Buku Ajar Terbitan Balai Pustaka
3.1.2 Prosa
Materi prosa dalam buku ajar kelas 5 seluruhnya berupa karya prosa tradisional (cerita rakyat, dongeng, fabel, dan mite atau cerita asal-usul). Oleh karena itu, selama satu tahun siswa kelas 5 tidak diperkenalkan dengan prosa-prosa modern seperti cerpen atau no- vel. Dari 17 bab (tema) yang disajikan dalam buku itu, hanya ada 6 bab yang di dalamnya terdapat materi prosa. Bahkan, karya prosa
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
(dalam 6 bab) yang ditetapkan sebagai bahan ajar itu pun tidak seluruhnya disajikan secara lengkap.
Karya yang disajikan lengkap hanya ada 4 buah (dalam bab 6,
8, 12, dan 15), yaitu (1) “Burung Balam dan Semut Merah” karya Andy Wasis, dimuat dalam buku Angsa Putih dan Ikan Mas, tanpa nama penerbit, (2) dongeng dari Timor “Dayang Ipu dan Sang Putri”, tanpa nama pengarang, dikutip dari majalah Asyik, Nomor 4, tahun 1993, (3) “Pesan Sang Putra Raja”, tanpa nama pengarang, dikutip dari majalah Bintang Kecil Seri SD Nomor 6, hlm. 18 dan (4) “Asal- Usul Pelangi” karya Siti Ajar Megawati, siswa kelas 5 SDN 1 Aimkel, Lombok (NTB), dimuat dalam majalah Asyik, Nomor 6, hlm. 20. Sementara itu, karya prosa yang berupa cuplikan cerita ada 1 buah (dalam bab 13), yaitu “Kebaikan Akan Selalu Menang” yang diambil dari cerita rakyat Jawa Ajisaka; sedangkan karya yang tidak disajikan dalam buku tetapi disampaikan (diceritakan) langsung oleh guru ada
1 buah, yaitu “Asal-Usul Tari Guel” dari daerah Gayo. Ditinjau dari segi bobot literernya, cerita-cerita yang disajikan sebagai bahan ajar untuk kelas 5 relatif sesuai dengan tingkat kemam- puan, kebutuhan, pengalaman, dan daya bayang anak-anak seusia SD kelas 5. Di samping karena cara narasinya sederhana, alur cerita kronologis, diakhiri dengan happy sehingga mudah dipahami dan me- nyenangkan, juga karena cerita-cerita itu menampilkan tema “hitam- putih” yang berkaitan dengan sikap moral “baik-buruk”. Dengan de- mikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa dengan materi prosa semacam itu diharapkan para siswa akan memperoleh amanat atau pesan moral agar mereka selalu berbuat baik.
Berikut ini contoh cerita (bab 13, hlm. 149—152) sebagaimana dimaksudkan di atas. Cerita ini diambil (dicuplik) dari cerita rakyat Jawa Ajisaka.
Kebaikan Akan Selalu Menang
Menurut cerita di tanah Jawa ada sebuah negeri yang kaya raya bernama Negeri Medang. Secara turun-temurun Medang di- perintah oleh raja-raja yang arif bijaksana. Namun pada suatu saat
T IRTO UWONDO S , DKK .
pemerintah Medang jatuh ke tangan Dewatacengkar, raja aneh yang tidak berperikemanusiaan. Ia gemar menyantap daging ma- nusia. Dan yang menjadi korban kekejamannya tidak lain adalah rakyatnya sendiri.
Dewatacengkar memiliki sebuah untaian bunga putih. Rakyat yang menerima untaian bunga tersebut keesokan harinya harus menyerahkan keluarga atau dirinya untuk menjadi korban. Perdana Menteri kerajaan pun sama kejamnya. Ia bukannya membela rakyat, tapi malah mendukung kelaliman Dewata-cengkar. Dialah yang mengalungkan bunga putih pada leher rakyat yang dipilihnya sebagai korban. Banyak rakyat yang mencoba melarikan diri. Namun banyak pula yang tak mampu menghindar. Mungkin karena kebiasaannya makan daging manusia, tubuh dan wajah Dewatacengkar berubah seseram raksasa jahat, dan kekuatannya luar biasa. Oleh karenanya tak seorang pun rakyat yang berani melawannya.
Sampai pada suatu hari ada serombongan rakyat yang men- coba melarikan diri dari Medang. Diam-diam mereka pergi menu- ju pantai dan mencari kapal. Di tepi pantai mereka bertemu dengan rombongan lain yang dipimpin oleh seorang pemuda yang tampak arif dan bijaksana bernama Ajisaka. Ternyata pemuda itu berilmu tinggi dan sangat sakti. Ajisaka heran ketika mendengar cerita rombongan pengungsi tentang kekejaman raja mereka. Timbul belas kasihan di hatinya. Ajisaka bertekad untuk menolong rakyat Medang.
Selepas rombongan pengungsi meninggalkan pantai, cepat- cepat Ajisaka memasuki wilayah negeri Medang. Ia sampai di rumah seorang wanita bernama Nyi Sumbi yang tinggal bersama anak perempuannya. Dari Nyi Sumbi Ajisaka memperoleh cerita yang sama.
“Kami juga sangat ketakutan,” ucap Nyi Sumbi gemetar. “Suatu hari rombongan Perdana Menteri pasti akan datang, dan menga- lungkan untaian bunga putih! Kami akan menjadi santapan raja!” Nyi Sumbi dan anaknya menangis dan berpelukan.
Baru saja Ajisaka akan menenangkan, pintu rumah terbuka. Perdana Menteri muncul beserta para punggawanya. “Nyi Sum- bi!” hardik Perdana Menteri. “Cepat kalungkan bunga ini! Besok pagi kalian berdua harus sudah berada di istana!” Perdana Menteri
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S ASAR D
melempar untaian bunga ke pangkuan Nyi Sumbi. Namun, dengan sigap Ajisaka menangkapnya.
“Tidak!” potong Ajisaka. “Biar saya yang menggantikan Nyi Sumbi menjadi korban sajian Raja ....” Mula-mula Perdana Menteri tercengang memandang laki-laki itu. Namun tak lama kemudian senyumnya mengembang. Ia ti- dak keberatan karena tubuh Ajisaka lebih sehat dan bersih diban- dingkan Nyi Sumbi dan atau anaknya.
Keesokan harinya Ajisaka menghadap raja. Ketika melihat Aji- saka yang tampan, raja langsung tertarik dan tak sabar untuk menyantapnya. Namun sebelum Ajisaka menyerahkan diri, ia me- nyampaikan sebuah permintaan kepada raja.
“Sebelum hamba mati, bolehkah hamba meminta sebidang ta- nah pada Tuanku?” pinta Ajisaka. Dewatacengkar tertawa terbahak-bahak. “Tanahku sangat luas! ambillah semaumu!” sahutnya pongah. “Saya hanya menginginkan tanah sepanjang sorban yang ham- ba kenakan ini, Tuanku,” jawab Ajisaka sambil membuka ikat kepalanya. “Hamba mohon Baginda ikut menghitung luas tanah. Silakan Tuanku menarik ujung sorban untuk mengukur panjang- nya.”
Sambil terus tertawa Dewatacengkar memenuhi permintaan Ajisaka. Ia mulai menarik ujung sorban. Ujung lainnya tetap di- genggam Ajisaka. Keajaiban kemudian terjadi.
Sejak sorban dibuka menjadi hamparan kain panjang, gulungan- nya tidak kunjung habis. Ia semakin panjang dan semakin pan- jang. Dewatacengkar terus menariknya. Ia berjalan mundur sam- pai keluar istana, melewati alun-alun, perbukitan, dan akhirnya sampai di tepi jurang tepat di sisi laut. Dan apa yang terjadi setelah itu?
Begitu Dewatacengkar berada di ujung jurang, Ajisaka me- nyentakkan ujung kain yang digenggamnya. Bersamaan dengan itu, segulung ombak samudra yang besar menyambar tubuh De- watacengkar. Raja yang kejam itu langsung ditelan ombak ganas. Awan tiba-tiba gelap! Dewatacengkar berubah menjadi seekor buaya putih. Dan lenyaplah penguasa Medang yang kejam itu.
T IRTO UWONDO S , DKK .
Rakyat Medang yang menyaksikan peristiwa itu bersorak gem- bira. Penderitaan mereka berakhir sudah. Mereka lega. Kejahatan sudah ditumpas, dan kebaikanlah yang menang.
Tampak jelas bahwa cerita di atas sederhana, kronologis, mudah dipahami, dan berakhir dengan bahagia. Sebagai cerita yang bersifat “mendidik”, cerita tersebut memang cocok sebagai sarana pembinaan moral.
Sebagai sarana pembinaan moral, secara keseluruhan materi prosa dalam buku ajar kelas 5 memang dapat dikatakan tepat. Na- mun, ada beberapa persoalan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan kecenderungan tersebut. Persoalan itu muncul dari sebuah pertanyaan apakah sudah pada tempatnya pengajaran sastra dicam- puradukkan dengan pengajaran moral atau etika. Sebagai suatu peng- ajaran moral barangkali memang penting, tetapi sastra bukanlah aga- ma—sebagai sumber dari segala sumber moral—meskipun kedua- nya sama-sama berbicara tentang manusia. Kalau agama secara te- gas “mengatur” manusia karena di dalamnya berisi aturan dan dogma- dogma yang tidak boleh tidak manusia harus mematuhinya, sementa- ra sastra secara luwes “memberi pencerahan” karena ia lebih memper- soalkan nurani kemanusiaan manusia. Karena itu, dari sudut tinjau ini, pengajaran sastra bukanlah pengajaran moral, melainkan “penga- jaran hidup”.
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa belum tentu peng- ajaran sastra akan berhasil dengan baik jika karya yang disuguhkan hanya karya-karya yang mengandung pesan moral. Indikasi tersebut muncul dari adanya anggapan bahwa karya yang memiliki kecen- derungan semacam itu pada umumnya kurang memberi peluang bagi pembaca untuk lebih dinamis dan berpikir kritis. Karena itu, kendati hanya untuk siswa seusia SD kelas 5, karya-karya dengan tema yang beragam—tidak hanya mementingkan moral—perlu pula diberikan kepada mereka agar wawasan kritisnya berkembang. Tema-tema yang beragam itu pada umumnya banyak dijumpai dalam novel atau cerpen-cerpen modern. Namun, persoalannya, mengapa selama se- tahun (kelas 5) para siswa tidak disuguhi cerpen dan novel? Padahal,
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
sebagaimana digariskan dalam GBPP kelas 5, siswa diharapkan pula membaca cerpen dan novel anak-anak (lihat cawu 2).
Hasil pengamatan menunjukkan pula bahwa pertanyaan dan tugas-tugas yang disertakan dalam materi-materi prosa tidak seluruh- nya mendukung tercapainya tujuan pengajaran sastra. Pertanyaan- pertanyaan yang harus dijawab siswa seringkali keluar dari konteks apresiasi atau ekspresi sastra. Sebagai contoh, setelah siswa ditugasi untuk membaca cerita “Kebaikan Akan Selalu Menang”, mereka diberi pertanyaan seperti berikut.
(1) Pernahkah kamu mendengar kerajaan Medang? Jika ya, di mana letak kerajaan Medang itu? ....
(3) Sebutkanlah kalimat-kalimat yang menunjukkan kejahatan Dewatacengkar! (4) Apa hubungan cerita ini dengan alat angkutan? Kalimat yang mana yang menyatakan hubungannya dengan alat angkut- an?
(hlm. 152)
Pertanyaan serupa terjadi juga seusai siswa diberi tugas untuk membaca ringkasan cerita dari Timor berjudul “Dayang Ipu dan Sang Putri” berikut.
.... (3) Tuliskanlah ringkasan ceritanya. Bacakan di depan kelas.
.... (5) Tuliskanlah judul dongeng yang terkenal di daerahmu yang kamu ketahui. (hlm. 92)
Sebagai pengayaan wawasan dan pengetahuan, beberapa per- tanyaan seperti di atas memang perlu diberikan kepada para siswa. Namun, tentu saja pertanyaan itu akan lebih tepat apabila diberikan dalam konteks lain, bukan dalam konteks apresiasi sastra. Bahkan, bagi siswa tugas meringkas cerita agaknya tidak tepat karena selain cerita-cerita itu pendek—sehingga selesai sekali dibaca, malahan se-
T IRTO UWONDO S , DKK .
bagian sudah berupa ringkasan dari cerita lain—tugas meringkas itu seringkali justru “membunuh” siswa dalam hal minat baca sastra siswa.
Di samping hal-hal di atas, ada sedikit perbedaan antara materi prosa dan materi puisi apabila dilihat dari sisi kesesuaiannya antara tujuan pengajaran dan kegiatan pembelajaran sastra di kelas 5. Mate- ri puisi dalam buku ajar kelas 5 lebih ditekankan untuk mencapai tujuan apresiasi dan ekspresi sehingga siswa dituntut untuk lebih kreatif dan dinamis, sementara sebagian besar materi prosa agaknya hanya di- arahkan untuk mencapai tujuan apresiasi. Oleh karena itu, terhadap materi prosa siswa tidak dituntut untuk lebih aktif dan kreatif karena kegiatan yang dilakukan hanya menyimak, membaca, dan memahami, tanpa dilanjutkan dengan proses kreatif seperti menulis atau menga- rang cerita.
Telah dikatakan di atas bahwa materi prosa dalam buku ajar kelas 5 seluruhnya berupa karya-karya tradisional (cerita rakyat, fa- bel, dongeng, dan mite). Hal itu berbeda dengan materi prosa yang disajikan dalam buku ajar kelas 6. Meskipun jumlah materi prosa dalam buku ajar kelas 6 lebih sedikit jika dibandingkan dengan materi prosa dalam buku ajar kelas 5, materi prosa dalam buku ajar kelas
6 telah mencakupi genre tradisional dan modern. Materi prosa tra- disional dalam buku itu ada 2 buah, yaitu “Kaktus Bertuah”, terjemah- an dongeng Mesir yang dikutip dari The Magig Cactus (bab/pela- jaran 4, hlm. 31—33) dan cerita rakyat dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, tanpa judul (bab/pelajaran 12, hlm. 96—101). Sementara itu, prosa modern ada 3 buah, yaitu cerpen “Salah Terka” karya Mu- dhibah Utami, dimuat majalah Bobo, Nomor 42, Tahun XXI, 3 Fe- bruari 1991 (bab/pelajaran 5, hlm. 34—36); “Dia Suka Menggang- gu” karya Ingga Liamsi, tanpa keterangan sumber (bab/pelajaran 9, hlm. 76—78); dan “Menolong Ibu” karya Ingga Liamsi, Jakarta, 1995 (bab/pelajaran 11, hlm. 90—92).
Hasil pembacaan membuktikan bahwa tema-tema cerita (prosa) yang disajikan dalam buku ajar kelas 6 lebih beragam daripada tema- tema yang disajikan dalam buku ajar kelas 5. Tema-tema yang dike- depankan dalam buku ajar kelas 6 tidak hanya berhubungan dengan
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
masalah moral “baik-buruk”, tetapi berkaitan pula dengan masalah lain, misalnya pertanian (“Kaktus Bertuah”), kemandirian dan kerja keras (“Salah Terka”), kenakalan anak/remaja (“Dia Suka Meng- ganggu”), dan sebagainya. Sementara itu, dilihat dari segi isi, struktur, cara penceritaan, dan gaya bahasanya, cerita-cerita itu terasa sangat cocok bagi siswa kelas 6 karena pelaku-pelaku yang ditampilkan dalam cerita-cerita itu sebagian besar adalah anak-anak seusia mere- ka. Dengan demikian, materi cerita itu lebih menarik perhatian dan minat mereka karena dunia yang ditampilkan di dalamnya adalah dunia yang sangat dekat dengan mereka. Berikut inilah salah satu contohnya.
Dia Suka Mengganggu
Hari Senin pukul 08.00. Anak-anak kelas 6 sedang ulangan bahasa Indonesia. Keadaan kelas tenang sekali. Semua perhatian anak tercurah pada ulangan itu. Ibu guru mengawasi mereka sambil membawa buku.
“Tok ... tok ... tok ....” Tiba-tiba terdengar ketukan pintu perlahan. “Bu, ada tamu dari Kanwil,” kata seorang petugas dari tata usaha sekolah. “Dapat tunggu? Ibu sedang mengawasi ulangan.” “Diminta sekarang. Katanya penting.” Ibu guru itu akhirnya meninggalkan kelas. Dia berpesan agar
anak-anak bekerja sendiri-sendiri dan tidak ribut. “Wah, susah. Masa ulangan pakai mengarang?” kata Otong tiba-tiba. “Ssst ... jangan berisik,” kata teman sebangkunya. “Biar saja. Pinjam karanganmu!” “Belum sampai,” jawab temannya. Akhirnya, Otong meminjam kertas ulangan Made yang duduk
di depannya. Temannya itu tidak memberi. Otong memaksa meng- ambil. Terjadilah tarik-menarik. Kertas ulangan sobek. Terjadilah keributan.
Keributan kelas itu berhenti setelah ibu guru kembali. Otong akhirnya dihukum. Namun, Otong tidak pernah jera. Hari-hari
T IRTO UWONDO S , DKK .
berikutnya, dia tetap suka ribut. Dia suka mengganggu teman- temannya.
“Kita harus cari akal untuk menghentikan kenakalan Otong,” kata Anggi pada suatu hari.
“Ya, dia itu sudah keterlaluan. Masa waktu ulangan bahasa itu, dia mau nyontek, maksa,” kata Monang.
“Iya. Sampai kertas ulangan Made sobek,” tambah Halimah. Sekelompok anak kelas 6 itu akhirnya sepakat untuk mengajar
Otong. Ketika sedang istirahat ada yang mengajak Otong ke kan- tin. Otong dengan senang hati ikut. Apalagi, dia akan ditraktir.
“Terima kasih, Yudi!” kata Otong kepada Yudi. “Yah,” jawab Yudi. Keduanya berjalan beriring meninggalkan kantin. Otong tam-
pak gembira. Dia gembira karena dibelikan minuman kesukaan- nya. Es apokat.
“Tong, main dulu yok! Belum bel,” kata Yudi. “Sebentar. Aku ambil permen dulu di tas,” jawab Otong. Yudi turun ke halaman. Otong masuk ke kelas. Ruang kelas
kosong. Anak-anak beristirahat di luar semua. Otong berjalan men- dekati mejanya. Tiba-tiba jantung Otong berdetak lebih cepat. Kemarahannya meledak.
“Kurang ajar! Siapa yang melakukan harus kubalas!” teriak Otong.
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
Bagaimana kemarahan Otong tidak meledak. Dia melihat tas dan isinya berantakan. Buku-buku dan alat tulisnya berserakan di meja, di kursi, dan di lantai. Bahkan, penggaris dan pensilnya patah-patah.
Otong berlari ke luar. Dia akan mencari dan menghajar teman yang dia curigai. Pada saat itu bel berbunyi. Waktu istirahat habis. Teman-teman Otong berlari-lari masuk kelas. Otong mencegat mereka di pintu. Otong menanyai siapa yang mengacak-acak tas- nya. Temannya tidak ada yang mengaku.
Keributan di pintu itu hampir terjadi. Otong sudah bersiap me- mukul Monang. Tiba-tiba Ibu Guru datang. Ibu Guru melerai mereka. Anak-anak diminta masuk kelas.
Setelah anak-anak duduk tenang, Ibu Guru minta penjelasan. Mengapa mereka akan berkelahi. Setelah mendengar penjelasan Otong dan teman-temannya, Ibu Guru itu tersenyum. Dia me- ngerti mengapa tas Otong berantakan oleh ulah teman-temannya.
“Kalian tak boleh main hakim sendiri. Yang berhak menghu- kum Otong adalah Ibu.” “Ya, Bu,” jawab anak-anak serentak. Mereka tampak merasa bersalah. Mereka duduk tenang. Kedua tangan bertumpu di atas bangku. Kepala menunduk.
“Otong, bagaimana perasaanmu? Kamu marah ketika melihat tasmu diacak-acak temanmu?” “Ya, Bu. Saya ingin memukul mereka!” “Kamu marah sekali?” “Ya, Bu. Marah sekali!” “Nah, seperti itulah perasaan temanmu ketika kamu ganggu.” Otong kaget mengapa ibu gurunya berkata begitu. Kepala Otong
menunduk. Dia berpikir. Dia kurang mengerti kata-kata gurunya itu. “Kalau kamu tidak mau diganggu temanmu, jangan kamu gang- gu temanmu! Kamu mengerti, Otong?” “Ya, Bu.” Otong mulai mengerti apa yang dimaksudkan gurunya. Kepa-
lanya masih menunduk. Dia belum berani memandang wajah guru dan wajah teman-temannya. Dia malu.
(hlm.76—78)
T IRTO UWONDO S , DKK .
Selain tema-temanya lebih modern dan dunia yang ditampilkan di dalamnya lebih dekat dengan dunia anak sehingga menarik minat mereka, cerita-cerita yang dipergunakan sebagai bahan ajar sastra itu juga dilengkapi dengan beberapa pertanyaan yang mengarahkan akal, pikiran, dan perasaan siswa untuk lebih mendalami isi cerita. Berikut ini beberapa pertanyaan yang cukup apresiatif yang harus dijawab siswa seusai ditugasi membaca dan memahami cerita “Dia Suka Meng- ganggu”.
(1) Apakah kenakalan Otong? (2) Otong anak yang pandai atau kurang pandai? Berikan
alasanmu. (3) Bagaimana cara menghentikan kenakalan Otong? (4) Mengapa Yudi mengajak Otong ke kantin atau warung
sekolah? (5) Mengapa Otong marah-marah ketika kembali ke kelas? (6) Apakah arti ungkapan “tak boleh main hakim sendiri”? (7) Penjelasan apa yang diminta oleh ibu guru kepada anak-
anak? (8) Mengapa Otong tidak berani memandang wajah gurunya? (9) Gantilah judul cerita “Dia Suka Mengganggu” dengan judul
yang kamu sukai”.
Di samping itu, cerita tersebut juga dilengkapi dengan beberapa tugas yang mengarahkan siswa untuk mengembangkan imajinasi dan ekspresi kreratifnya. Tugas tersebut seperti berikut.
Dalam cerita “Dia Suka Mengganggu” dilukiskan kegemaran Otong. Otong gemar mengganggu temannya. Bolehkah kenakalan Otong ditiru?
Tentu kamu mempunyai pengalaman yang menarik. Peng- alaman yang tidak merugikan temanmu. Misalnya, menolong orang atau teman, bermain sepak bola, atau hal lain yang baik.
Ceritakanlah pengalaman itu di hadapan teman-temanmu. Berceritalah selama kira-kira lima menit. Pertanyaan-pertanyaan berikut dapat membantu kamu.
a. Apa judul ceritamu? b. Di mana kamu memperoleh pengalaman?
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
c. Apa tindakan atau apa yang kamu lakukan? d. Alat atau benda apa yang kamu perlukan untuk melakukan pertolongan itu? e. Dengan siapa kamu melakukan pertolongan?
Hal serupa terjadi juga dalam sajian materi prosa lain selain ce- rita di atas. Bahkan, berdasarkan pengamatan seksama, materi sastra khususnya yang disajikan dalam pelajaran 12 (hlm. 96—103) sangat baik bagi siswa karena melalui materi yang berupa cerita rakyat dari Lombok (NTB) itu siswa diajak untuk melatih kepekaan imajinasi dan ketajaman pikiran. Di samping siswa diberi tugas untuk berdiskusi tentang isi dan struktur cerita, mereka juga diberi kesempatan untuk meneruskan cerita yang belum selesai.
Demikian antara lain keberadaan materi prosa dalam buku ajar bahasa Indonesia sekolah dasar kelas 5 dan 6 terbitan Balai Pustaka. Meskipun materi yang disajikan dalam buku-buku itu dirasakan ku- rang, di sisi tertentu mereka (para siswa) telah diarahkan untuk men- coba mencintai sastra secara lebih suntuk. Bahkan, melalui bahan- bahan ajar itu para siswa juga dibimbing untuk melakukan kegiatan bagaimana cara yang baik untuk memahami (mengapreasi) dan ber- ekspresi sastra. Apalagi dalam buku-buku itu juga disajikan gambar- gambar visual—dalam hal ini siswa ditugasi untuk mengekspresikan gambar itu baik secara lisan maupun tulis—sehingga siswa mau tidak mau harus mencoba untuk mengembangkan imajinasi kreatifnya.
3.1.3 Drama
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keberadaan materi dra- ma dalam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, benar-benar terpinggirkan. Selama di kelas 5 para siswa hanya disuguhi dua kali pelajaran drama (sandi- wara). Materi drama yang pertama disajikan dalam pelajaran 7 (hlm. 81—83)—ketika membicarakan tema lingkungan alam (hutan)— yaitu mendramatisasikan sebuah percakapan yang ada dalam naskah drama saduran karya Sondang Harianja (dimuat dalam majalah Asyik, Nomor 15, hlm.10—11); sedangkan materi drama yang kedua disa-
T IRTO UWONDO S , DKK .
jikan dalam pelajaran 12 (hlm. 133-139)—ketika membicarakan tema pekerja sosial—yaitu menyusun (mengubah) dongeng rakyat dari Irak yang berjudul “Pesan Sang Putra Raja” menjadi naskah sandiwara dan mendramatisasikannya. Sementara itu, selama di kelas 6, para siswa hanya disuguhi sekali pelajaran drama. Materi itu disajikan da- lam pelajaran 14 (hlm. 119—122), yaitu bermain drama dengan judul “Koran, Koran” karya Ingga Liamsi.
Ada kecenderungan bahwa sebagai bahan ajar di sekolah dasar, karya sastra yang berupa drama seolah-olah hanya diberi pengertian sebagai suatu dialog atau percakapan, bukan sebagai serangkaian seni panggung yang berawal dari naskah sampai pada pemanggung- annya. Oleh karena itu, materi-materi drama yang disajikan dalam buku tersebut tidak disertai dengan materi lain yang berupa berbagai persyaratan yang berkaitan dengan konteks (setting) yang memba- ngun suasana pementasannya. Tidak dapat disangkal bahwa memang pengertian drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog. Namun, tidak hanya dialog itu saja yang penting, tetapi juga bagaimana dialog itu dikemas di atas pentas sehingga menjadi sebuah pertunjukan seni yang khas dan memikat.
Berikut ini contoh materi drama (pelajaran 7, hlm. 81—83) yang hanya berupa percakapan yang disertai dengan beberapa tugas yang harus dilakukan dan pertanyaan yang harus dijawab siswa.
G. Mari Kita Bersandiwara
1. Bacalah percakapan dari beberapa tanaman berikut ini! Di sebuah kebun tumbuhlah berbagai jenis tanaman. Semua tum-
buh dengan asri. Udara sekitar kebun sejuk dan nyaman. Pada suatu hari terdengar percakapan di kebun itu. Pohon Sawo, sambil menggeliat berkata: “Aku heran. Untuk apa
kamu ditanam, Wuluh? Buahmu amat masam. Mana ada orang yang mau memakanmu?”
Pepaya : “Betul Wo, Belimbing Wuluh tak ada gunanya. Lain dengan kita. Buah kita disukai orang. Tebal dagingnya, manis rasanya, sedap,” (Pepaya men- cibir Belimbing Wuluh).
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S ASAR D
Belimbing Wuluh: “Siapa bilang aku tak berguna? Orang memakai buahku untuk bumbu ikan. Aku dapat dijadikan obat batuk. Hebat,... kan. Kamu Sawo, kulitmu gelap cokelat, jelek.”
Sawo : “E, e, e, buahku yang masak manis. Semua orang senang memakannya. Buahku yang muda obat desentri yang manjur. Coba parut dan se- duh dengan air mendidih satu cangkir. Minum hangat-hangat. Desentri segera lenyap.”
Pepaya : “Tetapi engkau masih kalah denganku Wo. Buahku manis, dapat dimakan begitu saja. Daun muda dan buahku untuk sayur. Akulah pohon yang paling berguna.”
Sawo : “Kamu hanya tanaman pangan!” (ejek Sawo). Pepaya
: “Eh siapa bilang. Daunku dapat dijadikan obat malaria.” Meniran
: “Betul tetapi harus dicampur dengan daunku, daun meniran.” Beluntas
: “Dan dengan daunku.”
Pohon Aren : “Iya. Daun-daun rebus itu harus dicampur dengan gula aren. Baru jadilah obat malaria itu.” Jeruk Nipis
: “Sudahlah aku yang paling hebat. Buahku dapat mengobati segala macam penyakit.” Kunyit
: “Salah, akulah yang paling berguna. Untuk ma- sak bisa, untuk obat bisa.” Jeruk Nipis
: “Obat apa?” Kunyit
: “Wah banyak penyakit. Demam, panas, sakit
perut, penyakit apa saja.”
Jambu Biji : “Bohong. Yang benar, daunkulah yang dapat menghentikan mencret. Tentu setelah dicam- pur dengan petai cina, jahe, dan kencur tum- buk, lalu diseduh dengan air panas.”
Kunyit : “Salah, salah. Aku obat mencret paling manjur. Bakar aku sampai hangus. Lalu campur dengan segenggam beras sangrai tumbuk. Minum satu sendok makan saja, tigakali sehari. Buang-buang air akan berhenti. Hebat kan?”
T IRTO UWONDO S , DKK .
Kunyit, Sawo, dan lain-lainnya: “Sssst ... Ada orang datang.
Hayo, kita lihat. Siapa yang dia cari? Pasti dialah yang paling hebat.”
Anak laki-laki : “Ayah, kebun ini seperti hutan saja. Mengapa tidak kita bersihkan saja?”
Ayah : “Usulmu baik, Nak. Tetapi hati-hati ya. Rumput
pun berguna untuk obat.”
Anak : “Rumput untuk obat?” Ayah
: “Oh, ya. Akar alang-alang, tumbuhan liar seperti meniran dan orangaring berguna. Tanaman pagar seperti beluntas dan kumis kucing berguna untuk obat.”
Anak : “Jadi tanaman ini semua berguna?” Ayah
: “Ya. Untuk obat tradisional biasanya diperlukan berbagai tanaman. Masak pun memerlukan ber- bagai tanaman. Jadi tanaman di kebun ini hebat
semua.” Anak
: “Kalau begitu hebat sekali kebun Ayah ini, seperti Waserba saja!” Ayah
: “Apa itu?” Anak
: “Warung serba ada.” 2. Berlatihlah dalam kelompok yang terdiri dari sebelas orang. Aturlah
bersama siapa yang akan berperan sebagai “sawo, belimbing wuluh, pepaya, dan seterusnya.” (15 menit)! Jadikan drama dua babak. 3. Setelah berlatih maka dramatisasikan di depan kelas secara bergan- tian (3 atau 4 kelompok). 4. Jawablah pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas! (1) Apa judul sandiwara ini yang paling tepat? (2) Apa yang ingin disampaikan penulis pada kita semua? (3) Sifat-sifat apakah yang ada dalam bacaan di atas? Jelaskan
jawabanmu. (4) Mengapa semua isi kebun berguna? (5) Dari bacaan di atas, tanaman apa yang paling berguna me-
nurut pendapatmu?
Contoh materi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa dalam proses pembelajaran siswa hanya ditugasi untuk membaca dan ber-
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
latih bercakap-cakap sesuai dengan peran masing-masing dalam ke- lompok. Jika hanya itu saja yang dilakukan, tentu saja pembelajaran drama akan gagal karena tidak ada petunjuk bagaimana cara meme- rankan tokoh sesuai dengan karakter masing-masing. Selain itu siswa juga tidak diberi kesempatan untuk menghayati secara lebih suntuk karena faktor-faktor pendukung seperti gambaran tentang setting, vokalisasi, dan sebagainya tidak disertakan dalam bahan ajar atau materi itu.
Hal serupa terjadi juga ketika siswa diberi tugas untuk menyusun (mengubah) cerita menjadi sebuah naskah sandiwara (lihat pelajaran
12, hlm. 133—139) dan memerankannya. Di samping hanya diberi tugas untuk mengubah, memerankan, dan menjawab satu pertanya- an—apa pesan utama cerita di atas—siswa juga tidak diberi peluang untuk mendalami, menghayati, sekaligus mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam proses transformasi atau pengalihbentukan sastra. Dengan demikian, jika diharapkan pembalajaran drama berhasil, setidaknya guru diwajibkan untuk mengisi kerumpangan-kerumpangan yang terjadi.
Materi drama yang agaknya cukup representatif terdapat dalam buku ajar kelas 6. Meskipun materi drama hanya diberikan sekali dalam setahun (pelajaran 14, hlm. 119—124), siswa kelas 6 telah diberi peluang lebih luas untuk secara sungguh-sungguh menggeluti drama. Selain naskah yang disajikan dalam buku itu cukup baik, dalam arti sebagai naskah telah memenuhi syarat, siswa juga diajak untuk membaca, memahami, menghayati isi dan struktur, mementaskan, bah- kan juga ditugasi untuk mengamati drama di televisi untuk kemudian diceritakan dan dianalisis isi dan bentuknya. Oleh karena itu, melalui materi tersebut, siswa benar-benar menjadi seorang yang kreatif dan dinamis.
Demikian antara lain keberadaan materi drama dalam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Namun, perlu dicatat bahwa sebagai bahan ajar sastra, materi tersebut dirasakan sangat kurang. Dilihat dari sisi waktu yang dialokasikan memang drama sangat ber- beda dengan, misalnya, cerpen, lebih-lebih puisi—yang dapat disaji- kan dalam sekali tatap muka—tetapi bukankah drama itu pada da-
T IRTO UWONDO S , DKK .
sarnya juga sebuah cerita seperti layaknya cerpen? Oleh sebab itu, tidaklah pada tempatnya apabila materi drama menjadi pilihan terakhir dalam pengajaran sastra di sekolah.