Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan
A. Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan
1. Pemohon dan Jenis Permohonan Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan terdiri dari 3 (tiga) nomor registrasi perkara, yaitu permohonan dengan Nomor Registrasi 001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003, dan 022/PUU-I/2003.
Permohonan pengujian undang-undang ini merupakan permohonan petama kali yang diajukan oleh masyarakat (pemohon) dalam hal pengujian undang-undang oleh pengadilan (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi. Perkara 001/PUU-I/2003 sebelumnya telah diajukan ke Mahkamah Agung sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi. Setelah terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada bulan Agustus tahun 2003, perkara tersebut belum juga diputus oleh Mahkamah Agung, sehingga perkaranya dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi.
Lebih rinci permohonan tersebut dapat diuraikan melalui tabel dibawah ini:
No Kategori
APHI, PBHI, dan
Ir. Daryoko dan M.
Ir. Januar Muin dan Ir
Yayasan 324
Yunan Lubis,SH
David Tomeng (IKPLN)
(Serikat Pekerja PT PLN)
2 Kategori
Perorangan atau pemohon
Badan hukum privat
Badan hukum privat (SP
setidak-tidaknya
PT PLN) setidak-
kelompok orang yang
perorangan
tidaknya perorangan
tergabung dalam IKPLN
atau kelompok orang
3 Tanggal Registrasi 30 Desember 2002
15 April 2003, setelah permohonan
17 Desember 2003
(MA) diterima MK
diperbaiki di terima MK
pada tanggal 15
pada tanggal 22
Desember 2003 4 Jenis Pengujian
Oktober 2003
Pengujian formil dan
Pengujian materil
Pengujian materil
materil
5 Objek
Materi muatan [Pasal 8 permohonan
UU No 20 tahun
Pasal 8 ayat (2) jo. Pasal
2002 secara
16 jo. Pasal 30 ayat (1)
ayat (2), Pasa 16 Pasal
keseluruhan
termasuk penjelasan dan
22, dan Pasal 68] dan
Pasal 17 ayat (3) huruf a
konsideran menimbang huruf b dan huruf c
Tabel.1. Pemohon dan Jenis Permohonan PUU Ketenagalistrikan
2. Bagian yang dimohonkan Materi muatan, ayat, pasal, atau bagian dari Undang-undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan yang dimohonkan dalam uji materil adalah meliputi bagian atau pasal yang inti, antara lain dijelaskan dalam tabel berikut:
Bunyi Pasal atau bagian Penjelasan
Konsideran menimbang huruf b dan huruf c Penjelasan (umum) b. bahwa penyediaan tenaga listrik perlu
Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara
diselenggarakan secara efisien melalui
lebih merata, adil, dan untuk lebih meningkatkan kompetisi dan transparansi dalam iklim
kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga
usaha yang sehat dengan pengaturan listrik, dapat diberikan kesempatan yang seluas-
yang memberikan perlakuan yang sama luasnya kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan
kepada semua pelaku usaha dan Usaha Milik Daerah, Koperasi atau Swasta untuk kepada semua pelaku usaha dan Usaha Milik Daerah, Koperasi atau Swasta untuk
Penyediaan Tenaga Listrik. Untuk penyediaan tenaga c. bahwa dalam rangka pemenuhan listrik skala kecil, prioritas diberikan kepada Badan
kebutuhan tenaga listrik nasional dan Usaha kecil dan menengah. penciptaan persaingan usaha yang sehat,
Undang-undang ini merupakan landasan dan perlu diberi kesempatan yang sama acuan bagi pelaksanaan restrukturisasi sektor
kepada semua pelaku usaha untuk ketenagalistrikan agar pengelolaan usaha di sektor ini ikut serta dalam usaha di bidang dapat dilaksanakan secara lebih efisien, transparan dan ketenagalistrikan;
kompetitif. Kompetisi usaha penyediaan tenaga listrik dalam tahap awal diterapkan pada sisi pembangkitan dan di kemudian hari sesuai dengan kesiapan perangkat keras dan perangkat lunaknya akan diterapkan di sisi penjualan. Hal ini dimaksudkan agar konsumen listrik memiliki pilihan dalam menentukan pasokan tenaga listriknya yang menawarkan harga paling bersaing dengan mutu dan pelayanan lebih baik.
Perkembangan penerapan kompetisi di sisi penjualan dimulai pada konsumen besar yang tersambung pada tegangan tinggi, yang kemudian pada konsumen tegangan menengah. Untuk mengatur dan mengawasi penyediaan tenaga listrik di daerah yang telah menerapkan kompetisi dibentuk Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Badan ini yang mengeluarkan aturan yang diperlukan dalam menunjang mekanisme pasar meliputi aturan jaringan (Grid Code), aturan distribusi (Distribution Code), aturan pentarifan (Tariff Code), aturan untuk lelang pengadaan instalasi/sarana penyediaan tenaga listrik (Procurement and Competitive Tendering Code) dan lain-lain, termasuk penegakan hukumnya (law enforcement). Dengan adanya Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, akan mengurangi peranan Pemerintah dalam penetapan regulasi bisnis ketenagalistrikan, namun tidak mengurangi kewenangan Pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
PASAL 8 ayat (2) Penjelasannya Usaha Penyediaan tenaga listrik meliputi jenis “Cukup jelas” usaha :
a. Pembangkitan Tenaga Listrik b. Transmisi Tenaga Listrik
c. Distribusi Tenaga Listrik d. Penjualan Tenaga Listrik
e. Agen Penjualan Tenaga Listrik f. Pengelola Pasar Tenaga Listrik
g. Pengelola Sistem Tenaga Listrik PASAL 16
Penjelasannya Usaha Penyediaan tenaga Listrik sebagaimana “Untuk terselenggaranya kompetisi yang adil dan sehat, dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan usaha penyediaan tenaga listrik perlu dilakukan secara secara terpisah oleh Badan Usaha yang terpisah oleh badan usaha yang berbeda”
berbeda
PASAL 17 ayat (3) huruf a Penjelasannya Larangan penguasaan pasar sebagaimana
Cukup jelas dimaksud dalam ayat (2) meliputi segala tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat antara lain meliputi :
a. menguasai kepemilikan PASAL 22
Penjelasannya (1) Usaha Penjualan Tenaga Listrik sebagaimana Ayat (1)
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d
mencari keuntungan dan pembiayaannya tegangan rendah dalam wilayah usaha
didasarkan pada biaya yang dikeluarkan. tertentu.
Ayat (2)
(2) Wilayah usaha untuk Usaha Penjualan
Tenaga Listrik sebagai-mana dimaksud Cukup jelas
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Badan Ayat (3) Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
Cukup jelas
(3) Usaha Penjualan Tenaga Listrik dapat Ayat (4)
membeli tenaga listrik dari pasar tenaga listrik dan/atau secara bilateral
Cukup jelas
dari pembangkit lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembelian tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik.
PASAL 30 Ayat (1) Penjelasannya Di wilayah yang tidak atau belum dapat “Kondisi tertentu yang dimaksud dalam ayat ini antara
menerapkan kompetisi karena kondisi tertentu, lain faktor geografis dan atau sosial ekonomi. Yang usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud secara terintegrassi adalah kepemilikan
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat secara vertikal sarana penyediaan tenaga listrik
dilakukan secara terintegrasi
mulai dari pembangkitan tenaga listrik sampai
dengan penjualan tenaga listrik kepada konsumen” PASAL 68
Penjelasannya Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal (PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang- ini meliputi :
undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang 1. menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum Ketenagalistrikan dianggap telah memiliki
dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan
izin yang terintegrasi secara vertikal yang
prinsip pengelolaan perusahaan. meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, 2. mengusahakan penyediaan tenaga listrik dalam dan penjualan tenaga listrik dengan tetap
jumlah dan mutu yang memadai dengan tujuan melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan
untuk :
tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai a. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran dengan dikeluar-kannya Izin Usaha Penyediaan
rakyat secara adil dan merata serta mendorong Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini.
peningkatan kegiatan ekonomi; b. mengusahakan keuntungan agar dapat membiayai pengembangan tenaga listrik untuk melayani kebutuhan masyarakat.
3. merintis kegiatan-kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
Tabel 2. Materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian yang dimohonkan dalam PUU Ketenagalistrikan
3. Dalil-dalil pemohon (Isu Hukum) dan Petitum.
a. Dalil-dalil Pemohon (Isu Hukum) Dalil-dalil yang dikemukan oleh pemohon dalam ketiga berkas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dapat disederhanakan dalam satu kumpulan dalil permohonan. Hal ini supaya tidak terjadi pengulangan, karena terdapat materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian undang- undang yang sama yang dimohonkan oleh satu pemohon dan dimohonkan juga oleh pemohon lainnya. Disamping itu, alasan-alasan permohonan yang dikemukakan pemohon tidak akan dipaparkan keseluruhannya dalam ringkasan ini, melainkan hanya terfokus kepada beberapa isu hukum yang penting saja. Hal tersebut meliputi:
1) Rapat paripurna pengambilan keputusan persetujuan RUU Ketenagalistrikan tidak memenuhi quorum yang diwajibkan
2) Swastanisasi atau privatisasi 134 dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang dilakukan secara terpisah-pisah (unbundling) 135
3) Tanggungjawab negara terhadap penyelenggaraan usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum atau “penguasaan negara” dalam ketenagalistrikan
4) Perlindungan negara atas hak warga negara; atas kesejahteraan lahir dan batin, hak berserikat dan berkumpul, jaminan sosial, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, yaitu hak untuk dapat memanfaatkan ketenagalistrikan
5) Akan terjadi PHK karena Pasal 8 ayat (2) jo Pasal 16 UU Ketenagalistrikan, hal ini merugikan hak konstitusional pemohoan sebagaimana dimaksud Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (3), Pasal 33 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
b. Petitum Petitum atau tuntutan yang sampaikan oleh pemohon kepada Mahkamah
Konstitusi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Petitum Perkara 001
Perkara 021
Perkara 023
Memohon 1 Menerima dan
1. Menyatakan kepada majelis
1. Menyatakan menerima
mengabulkan seluruh hakim konstitusi
mengabulkan seluruh
permohonan
permohonan Pemohon. untuk:
permohonan ini;
PEMOHON;
2. Menyatakan UU No. 20 Tahun 2002 tentang
2 Menyatakan UU No 20 2. Menyatakan bahwa
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
permohonan
Ketenagalistrikan, atau bertentangan dengan
PEMOHON
setidak-tidaknya Pasal 8 Undang-Undang Dasar
dikabulkan;
ayat (2)f, Pasa116 Psal 1945;
3. Menyatakan Pasal 8
22, dan Pasal 68 3 Menyatakan UU No 20
ayat (2), Pasal 16, Pasal
bertentangan dengan Tahun 2002 tentang
30 ayat (1), serta Pasal
Undang-undang Dasar Ketenagalistrikan tidak
17 ayat (3) huruf a UU
a quo secara Negara Republik mempunyai kekuatan
keseluruhan atau Indonesia Tahun 1945; mengikat;
3. Menyatakan UU No.20 4 Memerintahkan
setidak-tidaknya
Tahun 2002 tentang pencabutan
sebagian dari Pasal-
pasal tersebut Ketenagalistrikan, atau Pengundangan UU No
bertentangan dengan
setidak-tidaknya Pasal 8
ayat (2) f, Pasa116 Pasal tentang
20 Tahun 2002
Pasal 33 ayat (2) UUD
22, dan Pasal 68 sebagai Ketenagalistrikan dalam
1945 dan karenanya
Pasal-pasal atau tidak mempunyai Lembaran Negara
kekuatan hukum Republik Indonesia dan
sebagian dari Pasal-
mengikat Tambahan Lembaran
pasal tersebut tidak
mempunyai kekuatan
Negara Republik
hukum mengikat ;
Indonesia
4. Memerintahkan kepada Pemerintah RI Cq. Presiden RI dan DPR RI untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17
Elly Erawati dan J.S. Badudu secara etimologis menguraikan arti kata privatisasi sebagai terjemahan dari privatization yakni “Proses perubahan bentuk diikuti dengan pengalihan hak-hak dari suatu perusahaan milik negara menjadi perusahan swasta; penyerahan pengelolaan sektor-sektor ekonomi tertentu kepada pihak swasta.” Elly Erawati dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, dalam Winarno Yudho et. Al, Privatisasi Ketenagalistrikan, Minyak dan Gas Bumi: Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Kebijakan Politik Pemerintah, dan Penerapannya Di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
bekerjasama dengan Konrad-Adenauer-Stiftung, Jakarta, 2005, hal. 5.
Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2006, dikatakan: Padahal di Inggris yang pernah menerapkan unbundling policy, dahulu pada zamannya Thachter ada kebijakan unbundling, tetapi di zaman Blair itu kemudian di bawa kembali kepada negara, bahkan tarif sampai sangat tinggi karena unbundling policy, itu artinya merugikan masyarakat, karena siapa pun masyarakat modern menggunakan lsitrik
5. Menyatakan Materi muatan UU No 20 tahun 2002
tentang
Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 karena dalam materi muatan UU No
20 tahun 2002 tidak dimuat ketentuan mengenai Hak Menguasai Negara atas Tenaga Listrik sebagai Cabang Produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana ditentukan dalam Pasal
33 ayat (2) UUD 45 dan karenanya muatan materi UU No 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat , atau;
6. Memerintahkan kepada Pemerintah RI Cq. Presiden RI dan DPR RI untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku seluruh atau sebagian materi muatan UU No 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Tabel 3. Petitum permohonan PUU Ketenagalistrikan
4. Penafsiran Mahkamah Konstitusi Penafsiran oleh pengadilan atau Mahkamah dapat ditelusuri dengan melihat
pertimbangan hukum yang disebut di dalam sebuah putusan. Tetapi tidak semua pertimbangan hukum di dalam putusan merupakan bentuk penafsiran hukum yang dapat ditarik metodologinya.
Pertimbangan hukum oleh hakim dalam sebuah putusan pada Mahkamah Konstitusi terbagi atas tiga hal, yaitu: 1) Kewenangan Mahkamah untuk mengadili; 2) legal standing pemohon; dan 3) mengenai pokok perkara. Berikut ini akan dipaparkan pertimbangan hakim konstitusi mengenai pokok perkara dalam Putusan pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
Pertimbangan hukum oleh hakim dalam putusan pengujian undang-undang Nomor
20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan adalah sebagai berikut:
Isu hukum Pertimbangan Hukum atau Penafsiran Hakim Metode Penafsiran
Cabang produksi Menimbang bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian Natural yang penting
itu, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara, tergantung
pada dinamika perkembangan kondisi masing-masing
cabang produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. ... Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. 136
Penguasaan Negara 4. Menimbang bahwa berdasarkan penafsiran historis, Historis Vs Swastanisasi
seperti yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, makna ketentuan tersebut adalah “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang- seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang- seorang”.
5. Menimbang bahwa Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara ( founding fathers) menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut, “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah … Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945 … Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri.
1. Indonesia tidak memilih sistem ekonomi pasar. Karena Doktrinal
A. Irmanputra Sidin menyebutkan: “the economic system in the concept of essential product is relative. An extreme examples is chili, which is now seen as unessential, but when some day this space becomes indispensable to the majority of indoneesians, and the chili market gradually turns unfriendly, chili product will be vital and controlled by the state for optimal public welafare.” Dalam A. Irmanputra Sidin, In Defense of RI’s Constitution Economy, The Jakarta Post, 5 Januari 2005
2. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan
bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif;
3. Menimbang bahwa dengan memandang UUD 1945 Tekstual sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian
“dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945
mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata
4. Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, . . . Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber- sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh
negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas
sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang- undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan.
5. lagi pula dengan merujuk pandangan Hatta dan pandangan para ahli sebagaimana tersebut di atas tentang penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dapat disimpulkan secara ringkas bahwa makna dikuasai oleh negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing
1. Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan Fungsional mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara 1. Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan Fungsional mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar- benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat
2. Konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan ataupun dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara
3. dengan merujuk pada penafsiran Mahkamah atas penguasaan negara sebagai mana telah diuraikan di atas hal dimaksud harus dinilai berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 secara keseluruhan, termasuk penyelenggaraan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berwawasan lingkungan dengan mana ditafsirkan bahwa
penguasaan negara juga termasuk dalam arti pemilikan privat yang tidak harus selalu 100%.
Artinya, pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud
Kompetisi Penyediaan Listrik
Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide
kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi
itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
Fungsional
(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat lagi pula kompetisi dalam kegiatan usaha penyediaan tenaga
Komparatif listrik di wilayah yang telah dapat menerapkan kompetisi dan
secara unbundling, menurut ahli hanya akan terjadi di
daerah JAMALI (Jawa, Madura dan Bali) sebagai pasar yang telah terbentuk yang akan dimenangkan oleh usaha yang kuat secara teknologis dan finansial, sedang di daerah yang pasarnya belum terbentuk di luar Jawa, Madura dan Bali, menjadi kewajiban Pemerintah/BUMN yang boleh melaksanakannya secara terintegrasi, hal mana tidak mampu dilakukan tanpa melalui subsidi silang dari pasar yang telah menguntungkan di JAMALI tersebut, sehingga kewajiban untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan tercapai, karena pelaku usaha swasta akan berorientasi kepada keuntungan yang hanya diperoleh di pasar yang sudah terbentuk;
Pemisahan berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat Komparatif penyediaan tenaga bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta listrik (Unbundling)
mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman
empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan
Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 Adanya kenyataan inefisiensi BUMN yang timbul karena
Natural faktor-faktor miss-management serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak dapat dijadikan alasan untuk
mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, bak pepatah “ buruk muka
cermin dibelah”. Pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam Pasal
33 UUD 1945
Amar putusan: 1. Mahkamah berpendapat cabang produksi dalam Pasal 33 Fungsional mangabulkan
ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan
Wawancara dengan Mahmud Aziz (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) tanggal 25 Januari 2007: Jantung UU
kelistrikan dicabut, maka UU ini dicabut saja sekalian. Dari pada UU-nya “mati,” ini bukan ultra petita tetapi akibat.
menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya;
2. meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta
68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut
merupakan jantung 137 dari UU No. 20 Tahun 2002
padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia;
Tabel 4. Pertimbangan hukum atau Panafsiran Mahkamah Konstitusi dalam putusan PUU Ketenagalistrikan