Semangkuk Sup Kaki Ayam Yuli Duryat
Semangkuk Sup Kaki Ayam Yuli Duryat
Mereka memandangku dengan tatapan tidak suka. Dalam bayang- anku, sejak saat itu aku akan diperlakukan lebih ‘spesial’ lagi. Ter- nyata apa yang aku duga benar adanya. Sungguh jauh dari jangkauan pikiranku apa yang sebenranya terjadi. Tapi aku sadar aku harus belajar, dan sejak saat itu aku tahu, bahwa budaya sopan santun itu berbeda-beda di setiap negara. Aku merasa kerdil, aku lahir di negara yang menganut adat ketimuran, sementara mereka yang akrab melontarkan kata’gila’ pada sesama dengan tegasnya mengajariku bagaimana hidup bersopan-santun.
15 kantor Jumbo Agency. Mong Kok begitu padat, aku mengikuti majikanku, laki-laki yang berjalan begitu cepat di depanku sore itu. Kerumunan orang berlalu- -lalang membuatku kesulitan mengikutinya. Entah apa yang ingin ia tunjukan dengan cara berjalannya itu. Meskipun kebanyakan orang yang kami temui di jalan itu melangkah tak kalah cepat, tapi mereka tidak sepertiku yang membawa begitu banyak barang. Ia bahkan tidak peduli sama sekali denganku yang kepayahan membawa tas besar ber- warna hijau. Aku pikir dia bukanlah orang yang berhalus perasaan.
Aku turun menuju lantai dasar dari lantai
Sampai di tangga KCR menuju apartemen di daerah Fanling, laki-laki bermata sipit itu menolah. Bukan tatapan yang menyiratkan keprihatinan dan tawaran bantuan membawakan barangku yang begitu banyak, namun justru tatapan yang bermakna cibiran.
“Kerja di sini harus cepat, orang Cina tidak suka kelambatan,” kata- nya keras. Aku hanya menganggukkan kepala, berusaha menyembu- nyikan kewalahan yang sebenarnya membuatku terkejut sekaligus ngeri. Dia memandangku seperti melihat hantu, belakangan aku tahu kalau matanya memang mempunyai kelainan. Dia menderita rabun jauh dan biasa memandang segala sesuatu dengan jarak yang sangat dekat. Bukan hanya itu, sebab tingkat ketajaman penglihat- annya hanya tinggal 20% dari 100% penglihatan normal.
Sebuah apartemen kecil yang berantakan, di situlah aku kemudian bisa dengan lega menaruh bawaanku. Laki-laki itu langsung meng- ambil secarik kertas dan bicara begitu cepat, menjelaskan apa yang Sebuah apartemen kecil yang berantakan, di situlah aku kemudian bisa dengan lega menaruh bawaanku. Laki-laki itu langsung meng- ambil secarik kertas dan bicara begitu cepat, menjelaskan apa yang
Kakiku letih berdiri, tanpa memberiku waktu untuk istirahat sejenak atau sekedar minum air putih, ia membuka pintu apartemen kembali dan mengajakku keluar. Menuju restoran cepat saji tempat anaknya merayakan ulang tahun. Semua orang yang berada di tem- pat itu hanya tersenyum sekilas ketika melihat aku datang.
“Oh, lei san kung yan a?” kata seorang perempuan berambut pen- dek. Laki-laki itu hanya mengangguk kecil. Meski dia bicara begitu cepat hingga membuatku mengerutkan kening, tapi aku mengerti dia sedang membicarakan aku.
Aku berdiri lama, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Ada rasa takut, gemetar, malu, grogi bercampur-baur jadi satu. Seorang perempuan tua menghampiriku dan menyuruhku duduk, lalu menyo- dorkan buku menu dan menyuruhku memilih makanan apa yang mau aku pesan. Aku menunjuk sekenanya. Dia tersenyum ramah dan menepuk pundakku hangat, pada saat itulah rasa gugupku sedikit berkurang. Betapa satu sentuhan kecil saja bisa menyelamatkanku dari berbagai rasa yang membuncah, menjadikannya lebih tenang.
Aku mengangguk dan tersenyum kepada perempuan tua itu ber- kali-kali. Belakangan aku tahu dia adalah ibu majikan laki-lakiku. Sangat cerewet tapi baik hati, bertolak belakang dengan anak laki- -lakinya yang acuh tak acuh.
“Lei em sai keng. Lei yiu ciuku goe’a. Sei haito Cece a,” ucap perempuan itu sambil menunjuk anak laki-laki dengan kedua mata merah dan berperut buncit. Dalam benakku timbul rasa tak enak, sebab seperti- nya anak kecil itu tidak suka padaku. Kata perempuan yang menyu- ruhku agar tidak usah takut dan memperkenalkanku pada anak yang akan aku asuh itu tidak sepenuhnya aku pahami saat itu, meskipun cara berbicaranya lebih pelan ketimbang anak laki-lakinya. Selama tiga jam di restoran cepat saji, aku hanya melakukan empat kegiatan, mengangguk, menggeleng, tersenyum dan menjawab yes. Sebab aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Majikan perempuanku mengajak bicara saat kami pulang menuju apartemen. Tidak banyak yang ia katakan, hanya menyampai- kan bahwa buah hati yang harus aku jaga itu adalah anak semata wayangnya, persis sama seperti yang tertera di lembar biru kontrak kerja. Anak itu sakit-sakitan dan pertumbuhan tubuhnya kurang. Dia dan suaminya bekerja di siang hari, dan akulah yang berkewajiban mengantar jemput sekolah anaknya itu, menemaninya belajar, serta memasak untuk makan malam.
Seminggu berlalu begitu lambat. Aku tidak terbiasa kerja dan tidur di awasi kamera. Ya, di rumah majikanku itu aku bekerja dan tidur di bawah mata-mata elektronik. Sebab diseluruh pojok ruangan terpa- sang kamera, tak terkecuali kamar. Aku harus berganti pakaian di kamar mandi agar tidak terlihat di monitor. Sungguh tidak nyaman rasanya.
Aku mulai menegnal mereka. Satu kali, dua kali, tiga kali, dan semakin lama semakin sering aku mendengar majikan laki-laki maupun perempuan melontarkan kata ‘jisin’. Mulanya aku tidak mengeri apa maksudnya, namun menyesal setelah tahu, betapa aku malu mendengar pasutri yang saling mengeluarkan kata itu tanpa rasa malu ataupun canggung. Betapa kata ‘gila’ di kampungku sana adalah tak pantas dilontarkan oleh pasangan suami istri ataupun anak kepada orang tua. Namun di Hong Kong, aku mendengar kata tersebut membumbung seperti udara yang dihisap setiap saat.
Hari sabtu yang dingin, untuk pertama kalinya majikan menga- jakku makan di restoran hanya berempat, aku, majikan laki-laki serta perempuan, dan anak asuhku. Kami makan di restoran yang akrab disebut dengan Yam Cha. Majikan laki-laki memesan meja untuk empat orang, mengantri begitu panjang. Aku merasa heran betapa orang Hong Kong mau bersabar hanya untuk urusan perut.
Ketika tiba waktu kami masuk dan beroleh tempat duduk. Maji- kan laki-laki menyuruhku untuk memilih menu apa yang ingin aku makan. Aku menurut dan memilih sup kaki ayam. Ditempatkan di dalam mangkok kecil berisi sekitar lima potong ceker ayam. Aku belum mengenal budaya makan sedikit tapi banyak cara mereka. Maksudku adalah memesan dan memakan banyak menu dalam porsi sedikit.
Aku mengira seperti di kampung, aku boleh menghabiskan makanan yang aku pesan tersebut, dan itulah yang aku lakukan. Aku menghabiskan semangkok kecil sup kaki ayam tersebut. Maji- kan memandangku dengan aneh. Aku tidak sepenuhnya sadar saat mereka berbisik-bisik. Perasaanku tiba-tiba tidak enak, aku merasa telah melakukan kesalahan.
Dan benar apa yang aku khawatirkan. Sampai di rumah, majikan laki-laki menjelaskan dengan kasar bahwa apa yang aku lakukan di restoran menurutnya begitu memalukan dan tidak sopan. Makanan kami pesan itu untuk dimakan bersama. Aku ketakutan, ketidakta- huanku mengiris hati di hari ke tujuh aku bekerja di tanah orang ini. Sejak kejadian itu, aku dihujani berbagai nasehat. Majikan laki-laki dalam pandanganku begitu semangat dan terkesan bengis menga- takan bagaimana cara bersikap sopan di negerinya ini. Aku diha- kiminya tanpa ampun. Dia menganggap aku tidak pernah dididik dengan baik di negaraku. Sangat menyakitkan. Aku merasa dia telah menghina orang tua yang telah membesarkanku, terlebih lagi negara tempat asalku. Karena kecerobohanku itu, aku seperti dilecut cam- buk agar aku lebih berhati-hati lagi bertindak di negara orang ini. Sebab yang menurut kita sudah baik dan benar pun, belum tentu di mata orang.
Kutukan Dapur Eka Kurniawan
Awalnya Maharani berharap menemukan resep baru di musium kota, tapi inilah yang ditemuinya:
Pada suatu muasal yang jauh, sebuah kapal penangkap ikan Bugis remuk dihantam badai Atlantik. Satu-satunya yang tersisa, seorang lelaki muda dengan buntalan kulit berisi bumbu, diselamatkan kapal dagang Portugis. Mereka memberinya makanan Eropa yang serba tawar itu, membuatnya lari ke dapur dan menampilkan diri sepenuh- nya sebagai penguasa mutlak bumbu-bumbuan. Malam itu seluruh penghuni kapal terbakar lidahnya, menemukan sensasi yang tak pernah ditemui bahkan sejak zaman nenek moyang mereka.
Di antara begitu banyak buku sejarah dan sejenisnya, hanya satu ensiklopedi Spanyol terbitan tahun 1892 yang menyebut nama lelaki itu, tak peduli sebesar apa pun sejarah yang ditimbulkannya. Dilu- pakan sejarah, tapi kepadanyalah kita mesti berterima kasih telah membuat para pedagang Barat berdatangan, bersama tikus-tikus yang menyelundup di kapal-kapal Spanyol, datang untuk membeli bumbu-bumbu tersebut dari tangan pertama. Itulah awal kerakusan Eropa, dan orang-orang Belanda bahkan membawa pula perusahaan besarnya kemari.
Sesungguhnya orang-orang Belanda yang kemudian menguasai pulau-pulau bumbu ini tak pernah sungguh-sungguh menguasai bumbu masak yang mereka dambakan. Pemberontakan dramatik Diah Ayu, sebagaimana akan diceritakan, merupakan bukti otentik mengenai hal itu.
*** Maharani tak pandai memasak dan merasa dikutuk suaminya
untuk mendekam di dapur, dan sekali waktu di tempat tidur. Kini ia terpesona menyadari dirinya tinggal di negeri yang telah diciptakan Tuhan sebagai surga bagi segala yang tumbuh.
Dan segala yang tumbuh, hampir bisa dimakan. Kukatakan hampir, karena beberapa bisa bikin kau sekarat jika memakannya, Dan segala yang tumbuh, hampir bisa dimakan. Kukatakan hampir, karena beberapa bisa bikin kau sekarat jika memakannya,
Mati kelaparan merupakan hal konyol yang bisa kau lakukan di tempat ini, meskipun kenyataannya sering terjadi. Ada hutan lebat dengan buah-buahan yang bisa kau makan, juga daun dan bahkan batangnya, serta getahnya. Ada ladang-ladang pertanian. Ada sungai dan danau dan telaga di mana ikan berbiak lebih cepat dari manusia; dan jangan tanya berapa luas laut yang dimiliki. Dan hewan-hewan liar tampak sejinak merpati. Lemparkan sesuatu, dan ia akan tum- buh: jika bukan mimpi, tentunya surga.
Di sinilah orang seperti Alfred Russel Wallace tercengang-cengang pada ribuan spesies, yang hidup dan yang mati. Di sini pula orang seperti Eugene Dubois mengaduk-aduk yang pernah hidup. Tapi di antara semuanya, tentunya para pedagang yang segera berhitung berapa banyak keuntungan yang bisa diperoleh dari negeri penuh harta karun ini.
*** Selama bertahun-tahun Maharani hanya tahu membikin anak,
menyiapkan sarapan pagi, makan siang dan malam. Kini ia tahu orang Belanda pernah menetap selama lebih dari tiga abad.
Mereka mendirikan perusahaan, sebelum diambil alih kerajaan. Mereka mengirim seorang Gubernur Jenderal, yang segera mengirim mesin-mesin birokrasinya ke seluruh negeri: regent, asisten regent, resident dan kontroler. Mereka menaklukkan raja-raja kecil, menjadi- kannya bupati-bupati wilayah, dan bupati menaklukkan wedana, dan wedana menaklukkan lurah. Orang-orang Belanda juga menguasai pedagang-pedagang Cina, yang membeli hak memungut pajak dalam lelang untuk banyak komoditas: rempah-rempah, ternak, garam, juga candu.
Dengan cara itulah bisnis di masa itu dijalankan. Kau harus mena- nam apa yang mereka inginkan, dan tidak menanam apa yang tidak mereka inginkan. Kita juga membuat jalan-jalan panjang, memasang Dengan cara itulah bisnis di masa itu dijalankan. Kau harus mena- nam apa yang mereka inginkan, dan tidak menanam apa yang tidak mereka inginkan. Kita juga membuat jalan-jalan panjang, memasang
Di luar mesin birokrasi kolonial ini, ada juga orang-orang partikelir Eropa. Mereka pemilik perkebunan dengan budak-budak pribumi sendiri.
Semua gambaran itu merupakan panggung yang bagus bagi gelora pembangkangan kaum pribumi. Pahlawan-pahlawan dilahirkan, sekaligus digugurkan. Kita telah mengenal sebagian dari mereka, yang lukisannya dipajang di dinding-dinding sekolah. Di antara para pejuang itu, seorang perempuan melakukan pembangkangannya tanpa tombak dan bambu runcing. Ia adalah Diah Ayu, yang berpe- rang dari dapurnya sendiri.
*** Maharani hanya mengenal sedikit resep dan sedikit bumbu. Keba-
nyakan dihapal dari majalah. Kini terpesona mengetahui seorang perempuan bisa menjadi pahlawan dengan menguasai bumbu masak.
Siapakah perempuan tersebut? Ia juru masak yang terkenal itu, seorang patriotik pujaan anak-anak. Apa yang kita kenal dari dongeng tentang perempuan ini, barangkali didengar sewaktu seko- lah dasar, merupakan omong-kosong tak menentu.
Entah bagaimana para pendongeng sampai pada bualannya. Segala yang diceritakan tampak lebih banyak datang dari kepala mereka daripada dari data-data akurat tak terbantah. Sosok Diah Ayu tiba-tiba menjadi aneh, melankolis, dan menyedihkan. Bisa diduga ada upaya-upaya melenyapkannya dari sejarah, dan seandai- nya terselamatkan, apa yang tersisa hanyalah citra tak benar menge- nai dirinya.
Inilah hal-hal salah yang kita kenal dan datang dari dongeng: ia dijual ayahnya pada seorang Belanda pemilik perkebunan karena fakta kecantikannya. Itu tidak benar. Boleh dikatakan ia tak begitu cantik, meskipun benar Belanda itu beberapa kali menidurinya sampai ia punya dua anak. Fakta yang sesungguhnya adalah, ia dibeli Inilah hal-hal salah yang kita kenal dan datang dari dongeng: ia dijual ayahnya pada seorang Belanda pemilik perkebunan karena fakta kecantikannya. Itu tidak benar. Boleh dikatakan ia tak begitu cantik, meskipun benar Belanda itu beberapa kali menidurinya sampai ia punya dua anak. Fakta yang sesungguhnya adalah, ia dibeli
Hal salah lainnya: ia diam-diam memberi pelajaran membaca dan menulis pada para pelayan, dan para pelayan ke pelayan lain di rumah-rumah tetangga, hingga kemudian banyak pelayan rumah Belanda menjadi cerdas. Ia mengorganisir mereka dan melakukan pemberontakan di hari Kamis tak terlupakan itu. Itu tidak benar. Diah Ayu buta huruf. Tapi benar ia mengajari para pelayan. Apa yang sesungguhnya ia ajarkan adalah rahasia-rahasia dapur: bagaimana mengelola bumbu masak dengan benar.
*** Bagi keluarga-keluarga Belanda di tanah kolonial, seorang juru
masak yang pandai tak hanya merupakan kekayaan keluarga, tapi bahkan harga diri. Mereka bisa memamerkannya dalam perjamuan- -perjamuan malam. Itulah mengapa menjadi hal yang tak aneh jika perempuan-perempuan pribumi yang ahli dalam penanganan bumbu masak, mendapati diri mereka diperjual-belikan, atau diculik. Meski- pun status mereka dalam keluarga tak pernah lebih baik dari seo- rang gundik, seorang juru masak pandai tak akan pernah dibiarkan meninggalkan rumah, apa pun risikonya.
Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi. Pertama, perem- puan-perempuan Belanda, sebagaimana lelaki-lelaki mereka, begitu menikmati kemakmuran yang tak terpikirkan di tanah kolonial. Mereka menjadi makhluk-makhluk pemalas, menghabiskan waktu di beranda rumah yang menghadap hamparan perkebunan teh, sambil membaca majalah mode yang dikirim langsung dari Paris. Kedua, bahkan seandainya ada perempuan Belanda mencoba mengenali resep-resep paling istimewa, ia tak akan pernah berhasil memasak- nya. Hal ini sebagaimana dilakukan Nyonya Ruthie van Bloom, yang berkeliling mengunjungi keluarga-keluarga pemilik tukang masak- -tukang masak terkenal, dan menuliskan resep-resep mereka dalam berjilid-jilid buku. Bukunya tampak meyakinkan, tapi ia lupa ada rahasia-rahasia tak terungkap di dalam bukunya.
Diah Ayu merupakan salah satu dari pemilik rahasia-rahasia Diah Ayu merupakan salah satu dari pemilik rahasia-rahasia
Tapi berhati-hatilah, ada rahasia-rahasia tersembunyi dalam menu makan siang yang melimpah-limpah seperti itu. Biji buah yang bisa kau jadikan kripik garing barangkali membunuhmu dalam tujuh hari jika dicampur cuka dan garam. Rahasia-rahasia ini tersembunyi di dapur, di tangan perempuan-perempuan yang menggerus bumbu dan merebus umbi-umbian. Beberapa adonan ini menjadi makanan para dewa yang begitu nikmat, beberapa merupakan penyembuh-penyem- buh ajaib, dan sisanya pembunuh-pembunuh tanpa ampun. Mereka- lah, para juru masak, yang bisa membedakannya.
Mengetahui semua ini Maharani jadi sangat malu, sebab tahu pasti dirinya bukan kebanggaan keluarga di dapur. Di musium kota ia semakin suntuk berharap memperoleh pengetahuan tentang bumbu masak dan mengangkat harkatnya sendiri.
*** Sebab kini Maharani tahu, melalui pengetahuannya yang luar biasa
itulah bagaimana Diah Ayu melakukan pemberontakannya. Ia bisa menciptakan adonan-adonan aneh yang bisa membuat seorang lelaki kehilangan birahi untuk selama-lamanya: ia berhasil melakukan itu setelah si Belanda memberinya dua anak. Pada tahap berikutnya, ia semakin memberanikan diri mengolah bumbu-bumbu paling berbahaya, yang bisa membunuh orang dengan begitu wajar. Ia memilih tamu-tamu keluarga tuannya sebagai korban-korban pembunuhan. Tentu saja ia melakukannya secara diam-diam, dengan adonan pembunuh yang tersembunyi di dalam sayur. Dan untuk menghindari kecurigaan-kecurigaan tertentu, ia meramu itulah bagaimana Diah Ayu melakukan pemberontakannya. Ia bisa menciptakan adonan-adonan aneh yang bisa membuat seorang lelaki kehilangan birahi untuk selama-lamanya: ia berhasil melakukan itu setelah si Belanda memberinya dua anak. Pada tahap berikutnya, ia semakin memberanikan diri mengolah bumbu-bumbu paling berbahaya, yang bisa membunuh orang dengan begitu wajar. Ia memilih tamu-tamu keluarga tuannya sebagai korban-korban pembunuhan. Tentu saja ia melakukannya secara diam-diam, dengan adonan pembunuh yang tersembunyi di dalam sayur. Dan untuk menghindari kecurigaan-kecurigaan tertentu, ia meramu
Metode kerjanya sangatlah luar biasa, dan sanggup menjatuhkan korban bahkan lebih banyak daripada perang di front. Setahun sejak pembunuhan pertama, ia telah membunuh lima puluh dua orang Belanda totok. Itu sebagaimana dilaporkan surat kabar mengenai “kematian-kematian wajar yang mencurigakan” di sekitar Batavia. Barangkali satu dua orang bukan korbannya, tapi jumlah yang lebih teliti sangat mustahil untuk disebutkan.
Apa yang kemudian membuat pembangkangannya jadi mengeri- kan adalah fakta bahwa ia mengajari pelayan-pelayan itu rahasia- -rahasia dapurnya, dan pelayan-pelayan itu mengajari pelayan-pela- yan di rumah tetangga dalam kesempatan pertemuan-pertemuan pendek mereka. Dengan cepat rahasia tentang bumbu masak, yang sebelumnya hanya diketahui sedikit orang dari generasi-generasi ter- pilih, tiba-tiba telah diketahui hampir semua juru masak di kota itu. Adalah Diah Ayu yang menjadikannya senjata pembunuh, dan benar bahwa ia mengorganisir semua tukang masak tersebut dalam satu pemberontakan di suatu hari Kamis. Mereka membunuh tuan-tuan mereka secara serempak, tidak dengan pisau dapur, tapi dengan kuah jamur.
Itu hari paling kelabu dalam sejarah kolonial, di mana 142 orang Belanda totok mati dalam sehari. Terjadi di tahun 1878.
*** Akhir dari kisah hidup Diah Ayu si tukang masak telah banyak
diketahui. Bahkan seandainya ada sedikit kesalahan, itu tak banyak berarti. Satu hal yang pasti, cukup alasan untuk membuatnya tak lagi disebut-sebut dalam sejarah, kecuali mitos yang sangat menye- satkan. Alasan itu tentu saja akan tampak sangat kelelaki-lelakian, tapi begitulah kenyataannya.
Memang benar ada perempuan-perempuan (dan juga lelaki) yang meniru metodenya. Memasukan arsenik ke makanan, misalnya, dan kemudian makanan itu meracuni orang sampai mati. Tapi metode Diah Ayu jauh lebih bersih, mempergunakan bumbu-bumbu masak Memang benar ada perempuan-perempuan (dan juga lelaki) yang meniru metodenya. Memasukan arsenik ke makanan, misalnya, dan kemudian makanan itu meracuni orang sampai mati. Tapi metode Diah Ayu jauh lebih bersih, mempergunakan bumbu-bumbu masak