat perintah atau tugas “bacalah kembali wacana drama di muka”, apresiasi siswa terhadap struktur drama bukan merupakan tuntutan dalam tugas yang diberikan karena siswa hanya diminta mengenali materi atau persoalan yang diungkapkan lewat percakapan tersebut.

Dengan cara seperti di atas, di satu sisi memang pengembangan imajinasi siswa dapat diberdayakan lewat tugas menceritakan kem- bali percakapan tersebut dengan kalimat sendiri—sehingga ada upa- ya untuk benar-benar memperkenalkan bentuk drama kepada sis- wa—dan kemudian mengubahnya ke dalam bentuk prosa. Namun, di sisi lain pengubahan tersebut tentu merupakan tantangan yang tidak ringan bagi siswa, terlebih karena sejak semula siswa tidak di- beri rambu-rambu bagaimana teori (cara atau teknik) mengubah bentuk dialog (drama) ke bentuk naratif-deskriptif (prosa).

Kenyataan menunjukkan pula bahwa wacana yang diperguna- kan sebagai media pengajaran drama dalam buku-buku ajar tersebut sering-kali tidak mengacu pada pelajaran sastra. Perhatikan contoh wacana yang diberikan di kelas 6 cawu 2 (pelajaran 4, tema: pahla- wan, hlm. 63—66) berikut ini.

A. Wacana: Pahlawan Wanita

Bacalah wacana berikut ini dengan seksama!

Cut Nyak Dien Srikandi dari Aceh

Ketika liburan caturwulan pertama, Hasan dan Rini mengha- biskan waktu liburan mereka di Yogyakarta. Mereka berlibur di rumah Paman Hadi. Di Yogyakarta mereka banyak mengunjungi tempat-tempat bersejarah, misalnya Benteng Vredeberg. Mereka mengamati diorama-diorama yang ada dalam benteng dengan penuh perhatian.

Hasan : “Paman, diorama ini mengisahkan perang apa?” Paman Hadi: “Diorama ini mengisahkan perjuangan rakyat Aceh

mengusir Belanda dari Bumi Aceh, San.”

T IRTO UWONDO S , DKK .

Rina : “Paman, dalam diorama tersebut terlihat seorang wanita memimpin perang. Siapa beliau?” Paman Hadi: “Beliau adalah Cut Nyak dien. Paman akan bercerita tentang sejarah perjuangan Cut Nyak Dienmemimpin rakyat Aceh melawan Belanda. Begini ceritanya ....”

Paman Hadi mulai menceritakan kisah perjuangan Cut Nyak Dien dalam melawan Belanda.

“Tidak ada catatan yang pasti tentang tahun kela- hiran Cut Nyak Dien. Akan tetapi, berdasarkan catatan yang ada, beliau dilahirkan di Lampadang, Aceh Besar, pada tahun 1850. Ayahnya bernama Nanta Setia, seorang Ulebalang di VI Mukim. Cut Nyak Dien di- nikahkan dengan Ibrahim Lamnga.

Pada waktu itu peperangan antara rakyat Aceh dengan Belanda berkecamuk di mana-mana. Ketika daerah VI Mukim dikuasai Belanda, Cut Nyak Dien ingin membantu suaminya dan ayahnya berjuang.

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S ASAR D

Karena harus merawat anaknya, beliau terpaksa ber- juang di garis belakang. Beliau banyak mengajar para wanita untuk mendidik anak-anaknya agar mencintai negerinya. Hendaknya para wanita juga ikut serta membela tanah air.

Pada bulan Juni 1878 Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran. Ketika mendengar kabar kematian suami-nya tersebut bertambah dendam dan bencilah Cut Nyak Dien kepada Belanda. Beliau akhirnya turun ke medan perang. Cut Nyak Dien dan para pengikut- nya meng-adakan perlawanan secara bergerilya.

Pada tahun 1880 Cut Nyak dien menikah dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. dengan semangat membara dan perjuangan yang gigih, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar akhirnya dapat menguasai kembali daerah VI Mukim. Empat tahun kemudian, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Ulebalang VI Mukim meng- gantikan ayahnya. Beliau memegang tampuk pemerin- tahan dengan bijaksana dan berwibawa. Selain itu, Cut Nyak Dien menyusun dan merencanakan perla- wanan terhadap Belanda. Beliau juga giat mengumpul- kan perbekalan dan senjata untuk pejuang Aceh.

Tahun 1899 Teuku Umar gugur dalam pertempur- an. Rakyat Aceh kembali kehilangan pemimpin. Cuk Nyak dien segera menggantikan kedudukan Teuku Umar memimpin rakyat Aceh melawan Belanda. Beliau ber-gerilya dengan menghadang patroli-patroli Belanda.

Enam tahun lamanya Cut Nyak Dien bergerilya. Bahan makanan semakin sulit didapat. Makin lama kekuatan pasukannya makin menipis. Kedudukan pasukannya semakin terdesak. Bersamaan dengan me- ningkatnya usia, kesehatan Cut Nyak Dien pun sema- kin menurun. Matanya menjadi rabun dan tubuhnya semakin lemah. Akan tetapi, semangat Cut Nyak Dien

T IRTO UWONDO S , DKK .

tidak mau menyerah meskipun banyak ulebalang dan pemuka-pemuka Aceh menyerah kepada Belanda.

Pang Laot seorang panglima dan kepercayaan Cut Nyak Dien, kagum akan tekad beliau. Akan tetapi, dia tidak dapat membiarkan Cut Nyak dien meninggal perlahan-lahan dalam keadaan menyedihkan. Dengan diam-diam Pang Laot memberi tahu Belanda markas Cut Nyak Dien. Bulan November 1905 Belanda me- nyerbu markas Cut Nyak Dien.

Ketika melihat markasnya diserbu Belanda, de- ngan sisa tenaganya Cut Nyak Dien mencoba melawan Belanda. Beliau dibantu oleh para pengikutnya. Karena kekuatannya sudah menurun, akhirnya beliau tertang- kap. Kemudian, beliau dibawa ke Banda Aceh. Akhir- nya, beliau diasingkan ke Sumedang. Pada tanggal 6 November 1908 Cut Nyak Dien meninggal dunia dalam pengasingannya.”

“Begitulah, riwayat Cut Nyak Dien. Beliau selalu berjuang dengan semangat tinggi meskipun fisiknya sudah rapuh.”

Hasan : “Sangat besar jasa dan pengorbanan Cut Nyak Dien.” Paman Hadi: “Benar, Hasan! Berkat jasa dan perjuangan itu, Cut

Nyak Dien dianugerahi gelar pahlawan pejuang ke- merdekaan. Sekarang Indonesia telah merdeka. Kalian sebagai generasi muda hendaknya meneruskan per- juangan pahlawan kita!”

Rina : Bagaimana caranya, Paman Paman hadi: “Salah satunya dengan belajar rajin dan berusaha

meneladani sikap dan tindakan para pahlawan itu.”

Kutipan di atas dengan jelas menunjukkan topik tentang wacana pahlawan wanita Cut Nyak Dien, Srikandi dari Aceh. Satu-satunya perintah di dalam topik tersebut hanyalah “Bacalah wacana berikut ini dengan seksama!” dan tidak ditemukan perintah lain yang mengacu

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

pada pelajaran sastra (drama). Akan sangat bijaksana apabila pela- jaran (topik) serupa itu tidak dimasukkan ke dalam mata ajar sastra karena topik serupa itu (tanpa perintah yang mengacu pada sastra drama) jelas merupakan sesuatu yang tidak mendukung pelajaran sastra. Dialog-dialog yang ada terlalu panjang dan lebih mengarah pada tujuan untuk menjelaskan tentang keberadaan Cut Nyak Dien daripada dialog drama yang selaras dengan tingkat pemahaman sis- wa.

Perlu dikemukakan di sini bahwa sebagai bagian penting dari sejarah kesusastraan Indonesia, dalam kapasitas tertentu drama hen- daknya tetap ditempatkan sebagai bagian pengajaran sastra secara komprehensif di sekolah. Oleh karena itu, kiranya hal tersebut perlu diperhatikan—tidak hanya oleh penerbit Intan Pariwara, tetapi juga penerbit lain—agar bahan ajar sastra jenis drama tidak ditempatkan sebagai pelengkap atau hanya disisipkan pada topik lain yang kurang relevan dengan mata ajar sastra.

Di samping hal tersebut, sudah waktunya pula siswa diberi bekal pemahaman tentang pengarang-pengarang drama yang pernah ada dan menjadi tonggak dalam sastra Indonesia seperti Usmar Ismail, Sanusi Pane, B. Soelarto, dan sebagainya. Melalui metode yang se- derhana dan sesuai dengan tingkat penalaran siswa sekolah dasar, sudah sepantasnya jika kesinambungan sastra drama dalam mata ajar di sekolah dasar terus diperhatikan. Tentu kita tidak mengharap- kan siswa buta terhadap perkembangan sejarah kebudayaannya (sastra drama) yang pada akhirnya mengakibatkan siswa terasing dengan sejarah leluhurnya.