Kawan Tidur Hanna Fransisca
Kawan Tidur Hanna Fransisca
Ruangan depan sebuah kedai kopi di salah satu sudut perempatan jalan. Sore hari menjelang maghrib. Suasana kedai masih sepi. Hanya satu meja terisi oleh dua lelaki tionghoa dan satu perempuan tionghoa berusia belia. Mereka tengah terlibat pembicaraan serius. Di meja kasir, selma pemilik kedai tengah membaca. Ia kadangkala melongok dan mencoba menguping, tapi selebihnya tidak peduli.
SIMPO: Musyawarah memutuskan patung naga itu harus diru- buhkan (SIMPO MENARIK NAFAS PANJANG, BERLAGAK PRIHA- TIN). Musyawarah, musyawarah, musyawarah. Musyawarah kardus! Musyawarah berdasarkan apa? Kalau hanya mendengarkan protes satu kelompok, lalu yang lain ketakutan dan diam, apakah itu yang dinamakan musyawarah?
PAK GUN (menoleh kiri kanan): Hati-hati kamu bicara, Simpo! Dalam situasi seperti ini, apa saja bisa terjadi.
SIMPO (berteriak): Bagaimana pendapat Nyonya? Apakah nyonya sudah tahu arti kata musyawarah? Musyawarah kardus?
LINGLING: Kok belum datang juga? Besok, kalau Lingling sudah menikah dengan lelaki Taiwan, Lingling akan tetap pulang ke sini sesekali. Lingling janji akan sembunyi-sembunyi buat melayani Pak Gun, juga Pak Simpo. Lingling tidak mungkin lupa. Oh, lelaki Taiwan itu, rupanya seperti apa, Pak Gun. Pasti ganteng, dan yang jelas pasti kaya. Apakah lelaki Taiwan bisa tahu kalau Lingling tidak perawan, Pak Gun. Kan perawannya sudah diambil Pak Gun. Bagaimana kalau calon suami Lingling tahu?
SIMPO (memandang PAK GUN): Memangnya kenapa? Pak Gun takut? (berkata sedikit keras) Coba Tanya Nyonya Selma, apa Pak Tom, suami Nyonya Selma, pernah diajak berunding? Bukankah dia itulah yang membiayai pendirian patung naga, yang awalnya SIMPO (memandang PAK GUN): Memangnya kenapa? Pak Gun takut? (berkata sedikit keras) Coba Tanya Nyonya Selma, apa Pak Tom, suami Nyonya Selma, pernah diajak berunding? Bukankah dia itulah yang membiayai pendirian patung naga, yang awalnya
PAK GUN (ketakutan, lalu beranjak ke arah pintu keluar kedai, melihat ke jalan, menoleh ke kiri dan ke kanan, dan kembali dengan wajah lega): Bicaramu itu tidak usah keras-keras. Kalau ada satu saja, ingat, satu saja dari gerombolan di antara mereka yang mendengar kamu bicara seperti itu, mereka akan datang berombongan. Mereka akan berpawai, berkeliling kota (berdiri dan memurtar-mutar tangan seperti memutar gas sepeda motor), lalu berakhir di tempat ini. Di kedai ini. Kedai Nyonya Selma. Kedai ini pasti akan habiiiis, akan dihabisiiii…. habis.
LINGLING: Tapi Pak Gun tidak bohong kan? Betul kan Pak Gun? Lingling sudah hitung, ada
32 kali lho Lingling melayani Pak Gun. Ingat lho. Itu tidak termasuk Pak Simpo. Lingling akan bilang pada Nyonya kalau sampai lelaki Taiwan itu tidak datang. Biar Nyonya melaporkan.
SIMPO: Ah, biarkan saja. Aku sudah tak mau lagi ambil pusing. Biarkan polisi-polisi itu sekarang bekerja. Sudah terlalu lama kota ini tentram. Aku sudah mulai gerah, dan bosan ngomong bahwa kita harus berani menunjukkan. “Hai orang-orang kota, leluhur kita telah membangun semuanya dengan cermat. Membangun kuil, memba- ngun gereja, membangun mesjid”. Selama hampir lima puluh tahun umurku, aku tak pernah melihat anak-anak muda begitu bersema- ngat konvoi di jalan raya, lalu pulangnya membakar toko. Tidak pernah! Bahkan ketika kerusuhan etnis terjadi beberapa kota. Di sini tidak pernah terjadi, dan semua orang Tionghoa, orang Dayak, orang Melayu, semua tahu itu. Yaaa, barangkali di sisa umurku, aku harus melihat kota ini mulai ditinggalkan restu para leluhur. Coba kamu lihat (SIMPO menunjuk ke arah seberang perempatan jalan), Kuil Dewa Bumi tempat kita semua sembahyang saja, sudah tak mampu menahan niat sekelompok orang merobohkan patung naga yang ber- diri
10 meter di depannya. Rasa hormat itu sudah hilang. Jadi kalau- pun, ya, ini kalaupun ya, patung naga itu tiba-tiba dirubuhkan, lalu 10 meter di depannya. Rasa hormat itu sudah hilang. Jadi kalau- pun, ya, ini kalaupun ya, patung naga itu tiba-tiba dirubuhkan, lalu
Seorang lelaki perlente masuk. PAK TOM memandang dengan heran pada ketiga tamu kedai yang
kemudian pergi dengan terburu. Lingling tampak hendak berontak, tapi pak gun menyeretnya dengan paksa
TOM: Hem, jadi benar dugaanku. Mereka membicarakan aku. Tidak semestinya begitu aku datang, kedua cecunguk itu langsung pergi. Ayo katakan, apa yang mereka bicarakan, Selma?
SELMA: Kenapa tidak kau tanya saja sendiri? TOM: Perempuan! Kenapa sih tidak mau sedikit saja memahami
sebuah alasan yang begitu sangat sederhana? Kedaimu adalah harga mati, dan itu adalah urusanmu. Tapi fengshuiku adalah juga harga mati, dan kita sudah sepakat membicarakannya.
SELMA: Oke, oke, oke, semua sudah selesai dibicarakan. Bahwa untuk keberuntunganmu, tempat menonton harus di kedai, lantaran kedai memiliki aura perputaran uang. Bahwa hawa negatif orang banyak akan mempengaruhi arah angka, sehingga yang menonton hanya boleh maksimal dua orang, yaitu kau dan aku yang memang diharuskan untuk ikut lantaran perempuan pemilik kedai akan membawa hawa positif. Bahwa jika pakaianmu membawa keberun- tungan pada saat pertama, maka pakaian yang sama harus selalu dipakai kembali supaya aura keberuntungan yang melekat padanya tidak hilang. Bahwa arah televisi harus menghadap lurus dan pas di tengah-tengah. Bahwa kursi yang dipakai untuk menonton tidak boleh diubah sejak pertama kali kursi diletakkan. Itulah kesepa- katan sepihak yang aku dengar, apakah masih ada yang kurang? Oya, bahwa aku yang harus memasangkan angka di internet karena kau tidak terlalu peduli dengan teknologi sehingga kau sendiri tidak bisa SELMA: Oke, oke, oke, semua sudah selesai dibicarakan. Bahwa untuk keberuntunganmu, tempat menonton harus di kedai, lantaran kedai memiliki aura perputaran uang. Bahwa hawa negatif orang banyak akan mempengaruhi arah angka, sehingga yang menonton hanya boleh maksimal dua orang, yaitu kau dan aku yang memang diharuskan untuk ikut lantaran perempuan pemilik kedai akan membawa hawa positif. Bahwa jika pakaianmu membawa keberun- tungan pada saat pertama, maka pakaian yang sama harus selalu dipakai kembali supaya aura keberuntungan yang melekat padanya tidak hilang. Bahwa arah televisi harus menghadap lurus dan pas di tengah-tengah. Bahwa kursi yang dipakai untuk menonton tidak boleh diubah sejak pertama kali kursi diletakkan. Itulah kesepa- katan sepihak yang aku dengar, apakah masih ada yang kurang? Oya, bahwa aku yang harus memasangkan angka di internet karena kau tidak terlalu peduli dengan teknologi sehingga kau sendiri tidak bisa
TOM: Cukup! Aku bilang cukup. Jangan kau rusak energi yang baik pada malam ini dengan pertengkaran yang tak perlu. Sekali lagi, semua sudah selesai dibicarakan. Titik. Oke? Berapa menit lagi pertandingan akan berlangsung? Kau sudah pasangkan internetmu? Cuma itu tugasmu.
Ratapan Apolinaria Ruth Elynia S. Mabanglo
Apolinaria Masong adalah seorang guru sekolah dasar berusia 38 tahun dari Binabag, Bogo, Cebu. Dia bersahabat pena dengan Walter Hines, seorang lelaki berusia
64 tahun dari Memphis, Tennessee. Pada tahun 1981, Apolinaria pergi ke Amerika Serikat dan meni- kah dengan Walter dengan upacara sipil. Dalam sebuah surat yang dikirimkan ke Presiden Aquino di bulan Mei tahun 1987, Apolinaria mengatakan bahwa suaminya memaksa dia mengikuti eksperimen yang seharusnya dapat membuat dia hamil dengan inseminasi buatan. Kemudian, dia mengatakan bahwa sebuah tim beranggota- kan
50 orang dokter menjadikannya subyek eksperimen untuk meng- ganti jenis kelaminnya. Kerabat Apolinaria saat ini masih mencari dia. Pada saat tulisan ini dibuat, Kedutaan Besar Filipina di Was- hington, D.C. masih belum dapat menemukan alamatnya. Suaminya juga menghilang.
Manila Times,
11 Juni 1987 Taliba,
18 Juni 1987
I Aku sudah lebih dari tiga puluh
Dan menjalani kehidupan seorang guru. Setiap pagi, saat aku berjalan, Aku ditegur oleh perasaan mendamba yang tak bisa kugambarkan. Di jalur yang sama Aku ditemui oleh wajah-wajah dan pemandangan yang terasa
hambar: Dedaunan jatuh yang tersapu ke sebuah sudut Atau terserak oleh hembusan angin, Mata terang dan berawan Di bawah bayangan dahan-dahan yang terkulai, Anak-anak tanpa kecemasan, Sapaan, sukarela dan lugu.
Rambutku mulai mengelabu. Di dahiku terjalin jaring kesepian. Aku memberantakkan rambutku dengan tanganku, Dalam upaya mengusir ketakutan yang perlahan merambat. Cermin adalah kawanku Jika seseorang melihat kecantikanku. Akan tetapi ia kejam dan dengan sengaja menipu Ketika keriput berkilau dalam nyala lampu minyak.
Aku dikejar kesendirian Di sepanjang jalur yang aku jalani setiap pagi, Di sepanjang jalur yang diikuti hariku, Di sepanjang jalur yang aku ambil hari demi hari. Terkadang aku tak dapat menyalahkan diriku Untuk cemburu pada bayangan Yang menolak hasrat. Karena tak ada yang dapat aku banggakan Kecuali ditemani nyanyian tonggeret, Selimut, dan bantal yang kerap meninggalkanku Ketika aku terbenam dalam tidurku. Kerap kali, aku menemukan cemburu Dalam hatiku yang penuh khianat, Terutama ketika sepasang kekasih muda Tenggelam dalam tawa di sebelah rumahku. Akan tiba saat ketika suaraku akan semakin serak, Dan tanganku juga akan sukar digerakkan. Aku akan layu dan menjadi mandul. Cinta adalah mitos yang Tak pernah ditawarkan kepadaku.
Hantu yang jahat adalah ketika dedaunan jatuh dari Pohon kedondong Ketika tak ada orang yang bisa kau belai. Berbisik di kegelapan adalah impian, Padi atau jagung siap dipanen Tetapi dihancurkan oleh angin muson.
Aku pun jatuh cinta ketika aku berumur enam belas, Tetapi cinta itu berakhir sedih. Lelaki muda yang bermimpi berlayar, Yang menghitung bintang bahkan di tengah hari. Ia memberi makan kukunya dengan karat dari kapal, Ia ditelan oleh tuberkulosis, kemudian tetanus. Kami tak pernah memadu kasih, Masa muda yang pahit menempel pada banyak janji.
Aku adalah jambu mengkal di dahan yang bergelayut rendah, Tak diinginkan siapa pun, Layu sampai rahim.
Para tetua bilang, lebih baik tetap perawan Hingga pernikahan, Jauh dari celaan, tanpa dosa.
Anak yang seharusnya kumiliki memakan api, Menyanyikan lagu kematian bahkan sebelum pembuahan.
Gelisah dan penuh benci, Aku bahkan sudah lupa menangis.
II Harapan membuai aku
Di fajar tahun delapan puluhan. Aku sudah lebih dari tiga puluh Dan menjalani hidup seorang guru, Masih terperangkap dambaan tak tergambarkan, Setiap pagi, saat sarapan. Karena penanggalan juga mengejarku, Aku bahkan periksa juga surat kabar.
Di sana aku bertemu Walter. Terima kasih kepada iklan jodoh yang dengan keras kepala kujelajahi Dengan mata meredup. Seorang lelaki di masa senjanya, Berhasrat menyalakan hatinya yang melemah. Ia berikan padaku janji-janji surga, Sirami dan mandikan aku dengan kata-kata harum mewangi; Hanyutkan aku dengan gairah tak bernama, Tanda tangannya adalah kontrak yang kupegang teguh.
Aku masukkan cintaku di antara halaman suratku, Aku selipkan kecupan dan desahan. Manisnya madu dan sengatan sakit Tak dapat dibedakan dalam pikiranku yang penuh kebahagiaan.
Cintaku terbang jauh mil demi mil, Menanti untuk turun di gerbang dan di kota, Suratnya dimasukkan dan dihargai Jarinya menerima kecaman.
Bulan Mei yang paling kunanti telah tiba, Dengan iringan drum Sinulog sampai Sto. Nino; Dedaunan yang jatuh dari pohon kedondong tak dihiraukan, Visaku adalah surat yang meminang aku.
Air mata mengalir tanpa henti. Ternyata, aku dapat menangis ketika kebahagiaanku meluap.
III Walter sudah tua tetapi tetap ambisius,
Walau mulai layu, ia tetap ingin berbuah. Rahimku seperti daun kering Dalam iklan sabun Palmolive—
Hanya dengan beberapa tetes minyak dan ia segar kembali, Membantah hukum alam.
Aku sudah lebih dari empat puluh Dan memelajari hatiku: Cinta atau nafsu yang membawaku kemari, Bagaimana mungkin aku tak mengenali lelaki ini? Cerminnya retak setiap kali aku melongok, Tidaklah cukup untuk datang ke sini sebagai perawan.
Aku sudah lebih dari empat puluh Dan tergoda oleh hatiku: Mengapa pohon kedondong tetap berbuah setelah daunnya rontok? Tak beriman kah kamu? Sarah mengandung sebagai perempuan tua, Maria hamil tanpa bertemu laki-laki. Harapan masih mengalir di dalam diriku, Aku hidup kembali sebulan sekali.
Haruskah kubiarkan Walter memudar? Dia sendiri berlutut di hadapan tembok berlumut.
Aku kalahkan ketakutan kuno ini, Berpikir kesedihan lebih menyedihkan, Aku bersumpah untuk mengorbankan darahku sendiri Sehingga kekasihku tak akan pergi. Apa salahnya jika aku berdiri di pinggir sebuah elegi Jika dari dalamnya akan keluar lagu buaian bayi.
Wajahku mengeras di cermin. Besok, aku akan nodai diriku sendiri.
IV Aku sudah lebih dari empat puluh
Dan rasa takut telah meninggalkan jejak. Walter memenjarakan aku di ruangan putih, Di sini ia akan memeriksa kesetiaan cintaku. Dengan hati yang berat aku menurut, Tak dapat menyuarakan keberatan pikiranku.
Lima puluh, ada lima puluh orang, Lelaki yang kurang lelaki dengan tawa kering mereka. Aku sudah lebih dari empat puluh tahun Beranikah aku bentangkan sayapku sekarang? Dalam kamar putih aku dipenjara, Digali oleh langit yang basah.
Mulutku diberangus, Mataku ditutup, Tangan dan kakiku diikat Gerakanku dibatasi. Aku raba sekelilingku mencari Walter, Tetapi ia adalah tembok beton. Ia tidak memanggil bantuan ketika mereka lebarkan kakiku, Ia bahkan beronani ketika aku dipasangi kateter.
Lima puluh, ada lima puluh orang, Lelaki yang kurang lelaki dengan tawa kering mereka. Bersama-sama, bergantian, Membajak keperempuananku. Klitorisku dihancurkan, lidahku direnggut, Dada montokku dipangkas. Apakah aku lelaki atau perempuan, Mereka tegaskan dengan mesin Lubangku yang digali.
Aku sudah lebih dari empat puluh Dan jiwaku menyerah. Dikepung oleh kesedihan yang membuncah, Nasibku yang tak dapat dijelaskan.
Aku berpaling dari nasib menjadi perawan tua Dengan menjilat lidah api, Membuka rahimku yang gersang Dalam hasratku mengandung anak. Aku sekarang dipeluk rasa bersalah Dan juga penyesalan tak berujung. Hidupku telah berubah menjadi mitos, Perempuan Amazon yang bertemu kesialan di medan perang.
Saudara sebangsaku, kerabat, saudari-saudariku, Jangan pernah masukkan hatimu ke dalam sebuah surat.
Boneka Kertas Philip Himberg
BONEKA KERTAS: Suatu kelompok yang berisi lima laki-laki homoseksual, yang berlintas busana– terkadang tidak terlalu ken- tara dan hidup selayaknya hidup sebagai seorang wanita (secara fisik) sebisa mereka. SALLY: Wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang telah mene- tap di Israel selama delapan tahun. Dewasa, sangat serius dengan pekerjaannya, sensitif dan pandai berbicara, semangat untuk bela- jar. Dia mengurus dan merawat Chaim. CHAIM: Laki-laki berusia delapan puluh tiga tahun yang menderita kanker. Klien Sally dan tinggal bersama Sally. Dia tidak lagi bisa ber- bicara dengan mudah karena operasi tenggorokan, tapi dia begitu mahir mengekspresikan dirinya melalui gestur dan kadang saat dia sedang emosional suaranya mengeluarkan pengucapan yang ‘serak’ bila dia mau. Sendirian di Israel karena putrinya tinggal di Amerika. Dia sangat bergantung pada Sally agar hidupnya berjalan. ADINA: Empat puluh empat tahun. Putri Chaim. Janda. Wanita Israel yang pindah ke New York dari Israel di tahun 1997 dan kem- bali tujuh tahun kemudian.
Rumah Chaim CHAIM duduk di kursi, tubuhnya dibalut mantel. Dia menulis di buku
catatannya. Koper kecil terbuka di atas meja, dan Sally sedang melipat dan menyimpan piyama di dalamnya. Sally mengambil sebuah buku dan menaruhnya di atas pakaian yang dia susun di dalam koper.
SALLY: Papa, aku taruh buku kumpulan puisi oleh Yehuda Amichai di kopermu.
CHAIM mengetuk meja, Sally melihat kearahnya dan berjalan men- dekat. Chaim memberikan catatan ke Sally. Dia baca dan kembali menatapnya.
SALLY: Tidak, Papa, aku tidak sempat berpamitan baik-baik dengan Cheska. Aku tidak yakin seperti apa maksud ‘berpamitan baik-baik’/
CHAIM menulis dan memberikannya catatan baru. SALLY (membaca catatan dari CHAIM) ‘Kau lelah. Mungkin seka-
rang karena aku akan pergi, kau akan punya lebih banyak waktu.’ (berkata kepada CHAIM) Kau hanya akan pergi ke rumah sakit selama seminggu, Chaim. Dan aku pasti akan tetap menyibukkan diri. Aku akan memasak untukmu. Membawakan makanan untukmu – masakan sinigang-ku kan kau suka sekali.
CHAIM menulis catatan lagi dan memberikannya ke SALLY. SALLY (membaca catatan) ‘Kau harus keluar. Pergi berkencan’ (meli-
hat kearah Chaim) Kencan?! Dengan laki-laki, Papa? Kau tidak akan cemburu?
Mereka tertawa. CHAIM menulis dan memberikan SALLY catatan lain lagi.
SALLY (membaca): ‘Kalau tidak – dengan perempuan. Jika memang itu yang kau mau.’ (menatap CHAIM) Papa, sekarang kau khawatir kalau aku lesbian!
Adina masuk membawa handuk. Dia menaruhnya di dalam koper. Adina: Taksi akan datang segera. (Dia berlutut di depan CHAIM.)
Abba – apakah terasa sakit? (menunjuk ke arah balutan perban di tenggorokannya)
CHAIM menggelengkan kepalanya. ADINA: Kau dengar kan apa yang dikatakan dokter. Ada harapan
bila kau coba perawatan ini, tapi kau memang harus menetap
I GAK Murniasih Still Can’t Let Go | Belum bisa lepas | 仍無法鬆手. 2004 I GAK Murniasih Still Can’t Let Go | Belum bisa lepas | 仍無法鬆手. 2004
CHAIM mengangguk. Sally berjalan mendekatinya. Dia merogoh ke sisi- nya, mengeluarkan sebuah kotak dan memberikan kotaknya beserta sebuah amplop pada Sally.
SALLY: Apa ini, Chaim? CHAIM menunjuk agar SALLY membaca isi amplopnya. SALLY
membuka amplop, mengeluarkan sebuah surat dan menatapnya. CHAIM memberi isyarat baginya untuk mulai membaca.
SALLY (membuka surat, membaca): ‘Sally sayang, aku sungguh memahamimu sepenuhnya. (Suatu denyutan). Dan kau pun begitu mengetahui diriku semenjak kita hidup berdampingan. Setiap orang harus menjalani takdir mereka. Memang begitu saja terjadi bahwa takdirku tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku sungguh meminta maaf kalau kita harus mengucapkan selamat tinggal. Dalam hal ini, yang bisa aku lakukan hanyalah berharap agar kau selalu diliputi keberuntungan, dimanapun kau berada. Aku harap ini membuatmu senang.’
SALLY: Papa, tidak. Kita tidak akan mengucapkan – CHAIM mengisyaratkan dengan tangannya agar dia tidak melanjutkan
kata-katanya dan menyuruh Sally membuka kotaknya. SALLY: Kau tidak perlu memberikanku apapun Papa. CHAIM (berhasil mengucapkan kata-kata ini): Kau telah memban-
tuku. Kau telah membantuku dengan cara-cara yang kau tidak bisa bayangkan.
SALLY melihat ke arah ADINA dan membuka kotaknya. Dia memegang hadiah yang dia terima– sebuah setelan, rok dan atasan yang senada.
SALLY: Chaim! CHAIM menyuruhnya memakai baju tersebut. SALLY melihat ke arah
ADINA yang hanya mengangguk kemudian dia berjalan keluar dengan baju barunya. Adina duduk di samping Chaim.
ADINA: Papa – CHAIM: Aku tidak pulang ke rumah lagi, Adina. ADINA: Tentu saja Papa akan pulang. Kita tidak boleh putus
harapan. Jangan berlebihan Papa. Kau kan yang mengajari aku hal itu.
CHAIM: Kau akan memastikan bahwa Sally – SALLY (berteriak dari luar panggung): Kalian siap melihat ini? SALLY masuk, bergaya bak model dengan baju barunya. CHAIM meng-
isyaratkan bahwa dia harus berputar. Dia berputar dan CHAIM bertepuk tangan dengan hati riang.
ADINA (berjalan ke arah Sally, mencubit pipinya): A sheyn meydl. [gadis cantik] (Berkata ke SALLY) Kau suka?
SALLY (menatap CHAIM): Sangat, sangat sangat suka. CHAIM tersenyum. ADINA: Kau tahu sesuatu? (Berhenti sebentar.) Kurasa setelan ini
membutuhkan – ini. ADINA melepas syal ungu yang dia pakai di lehernya. Dia berjalan ke
arah Sally dan mengalungkannya di leher Sally. ADINA: Nah, sudah sempurna sekarang!
SALLY: Adina! Aku tak tahu apa yang – ADINA: Ssst! Ibuku selalu bilang: Kau hanya harus selalu mema-
kainya, dengan hati yang bahagia!
SALLY berjalan ke arah CHAIM di kursinya dan duduk di tepi kursi. Dia kalungkan tangannya pada CHAIM.
SALLY: Terkadang aku berpikir Papa – jika saja aku ini Sabra muda di Israel saat Perang Besar, dan kita bertemu saat itu...
CHAIM dan Sally tertawa sembari melihat satu sama lain. ADINA berdiri, menatap. Cahaya memudar.