Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi

C. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi

1. Hukum Acara

Untuk melaksanakan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa melakukan atau memutus perkara yang dimohonkan kepadanya apabila pemohon tersebut mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Tidak semua orang dapat mengajukan perkara permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya kepentingan hukum saja, sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata maupun hukum acara tata usaha negara belum tentu dapat dijadikan dasar permohonan.

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang- undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah. Dalam perkara pengujian undang-undang, persyaratan legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang- undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan: 54

(1) Pemohon adalah pihak yang menanggap hak dan/atau kewenanangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara.

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji.

54 Lihat Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 54 Lihat Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Tentang Iegal standing, Mahkamah Konstitusi pernah menjelaskannya dalam putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU-III/2005, bahwa kerugian yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi

5 (lima) syarat sebagai berikut:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh peradilan biasa. Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.

Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya.

Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang, hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan tata usaha negara dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuat dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.

Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi dapat dikenali sebagai berikut:

a. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

b. Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK);

c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada; c. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ada;

e. Pendapat sarjana (doktrin);

f. Hukum Acara dan/atau yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Negara lain. Sehingga secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di Mahkamah Konstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 55

1. Pengajuan permohonan

a. Ditulis dalam bahasa Indonesia;

b. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;

c. Diajukan dalam 12 rangkap;

d. Jenis perkara;

e. Sistematika: ƒ Identitas dan legal standing ƒ Posita ƒ Petitum

f. Disertai bukti pendukung

2. Pendaftaran

a. Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera: ƒ Belum lengkap, diberitahukan ƒ

7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi ƒ Lengkap

b. Registrasi sesuai dengan perkara;

c. 7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara. ƒ Pengujian undang-undang ¾ Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat ¾ Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung. ƒ Sengketa kewenangan lembaga negara: Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga Negara termohon. ƒ Pembubaran Partai Politik: Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan. ƒ Sengketa impeachment: Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.

3. Penjadwalan Sidang

a. Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).

b. Para pihak diberitahu/dipanggil.

c. Diumumkan kepada masyarakat.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

a. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa: ƒ Kelengkapan syarat-syarat permohonan. ƒ Kejelasan materi permohonan.

b. Memberi nasehat: ƒ Kelengkapan syarat-syarat permohonan. ƒ Perbaikan materi permohonan.

c. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.

5. Pemeriksaan Persidangan

a. Terbuka untuk umum.

b. Memeriksa: permohonan dan alat bukti.

55 Lihat Bab V Hukum Acara Pasal 28-85 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

c. Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.

d. Lembaga Negara dapat diminta keterangan Lembaga Negara dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta.

e. Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.

f. Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang lain.

6. Putusan Lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Diputus paling lambat dalam tenggang waktu: ¾ Untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi. ¾ Untuk perkara perselisihan hasil pemilu:

ƒ Presiden dan/atau wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi. ƒ DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi.

¾ Untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.

b. Sesuai alat bukti, minimal 2 (dua) alat bukti memuat: ƒ Fakta. ƒ Dasar hukum keputusan.

c. Cara mengambil keputusan: ƒ Musyawarah mufakat. ƒ Setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan tertulis. ƒ Diambil suara terbanyak bila tak mufakat. ƒ Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua

menentukan.

d. Ditandatangani hakim dan panitera.

e. Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

f. Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 (tujuh) hari sejak diucapkan.

g. Untuk putusan perkara: ƒ Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung. ƒ Sengketa kewenangan lembaga negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden. ƒ Pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan. ƒ Perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden. ƒ Pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden.

Sedangkan susunan isi putusan atau sistematika putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu 56

1) Mahkamah Konstitusi memberikan putusan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:

a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

b. Identitas pihak;

c. Ringkasan permohonan;

d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

56 Lihat pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 56 Lihat pasal 48 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

g. Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Berdasarkan ketentuan pasal 48 di atas, sistematika putusan Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya hampir sama dengan putusan pengadilan pada umumnya yaitu terdiri dari:

1. Kepala putusan

2. Identitas para pihak

3. Pertimbangan hukum

4. Amar/diktum putusan

5. Waktu dan penandatangan putusan

2. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya. 57

Gustav Radbruch mengemukakan bahwa: “Seharusnya dalam suatu putusan mengandung idée des recht atau cita hukum, yang meliputi unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheid) dan kemanfaatan (zweekmasigkeit).” 58

Ketiga unsur tersebut sedapat mungkin harus diakomodir dalam suatu putusan secara

proporsional. 59 Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan. 60

Dengan demikian, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di dalam persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 61

Begitu juga dengan putusan-putusan hakim di Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 45 diatur bahwa: 62

1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

57 Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer, 1977, hal. 158. dalam Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi cetakan pertama, Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, (selanjutnya disebut Maruarar Edisi Revisi), 2006, hal. 235.

58 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi IV, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 145.

59 Bambang Sutiyoso I, Op.cit, hal. 117-118. 60 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 117,

seperti dikutip juga oleh Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 (Selanjutnya disingkat Bambang Sutiyoso I), hal. 117.

61 Sudikno Mertokusumo , Hukum Acara Perdata Indonesia , Liberty, Yogyakarta, hal. 176, seperti dikutip Bambang

Sutiyoso I, Op. cit., hal. 118.

62 Lihat Pasal 45-49 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan

pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk

mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.

5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.

6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.

7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-

sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda

pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.

10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Ketentuan Pasal 45 diatas menyebutkan tentang dasar, prosedur, atau mekanisme dan tata cara pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dalam menjatuhkan putusan yang berisi mengabulkan permohonan , Mahkamah Konstitusi yang harus mendasarkan pada sekurang-kurangnya

2 (dua) alat bukti. Sedangkan yang dimaksud dengan “keyakinan hakim” adalah keyakinan hakim berdasarkan alat bukti. Dalam sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara hakim yang abstain. Apabila dalam musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh- sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dan apabila tidak dapat juga diambil dengan suara terbanyak, maka suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menjadi penentu.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya isi putusan hakim konstitusi dapat berupa

3 (tiga) macam, yaitu permohonan tidak diterima, permohonan ditolak, serta permohonan dikabulkan. Ketiga macam hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) Syarat suatu putusan hakim konstitusi yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) apabila permohonannya melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 51 diatur bahwa: 63

63 Lihat Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara.

2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Permohonan ditolak (ontzigd) Putusan hakim konstitusi menyatakan permohonan ditolak apabila permohonannya tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, maka amar putusannya menyatakan permohonan ditolak.

3. Permohonan dikabulkan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan dikabulkan, apabila permohonannya beralasan. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan. Atau dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang- undang berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonaan wajib dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari kerja sejak putusan diucapkan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali dikemudian hari (nebis in idem).

Jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang disimpulkan dari amarnya dapat dibedakan

antara putusan yang bersifat declaratoir, constitutief dan condemnatoir. 64 Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon

untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap penggugat/termohon. 65 Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga

negara.

64 Maruarar Edisi Revisi, Op.cit., hal. 240.

65 Ibid.

Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. 66 Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi nampak jelas dalam amar putusannya. Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: 67

“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”

Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief. 68

Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. 69 Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diuraikan di atas, kebanyakan jenisnya terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi itu menciptakan atau meniadakan

satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator, 70 yang disebut Hans Kelsen adalah melalui satu pertanyaan. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi. 71

Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu 1) kekuatan mengikat, 2) kekuatan pembuktian, dan 3) kekuatan eksekutorial. 72 Hal ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Kekuatan Mengikat Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia

Ia belaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang- undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang. 73

66 Ibid, hal. 241.

67 Lihat Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

68 Op.cit., hal. 242.

69 Ibid. 70 Hal ini juga pernah dikatakan oleh I Dewa Gde Palguna (Hakim Konstitusi) dalam wawancara yang dilakukan

pada tanggal 30 Januari 2007 di Mahkamah Konstitusi.

71 Ibid, hal. 250.

72 Maruarar Edisi Revisi, Op.cit., hal. 252-258. 73 Hal ini juga pernah dikatakan oleh I Dewa Gde Palguna (Hakim Konstitusi) dalam wawancara yang dilakukan

pada tanggal 30 Januari 2007 di Mahkamah Konstitusi.

2. Kekuatan pembuktian Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti (gezag van gewijsde).

Kekuatan pasti satu putusan secara negatif diartikan bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara permohonan yang sebelumnya pernah diputuskan. Dalam perkara konstitusi putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapa pun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.

3. Kekuatan eksekutorial Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative-legislator dan putusannya berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Untuk itu, putusan Mahkamah Konstitusi perlu dimuat dalam berita negara agar setiap orang mengetahuinya.

Dalam hal kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas dari suatu undang-undang. Maka karakteristik putusannya yaitu bahwa selama undang-undang tersebut sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi dikenal lembaga dissenting opinion, yaitu dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota majelis hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Penyertaan pendapat hakim konstitusi yang berbeda ini perlu disertakan agar masyarakat dapat mengetahui alasan masing-masing hakim konstitusi dan menilai tingkat integritas serta kualitas seorang hakim konstitusi dalam memutus suatu perkara. Dissenting opinion dikecualikan dalam perkara impeachment karena perkara tersebut memiliki dimensi-dimensi politis. 74

Pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion), jika hakim yang bersangkutan menghendaki dapat dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda diharapkan tidak dilakukan dengan mencela putusan Mahkamah Konstitusi melainkan dengan menekankan pada titik tolak pandangan atau teori yang dianut dalam memberikan pendapat yang berbeda tersebut. 75

74 A. Fickar Hadjar, et. al, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan

Kemitraan, 2003, Hal. 51, seperti dikutip Bambang Sutiyoso I, Op. cit., hal. 122.

75 Maruarar Edisi Revisi, Op.cit., hal. 244.