Buku Ajar Terbitan Tiga Serangkai
3.3 Buku Ajar Terbitan Tiga Serangkai
Buku ajar bahasa Indonesia berjudul Aku Cinta Bahasa Indo- nesia: Pelajaran Bahasa Indonesia karya Surana terbitan Tiga Serangkai (Sala, 1995) yang dibahas dalam pemantauan ini terdiri atas empat jilid (dua jilid untuk kelas 5 [5a dan 5b] dan dua jilid untuk kelas 6 [6a dan 6b]). Jilid 5a memuat pelajaran (kelas 5) cawu
T IRTO UWONDO S , DKK .
1 dan sebagian cawu 2; jilid 5b memuat pelajaran cawu 3 dan seba- gian cawu 2; jilid 6a memuat pelajaran (kelas 6) cawu 1 dan sebagian cawu 2; dan jilid 6b memuat pelajaran cawu 3 dan sebagian cawu
2. Seperti halnya buku ajar bahasa Indonesia terbitan Intan Pariwara, buku ajar terbitan Tiga Serangkai ini juga merupakan buku peleng- kap. Artinya, buku ini digunakan di sekolah juga hanya untuk meleng- kapi buku pelajaran pokok terbitan Balai Pustaka. Adapun keber- adaan sastra (puisi, prosa, dan drama) dalam buku-buku ajar terse- but sebagai berikut.
3.3.1 Puisi
Hasil pengamatan memperlihatkan dengan jelas bahwa bahan ajar sastra yang berupa puisi dalam buku-buku ajar terbitan Tiga Se- rangkai cukup memadai. Kenyataan itu terlihat pada porsi bahan ajar puisi yang disajikan dalam masing-masing buku ajar tersebut, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, yang rata-rata disajikan lima kali per tahun. Buku ajar jilid 5A menyuguhkan tiga kali pertemuan yang dalam setiap kali pertemuan rata-rata disuguhkan satu sampai dua judul puisi; sedangkan buku ajar jilid 5b menyuguhkan puisi dalam dua kali per- temuan.
Secara keseluruhan, selama setahun siswa kelas 5 disuguhi sem- bilan buah puisi, yaitu satu buah puisi tradisional (pantun) dan delapan buah puisi modern. Puisi tradisional yang berupa pantun jenaka disa- jikan dalam pelajaran 6 (cawu 3, hlm. 52); sementara puisi-puisi modern adalah: dua buah puisi berjudul “Jerih Payah Pak Tani”, tanpa nama penulis, dikutip dari buku Bahasa Indonesia Pelajaran Bahasa, tanpa penerbit dan tahun terbit, dan “Ki Hajar Dewantara” karya Sides Sudyarto Ds. (pelajaran 2, cawu 1, hlm. 18—19); dua buah puisi berjudul “Mandi”, tanpa nama penulis, dan “Gembala” karya Muh Yamin (pelajaran 6, cawu 1, hlm. 49—50); dua buah puisi berjudul “Serangan Umum 1 Maret ‘49" karya Sides Sudyarto Ds. dan “Kelinciku” karya Isfandiari Maryam (pelajaran 9, cawu 2, hlm. 66 dan 70); satu buah puisi berjudul “Sampan Tua” karya Widya- wati, dikutip dari kumpulan Sepatu Tua (pelajaran 6, cawu 3, hlm.
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
53); dan satu buah puisi berjudul “Pahlawan Kecil”, tanpa nama penulis (pelajaran 7, cawu 3, hlm. 61).
Dalam proses pengenalan siswa terhadap bahan ajar pantun, cara yang dikedepankannya cukup baik. Langkah pertama, siswa disuguhi dua bait pantun jenaka yang dilengkapi dengan gambar di sisi kanannya. Setelah membaca dan mengamati pantun tersebut, siswa disuguhi keterangan-keterangan tentang bentuk dan isi pantun seperti jumlah larik dalam setiap bait, asonansi dan persajakan, sampiran dan isi, dan nama jenis pantun. Setelah memahami tata cara penyusunan pantun, siswa mulai dilatih untuk menyusun pantun.
Jika disesuaikan dengan tingkat pengalaman dan kemampuan berpikir anak kelas 5 SD, bahan ajar pantun yang disuguhkan itu tampak relevan. Kenyataan itu dapat dilihat dari pilihan tema dan bahasa yang digunakannya. Bahasa yang digunakan sangat seder- hana dan mudah dipahami. Bahkan, isinya pun dekat dengan dunia anak, terutama anak yang tinggal di pedesaan. Pertama-tama diper- kenalkan pantun kepada siswa. Sebelum melangkah masuk ke pro- ses apresiasi, terlebih dulu siswa diperkenalkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan bentuk pantun seperti jumlah larik pada tiap bait, aturan metrum, dan isi. Setelah memahami seluk beluk pantun, siswa kemudian diminta untuk berlatih membuat pantun.
Bagi yang terampil, tidaklah terlalu sulit bagi siswa untuk menulis pantun yang sederhana karena pada umumnya pantun telah memiliki aturan-aturan yang pasti. Adapun bahan ajar pantun jenaka—dileng- kapi dengan keterangan—yang diperkenalkan kepada siswa, misal- nya, seperti berikut ini (pelajaran 6, cawu 3, hlm. 52—53).
V. Menulis Pantun
a. Pantun Jenaka Bintang kejora terbit di senja,
terbenam hampir tengah malam. Heranlah hamba memikirkannya, musang disepak induk ayam.
T IRTO UWONDO S , DKK .
Lurus jalan ke Sawah Lunto, keliling jalan Batu Sangkar. Tegaklah tikus berpidato, kucing mendengar habis bertengkar
Keterangan: 1. Puisi di atas terdiri atas 4 larik sebait. 2. Bunyi suku kata akhir larik pertama dan larik ketiga berima atau bersajak. 3. Bunyi suku kata akhir larik kedua berima dengan suku kata akhir larik keempat. 4. Isi puisi di atas terdapat pada larik ketiga dan keempat. 5. Larik pertama dan kedua disebut sampiran. 6. Puisi tersebut dinamakan pantun. 7. Karena isi pantun tersebut mengandung kejenakaan atau kelucuan, maka dinamakan pantun jenaka.
b. Buatlah dua-tiga bait pantun yang isinya menyangkut kehidupanmu (kehidupan anak)!
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
Seperti halnya sajian puisi tradisional, puisi-puisi modern yang disajikan pun terasa sesuai dengan tingkat pengalaman dan daya nalar anak-anak seusia kelas 5 sekolah dasar. Apalagi dunia yang ditam- pilkan dalam puisi-puisi tersebut dekat dengan dunia anak-anak. Puisi berjudul “Gembala”, “Kelinciku”, dan “Mandi”, misalnya, agak- nya mampu mengingatkan siswa akan kehidupan di desa yang penuh dengan kegembiraan. Sementara itu, puisi berjudul “Jerih Payah Pak Tani” dan “Sampan Tua” juga mampu mendorong jiwa dan perasaan siswa (anak-anak) agar mereka peduli terhadap sesamanya. Puisi “Ki Hajar Dewantara” dapat pula mendorong dan membangkitkan semangat anak agar mereka rajin belajar dan mempunyai semangat juang seperti halnya Ki Hajar Dewantara.
Dilihat dari cara pembelajarannya, tampak bahwa bahan ajar puisi modern itu disajikan secara runtut sehingga terasa enak untuk diikuti. Dalam topik “Mengubah Bentuk Puisi Menjadi Bentuk Prosa” (pelajaran 1, cawu 1, hlm. 17—19), misalnya, sebelum diberi tugas, siswa terlebih dulu diperkenalkan dengan pengertian puisi dan segi- segi yang membentuknya. Dengan keterangan serupa itu, paling tidak siswa telah memiliki pengetahuan tentang apa sesungguhnya perbe- daan antara puisi dan prosa. Perintah pertama yang muncul adalah siswa diminta untuk mengubah puisi ke dalam bentuk prosa, baik secara perorangan atau kelompok. Perintah pertama dapat dikatakan cukup baik karena dengan demikian siswa mulai dilatih untuk bekerja sama dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.
Perintah selanjutnya adalah siswa diminta untuk menulis puisi yang sederhana dan mendeklamasikan puisi hasil ciptaanya itu di depan kelas. Dalam upaya ini, siswa mulai dituntut aktif dalam hal penyusunan puisi. Upaya ini merupakan salah satu cara yang baik untuk menumbuhkan jiwa dan nalar anak untuk aktif di dalam mengapresiasi sastra. Bahkan, sebelum diperkenalkan lebih jauh tentang penulisan puisi, siswa disuguhi beberapa keterangan yang berkaitan dengan bentuk puisi seperti sanjak, bait, larik, dan persamaan bunyi (asonansi). Setelah dianggap paham tentang bentuk puisi, siswa kemudian disuguhi beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan bentuk puisi berikut ini.
T IRTO UWONDO S , DKK .
JERIH PAYAH PAK TANI
Pak tani giat bekerja mencangkul dan membajak sawah mengalirkian air ke tiap petak menaburkan benih ke pesemaian
Pak tani tak kenal lelah Memelihara tanaman padi di sawah Setiap hari pagi dan petang Hujan panas tak dirasakan
Padi di sawah mulai menguning Melambai-lambai ditiup angin Butir padi penuh berisi Bagaikan emas indah sekali
Melihat hasil tak kepalang Jerih payah terasa hilang Pak tani bersyukur kepada Tuhan Harapan hidup tetap tenteram
Upaya yang menarik yang terdapat dalam perintah yang diserta- kan dalam bahan ajar puisi tersebut adalah siswa diminta untuk men- diskusikan dengan teman-temannya. Oleh sebab itu, di samping aktif
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
berpikir dan berimajinasi, siswa juga aktif berlatih untuk bekerja sama dan berdiskusi dengan teman-temannya. Dengan cara berdis- kusi itu, siswa mulai menyadari betapa pentingnya bekerja sama. Se- lain berlaku untuk bahan ajar puisi yang berjudul “Jerih Payah Pak Tani” (hlm. 18), hal yang sama berlaku pula bagi bahan ajar puisi yang berjudul “Mandi” dan “Gembala” (pelajaran 6, cawu 1, hlm. 49—50) berikut ini.
VI. Memahami dan Mendeklamasikan Puisi MANDI
Berkilauan air sungai jernih bersih di sinar pagi beriak ria air berseri terhias alam cerah permai
Bersuka ria kita ke sana bermandi-mandi sesuka hati bersama-sama kawan sekampung bersenang-senang asyik kecimpung
O, sungai indah sungai di kampung airmu mengalir dari gunung-gemunung gemericik bagai bersenandung memuja penciptanya Yang Agung
a. Bacalah puisi di atas baik-baik! Perhatikan penjelasan di bawah ini!
1. Karangan di atas disebut puisi atau sanjak. 2. Puisi di atas terdiri atas tiga kelompok. 3. Tiap kelompok dalam puisi disebut bait. 4. Tiap bait terdiri atas 4 larik atau baris. 5. Bunyi suku kata pada akhir larik ada yang sama. Misalnya: sungai dengan permai
pagi dengan berseri sekampung dengan kecimpung
T IRTO UWONDO S , DKK .
Persamaan bunyi dua buah kata seperti contoh di atas disebut sajak. 6. Sekarang kata sajak sering sama artinya dengan puisi atau sanjak.
b. Perhatikan pula puisi berikut ini!
GEMBALA
Perasaan siapa tidakkan nyala Melihatkan anak berlagu dendang Seorang sahaja di tengah padang Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala Berteduh di bawah kayu nan rindang Semenjak pagi meninggalkan kandang Pulang ke rumah di senja kala
Jauh sedikit sesayup sampai Terdengar olehku bunyi serunai Melagukan alam nan molek permai
Wahai gembala di segara hijau Mendengar puputmu, menurutkan kerbau Maulah aku merunutkan dikau.
(Muh Yamin)
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
Jawablah! 1. Puisi “Gembala” terdiri atas berapa bait? 2. Sebutkan jumlah larik setiap bait! 3. Sebutkan beberapa pasang kata yang bersajak! 4. Berapa jumlah larik puisi di atas? 5. Adakah kata-kata yang tidak kamu ketahui artinya? Kalau ada, cari- lah arti kata itu dalam kamus!
c. Diskusikan dengan temanmu pesan yang terdapat dalam puisi terse- but!
d. Deklamasikan puisi “Gembala” di depan kelas! Setelah melihat contoh bahan ajar puisi yang disuguhkan di atas,
dapat dikatakan bahwa bahan ajar puisi dalam buku ajar bahasa Indonesia kelas 5 terbitan Tiga Serangkai cukup baik dan agaknya mampu mendukung tujuan pengajaran apresiasi sastra di sekolah dasar.
Seperti halnya bahan ajar puisi untuk kelas 5, bahan ajar puisi untuk kelas 6 pun cukup memadai. Selama setahun siswa kelas 6 disuguhi enam buah puisi. Tiga buah puisi yang terdapat dalam buku ajar jilid 6a adalah “Pengemis” karya A. Hasjmy, dikutip dari buku Dewan Sajak (pelajaran 3, cawu 1, hlm. 25); “Sawah” karya Sanusi Pane, dikutip dari buku Puspa Mega (pelajaran 4, cawu 1, hlm. 32); dan “Hasil Tabunganku” karya Widyawati, dikutip dari buku Sepatu Raksasa (pelajaran 6, cawu 1, hlm. 49). Ketiga puisi tersebut terma- suk jenis puisi modern. Sementara itu, tiga puisi lain yang terdapat dalam buku jilid 6b adalah satu buah puisi tradisional (pelajaran 5, cawu 3, hlm. 41) dan dua buah puisi modern, yaitu berjudul “Sawah” karya A. Hasjmy (pelajaran 6, cawu 3, hlm. 48—49) dan “Alam Desaku” karya Dessy Herlina, dikutip dari Mentari (Juni 1993) (pelajaran 8, cawu 3, hlm. 65).
Setelah diamati secara seksama dapat dikatakan bahwa seba- gai bahan ajar sastra, sebagian besar puisi (modern dan tradisional) di atas sesuai pula dengan tingkat pengalaman dan daya pikir siswa. Secara sepintas hal tersebut dapat dilihat dari nama-nama judul puisi
T IRTO UWONDO S , DKK .
yang dipilihnya. Di samping itu, isi yang terkandung di dalam puisi tersebut juga selalu berkaitan dengan dunia anak karena sesuatu yang ditampilkannya berhubungan dengan pemupukan rasa kema- nusiaan, pendidikan, dan kecintaaan terhadap alam dan lingkungan. Puisi berjudul “Pengemis”, misalnya, mengandung pesan agar anak selalu peduli dengan masyarakat sekitar yang kurang mampu. Puisi berjudul “Hasil Tabunganku” juga menyarankan agar anak-anak (sis- wa) selalu hemat dan rajin menabung
Ditinjau dari segi perintah dan tugas-tugas yang disertakan dalam bahan puisi tersebut, siswa agaknya tidaklah terlalu kesulitan untuk menjawab dan melaksanakannya. Perintah-perintah dan tugas itu an- tara lain membaca, menghapalkan, menafsirkan isi, memahami makna yang terkandung di dalamnya, dan mendeklamasikan puisi di depan kelas. Namun, ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang, misalnya berkaitan dengan puisi berjudul “Sawah” karya Sanusi Pane. Dari sisi tertentu bahasa yang digunakan untuk membangun puisi itu agak sulit bagi siswa. Bila siswa diminta untuk memberikan kesan dan tang- gapan terhadap makna yang terkandung dalam puisi tersebut, seti- daknya siswa harus mengetahui dulu makna puisi tersebut. Untuk me- ngetahui makna puisi, siswa terlebih dulu harus dapat memahami makna kata-kata dan bahasa puisi tersebut. Berikut kutipan puisi “Sawah” karya Sanusi Pane yang dilengkapi dengan perintah dan tugas yang harus dikerjakan siswa.
VI. Memahami dan Menanggapi Isi Puisi
a. Bacalah baik-baik puisi di bawah ini!
SAWAH
Sawah di bawah emas padu Padi melambai, melalai terkulai Naik suara salung serunai Sejuk didengar, mendamaikan kalbu
Sungai bersinar, menyilaukan mata, Menyemburkan buih warna pelangi.
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
Anak mandi bersuka hati Berkejar-kejaran, berseru gempita.
Langit lazuardi bersih sungguh, Burung elang melayang-layang, Sebatang kara dalam udara. Desik-berdesik daun buluh, Dibuai angin dengan sayang, Ayam berkokok sayup suara.
Dari Puspa Mega Sanusi Pane
Keterangan: -
salung : suling pendek -
serunai : bunyi-bunyian yang ditiup terbuat dari kayu -
lazuardi : warna biru muda seperti warna langit b. Diskusikan mengenai isi sanjak di atas!
Ungkapkan secara tertulis isi sanjak tersebut dengan kalimat bebas, melalui pencatat diskusi kelompok masing-masing!
c. Berikan kesan, pendapat, maupun tanggapan mengenai bentuk dan isi sanjak di atas! Dari segi bentuk dapat kamu kemukakan mengenai penggunaan kata, bait, persamaan bunyi, dan irama.
T IRTO UWONDO S , DKK .
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah suguhan bahan ajar sas- tra tradisional yang berupa pantun. Bahan ajar pantun yang disajikan dalam pelajaran 5, cawu 3 (hlm. 41) itu tidak disertai lagi dengan penjelasan-penjelasan mengenai teori penyusunan pantun, tetapi pan- tun langsung dijabarkan dan siswa langsung diminta untuk memahami dan mengapresiasi. Penyajian demikian agaknya memang wajar ka- rena teori tentang pantun dengan segala aturannya telah dijelaskan dalam buku ajar kelas 5. Kendati demikian, barangkali akan lebih baik jika hal tersebut (teori pantun) disertakan pula—meski hanya selintas—karena dengan demikian siswa diingatkan kembali menge- nai hal itu. Atau, setidaknya, sebelum melakukan pemahaman lebih jauh, guru terlebih dulu menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan pantun.
Setelah diadakan pengamatan secara keseluruhan terhadap ba- han ajar puisi yang terdapat di dalam buku ajar terbitan Tiga Serang- kai, dapat dinyatakan bahwa secara garis besar bahan ajar sastra yang berupa puisi terasa cocok dan sesuai dengan kemampuan, pe- ngalaman, dan pola pikir anak. Hanya saja, bahan ajar puisi itu belum lengkap karena tidak mencakupi keseluruhan genre puisi (modern dan tradisional) yang ada dalam sejarah perkembangan puisi Indo- nesia.
3.3.2 Prosa
Data membuktikan bahwa bahan ajar prosa yang terdapat da- lam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai cukup do- minan. Bahan ajar prosa itu secara umum terdiri atas dua jenis, yaitu prosa modern (berupa cerpen) dan prosa tradisional (berupa cerita rakyat, dongeng, legenda). Bahan ajar prosa modern yang berupa cerpen antara lain “Menaklukkan Gunung Panggung” karya Trim Sutija (pelajaran 3, kelas 5, cawu 1, hlm. 30—31), “Latihan Terjun” karya Trim Sutija (pelajaran 9, kelas 6, cawu 1, hlm. 71—72), “Ber- bantah Sendiri” karya Sujono H. R. (pelajaran 3, kelas 5, cawu 2, hlm. 29—30), “Jambu Pak Mulkan” karya Sujono H. R. (pelajaran
8, kelas 5, cawu 3, hlm. 68—69), “Burung Perkutut Putih” karya Trim Sutedja (pelajaran 7, kelas 6, cawu 2, hlm. 54—56); dan “Be-
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
rebut Jamur” karya Sujana H. R. (pelajaran 2, kelas 6, cawu 2, hlm. 17—18), dan sebagainya. Sementara itu, bahan ajar prosa tradisional yang berupa cerita rakyat atau dongeng di antaranya “Batu Badaon” (pelajaran 2, kelas 5, cawu 1, hlm. 19—20), “Terjadinya Gunung Batok” (pelajaran 2, kelas 6, cawu 1, hlm. 17—18), “Putri Pinang Masak” (pelajaran 9, kelas 6, cawu 2, hlm. 69—70), “Si Tupai dan Si Raun” (pelajaran 4, kelas 6, cawu 3, hlm. 32—33), “Terjadinya Danau Toba” (pelajaran 7, kelas 6, cawu 3, hlm. 55—57), dan se- bagainya.
Setelah diadakan pengamatan terhadap masing-masing cerita pendek dalam buku ajar tersebut, dapat dikatakan bahwa secara umum bahan ajar yang disajikan cukup baik dan sesuai dengan tingkat pengalaman dan daya imajinasi anak-anak. Jika dikaitkan dengan dunia anak-anak, objek yang disampaikan melalui bahan ajar terse- but tampak sangat cocok dan serasi. Objek-objek yang dipilih se- perti mendaki gunung dalam “Menaklukkan Gunung Panggung”, berebut layang-layang dalam “ Latihan Terjun”, mencari buah jambu di waktu subuh dalam “Jambu Pak Mulkan”, dan mengetapel burung dalam “Burung Perkutut Putih” adalah pekerjaan (mainan ) anak-anak yang sangat menyenangkan dan mengasyikkan. Anak-anak, lebih- lebih di pedesaan, akan merasa sangat senang jika disuguhi cerita- cerita yang sesuai dengan selera mereka. Sementara itu, anak-anak di perkotaan lebih senang mendaki gunung secara bersama-sama di waktu liburan tiba.
Kecuali objek-objek yang disuguhkan sesuai dengan kehidupan keseharian anak-anak, isi dalam cerita-cerita tersebut juga banyak mengacu pada usaha-usaha pembinaan moral. Hal itu sangatlah tepat karena terhadap anak-anak kita tidak dapat melepaskan diri dari masalah pembinaan moral. Hampir semua cerpen yang disuguhkan dalam buku ajar terbitan Tiga Serangkai mengacu pada pembinaan moral. Misalnya, cerpen “Jambu Pak Mulkan” mengajarkan agar anak-anak tidak mudah mencurigai orang lain karena berprasangka buruk merupakan perbuatan tidak terpuji; cerpen “Berbantah Sen- diri” memberikan ajaran agar anak-anak senantiasa berkata jujur; dan
T IRTO UWONDO S , DKK .
cerpen “Menaklukkan Gunung Panggung” dan “Berebut Jamur” mengajarkan agar anak selalu hidup rukun. Sementara itu, cerpen “Burung Perkutut Putih” memberi pelajaran kepada anak-anak agar mereka cinta kepada sesama makhluk hidup, termasuk binatang.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum bahasa yang digunakan untuk membangun cerpen-cerpen tersebut relatif se- derhana. Oleh sebab itu, sebagai bahan ajar sastra di tingkat sekolah dasar, cerita-cerita tersebut mudah dipahami siswa. Selain itu, dilihat dari sisi strukturnya, cerpen-cerpen tersebut juga sederhana, dalam arti watak tokoh yang ditampilkan statis, alur cerita lurus, latar dekat dengan lingkungan keseharian anak, akhir cerita bahagia, dan seba- gainya. Berikut ini contoh bahan ajar cerpen yang disajikan dalam buku ajar kelas 5 (pelajaran 3, cawu 2, hlm. 29—30).
VI. Membicarakan Hal-Hal Menarik dari Sebuah Cerpen
a. Baca baik-baik cerpen di bawah ini!
BERBANTAH SENDIRI
“Sin, daripada habis dimakan kecoak, majalah-majalah dan ko- ran lama ini nanti siang kaubenahi. Bawa ke Pasar Mencos, lumayan kalau dapat seliter dua liter beras!” kata paman sebelum berangkat ke kantor tadi pagi.
Sepulang dari sekolah dan sehabis makan, perintah paman tadi segera kukerjakan. Rak buku itu kubongkar. Buku-buku yang sekira penting kusisihkan. Majalah-majalah dan koran-koran lama kutumpuk jadi satu. Kuikat erat-erat.
“Kukira ada lima kilo beratnya, Sin!” kata bibi ketika melihat aku akan berangkat ke Pasar Mencos. Sampai di tempat yang kutuju, barang yang kubawa segera ditimbang. Di luar dugaanku, ternyata ada sembilan setengah kilo semuanya.
“Enam kilo majalah, seratus dua puluh. Korannya tiga setengah kilo, delapan puluh tujuh setengah!” kata Pak Jangkung pemilik toko sambil menyerahkan uang.
Sambil berjalan pulang terjadilah perbantahan dalam hatiku.
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S ASAR D
“Katakanlah bahwa semuanya cuma enam kilo! Bibi dan pa- manmu toh tidak akan tahu,” kata suara yang muncul dalam hatiku. “Hei, uang itu untuk membeli beras nantinya. Ingat, sekarang tanggal tua. Sebaiknya kauserahkan saja semuanya!” suara lain membantah.
“Bodoh, tolol! Kau tidak ingin menikmati soto babad warung Pak Somad! Juga rambutan aceh lebak yang menor-menor di kedai buah-buahan Pak Ilyas?”
“Jangan begitu, sin! Kalau kau butuh uang, minta saja terus terang kepada bibi atau pamanmu.” Aku berhenti di depan warung Pak Somad. Air liurku seakan- akan menetes melihat orang-orang yang tengah menikmati soto Pak Somad yang terkenal murah dan lezatnya itu.
“Repot-repot, Sin! Ambil saja yang dua puluh lima, selebihnya kauserahkan kepada bibimu!” Aku tersenyum lebih condong kepada usul ini. Lalu kupisah- kan selembar dua puluh lima ke dalam saku celana, sedang sele- bihnya tetap di dalam saku baju.
“Tidak baik perbuatanmu itu, Sin!” suara hatiku kembali nye- letuk. “Ah, itu tidak apa-apa. Anggap saja itu sebagai upah jerih pa- yahmu!” Aku menghela napas dalam-dalam sambil bergegas pulang.
T IRTO UWONDO S , DKK .
“Laku berapa, Sin?” tegur bibi setelah aku tiba di rumah. Jan- tungku berdegup keras. “Kau harus menyerahkan semuanya,” kata hatiku. “Dua puluh lima cukup untuk membeli soto babad dan ram-
butan,” bantah suara yang lain. “Laku ... laku ... dua ratus tujuh setengah, Bi!” terlontar kata- kataku yang gugup. Lalu berangsur debar jantungku terasa normal kembali. Uang kuserahkan. Bibi tersenyum puas. Dan aku tersenyum menang. Urung menjadi pencuri.
Sorenya, ketika aku mau belajar ke rumah Marsam, bibi me- masukkan beberapa lembar uang ke dalam saku bajuku. “Jangan terlalu malam nanti pulangnya, Sin!” pesan bibi. Di tengah jalan, dengan hati berdebar kuambil uang pemberian
bibi. “Tiga puluh rupiah,” gumamku sambil mempercepat langkah. Dan pulang dari rumah Marsam aku membeli dua buah buku
tulis dan seikat rambutan. (Sujono H.R.)
b. Baca dalam hati bacaan di atas! Kemudian jawablah pertanyaan di bawah ini! 1. Kalau kamu jadi “aku”, apa yang akan kamu lakukan ketika mene- rima uang yang jumlahnya di luar dugaan? 2. Pernahkah kamu ingin mengambil milik orang lain? Bagaimana pe- rasaanmu ketika itu? 3. Bagaimana perasaanmu terhadap bibi dan “aku”? 4. Pernahkah kamu melihat orang sedang menikmati soto babad atau makanan lain? Perasaan apa yang muncul pada dirimu ketika itu? 5. Bagaimana perasaanmu ketika kamu dapat mengalahkan niat atau suara hatimu yang kurang baik?
c. Biacarakan bersama hal-hal yang menarik dari cerpen di atas, kemudian laporkan secara lisan atau tertulis.
Ada kecenderungan bahwa beberapa pertanyaan yang diser- takan dalam bahan ajar prosa modern tidak mendukung apresiasi sastra karena pertanyaan-pertanyaan itu sering keluar dari konteks
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
cerita yang disajikan. Hal itu terlihat jelas dalam contoh di atas. Dari sisi tertentu memang beberapa pertanyaan yang diajukan mudah dijawab, tetapi di sisi lain hal itu terlalu dibebani oleh tendensi-tendensi pragmatis. Tendensi pragmatis agaknya memang penting bagi siswa sekolah dasar, tetapi dalam kaitannya dengan pengajaran sastra, hal itu bukanlah tujuan utama karena tendensi-tendensi pragmatis—demi etika atau moral—sesungguhnya lebih tepat apabila dibebankan ke pelajaran lain, bukan pelajaran sastra.
Kenyataan menunjukkan pula bahwa bahan ajar sastra tradisio- nal yang berupa cerita rakyat, dongeng, atau legenda, baik untuk kelas
5 maupun kelas 6, memiliki kecenderungan yang sama dengan bahan ajar prosa modern seperti di atas. Pada umumnya prosa-prosa tra- disional yang disajikan juga sesuai dengan tingkat pengalaman dan daya imajinasi anak-anak. Objek-objek yang disuguhkan dalam ce- rita-cerita itu sangat menarik karena berhubungan dengan suatu pe- ngetahuan mengenai asal-usul kejadian suatu daerah, misalnya daerah Ternate, Jawa Timur, Jambi, dan Sumatra. Di samping objek-objek- nya menarik, cerita-cerita yang ditampilkan juga mengandung makna atau amanat bagi pendidikan dan atau pembinaan moral, mental, dan spiritual siswa.
Kendati demikian, ada satu hal yang perlu dicatat bahwa bahan ajar prosa tradisional yang disajikan dalam buku-buku ajar itu kurang variatif. Hal itu dapat dilihat dari adanya kemiripan antara cerita yang satu dengan cerita lainnya. Misalnya, cerita rakyat “Batu Badaon” di Ternate mirip dengan cerita rakyat “Si Malim Kundang” di Sumatra. Selanjutnya, separuh dari cerita yang terakhir itu juga mirip dengan cerita “Jaka Tarup” di Jawa Tengah. Cerita Rakyat yang berjudul “Terjadinya Gunung Batok” mirip dengan cerita rakyat “Bandung Bandawasa” di Prambanan.
Seperti telah dikatakan bahwa bahan ajar cerita-cerita tradisio- nal yang disajikan sebagian besar ditekankan pada upaya pembinaan moral dan sosial siswa. Hal itu terlihat pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Cerita rakyat “Batu Badaon”, misalnya, memberikan pelajaran agar anak tetap mencintai kedua orang tuanya meskipun
T IRTO UWONDO S , DKK .
orang tuanya hanya seorang miskin. Nilai kejujuran dan ketaatan pada orang tua perlu juga ditanamkan kepada siswa, yang hal itu tersirat juga dalam cerita “Batu Badaon” dan “Terjadinya Danau To- ba”. Cerita “Batu Badaon” mengisahkan bahwa tokoh anak (Matia) tidak menaati pesan ibunya (Bunameni); dan karena itu ia mendapat celaka. Demikian juga yang terjadi dalam cerita “Terjadinya Danau Toba”. Gara-gara si ayah tidak menghiraukan pesan istrinya, ia mem- peroleh balasan, yaitu tenggelam di danau Toba. Berikut ini contoh bahan ajar prosa tradisional yang disajikan dalam pelajaran 4, cawu
3, kelas 6, hlm. 32—33.
VI. Pelajaran dari Sebuah Cerita
a. Baca baik-baik cerita rakyat di bawah ini!
SI TUPAI DAN SI RAUN
Seekor tupai bersahabat dengan seekor ikan besar merayap. Keluarga kedua hewan itu hidup rukun tolong-menolong, berka- sih-kasihan, bergotong-royong dengan kesetiaan besar pada satu sama lain. Pada suatu hari istri si Tupai jatuh sakit, dan dokternya mengatakan bahwa obat baginya adalah telur ayam.
“Wahai, telur ayam! Dari mana dapat memperolehnya?”
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S ASAR D
Dengan wajah yang amat sedih pergilah si Tupai kepada Si Raun, ikan sahabatnya itu, lalu diceritakannya hal kesediaannya itu.
Seketika si Raun terdiam berpikir, kemudian ia berkata, “Sau- dara tak usah sedih-sedih demikian. Aku akan membawa telur ayam itu kepada istri Saudara.”
Maka pulanglah si Tupai dengan harapan besar sekali akan pertolongan sahabatnya itu. Dan apakah yang diperbuat oleh si Raun?
Ketika seorang wanita, seperti biasa datang dengan periannya mengambil air dari sungai, tempat sarang si Raun itu, maka lekas- lekas ikan-ikan itu masuk ke dalam perian itu.
Maka pergilah wanita itu pulang ke rumahnya membawa pe- rian berisi ikan Raun itu, dan seperti saban hari dilakukannya, perian itu disandarkannya pada dinding rumah, dekat tempat se- ekor ayam betina bertelur.
Keluarlah si Raun itu dari perian lalu mengambil sebutir telur dari tempatnya. Sesudah itu si Raun merayap kembali ke dalam perian yang sudah hampir kosong itu, yang kemudian dibawa oleh wanita tadi kembali ke sungai untuk mengambil air.
Demikianlah si Raun, sekembalinya di sungai, lekas-lekas men- dapatkan si Tupai dengan membawa telur pengobatan istri saha- batnya yang sakit itu.
Kini, betapa berutang budi si Tupai pada si Raun, yang dengan penuh bahaya merebut telur itu. Pada suatu hari, tiba giliran pada si Raun, menderita kesedihan yang sama seperti sahabatnya itu. Adapun istri si Raun sakit ke- ras, ... dan Bapak Dokter menyatakan bahwa hanya hati buaya yang dapat mengobatinya.
Dengan hati yang berdebar-debar, sangat sedih si Raun men- dapati sahabatnya si Tupai itu. Maka jawab si Tupai, sesudah berdiam berpikir sejurus, “Aku akan dapat merebut hati buaya itu untuk istri Saudara yang sakit itu.” Pergilah si Raun dengan hati terhibur, penuh harapan pada istrinya.
T IRTO UWONDO S , DKK .
Adapun di sungai dekat sarang si Raun itu hidup juga seekor buaya.
Di pinggir sungai itu tumbuh sebuah pohon kelapa yang ber- buah.
Sebutir kelapa yang masih muda dilubangi oleh si Tupai itu, dengan lubangnya yang cukup besar guna memungkinkan si Tu- pai itu merayap ke dalam buah kelapa itu, ... dibuatnya selaku tempat penginapannya. Ketika dilihatnya buaya terapung di sungai tepat di bawah buah itu, maka dikerat si Tupai itu batang tali pusat penghubung buah itu dari mayangnya, dan ... jatuhlah buah itu ke sungai, di depan buaya terapung itu.
Dengan cepatnya buaya itu menelan buah kelapa berisikan si Tupai. Setiba buah kelapa itu di hulu hati si Buaya, maka dengan segera keluarlah si Tupai dari liang buah kelapanya itu, lalu dike- ratnya hati buaya itu sekaligus. Dengan kesakitan yang amat sangat, si Buaya menggelepar-gelepar, mengacau air sungai de- ngan hebatnya, tetapi tak lama kemudian matilah buaya itu. Lalu keluarlah si Tupai dari liangnya, dari mulut buaya itu, kemudian membawa hati buaya kepada sahabatnya si ikan Raun itu untuk pengobat istrinya yang sakit.
Demikianlah budi dibalas dengan budi juga, dengan pengor- banan dan usaha kepahlawanan, keberanian luar biasa, dengan taruhan nyawa.
Dari Cerita Rakyat V b. Kamu dapat membuat ikhtisar bacaan di atas dengan menentukan
pikiran pokok setiap paragraf. Buatlah ikhtisar bacaan di atas. c. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari cerita di atas? Diskusikan pesan
yang terdapat dalam cerita tersebut! d. Bacalah cerita rakyat yang lain, lalu laporkan secara tertulis!
Misalnya: 1. Pak Belalang
6. Lok Si Naga 2. Pak Kodok
7. Ciung Wanara 3. Asal Mula Pelangi
8. Raden Rangga 4. Terjadinya Candi Prambanan
9. Keong Emas 5. Asal Mula Jagung Bertongkol
10. Angkaro & Tunturana
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
Sebagai bahan ajar sastra di sekolah dasar, contoh prosa (cerita) di atas cukup baik. Dengan suguhan cerita itu, selain memperoleh hiburan, siswa juga akan memperoleh pesan atau amanat yang ber- hubungan dengan nilai sosial. Namun, agaknya ada beberapa hal yang menyimpang jika melihat beberapa pertanyaan dan tugas yang dibe- rikan kepada siswa. Pertanyaan-pertanyaan itu—seperti terjadi juga bagi prosa modern—jelas tidak mengarah ke apresiasi, terutama yang berkaitan dengan persoalan estetika sastra. Terlihat jelas bahwa tugas (b) hanya membuat ikhtisar, yaitu meringkas cerita. Hal ini barangkali akan mubazir karena cerita itu sudah begitu pendek. Sementara itu, pertanyaan (c) juga hanya menuntut siswa untuk mengetahui pesan— padahal pesan itu sangat subjektif dan bervariasi—dan tidak menuntut siswa untuk mencari dan memahami bagaimana munculnya pesan itu. Sampai pada tahap ini seharusnya siswa diajak untuk secara bertahap memahami bagaimana tokoh, watak, jalan cerita, dan sebagainya, baru kemudian menyimpulkan pesan yang mungkin dapat dipetik dari proses pemahaman unsur-unsurnya itu.
Di satu sisi, sehubungan dengan perintah (d), yaitu membaca dan melaporkan 10 buah cerita rakyat dari berbagai daerah di Indo- nesia, memang perintah itu memungkinkan siswa untuk lebih dinamis dan kaya wawasan, tetapi di sisi lain hal itu bukanlah dalam konteks pembelajaran cerita “Si Tupai dan Si Raun” sehingga upaya apresiasi terhadap cerita itu tertinggalkan. Dan pertanyaan (d) itu hanya mung- kin diberikan kepada siswa untuk tugas rumah yang cukup lama.
Demikianlah antara lain keberadaan sastra prosa dalam buku- buku ajar bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai. Dari pengamatan secara agak menyeluruh akhirnya dapat dikatakan bahwa prosa-prosa (modern dan tradisional) yang dipergunakan sebagai bahan ajar kelas
5 dan 6 siswa sekolah dasar cukup memadai. Hanya saja, prosa- prosa itu seringkali hanya dipergunakan sebagai bahan ajar bagi ke- pentingan lain, di antaranya untuk kepentingan pengajaran bahasa, pengajaran budi pekerti, moral, dan sebagainya, bukan bagi kepen- tingan pengajaran apresiasi sastra. Namun, sesuai dengan statusnya sebagai buku pelengkap, buku-buku ajar ini cukup representatif terutama dalam hal penyediaan bahan atau materi sastra.
T IRTO UWONDO S , DKK .
3.3.3 Drama
Seperti halnya puisi dan prosa, keberadaan drama dalam buku ajar bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai, baik untuk kelas 5 maupun kelas 6, juga cukup memadai. Beberapa (naskah) drama yang disajikan dalam buku ajar itu antara lain berjudul “Terjebak” karya F. X. Surana (pelajaran 5, kelas 5, cawu 1, hlm. 43—44); “Si Kabayan Banyak Utang” (pelajaran 1, kelas 5, cawu 2, hlm. 14— 16); “Damai di Hari Lebaran” karya F. X. Surana (pelajaran 5, kelas
5, cawu 3, hlm. 44—46); “Keluarga Mak Ijah” karya F. X. Surana dan “Kerbau Dikatakan Kambing” (pelajaran 1, kelas 6, cawu 1, hlm. 10—11); fragmen drama “Nyaris Terjadi Pembantaian” karya
F. X. Surana (pelajaran 8, kelas 6, cawu 2, hlm. 64); “Gugurnya Si Singamangaraja XII (pelajaran 1, kelas 6, cawu 2, hlm. 7—9); dan fragmen drama “Warna” karya Mansur Samin (pelajaran 3, kelas 6, cawu 3, hlm. 23—26).
Jika disesuaikan dengan kurikulum SD kelas 5 dan 6, bahan ajar drama yang disuguhkan dalam buku ajar dapat dikatakan me- lebihi target karena dalam hampir setiap catur wulan terdapat bahan ajar drama. Dalam GBPP kelas 5 disebutkan bahwa drama hanya diprogramkan pada cawu 3. Itulah sebabnya suguhan bahan ajar drama pada cawu 1 dan 2 merupakan nilai tambah (plus) bagi buku ajar tersebut. Hal ini berbeda dengan GBPP kelas 6. Dalam GBPP kelas 6 disebutkan bahwa drama diprogramkan pada cawu 3, tetapi buku ajar kelas 6 justru menyuguhkan drama pada cawu 1 dan 2. Kendati demikian, hal ini tidaklah menjadi masalah karena—sebagai- mana disebutkan dalam GBPP—guru memiliki kebebasan penuh untuk mengatur tata urutan bahan ajar.
Ditinjau dari segi bobotnya, dapat dikatakan bahwa drama-drama tersebut umumnya sesuai dengan kemampuan dan daya pikir anak- anak seusia kelas 5 dan 6. Secara umum dapat dikatakan bahwa drama-drama tersebut selain mementingkan segi humor juga mengan- dung pesan moral. Drama berjudul “Terjebak”, misalnya, secara lucu mengisahkan dua anak berusia kira-kira 10 tahun yang terperangkap oleh serdadu Belanda. Setelah diinterogasi oleh serdadu Belanda,
K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S
ASAR D
dengan lugu mereka berkata bahwa di desanya banyak pasukan re- publik yang berkeliaran. Hal serupa terdapat juga dalam drama “Si Kabayan Banyak Hutang”.
Sementara itu, drama “Damai di Hari Lebaran”, “Keluarga Mak Ijah”, “Nyaris Terjadi Pembantaian”, dan “Gugurnya Si Singama- ngaraja XII” lebih mementingkan segi moral daripada humor. Drama berjudul “Damai Di Hari Lebaran” mengisahkan keluarga miskin bernama Fauzi dan emaknya yang diberi hadiah oleh Pak Haji Umar di hari lebaran; drama “Keluarga Mak Ijah” mengisahkan keluarga Mak Ijah yang hidup serba kekurangan; dan drama “Gugurnya Si Singamangaraja XII” mengi-sahkan semangat kepahlawanan Si Si- ngamangaraja.
Dilihat dari segi pertanyaan dan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa, dapat dikatakan bahwa bahan ajar drama itu sebagian cukup menarik dan menunjang tujuan pengajaran sastra. Dikatakan demikian karena sebelum drama disajikan, terlebih dulu siswa diberi keterangan-keterangan mengenai pengertian, bentuk, babak, adegan dalam drama, dan sebagainya (lihat pelajaran 5, kelas 5, cawu 1, hlm. 43—44). Dengan demikian, sebelum melaksanakan perintah atau menjawab pertanyaan, siswa sudah paham apa yang disebut drama dan aturan-aturan permainannya. Beberapa perintah dan pertanyaan lain yang diajukan antara lain berbunyi sebagai berikut.
(1) Ceritakan isi drama dengan kalimatmu sendiri! (2) Berilah tanggapan tentang sifat tokoh-tokoh dari isi drama tersebut! (3) Sadurlah drama di atas dengan menceritakan kembali isinya dengan
kata-kata sendiri! (4) Bacakan atau bawakan drama itu di depan kelas! (5) Buatlah kesimpulan isi drama berikut! (6) Mainkan fragmen tersebut di depan kelas! (7) Berikan kesan, pendapat, maupun tanggapan terhadap isi fragmen
tersebut! (8) Buatlah karangan drama dengan salah satu tema atau pokok masalah berikut ini!
T IRTO UWONDO S , DKK .
Semua perintah di atas agaknya mengacu pada upaya pembela- jaran sastra karena perintah-perintah itu tidak menyimpang dari ram- bu-rambu pengajaran (apresiasi) sastra. Keterangan atau penjelasan mengenai pengertian, bentuk, babak, dan adegan dalam drama, dan sebagainya (lihat pelajaran 5, kelas 5, cawu 1, hlm. 43—44). Dengan demikian, sebelum melaksanakan perintah atau menjawab pertanya- an, siswa sudah paham apa yang disebut drama dan aturan-aturan permainannya. Beberapa perintah dan pertanyaan lain yang diajukan antara lain berbunyi sebagai berikut.
(1) Ceritakan isi drama dengan kalimatmu sendiri! (2) Berilah tanggapan tentang sifat tokoh-tokoh dari isi drama tersebut! (3) Sadurlah drama di atas dengan menceritakan kembali isinya dengan
kata-kata sendiri! (4) Bacakan atau bawakan drama itu di depan kelas! (5) Buatlah kesimpulan isi drama berikut! (6) Mainkan fragmen tersebut di depan kelas! (7) Berikan kesan, pendapat, maupun tanggapan terhadap isi fragmen
tersebut! (8) Buatlah karangan drama dengan salah satu tema atau pokok masalah berikut ini!
Semua perintah di atas agaknya mengacu pada upaya pembela- jaran sastra karena perintah-perintah itu tidak menyimpang dari ram- bu-rambu pengajaran (apresiasi) sastra.