Buku Ajar Terbitan Yudhistira

3.4 Buku Ajar Terbitan Yudhistira

Buku ajar berjudul Pelajaran Bahasa Indonesia hasil terbitan Yudhis-tira (Jakarta) yang dipergunakan sebagai bahan pemantauan ini terdiri atas enam jilid (3 jilid untuk kelas 5 dan 3 jilid untuk kelas 6); dan masing-masing jilid memuat bahan ajar setiap caturwulan (ca- wu). Buku ajar yang diterbitkan tahun 1994 dan disusun berdasarkan kurikulum SD (GBPP) 1994 ini merupakan buku pelengkap. Adapun keberadaan sastra (puisi, prosa, dan drama) dalam buku-buku ajar tersebut sebagai berikut.

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

3.4.1 Puisi

Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan bahan ajar puisi dalam buku ajar terbitan Yudhistira untuk kelas 5 cukup menarik. Puisi-puisi yang ditampilkannya sebagian besar berupa puisi modern. Selama setahun puisi modern disajikan sebanyak empat kali dalam topik “Membaca Puisi”. Puisi-puisi tersebut adalah “Guruku” (pela- jaran 1, cawu 1, hlm. 17), tanpa nama penulis, diambil dari kumpulan sajak Aku Tunas Bangsa Indonesia; “Tuhanku” (pelajaran 4, cawu

1, hlm. 61) karya Darwis Dali, diambil dari kumpulan sajak Aku Tu- nas Bangsa Indonesia; “Bila Benih Telah Bersemi” (pelajaran 6, cawu 1, hlm. 89), tanpa nama penulis, dikutip dari buku Bahasa Indonesia terbitan Depdikbud; dan “Rumahku” (pelajaran 1, cawu

2, hlm. 16), tanpa nama penulis, diambil dari kumpulan sajak Aku Tunas Bangsa Indonesia. Sementara itu, puisi tradisional (pantun) hanya disajikan dua kali dalam topik “Membuat Pantun” (pelajaran

1, cawu 3, hlm. 19) dan topik “Mengenal dan Membedakan Bentuk Puisi, Prosa, Drama” (pelajaran 2, cawu 3, hlm. 30). Ditinjau dari sisi bobot dan atau tingkat kesulitannya, puisi- puisi tersebut agaknya mudah dipahami siswa kelas 5 karena dunia yang ditampilkannya dekat dengan lingkungan anak-anak seusia itu. Puisi berjudul “Guruku”, misalnya, berbicara tentang sosok guru yang patut diteladani dan layak diberi penghargaan karena mampu mem- buat murid-muridnya menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara; puisi “Tuhanku” menggambarkan kebesaran Tuhan yang patut disembah karena Dia yang menciptakan dunia seisinya; puisi “Bila Benih Telah Bersemi” berkisah tentang petani dan padi yang subur di sawahnya; dan puisi “Rumahku” bercerita mengenai sebuah rumah sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi keluarga meskipun rumah tersebut tidak megah dan tidak indah.

Dilihat dari sisi pragmatis, puisi-puisi tersebut pada hakikatnya menyarankan agar siswa mencintai guru (sesama manusia), Tuhan (yang menciptakan manusia), keluarga (rumah), dan lingkungan alam (sawah). Dengan kesederhanaan materi yang ditampilkan dimaksud- kan agar siswa mampu membaca teks dan menyerap isi puisi serta

T IRTO UWONDO S , DKK .

dapat memberikan tanggapan (sesuai dengan tujuan program peng- ajaran bahasa Indonesia). Harapan itu tidak mengalami hambatan yang berarti jika tidak dikaitkan dengan program pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra (puisi).

Tugas yang diberikan kepada siswa terhadap puisi “Guruku” merupakan suatu upaya positif untuk mengadakan interaksi berbagai pengalaman antara guru dan siswa atau antara siswa dan siswa, yang hal ini tercermin dari tugas membaca puisi di depan kelas. Hanya saja interaksi berbagai pengalaman itu tidak didukung oleh tugas be- rikutnya (menjawab pertanyaan) yang tidak lagi dalam hubungan tu- kar pengalaman tetapi berubah menjadi proses pelaporan resmi de- ngan berbagai pertanyaan seperti (1) dari mana puisi tersebut diambil, dan (2) apa judul puisi tersebut. Pertanyaan itu dilanjutkan dengan pertanyaan yang sama sekali tidak mampu membuka wawasan apre- siatif siswa terhadap sastra karena pertanyaan yang dimunculkan le- bih tertuju pada sosok dan kegiatan guru, tidak menyangkut puisi itu sendiri (misalnya pertanyaan menyangkut tema dan isi). Untuk le- bih jelasnya berikut ini dikutip secara lengkap puisi berjudul “Guruku” dan pertanyaan yang harus dijawab siswa.

6. Membaca Puisi

a. Bacalah puisi di bawah ini di depan kelasmu!

GURUKU

Ibu guruku manis sekali Menyambutku di pagi berseri Hatiku senang Perasaanku tenang

Ibu guruku lembut sekali Mengajarku mengenal diri Membukakan mata Membukakan pintu hati Agar aku menjadi Anak cerdas dan berbudi

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

Padamu ibu guru aku berterima kasih Dalam hati aku berjanji Nasihatmu akan kuturuti Perintahmu akan kupatuhi Ilmumu akan aku pelajari

Semoga jadilah aku Anak berguna Untuk bangsa dan tanah airku Di kemudian hari

b. Jawablah pertanyaan di bawah ini! 1) Dari mana puisi di atas diambil? 2) Apa judul puisi di atas? 3) Bagaimana sambutan Bu Guru terhadap muridnya? 4) Bagaimana perasaanmu bila disambut dengan wajah berseri

oleh Bu Guru? 5) Apa saja yang diajarkan Bu Guru menurut puisi di atas? 6) Apa tujuan Bu Guru mengajarkan kepada kita untuk mengenal

diri dan membukakan pintu hati? 7) Apa janjimu terhadap gurumu? 8) Apa harapanmu setelah dewasa?

Dalam contoh di atas tampak bahwa kesempatan siswa untuk menghayati dan mencermati cipta sastra menjadi terbatas. Siswa tidak diberi kesempatan dan dorongan untuk mengakrabi karya sastra ka- rena tugas (menjawab pertanyaan) yang diberikan kepada siswa me- ngarah pada pembelajaran sastra yang skematis.

Hal di atas berbeda dengan puisi “Tuhanku” yang memberikan peluang (lewat tugas yang diberikan) kepada siswa untuk meningkat- kan apresiasi dengan berbagai pengalaman lewat pembacaan, pem- bahasan puisi dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi yang masing-masing kelompok diwajibkan memahami isi puisi, di samping harus membuat rangkuman isi puisi yang kemudian dibacakan di de- pan kelas. Tugas untuk puisi “Tuhanku” menunjukkan hal yang lebih positif; pembelajaran sastra diupayakan dapat memberikan kegairah- an dalam membaca karya sastra dan memberi peluang bagi siswa

T IRTO UWONDO S , DKK .

untuk mengasah kepekaan reaksi terhadap karya satra—sejauh guru benar-benar memberi kebebasan kepada siswa untuk memberikan tanggapan sendiri dan guru tidak berpegang pada kebenaran tunggal dengan segenap keyakinan bahwa interpretasi yang paling benar adalah interpretasi yang dikemukakannya. Lewat cara ini niscaya siswa mam- pu memperdalam persepsi (apresiasi) tentang sastra melalui pengalaman sendiri dengan bimbingan secukupnya dari guru.

Tugas yang diberikan kepada siswa untuk puisi “Bila Benih Telah Bersemi” dan “Rumahku” lebih pada aspek pembacaan (pemanggung- an) puisi, di samping membuat kliping puisi dari berbagai sumber (ko- ran dan majalah). Dengan tugas tersebut diharapkan siswa menge- tahui bagaimana teknik pembacaan puisi di samping mengenal ber- bagai puisi dan penyairnya. Kegiatan mengkliping puisi—ini juga di- kenakan pada bahan ajar pantun—merupakan kegiatan di luar jam tatap muka yang dapat menunjang pengajaran sastra, membantu pro- ses pengembangan apresiasi sastra. Hanya saja, upaya pengenalan terhadap penyair (dalam konteks ini penulis puisi) tidak mendapatkan tempat dalam buku ajar terbitan Yudhistira. Dari empat puisi yang terdapat dalam buku ajar bahasa Indonesia untuk kelas 5, hanya satu puisi yang menyertakan nama penulis. Padahal, menurut Allen (1977:273), apresiasi sastra hendaknya dimulai dengan pengenalan, baik pengenalan terhadap pengarang maupun terhadap karyanya.

Kelebihan buku ajar bahasa Indonesia terbitan Yudhistira untuk kelas 5 terletak pada upaya mengenalkan dan membedakan bentuk puisi, prosa, dan drama (pelajaran 2, cawu 3, tema: kesenian), yaitu dengan memberikan definisi dan atau keterangan mengenai perbeda- an antara puisi, prosa, dan drama. Pembedaan tersebut diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan yang cukup apresiatif menyangkut hakikat puisi, prosa, dan drama. Namun, sebenarnya akan lebih baik jika materi pembelajaran ini diberikan dalam buku ajar untuk cawu 1. Dengan demikian, siswa sudah sejak dini dapat membedakan dengan sungguh-sungguh apa itu puisi, prosa, dan drama.

Data membuktikan pula bahwa keberadaan bahan ajar puisi da- lam buku ajar untuk kelas 6 semakin tersisihkan. Selama di kelas 5

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

siswa disuguhi enam kali bahan ajar puisi; sementara di kelas 6 mere- ka hanya diberi bahan ajar dua kali. Bahan ajar pertama yang berupa pantun jenaka, berjudul “Lulus Ujian”, diberikan pada pelajaran 5 cawu 1 (hlm. 89—90); sedangkan materi kedua yang berupa puisi modern berjudul “Air Terjun” diberikan pada pelajaran 3 cawu 2 (hlm. 50—51).

Dalam cawu 1 puisi lama (pantun) “Lulus Ujian” disajikan dalam subbagian mengungkapkan perasaan melalui pantun, dan sebuah con- toh pantun jenaka dalam subbagian membuat pantun jenaka. Seleng- kapnya pantun tersebut sebagai berikut.

LULUS UJIAN

Jalan-jalan ke Kalibata Mampir sebentar di rumah teman Hati siapa tak kan gembira Karena telah lulus ujian

Mampir sebentar di rumah teman Menyampaikan pesan serta undangan Karena telah lulus ujian Bermaksudlah hati hendak syukuran

Menyampaikan pesan serta undangan Sebagai tanda rasa persahabatan Bermaksudlah hati hendak syukuran Atas rahmat yang diberikan Tuhan

Tugas yang diberikan kepada siswa berkaitan dengan perta- nyaan mengenai isi pantun, di samping tugas membuat pantun jenaka. Dengan demikian, dilihat dari GBPP, materi pembelajaran sastra cawu

1 memiliki kerumpangan: tidak ada upaya interaksi tukar pengalaman dalam kegiatan pembacaan pantun. Meskipun demikian, apresiasi terhadap pantun mendapat tempat yang cukup luas. Hal ini terbukti dengan pertanyaan yang menyangkut pesan dan isi pantun “Lulus Ujian”, selain adanya tugas membuat pantun yang mengungkapkan perasaan humor dan nasihat.

T IRTO UWONDO S , DKK .

Dalam cawu 2 puisi “Air Terjun” ditampilkan dalam subbagian mendengarkan pembacaan puisi dan membicarakan hal-hal penting dengan menampilkan puisi. Puisi ini memaparkan keindahan Indone- sia dengan pemandangan alam, lukisan aneka fauna dan flora. Upaya interaksi tukar pengalaman bersastra dilakukan dengan tugas mem- baca puisi tersebut di depan kelas. Jika dalam GBPP dituntut adanya pembicaraan hal-hal penting tentang puisi (dalam rangka lebih me- ningkatkan apresiasi sastra siswa), hal itu kurang dapat dimengerti karena tugas yang diberikan sesungguhnya tidak berbeda dengan tugas-tugas bagi siswa kelas lima, yaitu sekedar memahami isi puisi. Artinya, tugas memahami puisi tidak mengalami peningkatan yang berarti. Hal ini dapat dipahami jika kita berpedoman pada gagasan yang meyakini bahwa puisi dalam pengajaran sastra untuk anak-anak sebaiknya disajikan secara lisan karena apresiasi terhadap puisi anak- anak lebih tepat jika dibina melalui pendengaran karena puisi bagi anak-anak adalah untuk kesenangan. Dengan begitu, tidak ada man- faatnya jika guru mengajak anak-anak (siswa) untuk menganalisis puisi dengan agak suntuk.

Demikian selintas keberadaan bahan ajar puisi dalam buku- buku ajar bahasa Indonesia terbitan Yudhistira. Dari paparan selintas di atas dapat dinyatakan bahwa pembelajaran puisi lebih ditekankan semata-mata hanya pada tujuan apresiasi puisi, sedangkan kegiatan ekspresi yang pada hakikatnya juga merupakan usaha memperdalam apresiasi kurang memperoleh porsi yang lebih luas.

3.4.2 Prosa

Dalam GBPP SD kelas 5 dicantumkan mengenai pembelajaran sastra (prosa) dengan materi yang mencakupi membaca buku cerita yang sesuai untuk anak, membicarakan hal-hal yang menarik, mence- ritakan kembali secara lisan atau tertulis cerita rakyat dari daerah sen- diri atau daerah lain serta membicarakannya (cawu 1); membaca ce- rita dan menyampaikan kesan tentang cerita itu, membaca novel anak- anak dan membicarakan isinya, membaca cerita pendek dan membi- carakan isinya, menulis cerita, menyusun karangan berdasarkan per- cakapan (cawu 2); dan memperbaiki karangan berdasarkan saran

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

teman atau guru, menceritakan kembali isi bacaan, dan menyusun cerita bersama-sama (cawu 3).

Buku ajar bahasa Indonesia untuk kelas 5 cawu 1 antara lain memuat cerita “Seandainya Tidak Terlambat Bangun” (dalam topik membaca cerita, hlm. 43—45), “Ronda Malam” (dalam topik mem- baca buku cerita yang sesuai untuk anak, hlm. 36—37), dan “Asal Mula Nama Banyuwangi” (dalam topik membaca cerita rakyat, hlm. 72—75).

Cerita “Seandainya Aku Tidak Terlambat Bangun” berkisah ten- tang Anto yang tidak jadi ikut berwisata dengan teman-teman satu sekolah karena ia terlambat bangun. Justru karena keterlambatannya bangun tidur, Anto tidak mengalami kecelakaan karena bus yang di- tumpanginya untuk berwisata masuk sungai. Cerita ini sangat baik (memiliki alur dengan suspense yang terjaga dan penokohan yang wajar) bagi anak-anak. Hanya saja tugas menjawab pertanyaan untuk cerita anak-anak yang dikutip dari harian Republika itu tidak lepas dari persoalan di luar sastra, misalnya (1) mengapa Anto terlambat bangun, (2) mengapa Anto tidak ikut piknik, dan (3) bagaimana ke- adaan anak-anak yang mengalami kecelakaan? Secara lengkap beri- kut ini kutipan cerita dan pertanyaan serta tugas yang harus dikerja- kan siswa.

5. Membaca Cerita

a. Bacalah cerita di bawah ini!

SEANDAINYA TIDAK TERLAMBAT BANGUN

Ketika bangun, Anto terperanjat. Jarum jam sudah menunjuk- kan pukul enam pagi. Anto bergegas turun dari ranjang, lalu lari ke dapur. Ternyata yang terlambat bangun bukan hanya dia, te- tapi seisi rumah itu. Anto menuju kamar tempat ayah dan ibunya tidur. Ia gedor pintunya dengan keras.”Bu, sudah siang, Bu! Bu, nanti aku terlambat!” teriak Anto keras.

“He, sudah siang! Aduh, belum salat subuh!” terdengar suara ibu Anto dari dalam kamar.

T IRTO UWONDO S , DKK .

“Pukul berapa kumpulnya, To?” tanya Ayah. “Pukul enam, Yah,” jawab Anto. Pagi itu, Anto akan berwisata dengan teman-temannya satu

sekolah. Mereka mengunjungi objek wisata dengan mencarter bus wisata. Dalam perjanjian, siapa yang pukul enam pagi belum datang, akan ditinggal.

“Salat dulu, lalu langsung ke rumah Budi. Siapa tahu kamu belum ketinggalan,” kata Ayah. “Tapi, bekalnya belum disiapkan,” kata Anto.

“Sudahlah, bekal biar Ibu yang menyiapkan,” kata ibu Anto. Ayah pun buru-buru mengantar Anto ke tempat temannya ber-

kumpul. Namun, rupanya teman-temannya sudah berangkat. Anto ditinggal karena terlambat. Dengan kesal, Anto pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Ayah menghibur Anto.

Sepanjang hari Anto tampak cemberut. Hari itu, ia tidur seha- rian. Sesudah salat magrib, Anto masih belum tampak ceria. Ia duduk diam di depan televisi. Ia masih merasa kesal dengan diri- nya sendiri. Ia terlambat bangun karena menonton siaran televisi sampai larut malam.

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

Tetapi, semuanya berubah ketika ayah Anto pulang dari mesjid. “To, untung kita terlambat bangun. Ini betul-betul rahasia Tu-

han, hanya kita tidak tahu. Kita wajib bersyukur,” kata Ayah.

“Ada apa, Pak?” tanya Ibu. “Bus yang ditumpangi anak-anak mengalami kecelakaan. So-

pirnya ngantuk, mobilnya masuk sungai,” kata Ayah. Anto dan Ibu terperanjat. “Untungnya anak-anak hanya cedera, tetapi ada yang agak

berat. Sekarang semuanya berada di rumah sakit. Kita bersyukur bukan berarti mensyukuri kecelakaan itu, tetapi mensyukuri per- lindungan Allah dengan melambatkan bangun kita. Seandainya kita tidak terlambat bangun, Anto tentu ikut piknik dan ikut me- ngalami kecelakaan itu,” kata ayah Anto.

Anto mensyukuri terlambatnya ia bangun. Seandainya tidak terlambat bangun, entahlah apa yang akan dialaminya.

Dari: Republika, 28 Agustus 1994. b. Jawablah pertanyaan wacana di bawah ini!

1) Mengapa Anto sampai terlambat bangun? 2) Hendak ke mana Anto bersama teman-temannya? 3) Bagaimana perjanjian Anto dengan teman-temannya? 4) Mengapa Anto tidak ikut piknik? 5) Bagaimana perasaan Anto setelah ditinggal teman-temannya? 6) Mengapa bus yang ditumpangi anak-anak masuk sungai? 7) Bagaimana keadaan anak-anak yang mengalami kecelakaan? 8) Apa yang disyukuri oleh orang tua Anto?

c. Tugas 1) Buatlah ringkasan cerita di atas dengan kata-katamu sendiri,

kemudian bacakan ringkasan ceritamu di depan kelas! 2) Tulislah bagian-bagian cerita di atas yang menarik bagimu dan mengapa kamu anggap menarik?

Memang persoalan-persoalan yang dikemukakan dalam cerita di atas menarik untuk dibicarakan, tetapi untuk meningkatkan apre- siasi siswa terhadap sastra sebaiknya beberapa pertanyaan itu dikait- kan dengan penokohan, tema, latar, atau alur cerita. Kesadaran untuk

T IRTO UWONDO S , DKK .

meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra diletakkan dalam tugas yang diberikan dengan tuntutan agar siswa membuat ringkasan cerita dengan kata-kata siswa sendiri dan menulis bagian-bagian cerita yang menarik. Dengan tugas tersebut setidaknya siswa dilatih untuk mem- buat sinopsis dengan imajinasi masing-masing, di samping dituntut untuk benar-benar memperhatikan struktur cerita (terutama alur) untuk menuliskan bagian cerita yang paling menarik.

Untuk cerita “Ronda Malam”, upaya pemahaman terhadap sas- tra juga belum tampak menggembirakan karena pertanyaan-perta- nyaan yang diajukan hanya untuk menjawab hal-hal yang berada di luar kotak apresiasi sastra. Pertanyaan itu misalnya (1) bagaimana cara melaksanakan ronda, dan (2) mengapa penduduk desa tidak begitu was-was terhadap gangguan keamanan? Meskipun demikian, arah untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastra sudah mulai mendapat perhatian (menyangkut penokohan dan latar), misalnya lewat pertanyaan (1) kebiasaan apa yang sudah dilakukan oleh penduduk desa Sukatani, (2) siapa saja yang menjadi petugas ronda, dan (3) bagaimana keadaan kampung yang selalu mengadakan ronda?

Perlu dicatat bahwa dalam buku ajar terbitan Yudhistira terdapat cerita rakyat yang agaknya kurang sesuai untuk bahan ajar bagi siswa sekolah dasar. Cerita rakyat “Asal Mula Nama Banyuwangi”, misal- nya, memang pantas dikemukakan. Hanya saja, dari segi bahasa, perlu dipertimbangkan agar cerita yang dikutip dari buku Pandai Berba- hasa Indonesia terbitan Depdikbud (1992) itu sesuai dengan per- kembangan kepribadian anak yang masih lugu. Agak mengkhawa- tirkan kiranya jika anak-anak sekolah dasar sudah direcoki dengan kata-kata mencaci maki, memaki-maki, berbuat penyelewengan, dan beberapa kata lain yang mempunyai pengertian negatif dan sulit di- mengerti anak-anak.

Kendati demikian, di sisi tertentu pertanyaan dan tugas yang di- berikan kepada siswa sehubungan dengan cerita rakyat “Asal Mula Nama Banyuwangi” layak mendapatkan acungan jempol. Pertanya- an-pertanyaan yang dikemukakan benar-benar mengarah pada pe- ningkatan apresiasi sastra: (1) siapa pelaku utama cerita “Asal Mula

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

Nama Banyuwangi”, (2) masing-masing pelaku utama cerita mempu- nyai watak atau sifat yang berbeda-beda, bagaimana sifat istri sang Patih, sang Patih, dan ibu sang Patih, (3) bagaimana akhir cerita “Asal Mula Nama Banyuwangi”, dan beberapa pertanyaan lain yang benar- benar menuntut pemahaman siswa terhadap struktur cerita yang wajib dibaca. Selain itu, tugas yang diberikan juga membuka peluang bagi siswa untuk mengembangkan imajinasi dan memungkinkan siswa mem- perluas perbendaharaan kata-kata. Tugas tersebut adalah membuat ringkasan cerita dengan kata-kata sendiri (hal yang sama terjadi juga untuk tugas membaca cerita rakyat “Ki Ajar Wilis” pelajaran 6, cawu

2, hlm. 90—91). Nilai tambah lain yang terdapat dalam buku ajar kelas 5 cawu 1 adalah adanya tugas memahami dan mencari arti pe- ribahasa, di samping kegiatan menceritakan gambar dalam bentuk karangan—tentunya kegiatan ini berpotensi dalam pengembangan imajinasi anak-anak untuk menyusun sebuah cerita.

Tuntutan GBPP agar siswa kelas 5 cawu 2 mengadakan ke- giatan membaca cerita dan menyampaikan kesan mengenai cerita yang bersangkutan diwujudkan dengan membaca cerita “Persami” (tanpa nama pengarang, disarikan dari Pandai Berbahasa Indone- sia 6a dengan perubahan seperlunya, hlm. 21—23), membaca nya- ring cerita “Pergi Berbelanja” (tanpa nama pengarang dan sumber cerita, pelajaran 5, hlm. 63—65), dan membaca cerita rakyat “Ki Ajar Wilis” karya Suwito, yang dikutip dari Babad Tanah Jawi.

Meskipun cerita “Persami” disajikan secara naratif, pertanyaan dan tugas yang diberikan kepada siswa sama sekali tidak bersing- gungan dengan persoalan yang berkaitan dengan sastra. Semua per- tanyaan tertuju pada kegiatan persami (perkemahan Sabtu Minggu). Hal itu juga berlaku untuk cerita “Pergi Berbelanja” yang lebih mem- beri tekanan pada persoalan kegiatan jual-beli. Dengan demikian, tuntutan GBPP agar siswa membaca novel dan cerita pendek anak- anak—terlebih untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sas- tra—tidak terpenuhi. Akan tetapi, kerumpangan tersebut ditutupi de- ngan adanya tugas menulis cerita. Tugas tersebut didahului dengan mendefinisikan apa yang disebut dengan cerita—khususnya cerita

T IRTO UWONDO S , DKK .

fiksi dan cerita nonfiksi. Cerita fiksi adalah cerita yang isinya hanya khayalan belaka (sic!). Jadi, jenis cerita fiksi sumbernya berasal dari khayalan pengarang; sedangkan sumber cerita nonfiksi berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Setelah ada pendefinisian tersebut kemu- dian diikuti dengan cerita fiksi “Cita-Cita Andra” yang berisi khayalan seorang anak yang bercita-cita menjadi dokter. Tugas menulis cerita diikuti dengan panduan bagaimana cara menulis cerita. Dalam bagian ini dijelaskan juga mengenai kelompok cerita fiksi yang mencakupi cerita pendek, novel, dan roman (dalam bagian ini mestinya dijelaskan juga apa yang disebut cerita pendek, novel dan roman —bagaimana drama, cerita bersambung apakah tidak ter-masuk dalam kategori cerita fiksi? Benarkah—sesuai dengan definisi cerita fiksi di atas— beberapa genre sastra itu benar-benar hanya menam-pilkan khayalan belaka?), sedangkan yang termasuk dalam kelompok cerita nonfiksi meliputi biografi, autobiografi, dan sejarah.

Panduan yang diberikan tentang cara menulis cerita sangat mudah dimengerti dan mampu mendorong siswa untuk berekspresi sastra. Panduan menulis cerita tersebut sebagai berikut: (a) tulislah peristiwa yang pernah kamu atau temanmu alami, (b) tambahkan khayalan-khayalanmu dalam cerita tersebut, (c) ciptakan sendiri to- koh-tokoh ceritamu. Di samping itu juga perlu diperhatikan langkah- langkah berikut ini: (a) tentukan tema cerita yang akan kamu buat, (b) beri judul ceritamu itu, (c) buatlah kerangka karangan berdasarkan judul yang kamu buat (sebaiknya ini merupakan langkah pertama yang dilakukan siswa—pen), dan (d) kembangkan kerangka ka- rangan itu menjadi paragraf-paragraf sehingga nantinya akan menjadi sebuah cerita. Dengan tugas tersebut siswa benar-benar diberi ke- sempatan untuk menghayati kegiatan bagaimana menciptakan karya sastra, di samping adanya bimbingan apresiasi yang memadai. Di samping itu juga diupayakan pengenalan siswa terhadap berbagai cerita fiksi dengan adanya tugas mengumpulkan berbagai cerita fiksi yang pernah dibaca di majalah atau surat kabar.

Tuntutan GBPP untuk kelas 5 cawu 3 adalah agar siswa mampu memperbaiki karangan berdasarkan saran teman atau guru, mering-

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

kas cerita, dan menyusun cerita bersama-sama; tidak semuanya da- pat terpenuhi. Tugas yang diberikan kepada siswa hanya membaca dan meringkas cerita “Kisah Burung Mentawai” karya Yuniar, dikutip dari Pelatihan Soal Bahasa Indonesia (pelajaran 4, hlm. 60—61). Meskipun demikian, hal itu mampu mendorong siswa untuk menu- liskan kembali sebuah cerita, memperkaya perbendaharaan bahasa, dan memotivasi imajinasi anak-anak dalam menyusun cerita.

Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan benar-benar berkaitan dengan pengetahuan dasar siswa dalam memahami karya sastra. Simak misalnya pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) sebutkan siapa-siapa yang menjadi tokoh cerita dalam cerita “Kisah Burung Mentawai”, (2) siapa yang membantu siput dalam pertandingan, dan (3) bagaimana akhir pertandingan itu? Dari beberapa pertanyaan tersebut setidaknya siswa harus mengenal tokoh-tokoh cerita—baik tokoh utama maupun tokoh pembantu—dan memperhatikan alur ce- rita.

Dalam buku ajar bahasa Indonesia kelas 6 cawu 1 dimuat bahan ajar tentang cara menyusun dan membuat garis besar karangan (sesuai dengan GBPP yang mengisyaratkan adanya kegiatan menyusun kerangka karangan dan mengembangkannya) yang dimulai dengan menetapkan topik yang akan dijadikan kerangka karangan. Bahan ajar ini disertai contoh konkret agar siswa mudah memahami bagaimana upaya menulis cerita dengan sungguh-sungguh. Bekal ini tentu saja diperlukan untuk menggairahkan siswa dalam menulis cerita sebagai sebuah keterampilan di bidang sastra.

Kegiatan yang dilakukan siswa sebagaimana diisyaratkan dalam buku ajar cawu 1 tampaknya dikembangkan pada buku ajar cawu

2, yaitu dengan kewajiban siswa membaca dan menceritakan sifat- sifat tokoh cerita. Pada tataran ini siswa lebih dituntut kepekaan apresiasinya terhadap karya sastra yang pernah dibaca. Tuntutan tersebut dapat dilihat dari tugas yang diberikan kepada siswa untuk mengingat kembali watak tokoh-tokoh dalam cerita “Sang Kancil dan Sang Harimau”, “Si Kabayan”, dan “Si Malin Kundang” (hlm. 27). Upaya ini setidaknya memperlihatkan dua hal penting, yaitu (1)

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

3.4.3 Drama

Menurut definisi yang diberikan dalam buku ajar bahasa Indo- nesia kelas 5 cawu 3 (pelajaran 2, hlm. 31) terbitan Yudhistira, drama adalah karangan berbentuk dialog yang dipentaskan. Dalam buku pelajaran bahasa Indonesia terbitan Yudhistira, drama muncul dalam bentuk meragakan percakapan, bercakap-cakap, bermain peran, ber- main drama satu babak, percakapan, bermain drama, dan membahas sesuatu yang sedang hangat (lewat percakapan).

Bentuk drama yang dimaksudkan di atas sudah diperkenalkan kepada kelas 5 cawu 2 (pelajaran 2, hlm. 32) melalui materi meraga- kan percakapan lewat telepon dan bercakap-cakap (mengenai tele- visi) untuk memenuhi tuntutan GBPP menyangkut materi membaca dan melakukan percakapan tentang masalah yang menyangkut ke- hidupan sehari-hari. Tugas yang diberikan dalam percakapan (dra- ma) tersebut menyangkut penjelajahan siswa terhadap karya sastra dengan mengamati, menyak-sikan, dan mementaskan sebuah karya sastra; melakukan penafsiran terhadap cipta sastra yang dijelajahi; dan mengadakan rekreasi dengan menuliskan karya sesuai dengan tugas yang diberikan.

Hal yang sama berlaku juga untuk bahan ajar drama yang ter- dapat dalam buku ajar kelas 5 cawu 3 (tanpa judul, dalam topik “Ber- main Peran”, hlm. 74)—guna memenuhi tuntutan GBPP agar siswa memerankan drama pendek, memerankan pelaku yang ada dalam cerita—dan drama tersebut menyangkut kemajuan teknologi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bahan ajar drama untuk kelas 6 lebih menuntut kepekaan siswa dalam berekspresi di depan kelas karena ada beberapa penggalan drama yang dilengkapi dengan petunjuk pementasan. Perhatian materi bermain drama satu babak (pelajaran 2, cawu 1, hlm. 43—44) berikut ini.

h. Bermain drama satu babak Mainkan drama satu babak di depan kelas. Tentukan pemegang peranannya.

T IRTO UWONDO S , DKK .

Syamsudin : “Aduh ... aduh ... aduh, tanganku?” (Syamsudin masuk sambil memegangi ta- ngannya). Ratna (anggota PMR): “Ada apa, Din? Mengapa tanganmu?” Bambang dan Tono (anggota PMR): “Mengapa Syamsudin, Rat?

Apa yang terjadi?” Syamsudin

: “Aku terjatuh dari pohon jambu yang ada di pekarangan sekolah. Tanganku terkilir.” Ratna

: “Tolong ambilkan kain segitiga, dan papan yang biasa kita gunakan untuk berlatih P3K. Dan kamu Ton, keringkan keringat yang

membasahi muka Syamsudin.” (Ketiga anggota PMR itu mulai memberikan pertolongan pertama kepada Syamsudin).

Ratna, Bambang, Tono: “Mari segera kita bawa ke rumah sakit terdekat.” (Syamsudin dibawa dengan tandu).

Drama satu babak tersebut belum diberi judul. Cobalah kamu berikan judul yang tepat! Peralatan apa saja yang diperlukan untuk mementaskan drama ter- sebut di depan kelas? Lakukanlah bermain peran itu bergantian!

K EBERADAAN ASTRA S DALAM UKU B JAR A AHASA B NDONESIA I EKOLAH S

ASAR D

Hal tersebut tidak mengherankan karena GBPP menyarankan agar siswa benar-benar mampu bermain peran. Agar siswa dengan sungguh-sungguh memahami isi drama yang dibaca, sepenggal naskah drama (untuk materi bermain drama satu babak) sengaja tidak diberi judul dan siswa ditugasi untuk memberi judul. Di samping itu, siswa juga diberi tugas untuk mulai mencermati peralatan yang diperlukan untuk pementasan sebuah drama.

Berbeda dengan naskah drama untuk bermain drama satu ba- bak (buku ajar cawu 1), bahan ajar drama yang termuat dalam buku ajar kelas 6 cawu 2 (pelajaran 3, hlm. 48—49) tidak dilengkapi de- ngan petunjuk pementasan. Tugas yang diberikan kepada siswa ada- lah menghapalkan teks, memainkan di depan kelas, dan menceritakan isi naskah drama tersebut, di samping siswa dituntut untuk berkreasi dalam membuat naskah drama.

Bahan ajar drama untuk kelas 6 cawu 2 diberikan lewat topik mengungkapkan perasaan (ingin tahu tentang sesuatu hal, keadaan, peristiwa) (pelajaran 1, hlm. 17—18). Tugas yang diberikan tidak lagi sekedar menghapal teks, tetapi berkaitan dengan kemampuan siswa mengenali tokoh-tokoh yang terlibat, persoalan dan kejadian apa yang diungkapkan, dan menceritakan kembali drama tersebut dengan kata-kata siswa sendiri (pelajaran 3, hlm. 47—48), dan me- mentaskan serta menyusun naskah drama (pelajaran 4, hlm. 74— 76). Dengan tugas-tugas yang demikian diharapkan apresiasi siswa terhadap sastra (khususnya drama) menjadi lebih baik. Pengenalan terhadap berbagai naskah drama diwujudkan dalam tugas mencerita- kan drama yang pernah dilihat atau didengar siswa. Selain itu, tugas tersebut juga dilengkapi dengan kewa-jiban untuk mencari dan mem- baca drama lain, misalnya “Lutung Kasarung”, “Batu Menangis”, dan sebagainya (hlm. 48).