KEBERADAAN SASTRA DLM BUKU AJAR BAHASA I

Elmatera Publishing

Jalan Waru 73 B, Sambilegi Baru, Maguwoharjo, Yogyakarta Telepon (0274) 4332287, (0274) 486466 Email: [email protected]

Anggota IKAPI

Katalog dalam Terbitan (KDT)

KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR/Tirto Suwondo, Dhanu Priyo Prabowo, Sri Haryatmo, Herry Mardianto—Cet. 1 –Yogyakarta: Elmatera Publishing vii + 128 hlm; 14,5 x 21 cm, 2010

ISBN (13) 978-979-185-245-6 1. Literatur

I. Judul

II. Dhanu Priyo Prabowo

iii

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memper- banyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500. 000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iv

PENGANTAR PENERBIT

Salah satu masalah yang sudah lama disoroti oleh masya- rakat adalah persoalan pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, Penerbit Elmatera memberanikan diri untuk menerbitkan buku berjudul Keberadaan Sastra dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia Sekolah Dasar. Buku ini bertujuan ingin mengetahui sejauh mana sastra telah diberdayakan dalam pengajaran sastra di sekolah dasar terhadap buku-buku ajar Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar yang digunakan di Kotamadia Yogyakarta. Dengan mempertimbang-kan tingkat kemampuan apresiasi siswa, buku- buku ajar Bahasa Indonesia yang diteliti pun lebih dibatasi lagi, yaitu buku ajar untuk kelas 5 dan kelas 6.

Dengan diterbitkannya buku ini, kami berharap dapat memberikan kontribusi terhadap khususnya kemajuan dunia pendidikan/pengajaran sastra Indonesia di sekolah dasar dan penelitian terhadap masalah kesastraan Indonesia pada umumnya. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca. Terima kasih.

Penerbit

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim bahwa akhirnya selesai pulalah tugas “pe-

mantauan keberadaan sastra dalam buku-buku ajar bahasa Indonesia sekolah dasar” yang diamanatkan kepada kami. Kami sadar sepenuhnya bahwa tanpa ada tangan sakti dari-Nya, sangat- lah mokal jika risalah seperti yang pembaca hadapi ini dapat kami wujudkan. Karena itu, terhadap ini semua, kami menyerah-pasrah kepada kebesaran Tuhan.

Kami menyadari pula, jika tanpa ada bantuan dari berba- gai pihak, apa pun bentuknya, berapa pun jumlahnya, rasanya ter- lalu sulit bagi kami untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas ini. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada (1) Kepala Kanwil Depdikbud Propinsi DIY, (2) Kepala Balai Penelitian Bahasa, (3) Koordinator Subbidang Sastra, (4) Koordinator Sub- bidang Pembinaan, (5) Para Guru SD di wilayah provinsi DIY, (6) Rekan-rekan sejawat dan staf, dan (7) siapa saja, yang lang- sung atau tidak, telah memberikan bantuan kepada kami. Mudah- mudahan jasa dan budi baik mereka memperoleh balasan yang lebih.

Kami menyadari --lagi-lagi menyadari-- bahwa hasil pe- mantauan yang kami wujudkan dalam buku ini baru sampai pada tahap “menyentuh sebagian”, yang tentu masih jauh dari harapan. Karena itu, dengan ketenangan hati, dengan kejernihan pikiran, dan dengan tangan terbuka kami menanti kritik dan saran dari Anda (pembaca). Semoga hasil jerih payah sederhana ini ada manfaatnya. Amin.

Koordinator,

Tirto Suwondo

vi

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT iii UCAPAN TERIMA KASIH

v DAFTAR ISI

vii BAB I

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1 1.2 Masalah

3 1.3 Tujuan dan Ruang Lingkup

4 1.4 Metode Pemantauan

4 1.5 Data dan Bahan

5 1.6 Ejaan

BAB II KEBERADAAN SASTRA DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR 1994

2.1 Pengertian, Fungsi, Tujuan, Ruang Lingkup, dan Rambu-Rambu

7 2.2 Program Pengajaran Sastra

BAB III KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR

3.1 Buku Ajar Terbitan Balai Pustaka 20 3.1.1 Puisi

20 3.1.2 Prosa

31 3.1.3 Drama

42 3.2 Buku Ajar Terbitan Intan Pariwara

47 3.2.1 Puisi

47 3.2.2 Prosa

53 3.2.3 Drama

vii

3.3 Buku Ajar Terbitan Tiga Serangkai 64 3.3.1 Puisi

65 3.3.2 Prosa

75 3.3.3 Drama

85 3.4 Buku Ajar Terbitan Yudhistira

102 3.5 Buku Ajar Terbitan Erlangga

BAB IV PENUTUP

4.1 Simpulan 119 4.2 Saran/Usulan

DAFTAR PUSTAKA 123 BIODATA

viii

T IRTO UWONDO S , DKK .

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apabila dibandingkan dengan kondisi pengajaran sastra di ne- gara-negara Eropa, Amerika, dan Asia lainnya, tampak nyata bahwa pengajaran sastra di Indonesia sangat jauh tertinggal. Kenyataan itu telah dibuktikan oleh Taufiq Ismail melalui survei tentang pengajaran sastra dan mengarang yang dilakukan di 13 negara (baca Republika,

24 Oktober—8 November 1997). Hasil survei tersebut antara lain menunjukkan bahwa di Jerman, selama mengikuti pendidikan di SMU, para siswa sekurang-kurangnya telah membaca buku sastra 15 judul, di New York 32 judul, di Rusia 12 judul, di Singapura dan Malaysia masing-masing 6 judul; sementara di Indonesia 0 judul. Angka 0 (nol) menunjukkan dengan jelas bahwa pengajaran sastra di Indonesia be- nar-benar terpuruk.

Jika diamati pada masa-masa sebelumnya, sesungguhnya per- nyataan dan simpulan Taufiq Ismail di atas bukanlah hal baru karena keluhan tentang keterpurukan pengajaran sastra di sekolah-sekolah di Indonesia sudah terdengar sejak dua dasawarsa yang lalu. Berbagai keluhan yang diduga menjadi penyebab keterpurukan pengajaran sastra itu pun dari waktu ke waktu tetap sama, yaitu (1) kurikulum yang sering berubah-ubah dan penyusun kurikulum itu sendiri agak- nya kurang paham tentang hakikat sastra dan pengajaran sastra; (2) bahan ajar yang tidak menunjang, terutama karena ketidaktersediaan bacaan sastra di sekolah; sementara perpustakaan umum juga tidak menyediakan bacaan sastra yang memadai; (3) tujuan pengajaran,

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

yaitu membina apresiasi sastra, walaupun mungkin diketahui, tetapi kurang disadari dalam pelaksanaannya sehingga pengajaran sastra tidak terarah kepada ranah sikap, tetapi melenceng ke ranah penge- tahuan; (4) strategi pengajaran yang digunakan para guru cenderung tidak variatif, monoton, dan tidak memancing motivasi sehingga siswa kurang bergairah untuk menggeluti sastra; (5) banyak sekali guru, sadar atau tidak, memperlihatkan sikap: rasanya belum mengajar bila para siswa belum merasa kedodoran mengerjakan berbagai tugas; makin “aneh” tugas yang diberikan akan semakin bergengsi, sehingga sastra di hadapan siswa menjadi “makhluk” yang mengerikan, bukan men- jadi sesuatu yang indah; (6) terbatasnya jumlah jam pelajaran; (7) kekurangmampuan guru mengajarkan sastra; (8) ketidakjelasan pen- dekatan dan metode yang digunakan; (9) minat baca siswa yang sangat payah; dan sebagainya (lihat juga Semi, 1991:2—3).

Untuk mengantisipasi keterpurukan pengajaran sastra di seko- lah-sekolah di Indonesia, sebenarnya upaya perbaikan terhadap ber- bagai keluhan di atas juga telah dilakukan sejak lama. Melalui berba- gai pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya, kongres, workshop, dan sebagainya, baik yang dilakukan oleh organisasi profesi seperti HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia), HPBI (Himpunan Pembina Bahasa Indonesia), PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia), dan sebagainya maupun oleh organisasi guru se- perti MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) atau organisasi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, berbagai usaha penyempur- naan terhadap kurikulum (1968, 1975, 1984, dan 1994), buku ajar, sistem pendidikan, metode pengajaran (misalnya CBSA), dan seba- gainya telah pula dilakukan; bahkan majalah dan buletin juga telah bayak diterbitkan. Akan tetapi, hingga kini upaya-upaya itu belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Hal itu terbukti—dengan merujuk hasil survei Taufiq Ismail—ternyata hingga sekarang para siswa SMU di Indonesia belum menunjukkan minat yang tinggi dan serius untuk membaca dan mengapresiasi karya sastra.

Diduga ada beberapa hal yang menjadi penyebab mengapa sam- pai sekarang para siswa SMU di Indonesia tidak atau belum menun-

T IRTO UWONDO S , DKK .

jukkan minat yang besar untuk membaca dan mengapresiasi karya sastra. Salah satu di antaranya adalah barangkali ketika masih duduk di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP), para siswa tidak ter- biasa atau tidak dibiasakan membaca karya sastra. Diduga demi- kian karena pada hakikatnya terbentuknya minat baca seseorang salah satunya ditentukan oleh faktor kebiasaan membaca sejak dini. Apa- bila sejak SD dan SLTP para siswa telah terbiasa atau telah di- biasakan membaca karya sastra, kemungkinan besar ketika di SMU minat baca dan apresiasi sastra mereka masih tetap ada, atau mungkin justru lebih berkembang. Di satu sisi, memang sulit dihindari bahwa sejumlah kendala seperti yang telah diuraikan di atas akan selalu da- tang menghadang—hal ini mungkin terjadi juga pada bidang-bidang lain pada umumnya—tetapi di sisi lain, bagaimanapun faktor ke- biasaan membaca sejak dini tetap merupakan suatu tindakan yang diyakini mampu menumbuhkan minat baca dan apresiasi sastra pada masa-masa selanjutnya.

Anggapan dan keyakinan di atas pada gilirannya mengindikasi- kan bahwa saat ini perlu dilakukan serangkaian penelitian, penga- matan, atau pemantauan ulang yang serius terhadap pengajaran sastra di sekolah-sekolah, tidak hanya di tingkat pendidikan menengah (SMU), tetapi juga di tingkat pendidikan dasar (SD dan SLTP). Ber- tolak dari keyakinan itulah, kami, tim pemantau sastra Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta, pada kesempatan ini mencoba melakukan pemantauan terhadap peng-ajaran sastra di tingkat pendidikan dasar (khususnya SD) di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.2 Masalah

Ada beberapa komponen yang dapat dipantau sehubungan de- ngan upaya melihat tingkat keberhasilan pengajaran sastra di sekolah dasar (SD). Beberapa di antara komponen itu adalah kurikulum (GBPP), buku ajar (buku paket), bahan ajar (materi sastra), dan me- tode pembelajaran.

Oleh karena beberapa komponen di atas pada prinsipnya sulit dipisah-pisahkan secara tegas, dalam pembahasan masalah pokok

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

mengenai “keberadaan (materi) sastra dalam buku ajar bahasa Indo- nesia SD” itu pun komponen-komponen tersebut tidak akan dipisah- pisahkan secara tegas. Atau dengan kata lain, kendati fokus utama pembahasan tertuju pada materi atau bahan ajar sastra pada buku ajar bahasa Indonesia, program-program pengajaran sebagaimana digariskan dalam kurikulum pun tetap diperhatikan karena program- program itulah yang menjadi landasan penyusunan buku ajar.

1.3 Tujuan dan Ruang Lingkup

Secara umum pemantauan ini bertujuan ingin mengetahui sejauh mana keberhasilan pengajaran sastra di sekolah dasar (SD); dan se- cara khusus pemantauan ini bertujuan ingin mengetahui keberadaan materi atau bahan ajar sastra dalam buku ajar Bahasa Indonesia yang digunakan di sekolah dasar. Apabila tujuan tersebut telah dicapai, terutama tujuan khususnya, diharapkan hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan bagi upaya perbaikan pengajaran sastra di sekolah dasar pada umumnya dan upaya perbaikan buku-buku ajar Bahasa (dan Sastra) Indonesia untuk sekolah dasar pada khusus- nya.

Perlu diketahui bahwa pemantauan ini dilakukan dalam waktu yang amat terbatas (kurang dari 4 bulan), tenaga dan kemampuan yang juga sangat terbatas, dan biaya yang terlalu sedikit. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, pemantauan ini hanya dilakukan terha- dap buku-buku ajar Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar kelas 5 dan 6 yang digunakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan dipi- lihnya buku ajar kelas 5 dan 6 ialah karena sesuai dengan tingkat perkembangan sosiologis dan psikologisnya, para siswa kelas 5 dan 6 diduga telah memiliki pengalaman dan kemampuan yang cukup untuk menalar dan meng-apresiasi sastra.

1.4 Metode Pemantauan

Pemantauan ini dilakukan dengan metode pengamatan dan wa- wancara. Pengamatan dilakukan dengan cara mengamati materi sas-

T IRTO UWONDO S , DKK .

tra yang ada dalam buku-buku ajar Bahasa Indonesia yang dijadikan pegangan untuk kelas 5 dan 6 dengan berpedoman pada program- program pengajaran yang tercantum dalam Kurikulum Pendidikan Dasar (GBPP 1994). Data-data hasil pengamatan dikumpulkan dengan teknik simak dan catat, kemudian diklasifikasikan dan disajikan dengan teknik deskriptif.

Sementara itu, wawancara dilakukan terhadap guru-guru kelas dalam upaya mengetahui apakah pengajaran sastra di sekolah (ma- sing-masing) telah terkondisi dengan baik: keberadaan buku, kondisi dan intensi guru, kecenderungan siswa, teknik yang digunakan dalam pembelajaran, bagaimana sastra diberdayakan, dan sebagainya. Un- tuk menjaring itu semua, wawancara dilakukan secara tertulis, yaitu dengan teknik angket. Dalam wawancara guru diminta mengisi (me- milih jawaban dan menjawab) sejumlah pertanyaan yang telah dise- diakan.

1.5 Data dan Bahan

Data yang dipantau adalah materi atau bahan ajar sastra (puisi, prosa, drama) yang ada dalam buku-buku ajar Bahasa Indonesia yang dijadikan pegangan untuk kelas 5 dan 6. Sementara itu, bahan yang dipantau adalah buku-buku ajar bahasa Indonesia dengan rinci- an sebagai berikut (nama pengarang, tahun terbit, judul buku, nama kota: penerbit).

1. a. Alim, Djeniah. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 3: un- tuk Sekolah Dasar Kelas 5. Jakarta: Departemen Pen- didikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka.

b. Sugono, Dendy. 1996. Lancar Berbahasa Indonesia 4: untuk Sekolah Dasar Kelas 6. Jakarta: Departemen Pen- didikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka.

2. a. Tim Penyusun Pelajaran Bahasa Indonesia SD. 1993. Pe- lajaran Bahasa Indonesia SD (5a, 5b, 6a, 6b). Klaten: Intan Pariwara.

b. Endah, Is. 1993. Pelajaran Bahasa Indonesia SD (5c, 6c). Klaten: Intan Pariwara.

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

3. a. Surana. 1995 (cetakan ke-2). Aku Cinta Bahasa Indone- sia: Pelajaran Bahasa Indonesia (5a, 5b). Sala: Tiga Serangkai.

b. Surana. 1995 (cetakan ke-2). Aku Cinta Bahasa Indone- sia: Pelajaran Bahasa Indonesia (6a, 6b). Sala: Tiga Serangkai.

4. a. Lukman, D. dan Trihasmoro, L. 1994. Pelajaran Bahasa Indonesia (5a, 5b, 5c). Jakarta: Yudhistira.

b. Lukman, D. dan Trihasmoro, L. 1994. Pelajaran Bahasa Indonesia (6a, 6b, 6c). Jakarta: Yudhistira.

5. a. Tim Bina Karya Guru. 1996. Pandai Berbahasa Indonesia (5A, 5B). Jakarta: Erlangga.

b. Tim Bina Karya Guru. 1996. Pandai Berbahasa Indonesia (6A, 6B). Jakarta: Erlangga.

1.6 Ejaan

Hasil pemantauan ini disajikan dan ditulis dengan berpedoman pada Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dan Pe- doman Pembentukan Istilah yang dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebuda- yaan, Republik Indonesia.

T IRTO UWONDO S , DKK .

BAB II KEBERADAAN SASTRA DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR 1994

Berdasarkan pengamatan dan penelitian terhadap keberadaan sastra dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 (Landasan Program dan Pengembangan dan GBPP Bahasa Indonesia untuk kelas 5 dan 6), hasil yang diperoleh antara lain tampak dalam uraian di ba- wah. Akan tetapi, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa uraian tentang pengertian, fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan rambu-rambu dalam kurikulum (GBPP) tersebut (bab I)—baik dalam GBPP untuk kelas 5 maupun dalam GBPP untuk kelas 6—adalah sama, sedang- kan perbedaan hanya tampak pada program pengajarannya (bab II). Oleh karena itu, agar tidak terjadi pengulangan yang sia-sia, penger- tian, fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan rambu-rambu dalam kedua GBPP itu dikupas dalam satu pembahasan (lihat 2.1), sedangkan pem- bahasan tentang program pengajaran disajikan secara terpisah (lihat 2.2). Pembahasan selengkapnya adalah berikut.

2.1 Pengertian, Fungsi, Tujuan, Ruang Lingkup, dan Rambu- Rambu

Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar 1994, khususnya dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Kelas 5 dan 6 Se- kolah Dasar, bidang ilmu kemanusiaan yang disebut sastra (Indone- sia) tidak disajikan secara terpisah menjadi mata pelajaran tersendiri seperti halnya Matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewargane- garaan), atau Kerajinan Tangan dan Kesenian, tetapi digabungkan

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

menjadi satu dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kenyataan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa sampai saat ini di bidang pendidikan di Indonesia sastra Indonesia masih dianggap—oleh pe- merintah (penyusun kurikulum ini)—sebagai bidang ilmu yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari ilmu lain, yaitu ilmu bahasa Indonesia. Sesuai dengan kedudukannya sebagai suatu bagi- an, jelas bahwa keberadaan sastra Indonesia seolah-olah hanya ber- gantung pada atau berada di bawah “kekuasaan” bahasa Indonesia.

Adanya indikasi atau anggapan bahwa keberadaan sastra Indo- nesia berada di bawah “kekuasaan” bahasa Indonesia agaknya diper- kuat oleh uraian yang dituangkan dalam GBPP subbab “pengertian” (1994a:15; 1994b:10). Dalam subbab itu diuraikan bahwa mata pe- lajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah program untuk me- ngembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Dilihat dari segi nama mata pela- jarannya, yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia, sebenarnya—dan seha- rusnya—sastra memiliki kedudukan yang sama dan seimbang de- ngan bahasa, tetapi jika dilihat dari segi maksudnya, sastra menjadi tersisihkan. Dikatakan demikian karena dalam uraian tersebut sastra tidak diprogramkan untuk mengembangkan minat, pengetahuan, kete- rampilan apresiasi, dan sikap positif terhadap sastra, tetapi semata- mata hanyalah untuk bahasa. Dengan demikian, sastra hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa.

Kecenderungan tersisihnya sastra Indonesia dari lingkup peng- ajaran bahasa dan sastra Indonesia seperti yang diungkapkan di atas agaknya semakin nyata apabila dikaitkan dengan apa yang diuraikan dalam GBPP subbab “fungsi” (1994a:15; 1994b:10). Kenyataan itu dapat dibuktikan, misalnya, di antara 5 butir fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang diuraikan dalam GBPP, tidak ada

1 butir pun yang koheren dengan sastra. Yang lebih mengherankan lagi ialah bahwa penjabaran fungsi-fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia itu hanya disesuaikan dengan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bukan disesuaikan pula dengan, misalnya, kedudukan Sastra Indonesia se-

T IRTO UWONDO S , DKK .

bagai pembina mental spiritual manusia atau bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sastra Indonesia seakan-akan dianggap—lagi-lagi oleh pemerintah dan khususnya para penyusun kurikulum—tidak memiliki fungsi apa pun dalam kehidupan manusia Indonesia.

Untuk lebih jelasnya, berikut inilah lima butir fungsi mata pelajar- an Bahasa dan Sastra Indonesia yang tercantum dalam GBPP. (1) Sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa. (2) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa

Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya. (3) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

(4) Sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik

untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah. (5) Sarana pengembangan penalaran.

Dalam kelima butir fungsi di atas tampak bahwa pernyataan yang berkaitan dengan sastra sama sekali tidak diungkapkan secara jelas dan transparan. Sesungguhnya, apabila kita, terutama para penyusun GBPP (kurikulum), bersedia meluangkan waktunya untuk menelusuri secara lebih mendalam tentang hakikat sastra, sastra pada dasarnya mampu pula mengemban fungsi-fungsi seperti yang diungkapkan di atas. Akan tetapi, karena fungsi yang khusus berkenaan dengan (pela- jaran) sastra tidak diungkapkan secara tegas dan eksplisit sebagai- mana fungsi (pelajaran) bahasa, akibatnya sastra menjadi terabaikan.

Karena sastra dalam kerangka “fungsi” telah terabaikan, tujuan yang diancangkan untuk dicapai oleh pengajaran sastra (periksa GBPP subbab “tujuan pengajaran” [1994a:15—19; 1994b:10—14]) mela- lui mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pun akhirnya juga menjadi terabaikan. Dinyatakan demikian karena di antara 5 butir tujuan yang dijabarkan dalam “tujuan umum”, hanya ada 1 butir yang bersangkut-paut dengan sastra, yaitu butir ke-5. Kendati demikian, tujuan yang tercantum dalam butir ke-5 itu pun masih cenderung mem- perlihatkan adanya “dominasi kekuasaan bahasa”, karena selain diha- rapkan dapat mengembangkan kepribadian dan memperluas wa-

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

wasan kehidupan, dalam jabaran tujuan itu sastra masih diharap- kan pula dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan ber- bahasa. Dengan demikian, sesuai dengan program-program yang telah digariskan, seakan sastra Indonesia layak menjadi “nomor sekian” dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Hal senada terjadi juga dalam uraian tujuan khusus. Dalam tujuan khusus yang dibagi menjadi tiga komponen, yaitu kebahasaan (15 butir), pemahaman (8 butir), dan penggunaan (7 butir), sastra ha- nyalah memperoleh porsi yang sangat sedikit. Di antara 15 butir yang dikelompokkan dalam komponen kebahasaan, tujuan yang berke- naan dengan sastra hanya dituangkan dalam 2 butir, yaitu butir ke-

14 (siswa mengenal dan mampu membedakan bentuk-bentuk puisi, prosa, dan drama) dan butir ke-15 (siswa mampu membe- dakan ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa lainnya). Se- mentara itu, di antara 8 butir yang dikelompokkan dalam komponen pemahaman, sastra hanya tercantum dalam 1 butir, yaitu butir ke-8 (siswa memiliki kegemaran membaca/menikmati karya sastra untuk meningkatkan kepribadian, mempertajam kepekaan pe- rasaan, dan memperluas wawasan kehidupannya). Terakhir, di antara 7 butir tujuan yang dikelompokkan dalam komponen penggu- naan, tujuan yang bergayut dengan sastra hanya diungkapkan dalam

1 butir, yaitu butir ke-7 (siswa mampu memanfaatkan unsur-unsur kebahasaan karya sastra dalam berbicara dan menulis). Berdasarkan pengamatan seksama dapat dikatakan bahwa di dalam tujuan yang dijabarkan dalam 30 butir tujuan khusus itu terda- pat suatu ketidakadilan yang sangat mencolok. Berbagai hal yang ber- gayutan dengan masalah kebahasaan yang dituangkan dalam 26 butir tujuan itu dijabarkan dengan sangat rinci, yaitu mulai dari aspek lafal, ejaan, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, wacana, sampai dengan aspek konteks, pesan, dan makna-maknanya. Akan tetapi, tidak de- mikian dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kesas- traan. Masalah kesastraan yang hanya dituangkan dalam 4 butir tuju- an itu hanya dijabarkan secara singkat dan padat, bahkan tidak di- singgung sama sekali aspek atau unsur-unsurnya.

T IRTO UWONDO S , DKK .

Kenyataan di atas lebih memprihatinkan lagi apabila masalah kesastraan yang hanya dituangkan dalam 4 butir tujuan itu diamati secara lebih merenik. Hal itu dapat dilihat, misalnya, di antara 4 butir tujuan yang dirancangkan untuk dicapai oleh pengajaran sastra melalui mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, ternyata hanya ada 1 butir yang benar-benar mengarah ke ranah afektif, sikap, atau bersifat apresiatif, yaitu butir ke-8 dalam komponen pemahaman (siswa me- miliki kegemaran membaca/menikmati karya sastra untuk me- ningkatkan kepribadian, mempertajam kepekaan perasaan, dan memperluas wawasan kehidupannya). Sementara itu, yang 3 butir lainnya, yaitu butir ke-14 dan ke-15 dalam komponen kebahasaan dan butir ke-7 dalam komponen penggunaan, lebih mengarah ke ra- nah kognitif atau pengetahuan. Melalui butir ke-14 siswa hanya diarah- kan untuk memperoleh pengetahuan tentang genre (jenis) sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama; sedangkan melalui butir ke-15 dan ke-7 siswa disarankan mempelajari karya sastra hanya untuk menambah penge- tahuan bahasa.

Kenyataan di atas mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa meskipun selama Orde Baru kurikulum sudah diperbaiki berulang- ulang, sastra Indonesia yang telah memiliki sejarah cukup panjang itu belum disadari oleh para penyusun kurikulum sebagai “sesuatu” yang penting. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa me- mang para penyusun kurikulum selama ini tidak paham tentang hakikat sastra dan pengajaran sastra sebagaimana telah disebutkan di bagian pendahuluan (latar belakang). Akibatnya, tujuan pengajaran sastra sebagaimana dirumuskan pula dalam GBPP subbab “ruang lingkup” (1994a:19; 1994b:14), yaitu membina apresiasi sastra, yang hendak dicapai melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, cenderung menyesatkan guru sehingga pengajaran sastra terperangkap ke ranah pengetahuan, bukan mengarah ke ranah sikap (mental).

Sebagaimana diketahui bahwa memang di antara 26 butir tujuan khusus yang berkenaan dengan masalah kebahasaan itu secara tidak langsung ada yang berhubungan dengan masalah kesastraan. Hal itu tampak, misalnya, dalam ungkapan seperti “siswa mampu memahami

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

isi bacaan”, “siswa memiliki kegemaran membaca”, atau “siswa memi- liki kegemaran menulis”. Akan tetapi, ungkapan “membaca” dan “me- nulis” dalam konteks itu cenderung dimaksudkan sebagai “membaca dan menulis tulisan non-sastra”, bukan “membaca” dalam arti “menik- mati” dan “menulis” dalam arti “mengarang” sastra. Beberapa contoh sederhana semacam itulah yang berperan pula dalam mengesam- pingkan sastra dalam pengajaran bahasa dan sastra di tingkat pendi- dikan dasar.

Kendati masih dalam porsi yang tidak seimbang, di dalam GBPP subbab “rambu-rambu” (1994a:20—26; 1994b:15—21) terdapat beberapa pernyataan yang agaknya cukup menggembirakan bagi peningkatan dan keberhasilan pengajaran sastra. Pernyataan-pernya- taan itu terlihat pada butir ke-9 (Pembelajaran sastra dimaksud- kan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi sas- tra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan erat dengan latih- an mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya dan lingkungan hidup); butir ke-10 (Perbandingan bobot pembejaran bahasa dan sastra sebaiknya seimbang dan dapat disajikan terpadu; misalnya wa- cana sastra dapat sekaligus dipakai sebagai pembelajaran ba- hasa); butir ke-12 (Pemilihan bahan sastra dapat dikaitkan de- ngan tema [disiplin, ekonomi/koperasi, energi, hankamnas, hiburan, IPTEK, kedirgantaraan, kelautan, kepahlawanan, kesehatan, ling- kungan hidup, ketenagakerjaan, transportasi, kesadaran hukum, per- tanian, pariwisata, dll.]); dan butir ke-16 (... Bahan pelajaran pe- mahaman mencakup pula karya sastra Indonesia asli maupun terjemahan). Akan tetapi, rambu-rambu semacam itu cenderung me- nyulitkan guru karena, sebagai guru kelas, bukan guru mata pela- jaran, guru di sekolah dasar harus ber-hadapan dengan rambu-rambu lain (yang seluruhnya berjumlah 26 butir) yang cukup renik dan rumit.

Sebagaimana tercermin dalam rambu-rambu butir ke-22, 23,

24, dan 25 bahwa guru memang memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk menambah, mengurangi, atau mengembangkan butir-butir pem- belajaran yang ada dalam GBPP: mengatur waktu, memilih metode

T IRTO UWONDO S , DKK .

yang paling tepat, dan menentukan sumber-sumber bahan ajar (buku, majalah, dan sebagainya). Namun, justru karena kebebasannya itu- lah, berdasarkan pemantauan dan wawancara yang telah dilakukan, guru tampaknya mengalami kebingungan. Beberapa di antara penye- babnya ialah bahwa selama ini belum tersedia buku-buku atau ma- jalah yang khusus untuk menunjang proses pembelajaran sastra. Bah- kan, masih terlalu banyak sekolah yang tidak memiliki perpustakaan; dan jika ada, perpustakaan itu sering kosong karena ketiadaan ba- caan dan pembaca.

2.2 Program Pengajaran Sastra

Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar, khususnya dalam buku Lan- dasan Program dan Pengembangan (1993:31—33), dinyatakan bah- wa program pengajaran di tingkat pendidikan dasar dibagi menjadi dua, yaitu program kurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler. Program kurikuler terdiri atas 10 mata pelajaran, yaitu PPKn, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris, dan Muatan Lokal; sedangkan kegiatan ekstrakurikuler terdiri atas kepramukaan, UKS, olah raga, palang merah, dan kesenian. Semen- tara itu, dijelaskan pula bahwa pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indone- sia, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, memperoleh jatah waktu 8 jam per minggu (per jam 40 menit).

Ditinjau dari segi alokasi waktu, sesungguhnya mata pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia cukup leluasa dibandingkan dengan mata pelajaran lain, kecuali mata pelajaran Matematika yang mem- peroleh porsi yang sama dengan mata pelajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia. Akan tetapi, apabila disesuaikan dengan butir-butir tujuan program pengajaran yang tercantum dalam GBPP (1994a:27; 1994b:22), pelajaran sastra hanya memperoleh porsi yang sangat se- dikit, karena di antara 6 butir tujuan itu hanya ada 1 butir yang koheren dengan sastra (butir ke-5 GBPP kelas 5: siswa mampu menyerap isi cerita, puisi, dan drama serta dapat memberikan tanggapan; butir ke-4 GBPP kelas 6: siswa mampu memahami cerita, puisi,

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

drama, dan dapat menceritakan kembali, memberikan kesan, dan tanggapan). Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa bagaima- napun juga pengajaran sastra tetap tersisihkan. Apalagi, di dalam buku Landasan Program dan Pengembangan (1993:34), kesusastraan juga tidak diprogramkan sebagai salah satu mata kegiatan ekstrakurikuler yang harus dilakukan.

Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang program pengajaran sastra dalam GBPP SD 1994 kelas 5 dan 6, berikut di- sajikan butir-butir tujuan dan pembelajaran yang berkaitan dengan sastra. Seperti diketahui bahwa selama satu tahun, program pembela- jaran secara keseluruhan dibagi menjadi tiga cawu (catur wulan); dan setiap cawu memuat pula pembelajaran sastra. Secara lengkap butir-butir tujuan dan pembelajaran sastra di kelas 5 dan 6 adalah berikut.

a. Kelas 5

Tujuan: Siswa mampu menyerap isi cerita, puisi, dan drama serta dapat memberikan tanggapan (butir 5).

Pembelajaran: Cawu 1: (1) Membaca puisi dan menafsirkan isinya. (2) Membaca buku cerita yang sesuai untuk anak, kemudian mem-

bicarakan hal-hal yang menarik. (3) Mengurutkan gambar seri yang diacak dan membuat ceritanya. (4) Menceritakan peristiwa yang dilihat dan dialami. (5) Menceritakan kembali secara lisan atau tertulis cerita rakyat dari

daerah sendiri atau daerah lain yang telah dibaca atau didengar, kemudian membicarakannya.

Cawu 2: (1) Membaca cerita dan menyampaikan kesan tentang cerita itu. (2) Menuliskan pengalaman dalam bentuk puisi, kemudian mem-

bacakannya. (3) Membaca novel anak-anak dan membicarakan isinya.

T IRTO UWONDO S , DKK .

(4) Membaca cerita rakyat dan menyampaikan kesan. (5) Membaca cerita pendek yang sesuai untuk anak dan membica-

rakan isi cerita. (6) Menulis cerita.

Cawu 3: (1) Membuat pantun dengan isi yang menyangkut kehidupan anak. (2) Memerankan drama pendek atau bagian drama yang sesuai

untuk anak. (3) Meringkas cerita yang didengar atau dibaca. (4) Memerankan pelaku yang ada dalam cerita. (5) Menyusun cerita bersama-sama.

b. Kelas 6

Tujuan: Siswa mampu memahami cerita, puisi, drama, dan dapat mence- ritakan kembali, memberikan kesan, dan tanggapan (butir 4).

Pembelajaran: Cawu 1: (1) Membahas teks bacaan. (2) Bermain peran berdasarkan peristiwa nyata atau bacaan. (3) Melengkapi bagian awal, tengah, atau akhir cerita. (4) Membaca beberapa puisi lama dan menceritakan isinya. (5) Mendengarkan cerita rakyat dan menceritakan kembali secara

tertulis. Cawu 2:

(1) Mendengarkan pembacaan puisi dan membicarakan hal-hal yang menarik. (2) Menceritakan peristiwa yang pernah dialami atau suasana alam yang pernah dilihat atau dibaca. (3) Membicarakan hal-hal yang mengesankan dari cerita yang di- baca, didengar, atau ditonton. (4) Membaca cerita, kemudian menceritakan ciri-ciri, sifat-sifat, atau kebiasaan-kebiasaan pelaku dalam cerita tersebut.

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

(5) Membaca buku cerita yang disukai dan melaporkannya di de- pan kelas.

Cawu 3: (1) Menceritakan kembali drama yang didengar atau dilihat. (2) Membaca cerita, mencatat hal-hal yang penting/menarik, kemu-

dian menyusun pertanyaan. (3) Mementaskan naskah drama.

Dilihat dari sisi tertentu, dalam butir-butir di atas tampak bahwa hubungan antara tujuan yang diprogramkan dan kegiatan pembela- jaran yang harus dilakukan, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, telah mencerminkan adanya keseimbangan. Selain itu, tercermin pula bah- wa orientasi kegiatan pembelajaran juga telah diarahkan kepada ke- giatan siswa (student-oriented), bukan lagi kepada kegiatan guru (teacher-oriented), karena pendekatan yang diutamakan dalam du- nia pendidikan dewasa ini bukan lagi material-oriented, melainkan objective-oriented. Akan tetapi, dilihat dari sisi lain, dalam proses pembelajaran sastra itu guru dituntut harus menjadi seorang fasilitator yang kreatif karena sebagaimana terlihat dalam butir-butir di atas, materi sastra tidak dijelaskan secara rinci sesuai dengan aspek-aspek yang ada, tetapi hanya disajikan secara lebih umum (puisi, prosa, drama).

Kenyataan di atas mengindikasikan bahwa pengajaran sastra hanya akan berhasil apabila—di antaranya—tersedia buku ajar yang memadai. Artinya, buku yang memadai itu tidak hanya berisi materi sebatas yang dianjurkan dan diprogramkan dalam kurikulum, tetapi juga berisi sajian beragam genre dan aspek kesastraan (intra dan ekstra estetik) yang mendukung pengajaran yang apresiatif yang me- ngarah ke ranah sikap (afektif). Di samping perlu pula ada sajian beragam aspek kesejarahan (dan ilmu sastra) yang mengarah ke ra- nah pengetahuan (kognitif) sastra, dalam buku itu juga perlu dija- barkan bagaimana metode pembalajaran yang paling tepat yang mu- dah dipahami baik oleh siswa maupun guru. Akan tetapi, yang menja- di permasalahan mendasar sekarang ini ialah bahwa sudahkah buku-

T IRTO UWONDO S , DKK .

buku ajar yang digunakan di sekolah selama ini telah memenuhi kri- teria tersebut? Pertanyaan ini agaknya baru dapat dijawab setelah dilakukan pemantauan terhadap keberadaan sastra dalam buku-buku ajar bahasa Indonesia sebagaimana diuraikan dalam bab 3.

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S ASAR D

T IRTO UWONDO S , DKK .

BAB III KEBERADAAN SASTRA DALAM BUKU AJAR BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR

Seperti telah disebutkan di bagian pendahuluan bahwa buku- buku ajar bahasa Indonesia yang dijadikan bahan pemantauan adalah buku ajar untuk kelas 5 dan 6 sekolah dasar yang diterbitkan oleh lima penerbit di Indonesia. Buku-buku yang dimaksudkan itu ialah buku terbitan (1) Balai Pustaka, terdiri atas 2 jilid, (2) Intan Pari- wara, terdiri atas 6 jilid, (3) Tiga Serangkai, terdiri atas 4 jilid, (4) Yudhistira, terdiri atas 6 jilid, dan (5) Erlangga, terdiri atas 4 jilid.

Berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor 010a/U/ 1998, tanggal 21 Januari 1998, tentang penggunaan buku pelajaran di sekolah, buku ajar terbitan Balai Pustaka merupakan buku pela- jaran pokok—karena disediakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI—sehingga buku itu menjadi buku wajib yang harus digunakan di sekolah di seluruh Indonesia. Sementara itu, buku-buku lainnya—yang semuanya terbitan swasta—hanya menjadi buku pe- lengkap pelajaran pokok. Oleh karena itu, upaya untuk mengetahui keberadaan sastra dalam buku ajar bahasa Indonesia sekolah dasar sesungguhnya dapat dilakukan hanya dengan memantau buku ajar terbitan Balai Pustaka karena buku-buku terbitan swasta tidak wajib digunakan di sekolah. Namun, karena hasil wawancara membuktikan bahwa buku-buku terbitan swasta juga di-gunakan di sekolah-seko- lah, keberadaan sastra dalam buku-buku itu akhirnya ditetapkan pula untuk dibahas di sini.

Agar keberadaan sastra dalam buku ajar bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh masing-masing penerbit dapat diketahui dengan mu-

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

dah, pembahasan materi (bahan ajar) sastra berikut—yang dikelom- pokkan menjadi tiga bagian, yaitu puisi (tradisional dan modern), prosa (cerpen, novel, cerita rakyat), dan drama (sandiwara)—akan difokuskan pada tiap-tiap buku yang diterbitkan oleh masing-masing penerbit. Hal itu dilakukan dengan asumsi bahwa setiap penerbit me- miliki cara, landasan, dan kebijakan sendiri-sendiri dalam memilih, menentukan, dan menerbitkan buku ajar meskipun semuanya berda- sarkan satu acuan, yaitu Kurikulum 1994. Pembahasan selengkapnya adalah berikut.

3.1 Buku Ajar Terbitan Balai Pustaka

Buku ajar berjudul Lancar Berbahasa Indonesia 3 (Balai Pus- taka, 1996, cetakan kedua) untuk kelas 5 karya Djeniah Alim dan Lancar Berbahasa Indonesia 4 (Balai Pustaka, 1996) untuk kelas

6 karya Dendy Sugono merupakan buku teks wajib yang disusun berdasarkan Kurikulum 1994. Buku setebal 205 dan 143 halaman milik pemerintah—dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebu- dayaan—tersebut terdiri atas 17 dan 16 bab dan masing-masing bab mengemukakan tema tertentu. Adapun keberadaan sastra (puisi, pro- sa, dan drama) dalam kedua buku tersebut adalah berikut.

3.1.1 Puisi

Dalam buku Lancar Berbahasa Indonesia 3 (untuk kelas 5), bahan ajar atau materi puisi menduduki peringkat terbanyak apabila dibandingkan dengan materi prosa dan drama. Di antara 17 bab (te- ma) yang diajarkan di kelas 5, hanya ada 2 bab yang di dalamnya tidak terdapat materi puisi, yaitu bab 5 dan 8. 1 Di antara puisi-puisi tersebut, yang dominan ialah puisi modern (puisi bebas) (terdapat dalam bab 1, 2, 4, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17), sedangkan puisi tradisional (pantun) hanya sedikit (terdapat dalam bab 1, 3, 10, dan 16).

1 Dalam kasus ini, syair lagu dianggap sebagai puisi karena—sesuai dengan perintah yang diberikan—syair tersebut tidak hanya dinyanyikan, tetapi

juga dideklamasikan seperti halnya puisi.

T IRTO UWONDO S , DKK .

Sebagian besar puisi modern yang ditampilkan dalam buku ajar tersebut disajikan secara lengkap, dalam arti disertai dengan nama penyair dan sumber kepustakaannya; sedangkan sajian puisi tradi- sional tidak disertai dengan data-data sumbernya. Beberapa karya dan penyair terkenal yang ditampilkan dalam buku pelajaran kelas

5 antara lain ialah “Menyesal” karya Ali Hasjmi (Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, H.B. Jassin [ed.], Gunung Agung, 1963), “Karangan Bunga” karya Taufiq Ismail (Tirani, Birpen Kami Pusat, 1966), “Tidur Nak” karya Armijn Pane (Gamelan Jiwa, Bagian Bahasa dan Kebu- dayaan, Departemen P & K Jakarta, 1960), “Bekerja” karya Moza- za (Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, H.B. Jassin [ed.], Gunung Agung, 1963), “Nelayan” karya Hamka (Pujangga Baru I/7 Januari 1939), dan “Kapal Udara” karya Maria Amin (Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, H.B. Jassin [ed.], Balai Pustaka, 1948).

Dilihat dari makna muatannya, puisi-puisi yang disajikan dalam buku ajar itu secara umum memiliki bobot yang sesuai dengan tingkat pengalaman dan perkembangan jiwa siswa SD kelas 5. Meskipun tidak ditulis oleh anak-anak, tetapi oleh orang dewasa, puisi-puisi itu bagi mereka tetap dapat (mudah) dipahami. Indikasinya ialah bahwa di samping kata-kata yang digunakan untuk membangun puisi itu tidak sarat dengan simbol atau lambang yang gelap, puisi itu juga telah di- sesuaikan dengan tema-tema yang diajarkan. Sebagai contoh, keti- ka diajarkan tema “Pekerja Sosial Muda” (bab/pelajaran 12), puisi yang disajikan ialah puisi yang berbicara tentang duka cita anak- anak kepada kaum muda seperti karya Taufiq Ismail berikut.

Karangan Bunga

Tiga anak kecil dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba sore itu

Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati siang tadi

(Karya Taufiq Ismail, Tirani, Birpen Kami Pusat, 1966)

Atau ketika diajarkan tema “kelautan” (bab/pelajaran 16), puisi yang disajikan juga puisi yang berbicara tentang kehidupan di laut seperti karya Hamka berikut.

Nelayan

Matahari sirip sebelah barat Perahu kolek di tepi tebat Nelayan jaka tegak tertegun Memandang riak jala diayun

Menunggu masa saat pilihan Melayang timah membuat pinggan Berdesir-desir darah di dada Rasakan tidak rasakan ada ...

Kecewa timbul jaring tersangkut Lemah lunglai tangan memaut Sangka kan tunggul selam pun sampai Kiranya akar batang teratai

(Karya Hamka, Pujangga Baru I/7, Januari 1939)

T IRTO UWONDO S , DKK .

Dalam puisi karya Hamka di atas memang terdapat kata-kata yang berasal dari daerah tertentu (Minangkabau) sehingga tidak semua siswa kelas 5 SD di seluruh Indonesia dapat memahaminya. Akan tetapi, untuk mengatasi hal tersebut, dalam buku itu disajikan pula daftar makna kata-kata dalam puisi itu sehingga kesulitan pemaham- an dapat diatasi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa materi puisi yang ada di dalam buku ajar tersebut telah memenuhi syarat sebagai materi yang mendukung tujuan pengajaran sastra sebagaimana diprogram- kan dalam kurikulum. Dinyatakan demikian karena sesuai dengan pe- rintah dan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, materi tersebut disajikan tidak hanya untuk dipahami (diapresiasi) maknanya, tetapi juga digunakan sebagai bahan dasar bagi pengembangan ekspresi. Hal itu tampak misalnya dengan adanya perintah untuk mendeklama- sikan, mengubah puisi dengan kata-kata sendiri, mengubah puisi men- jadi prosa (cerita), atau membacakan hasilnya di depan kelas. Berikut ini adalah contoh (bab/pelajaran 14, hlm. 163—164) materi puisi dan beberapa perintah yang mampu mendukung pengembangan apresiasi dan ekspresi sastra siswa.

1. Bacalah dan hapal puisi berikut dengan penuh perasaan! Deklamasikan!

Tidur Nak

Tidur Nak, tidurlah sayang Tidur Nak, ini zaman perang Lekas besar Nak, anakku sayang Tidurlah Nak, lekas bantu perang

Tidur Nak, tidurlah sayang Tidur Nak, hidup penuh cita Lekas besar Nak, anakku sayang Tidurlah Nak, lekas turut bakti

(Karya Armijn Pane, Gamelan Jiwa, Bagian Bahasa dan Kebudayaan, Departemen PP&K Jakarta, 1960)

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

2. Apa yang kita rasakan saat membaca puisi tersebut? (1) Puisi di atas digunakan oleh orang tua untuk .... (2) Zaman saat itu adalah zaman .... (3) Kita berperang saat itu dengan .... (4) Orang tua mengharap agar anaknya ....

3. Cobalah kamu ubah kata-kata dalam puisi Armijn Pane tersebut. Sesuaikan dengan keadaan negara kita saat ini! ....

4. Bacalah puisi atau sajak di majalah atau koran. Pilih puisi ataupun sajak yang berkaitan dengan lingkungan hidup atau keindahan alam. Setelah kamu membaca contoh puisi atau sajak, cobalah kamu membuat puisi sendiri, yang berhubungan dengan keadaan alam!

5. Bacakan puisimu di depan kelas! Lengkapi kekurangan puisimu sesuai saran guru. Yang terbaik pajangkan di majalah dinding.

Hal yang sama tampak juga pada materi pantun seperti contoh (bab/pelajaran 10, hlm. 115—116) berikut.

1. Bacalah pantun berikut ini dengan jelas dan benar. Pohon bambu pohon selasih

Dikerat di atas batu bata Kukirim surat pelipur lara Hilangkan duka dan rasa sedih Dikerat di atas batu bata Dua-dua diikat menjadi satu Kukirim surat pelipur lara Semoga ibu sehat, gembira selalu

2. Jawablah pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas! (1) Dari siapakah pantun itu? (2) Kepada siapa pantun ini ditujukan? (3) Mengapa dia membuat surat? (4) Siapa yang diharapkannya selalu sehat dan gembira? (5) Apa isi pantun pada bait pertama?

T IRTO UWONDO S , DKK .

3. Buatlah pantun sederhana yang menyatakan rasa rindumu kepada adikmu. Bacakan di depan kelas. Jika ada kekurangan, lengkapi sesuai dengan saran gurumu!

4. Bacalah pantun di bawah ini! Apa isi utamanya?

Pandan berbunga dalam rimba Angin berdera dari Tika Badanlah lama tak bersua Kinilah kita baru bertemu

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan puisi dalam buku ajar berjudul Lancar Berbahasa Indonesia 4 (untuk kelas 6) masih memiliki kecenderungan yang sama dengan keberadaan puisi dalam buku ajar kelas 5 sebagaimana diuraikan di atas. Artinya, se- cara kuantitatif materi puisi dalam buku ajar tersebut juga menempati peringkat tertinggi apabila dibandingkan materi prosa dan drama. Akan tetapi, secara keseluruhan materi sastra dalam buku ajar kelas

6 lebih sedikit dibandingkan dengan materi sastra dalam buku ajar kelas 5. Disimpulkan demikian karena di antara 16 tema (bab) yang disajikan di kelas 6 selama setahun, materi puisi modern hanya disa- jikan 6 kali (dalam bab/pelajaran 2, 6, 8, 10, 13, dan 15), sedang- kan materi puisi tradisional hanya disajikan 1 kali (dalam bab/pela- jaran 5); sementara 9 kali pelajaran (bab/pelajaran 1, 3, 4, 7, 9, 11,

12, 14, dan 16) sama sekali tidak menyajikan materi puisi. Ada beberapa hal yang perlu dicatat sehubungan dengan ke- beradaan materi puisi dalam buku ajar kelas 6. Meskipun jumlahnya relatif sedikit, puisi-puisi yang disajikan dalam buku ajar itu tidak lagi puisi karya para penyair terkenal seperti yang ada dalam buku ajar kelas 5, tetapi puisi-puisi itu benar-benar puisi anak-anak, ditulis oleh anak-anak, dan sebagian telah dimuat dalam majalah anak-anak yang memang banyak beredar di Indonesia. Di antara puisi-puisi itu ialah (1) “Pak Pos” karya Kartika Nayadie, siswa kelas 6 SDN Suryadi- ningrat I, Yogyakarta; (2) “Sepiring Nasi Jagung” karya Mega Nusan- tara dalam kumpulan Nyanyian Sepiring Jalan (t.t.); (3) “Doa Se-

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

orang Abang Becak” karya Anita, dimuat dalam majalah Jakarta, Jakarta (1985); (4) “Pak Guru” karya Ashadi, siswa kelas 6 SD Muhammadiyah Pepe, Bantul, Yogyakarta, dimuat dalam majalah Ga- totkaca, 20 November 1981; (5) “Kopi untuk Ayah” karya Andrian Adi (Jambi), dimuat dalam majalah Bobo, 10 Februari 1994; dan (6) “Sajak Petani” karya Lisa Cahyapratiwi (Tanjungkarang, Lampung).

Secara umum dapat dikatakan bahwa dilihat dari bobotnya puisi- puisi yang dipergunakan sebagai bahan ajar bagi siswa SD kelas 6 telah sesuai pula dengan tingkat pengalaman dan perkembangan jiwa anak seusia kelas 6. Oleh karena buku ajar tersebut merupakan buku wajib bagi siswa SD di seluruh Indonesia, tema-tema puisi yang di- sajikannya pun disesuaikan dengan kondisi lingkungan keseharian sebagian besar anak Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa makna yang terkandung di dalam puisi-puisi tersebut dengan mudah dapat dipahami mereka (siswa). Apalagi, dengan maksud un- tuk membantu memperlancar pemahaman (apresiasi) dan pengem- bangan imajinasi mereka (siswa), puisi-puisi itu juga disertai dengan gambar. Misalnya, di samping puisi berjudul “Pak Pos” terdapat gam- bar mengenai Pak Pos sedang mengendarai sepeda yang di bagian belakang sepedanya terdapat tas bertuliskan “pos giro” (hlm. 14); atau di bawah puisi berjudul “Doa Seorang Abang Becak” terdapat gambar Abang Becak beserta becaknya (hlm. 62); atau di bawah puisi berjudul “Sajak Petani” terdapat gambar seorang petani dengan cangkul di pundaknya sedang berjalan di pematang (hendak pulang) (hlm. 125).

Seperti halnya materi dalam buku ajar kelas 5, materi puisi da- lam buku ajar kelas 6 juga telah memenuhi kriteria sebagai materi yang mampu mendukung tujuan pengajaran sastra sebagaimana di- programkan dalam kurikulum. Dikatakan demikian karena—dilihat dari perintah dan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa—materi yang disajikan dalam buku itu tidak hanya sekedar sebagai bahan untuk kepentingan apresiasi sastra (intra dan ekstra estetik), tetapi juga disajikan sebagai bahan bagi pengembangan ekspresi, yang pa-

da tahap selanjutnya mereka diharapkan dapat secara kreatif dan

T IRTO UWONDO S , DKK .

inovatif membaca dan atau mencipta puisi sendiri. Berikut contoh ma- teri puisi (bab/pelajaran 13, hlm. 111—114) yang disertai dengan pertanyaan dan tugas-tugas yang cukup apresiatif.

C. Belajar dari Puisi

1. Bacalah

Kopi untuk Ayah

Kutahu engkau sangat lelah Setelah membanting tulang Demi kami sekeluarga

Siang malam Engkau bekerja Dengan sedikit istirahat Kerja lagi dan kerja lagi

Kini Engkau duduk di kursi Tunggulah Ayah Kankubuat secangkir kopi

Terimalah Ayah Kopi manis pelepas dahaga Walau hanya secangkir Cukup untukmu seorang

Andrian Adi, Jambi, Bobo, 10 Februari 1994. 2. Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut.

(1) Keluarga yang diceritakan puisi ini kaya, sedang, atau miskin?

Tulis kalimat mana yang menjelaskan pendapatmu! (2) Apakah ibu si Adi bekerja? Kalimat mana yang menjelaskan pendapatmu? (3) Sifat-sifat baik apa yang dapat dicontoh dari Adi? (4) Pada bait kedua, tertulis kalimat / Siang malam / Engkau

bekerja /. Menurut pendapatmu, apa kerja ayah Adi? (5) Apa arti ungkapan “membanting tulang?”

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

3. Bagaimana membaca puisi? Bacaan puisi yang baik akan enak didengar. Bacaan yang baik akan terdengar jelas dan merdu. Bacaan yang jelas dan merdu itu antara lain ditentukan oleh dua hal. Pertama, tinggi rendahnya suara atau nada. Kedua, cepat lambatnya suara atau tempo.