Kotak Balikbayan Jack Alvarez

Kotak Balikbayan Jack Alvarez

Dia seharusnya pulang minggu depan. Barang-barangnya sudah dia antarkan ke LBC untuk dikirimkan melalui kargo udara. Paket itu akan sampai dalam waktu seminggu. Tapi bukan dia.

Aldeni dan aku bertemu saat aku masih tinggal di Filipina. Aku bekerja di agen perekrutan di Ermita. Aldeni adalah salah satu pelamar yang rela mengantri dengan taat dan tanpa lelah sepan- jang hari, menunggu kesempatan wawancara dengan pemberi kerja dari Arab supaya bisa bekerja di luar negeri. Dia melamar sebagai Asisten Administrasi atau Sekretaris. Saat dia diterima, dokumen- -dokumennya membutuhkan waktu hampir sebulan untuk diproses di POEA dan OWWA, belum lagi proses pemeriksaan kesehatan dan pemberian visa di Kedutaan Besar Arab Saudi. Setelah semua dokumen dilengkapi, mereka yang ingin bekerja di luar negeri akan menunggu pemesanan tiket mereka dikonfirmasi dengan tidak sabar.

Beberapa tahun setelahnya, tiba giliranku untuk bermimpi kerja di luar negeri. Aku bertemu lagi dengan Aldeni, kali ini di Jubali, Arab Saudi sekitar bulan Mei 2008.

Kami berdua tidak begitu dekat. Teman yang hanya menghabiskan waktu bersama dan berbincang saat kami tanpa sengaja bersemu di salon. Karena dia orang asli Cagayan de Oro dan aku sendiri dari Davao, kami berdua orang Bisaya, pembicaraan kami begitu menarik.

“Bayot, kumusta naman ang atong kaanyag?” Kusapa dia saat dia memasuki toko. “Mao ra gihapon, day. Nia, nag-antos sa Saudi Arabia.” Sapaan lepas kami bagi dalam bahasa Binisaya. Setiap kata yang begitu akrab dengan lidah kami adalah kerinduan untuk Filipina, untuk kawan-kawan, dan terutama untuk keluarga.

Kematian ibunya yang diakibatkan oleh TBC merupakan hal per- tama yang dia ceritakan padaku. Dia tidak bisa pulang karena kon- traknya belum lagi habis. Kalau dia mengambil cuti darurat atau cuti berkabung, celakanya ada kantor-kantor yang tidak akan membayar tiket pulang-pergi. Dan kalaupun dia punya uang untuk membeli Kematian ibunya yang diakibatkan oleh TBC merupakan hal per- tama yang dia ceritakan padaku. Dia tidak bisa pulang karena kon- traknya belum lagi habis. Kalau dia mengambil cuti darurat atau cuti berkabung, celakanya ada kantor-kantor yang tidak akan membayar tiket pulang-pergi. Dan kalaupun dia punya uang untuk membeli

“Wala man ‘tay mahimo. Semuanya kehendak Tuhan. Hinaut, masabtan lang man ni Mama.” “Mao lagi. Mas kinahanglan man gyud nato ang kwarta.” “Day, suba ta oy. Mag-MMK na pud ta ani.” Dia mengajakku untuk

merokok karena pembicaraan kami yang berubah serius.

“Hunong na anang pagsigarilyo ba.” Pemilik salon yang juga yang juga teman kami memarahi kami.

“Na, ambot lang…” Dia menekankan sambil berpura-pura merasa tersinggung. Tawa kami begitu sungguh-sungguh saat dia naikkan alisnya, memegang puntung rokok di satu tangan dengan tangan yang lain bertengger di pinggangnya.

Kami sudah berada di luar salon saat dia kembali melanjutkan ceritanya mengenai ibunya. Setelah beberapa bulan, aku dengar berita bahwa dia terserang asma. Pada waktu itu dia hanya sendiri di kamarnya. Pertolongan apapun telah terlambat. Dia bahkan tidak sampai ke rumah sakit, meninggal di perjalanan.

Atasan telah menyetujui liburanku di Filipina. Aku terjadwal untuk pulang di bulan Mei, minggu depan tepatnya. Aku ambil kotak terlipat yang kubeli dari LBC. Kutaruh dengan rapi di atas lantai. Pinggiran kotak mulai aku lapisi dengan plester kemasan. Aku lapisi dua kali untuk memastikan bahwa tapakannya kuat. Caraku memperlakukan kardus ini menjadi ritual yang sakral bagiku.

Aku mulai memasukkan berbagai macam barang yang kubeli sebe- lumnya. Termasuk di antara barang-barang itu adalah sebuah tele- pon genggam untuk Ibu, sepatu untuk saudaraku, beberapa oleh-oleh lainnya untuk keluarga dan beberapa barang kelontong.