Konsep Permintaan dan Penawaran
A. Konsep Permintaan dan Penawaran
Kombinasi model penawaran dan permintaan merupakan konsep penting dari kurva penawaran dan permintaan. Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga komoditas sedangkan kurva permintaan diekspresikan dalam bentuk kurva yang menunjukkan hubungan negatif antara jumlah barang yang diminta dengan harga yang akan dibeli oleh konsumen.
Kurva penawaran dan kurva permintaan dapat bergerak maupun bergeser. Bergerak disebut gerakan sepanjang kurva (Gambar III.1a, III.1b, dan III.1c) dan bergeser disebut pergeseran kurva (Gambar III.2a dan III.2b). Gerakan sepanjang kurva permintaan terjadi apabila harga komoditas yang diminta naik atau turun dan gerakan sepanjang kurva penawaran apabila harga yang ditawarkan naik atau turun.
Selain itu terdapat empat kemungkinan, yaitu penawaran atau permintaan bertambah jika kurvanya bergeser ke kanan dan penawaran atau permintaan berkurang jika kurva bergeser ke kiri (Gambar III.3a dan III.3b). Kurva penawaran pada Gambar II.3a dan II.3b merupakan keseimbangan baru mengikuti pergeseran kurva permintaan dan penawaran (Pinydick dan Rubinfield,1995:25) atau suatu ekuilibrium atau intraksi pasar potensial antar dua pasar (Ache et.al., 2005:16).
Merujuk pada harga komoditas, proses terbentuknya harga pasar dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran (Purwanta, 2001:21) sehingga teori permintaan dan penawaran menjadi landasan utama mengembangkan keseimbangan harga pasar. Menurut Falcon (1980) cit Mahreda (2002:29) ada 3 faktor yang penentu analisis pemasaran hasil pertanian, yaitu penawaran, permintaan, dan harga.
Menurut Henderson dan Quant (1980:171) titik kombinasi harga dan kuantitas ditentukan oleh penawaran dan permintaan dari konsistensi pembeli dan penjual, sedangkan Samuelson (1965:17) mengemukakan pasar barang
44
dan jasa pada harga dan kuantitas merupakan determinasi interaksi kurva penawaran dan permintaan.
Kebijaksanaan harga sering diatur oleh pemerintah. Dalam praktiknya, dasar keputusan kebijaksanaan yang menyangkut harga dasar didasarkan pada kaitan hubungan antara sarana produksi (input) dan produksi (output). Kebijaksanaan lain adalah kebijaksanaan harga dalam bentuk peraturan yang diatur pemerintah seperti harga dasar atau harga lantai (floor price) dan harga tertinggi atau harga atap (ceiling price). Menurut Soekartawi (2002:166) floor price diperlukan untuk menjaga harga pasar pada saat panen tidak menurun jauh ke bawah dari yang seharusnya diterima oleh produsen dan dipayahkan agar harga pasar minimal sama dengan harga dasar. Sebaliknya ceiling price atau harga maksimum tetap diperlukan khususnya pada musim-musim paceklik, saat persediaan produksi terbatas. Dengan demikian kebijaksanaan harga dikatakan sangat efektif bila harga pasar berada diantara floor price dan ceiling price.
Dalam keadaan panen raya, produksi sangat melimpah sehingga harga pasar berada dibawah harga yang semestinya (keseimbangan harga) karena itu diperlukan kebijaksanaan harga yang lebih tinggi dari harga pasar tersebut. Jadi andaikan harga pasar adalah Pm dan harga dasar Pd, maka P lebih besar dari Pm (Gambar III.4). Dengan berlakunya harga dasar ini maka konsekuensinya adalah pemerintah harus membeli kelebihan produksi. Tentu saja pasar bekerja pada harga dasar. Hal tersebut pada Gambar III.4a
menunjukkan bahwa 0Q 0 adalah besarnya produksi yang diminta oleh
masyarakat pada harga pasar (Pm) yang berada di bawah harga dasar (Pd).
Bila dasar diberlakukan, maka jumlah permintaan adalah 0Q 1 . Namun agar
harga dasar berfungsi dengan baik maka pemerintah perlu membeli
kelebihan produksi (penawaran) sebesar Q 1 Q 2 . Dalam situasi ini maka jumlah
produksi yang seharusnya dijual produsen adalah sebesar 0Q 2 , yang dijual untuk konsumsi masyrakat adalah sebesar 0Q 2 dan yang dibeli pemerintah
sebesar Q 1 Q 2 . Lain halnya saat musim paceklik adalah situasi jumlah produksi tersedia terbatas, sementara jumlah konsumen tetap atau terus bertambah. Dalam keadaan ini harga pasar cenderung tinggi atau lebih tinggi dari keseimbangan harga bila tidak diberlakukan harga atap. Keadaan pada saat paceklik ini merupakan kebalikan dari situasi panen. Bila saat panen raya pemerintah harus membeli sejumlah kelebihan produksi, dan saat paceklik
pemerintah harus menjual stock (persediaan atau cadangan) komoditas pertanian yang menjadi tanggungjawab.
Uraian tersebut dapat dijelaskan melalui Gambar III.4b terlihat
bahwa 0Q 0 adalah jumlah produksi yang dijual dan dibeli oleh konsumen bila tidak diberlakukan harga atap (Pc). Disini terlihat Pc lebih tinggi dari Pm. Bila tidak diberlakukan harga atap, maka perbedaan Pc dan Pd akan semakin tinggi. Bila diberlakukan harga atap, maka jumlah produksi yang dijual
sebesar 0Q 1 pada saat itu harga pasar (Pm) melebihi harga dasar. Agar
harga atap tersebut berfungsi pada posisi Pm, maka pemerintah perlu
menjual stock sebesar Q 1 Q 2 . Dengan demikian situasinya adalah jika
komoditas pertanian berada di pasar adalah sebesar 0Q 2 (yang terbeli pada harga pasar) yang terdiri dari produksi yang dijual produsen sebesar 0Q 1 dan
yang disuplai oleh pemerintah sebesar Q 1 Q 2 .