PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM

BAB III PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM

Menurut M.A. Mannan (2012), ada lima prinsip dalam melakukan kegiatan konsumsi sebagai berikut:

1. Prinsip Keadilan Syariat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

Artinya : “ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” (QS. Al-Baqarah: 173)

2. Prinsip Kebersihan Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al- Qur‟an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.

3. Prinsip Kesederhanaan Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebihan. Sebagaimana firman Allah berikut ini:

Artinya : ”Hai orang -orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa -apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui bata s.”

Arti penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.

4. Prinsip Kemurahan Hati Dengan menaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya. Hal tersebut tertuang dalam firman Allah SWT berikut:

Artinya : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.

5. Prinsip Moralitas Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan- keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia. Sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam firman-Nya:

Artinya : “ Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ”pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa

manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya .”

Yusuf Qardhawi (2003) juga mengatakan ada lima prinsip dalam mengonsumsi sebagai berikut:

1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir. Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan , ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.

2. Tidak melakukan kemubadziran. Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan- kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/ israf ). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram.

3. Menjauhi berutang. Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya.

4. Menjaga asset yang mapan dan pokok. Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual aset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual aset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli aset lain agar berkahnya tetap terjaga.

5. Tidak hidup mewah dan boros. Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.

6. Kesederhanaan. Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.

Perbedaan perilaku konsumen muslim dan konsumen konvensional adalah konsumen muslim memiliki keunggulan bahwa harta yang mereka peroleh semata mata untuk memenuhi kebutuhan individual (materi) tetapi juga kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen muslim ketika ia mendapat penghasilan, ia menyadari bahwa ia hidup untuk mencari ridha allah, maka ia menggunakan sebagian hartanya di jalan Allah, tidak ia habiskan untuk dirinya sendiri. Dalam Islam, perilaku seorang konsumen muslim harus mencerminkan hubungan dirinya Perbedaan perilaku konsumen muslim dan konsumen konvensional adalah konsumen muslim memiliki keunggulan bahwa harta yang mereka peroleh semata mata untuk memenuhi kebutuhan individual (materi) tetapi juga kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen muslim ketika ia mendapat penghasilan, ia menyadari bahwa ia hidup untuk mencari ridha allah, maka ia menggunakan sebagian hartanya di jalan Allah, tidak ia habiskan untuk dirinya sendiri. Dalam Islam, perilaku seorang konsumen muslim harus mencerminkan hubungan dirinya

Dari paparan di atas mengenai prinsip-prinsip konsumsi dalam Islam pada dasarnya apa yang dikemukakan oleh MA. Manan maupun Yusuf Qardhawi sebenarnya sama, hanya saja redaksi kalimat yang digunakan keduanya yang membedakan. Bila dipahami lebih dalam maksud dari prinsip pertama yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi merupakan cakupan dari prinsip keempat yang dikemukakan oleh MA. Manan. Selanjutnya prinsip kedua yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi juga senada dengan prinsip kedua yang disampaikan oleh MA. Manan yakni prinsip kebersihan bahwa manusia tidak mengonsumsi makanan maupun barang yang kotor dan juga tidak membiarkannya menjadi mubazir artinya harus ada manfaat untuk manusia tersebut. Selanjutnya prinsip ketiga yang disampaikan oleh Yusuf Qardhawi merupakan cakupan dari prinsip moralitas yang dikatakan oleh MA. Manan dan prinsip menjaga aset yang mapan dan pokok merupakan cerminan prinsip keadilan yang disampaikan oleh MA. Manan. Dan terakhir prinsip hidup mewah dan boros merupakan komponen penting yang tertuang dalam prinsip kesederhanaan yang dikemukakan oleh MA. Manan.

Penjelasan yang kompleks tentang prinsip konsumsi dalam Islam yang telah dibahas oleh M.A. Manan dan Yusuf Qardhawi merupakan bukti bahwa bagi konsumen khususnya bagi konsumen muslim, terdapat beberapa prinsip yang memang harus diketahui dan dijalani seorang konsumen muslim dalam mengonsumsi barang/jasa. Perbuatan atau sikap untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab, kenikmatan yang diciptakan Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya. Namun kesemua hal tersebut diatur dalam prinsip-prinsip konsumsi sebagaimana yang telah dibahas oleh M.A Manan dan Yusuf Qardhawi di atas.

Selain itu ada juga pendapat dari al-Haritsi dalam Arif Pujiono (2006, 196- 201) tentang prinsip-prinsip dalam mengonsumsi barang dan jasa yakni sebagai berikut:

1. Prinsip Syari‟ah, yaitu menyangkut dasar syari‟at yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi yang terdiri dari:

a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.

b. Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.

c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.

2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syari‟at Islam, yakni:

a. Sederhana, yaitu mengonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir dan hemat.

b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.

c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan.

3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: 3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:

b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik, seperti konsumsi madu, susu, dan lain-lain.

c. Tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan.

4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:

a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.

b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.

c. Tidak membahayakan orang lain, yaitu tidak merugikan dan memberikan mudharat ke orang lain.

5. Prinsip lingkungan, yaitu dalam mengonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan. Dari penjelasan yang disampaikan oleh al-Haritsi yang dikutip oleh Arif

Pujiono dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut senada dengan yang telah disampaikan oleh MA. Manan dan Yusuf Qardhawi. Hanya saja, al-Haritsi membagi prinsip-psinsip konsumsi tersebut tidak hanya dalam prinsip ya ng syari‟ah saja, tetapi juga dalam prinsip muamalah yakni memperhatikan sesama manusia dan lingkungan sekitar.

BAB IV

MASHLAHAH DALAM KONSUMSI

Secara etimologis, ma ṣ la ḥ ah atau al-ma ṣ la ḥ ah , sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah kebaikan. Kemudian Abdul Karim Zaidan mengatakan bahwa ma ṣ la ḥ ah ialah meraih manfaat dan menolak kemudharatan atau kerusakan. Selanjutnya al-Ghazali menyatakan bahwa ma ṣ la ḥ ah adalah memelihara maksud atau tujuan syara‟ dalam pengertian mencari kemaslahatan dan menghindari kerusakan. al-Khawarizmi sebagaimana dikutip oleh Totok

Jumantoro dan Samsul Munir Amir, bahwa ma ṣ la ḥ ah itu adalah memelihara maksud syara‟ dengan cara menghindari kerusakan bagi manusia. (Romli SA, 2010: 77-78). Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ma ṣ la ḥ ah yaitu sesuatu yang mengandung manfaat di dalamnya baik untuk memperoleh kebaikan

maupun menolak kemudharatan. Syari‟ah Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Menurut al-Ghazali, kesejahteraan ( ma ṣ la ḥ ah ) dari suatu

masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama ( al-dien ), hidup atau jiwa ( nafs ), keluarga atau keturunan ( nasl ), harta atau kekayaan ( māl), dan intelek atau akal („ aql ). Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat ( ma ṣ la ḥ at al-din wat al-dunya ). (Adiwarman A. Karim, 2008: 318)

Hal serupa juga dikatakan oleh Imam al-Syatibi, beliau menggunakan istilah maṣlaḥah yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. ma ṣ la ḥ ah merupakan tujuan hukum syara‟ yang paling utama. Menurutnya, ma ṣ la ḥ ah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: agama ( al-dien ), hidup atau jiwa ( nafs ), keluarga atau keturunan ( nasl ), harta atau kekayaan ( māl), dan intelek atau akal („ aql ).

Adapun sifat-sifat ma ṣ la ḥ ah sebagai berikut:

1. Ma ṣ la ḥ ah bersifat subjektif dalam arti bahwa setiap individu manjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu ma ṣ la ḥ ah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility , kriteria ma ṣ la ḥ ah telah ditetapkan oleh syari‟ah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi ma ṣ la ḥ ah bagi diri dan usahanya, namu n syari‟ah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.

2. Ma ṣ la ḥ ah orang per orang akan konsisten dengan ma ṣ la ḥ ah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum , yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

3. Konsep ma ṣ la ḥ ah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam distribusi. Berikut ini bagan keberadaan ma ṣ la ḥ ah dalam konsumsi:

Kebutuhan

Kehalalan Materi

Niat Sosial

Kebutuhan generasi yang

akan datang

ibadah/kebaikan

Pemenuhan kebutuhan

Manfaat (duniawi) Berkah

Pemenuhan Keinginan

Mashlahah

Hal yang sia-sia

Mudharat

Hal yang merugikan

Ma ṣ la ḥ ah yang diperoleh konsumen ketika membeli barang dapat berbentuk sati di antara hal berikut:

1) Manfaat material, yaitu berupa diperolehnya tambahan harta bagi konsumen akibat pembelian suatu barang/jasa. Manfaat material ini bisa berbentuk murahnya harga, discount, murahnya biaya transportasi dan searching dan semacamnya. Larisnya pakaian dan sepatu obral menunjukkan dominannya manfaat material yang diharapkan oleh konsumen.

2) Manfaat fisik dan psikis, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan fisik atau psikis manusia, seperti rasa lapar, haus, kedinginan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, harga diri, dan sebagainya. Mulai berkembangnya permintaan rokok kadar rendah nikotin, kopi kadar rendah kafein menunjukkan adanya manfaat fisik-kesehatan- pada rokok dan kopi.

3) Manfaat intelektual, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan akal manusia ketika ia membeli suatu barang/jasa, seperti kebutuhan tentang informasi, pengetahuan, keterampilan, dan semacamnya. Sebagai misal, permintaan surat kabar, alat ukur suhu, timbangan dan sebagainya.

4) Manfaat terhadap lingkungan ( intra generation ), yaitu berupa adanya eksternalitas positif dari pembelian suatu barang/jasa atau manfaat yang bisa dirasakan oleh selain pembeli pada generasi yang sama. Misalnya mobil wagon dibandingkan dengan mobil sedan memilki manfaat eksternal lebih tinggi, yaitu memiliki kapasitas untuk mengangkut banyak penumpang misalnya kerabat dekat atau tetangga.

5) Manfaat jangka panjang, yaitu terpenuhinya kebutuhan duniawi jangka panjang atau terjaganya generasi masa mendatang terhadap kerugian akibat dari tidak membeli suatu barang/jasa. Pembel;ian bahan bakar biologis (bio-gas), misalnya akan memberikan manfaat jangka panjang berupa bersihnya lingkungan meskipun dalam jangka pendek konsumen harus membayar dengan harga lebih mahal. Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen muslim karena memiliki

alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengonsumsi barang lebih sedikit daripada non muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep ma ṣ la ḥ ah tersebut di atas. Tidak semua barang atau jasa yang memberikan kepuasan/ utility

mengandung ma ṣ la ḥ ah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep kepuasan dengan pemenuhan kebutuhan (yang di dalamnya terkandung ma ṣ la ḥ ah ), perlu ada penjelasan mengenai tingkatan- tingkatan tujuan hukum syara‟ yakni sebagai berikut:

Pertama, aruriyah. Tujuan aruriyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni agama, jiwa, akal, keturunan

dan harta. Jika tujuan aruriyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.

Kedua, hajjiyah . Syari‟ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara‟ dalam kategori ini tidak dimaksudkan

untuk memelihara lima hal pokok di atas melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.

Ketiga, tahsiniyah . Syari‟ah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syari‟ah yang

dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyah dan hajjiyah . Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.

Dari penjelasan di atas, sesungguhnya terdapat korelasi antara aruriyah , hajjiyah dan tahsiniyah sebagaimana juga yang dikatakan oleh Imam al-Syatibi sebagai berikut (Karim, 2008: 382-383);

a. Daruriyah merupakan dasar bagi hajjiyah dan tahsiniyah

b. Kerusakan pada daruriyah akan membawa kerusakan pula pada hajjiyah dan tahsiniyah

c. Sebaliknya, kerusakan pada hajjiyah dan tahsiniyah tidak dapat merusak aruriyah

d. Kerusakan pada hajjiyah dan tahsiniyah bersifat absolut terkadang dapat merusak aruriyah

e. Pemeliharaan hajjiyah dan tahsiniyah diperlukan demi pemeliharaan aruriyah secara tepat. Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkatan tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya, bagi al-Syatibi, tingkat hajjiyah merupakan penyempurna tingkat daruriyah, tingkat tahsiniyah merupakan penyempurna lagi e. Pemeliharaan hajjiyah dan tahsiniyah diperlukan demi pemeliharaan aruriyah secara tepat. Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkatan tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya, bagi al-Syatibi, tingkat hajjiyah merupakan penyempurna tingkat daruriyah, tingkat tahsiniyah merupakan penyempurna lagi

dalam rangka mewujudkan ke ma ṣ la ḥ a tan manusia.

Disadari atau tidak sesungguhnya perilaku konsumsi dan gaya hidup manusia cenderung merugikan diri sendiri. Dimulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (primer) seperrti makan, minum, berpakaian dan lain-lain, keseluruhannya mengandung bahan-bahan yang harus diimpor dengan mengabaikan sumber- sumber yang sesungguhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri. Banyak barang- barang tertentu yang semestinya belum layak dikonsumsi oleh bangsa ini, telah diperkenalkan dan kemudian menjadi mode yang ditiru sehingga meningkatkan impor akan barang tersebut. Ini belum ditambah dengan barang-barang mewah yang beredar mulai dari alat-alat kecantikan sampai kepada mobil-mobil mewah. Padahal pola hidup seperti ini hanya akan memperburuk neraca transaksi berjalan karena meningkatkan impor barang tersebut sehingga menguras devisa dan pada gilirannya akan menekan nilai tukar mata uang dalam negeri.

Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan memperkenalkan konsep israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta dan tabzir . Islam memperingatkan manusia agar jangan sampai terlena dalam berlomba-lomba mencari harta. Islam membentuk jiwa dan pribadi yang beriman, bertakwa, bersyukur, dan menerima. Pola hidup konsumtivisme seperti di atas tidak pantas dan tidak selayaknya dilakukan oleh pribadi yang beriman dan bertakwa. Satu- satunya gaya hidup yang baik adalah simple living (hidup sederhana) dalam pengertian yang benar secara syar‟i. Islam mengajarkan kepada manusia agar

pengeluaran rumah tangga seorang konsumen muslim lebih mengutamakan kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syari‟at.

Menurut M.A Mannan, bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan syari‟at Islam mempunyai tujuan antara lain: pertama, memenuhi kebutuhan Menurut M.A Mannan, bahwa aktivitas ekonomi dalam pandangan syari‟at Islam mempunyai tujuan antara lain: pertama, memenuhi kebutuhan

Konsep ma ṣ la ḥ ah dalam sistem ekonomi Islam, maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam ma ṣ la ḥ ah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan ( utility ) dalam kegiatan konsumsinya. Utility secara bahsa berarti berguna ( usefulness ), membantu ( helpfulness ) atau menguntungkan ( advantage ). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen ketika mengonsumsi sebuah barang. Kegunaan ini bisa juga dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari suatu kesulitan karena mengonsumsi barang tersebut. Karena adanya rasa inilah, maka sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen dalam mengonsumsi sebuah barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.

Konsumsi yang Islami selalu berpedoman pada ajaran Islam. Di antara ajaran yang penting berkaitan dengan konsumsi, misalnya perlunya memperhatikan orang lain. Dalam hadits disampaikan bahwa setiap muslim wajib membagi makanan yang dimasaknya kepada tetangganya yang merasakan bau masakan tersebut. Selanjutnya juga diharamkan bagi seorang muslim hidup dalam keadaan serba berkelebihan sementara ada tetangganya yang menderita kelaparan.

Hal lain adalah tujuan konsumsi itu sendiri, di mana seorang muslim akan lebih mempertimbangkan ma ṣ la ḥ ah daripada utilitas. Pencapaian ma ṣ la ḥ ah merupakan tujuan dari syari‟at Islam )maqasid syari‟ah), yang tentu saja harus menjadi tujuan

dari kegiatan konsumsi. (Misanam dkk, 2008: 128) Dalam hal menjelaskan konsumsi dalam ilmu ekonomi Islam dan ekonomi

konvensional, maka harus terlebih dahulu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan ini terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang berfungsi secara sempurna. Sebagai contoh, genting, pintu, dan jendela merupakan suatu kebutuhan rumah tempat tinggal bagi manusia. Demikian pula kebutuhan manusia adalah segala sesuatu yang diperlukan agar manusia berfungsi secara sempurna, berbeda dan lebih mulia daripada makhluk- makhluk lainnya.

Di sisi lain, keinginan terkait dengan hasrat atau harapan seseorang yang jika dipenuhi belum tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun suatu barang. Contohnya, ketika seseorang membangun suatu rumah ia menginginkan adanya warna yang indah, interior yang rapi, ruangan yang besar dan nyaman. Kesemua hal tersebut belum tentu menambah fungsi suatu rumah, namun akan memberikan suatu kepuasan bagi pemilik rumah tersebut. Keinginan terkait dengan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap suatu barang/jasa, dan hal ini bersifat subjektif tidak bisa dibandingkan antara satu orang dengan orang lain. Perbedaan pilihan warna, aroma, desain, dan sebagainya adalah cerminan mengenai perbedaan keinginan. Secara umum, pemenuhan terhadap kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik, spiritual, intelektual ataupun material. Sedangkan pemenuhan keinginan akan menambah kepuasan atau manfaat psikis di samping manfaat lainnya. Jika suatu kebutuhan diinginkan oleh seseorang,

maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan melahirkan ma ṣ la ḥ ah sekaligus kepuasan, namun jika pemenuhan kebutuhan tidak dilandasi oleh keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata. (Misanam dkk, 2008: 130)

Hal tersebut sesuai dengan tujuan pokok yang disyari‟atkan hukum Islam yaitu untuk kemashlahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari‟ah dalam Alaidin Koto (2004: 121-126) mengemukakan kemashlahatan itu akan terwujud dengan cara tepeliharanya kebutuhan yang bersifat aruriyat, hajjiyat, dan terealisasinya kebutuhan tahsiniyat bagi manusia. Klasifikasi kebutuhan tersebut sebagai berikut:

a. Kebutuhan aruriyat Kebutuhan aruriyat, yaitu segala hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia harus ada demi kemaslahatan manusia. Hal-hal itu tersimpul pada lima sendi utama: agama, jiwa atau nyawa, akal, keturunan, dan harta. Bila sendi itu tidak ada atau tidak terpelihara secara baik, kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatannya tidak terwujud, baik di dunia maupun di akhirat. Kelima hal inilah menurut al-Syatibi yang mengutip al-Ghazali sebelumnya yang menjadi pokok dari apa yang dimaksud dengan maslahat. Dengan kata lain, maslahat itu adalah segala bentuk perbuatan yang mengacu kepada terpeliharanya lima kebutuhan paling mendasar bagi manusia.

Pemeliharaan kelima sendi utama tersebut diurut berdasarkan skala prioritas. Artinya, sendi yang berada di urutan pertama (agama) lebih utama dari sendi kedua (jiwa), sendi kedua lebih utama dari sendi ketiga (akal), dan begitu seterusnya sampai sendi kelima.

Untuk memelihara agama, Allah SWT memerintahkan kaum muslim agar menegakkan syiar-syiar Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, memerangi (jihad) orang yang menghambat dakwah Islam, dan sebagainya. Untuk memelihara jiwa, Allah melarang segala perbuatan yang akan merusak jiwa, seperti pembunuhan orang lain atau terhadap diri sendiri, dan disyari‟atkan hukum qiyas bagi pelaku

pembunuhan dan tindak makar, dan lain-lain. Untuk memelihara akal, Allah melarang meminum khamar dan semua

perbuatan yang dapat merusak akal tersebut. Untuk memelihara keturunan, Allah perbuatan yang dapat merusak akal tersebut. Untuk memelihara keturunan, Allah

Selain itu, untuk pemeliharaan terhadap eksistensi jiwa manusia, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada terpeliharanya jiwa tersebut, seperti makan, minum, pememliharaan kesehatan, dan lain-lain. Begitu

juga terhadap pemeliharaan keturunan dan harta, kaum muslimin disyari‟atkan agar melakukan perkawinan yang sah, memiliki, dan mengembangkan hartanya

berdasarkan cara-cara legal, seperti berdagang dan lain-lain. Sedangkan untuk memelihara akal secara baik, kaum muslimin disyari‟atkan agar selalu

menggunakan akalnya memikirkan diri dan ciptaan Tuhannya, menuntut ilmu yang bermanfaat, dan sebagainya.

b. Kebutuhan Hajjiyat Kebutuhan Hajjiyat adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiadaan aspek hajjiyat ini tidak akan sampai mengancam eksistensi kahidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekadar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.

Prinsip utama dalam aspek hajjiyat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif, dan memudahkan urusan mereka. Untuk maksud ini, Islam menetapkan sejumlah ketentuan dalam beberapa bidang ibadah, mu‟amalat dan „uqubat (pidana).

Dalam bidang ibadah, Islam memberikan rukhsah (dispensasi) dan keringanan bila seorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya, diperbolehkannya seseorang tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan karena ia dalam bepergian atau sakit. Begitu pula bolehnya seseorang mengqasarkan shalat bila ia sedang dalam bepergian dan Dalam bidang ibadah, Islam memberikan rukhsah (dispensasi) dan keringanan bila seorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Misalnya, diperbolehkannya seseorang tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan karena ia dalam bepergian atau sakit. Begitu pula bolehnya seseorang mengqasarkan shalat bila ia sedang dalam bepergian dan

Dalam bidang mu‟amalat, antara lain Islam membolehkan jual-beli pesanan ( istisna ) dan jual beli salam (jual beli di mana barang yang dibeli tidak langsung ketika pembayaran, melainkan kemudiannya sebab barang itu dibeli tidak berada di tempat ketika terjadi transaksi). Begitu juga dibolehkan seorang suami mentalak istrinya apabila rumah tangga mereka benar-benar tidak mendapat ketentraman lagi. Diperkenankannya sistem bagi hasil antara petani yang tidak memiliki sawah/ladang dengan si pemilik sawah/ladang adalah salah satu bentuk lain dari apa yang disebut sebagai al-umur al-hajjiyat ini.

Dalam bidang „uqubat, Islam menetapkan kewajiban membayar denda ( diyat ) bukan qiyas bagi orang yang melakukan pembunuhan secara tidak sengaja, menawarkan hak pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh anaknya, dan sebagainya.

c. Kebutuhan Tahsiniyat Kebutuhan Tahsiniyat adalah tindakan atau sifat-sifat yang pada prinsipnya berhubungan dengan al-Mukarim al-Akhlaq , serta pemeliharaan tindakan- tindakan utama dalam bidang ibadah, adat, dan mu‟amalat. Artinya, seandainya aspek ini tidak terwujud, maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan, seperti jika tidak terwujud aspek aruriyat dan juga tidak akan membawa kesusahan seperti tidak terpenuhinya aspek hajjiyat . Namun, ketiadaan aspek ini akan menimbulkan suatu kondisi yang kurang harmonis dalam pandangan akal sehat dan adat istiadat, menyalahi kepatutan, dan menurunkan martabat pribadi dan masyarakat.

Aspek tahsiniyat dalam bidang ibadah, misalnya kewajiban membersihkan diri dari najis, menutup aurat, berhias bila hendak ke masjid, dan melakukan amala-amalan sunnat dan bersedekah. Berlaku sopan santun dalam makan dan minum atau dalam pergaulan sehari-hari, menjauhi hal-hal yang berlebihan, menghindari makan makanan yang kotor, dan sebagainya.

Selanjutnya, keharaman melakukan jual-beli dengan cara memperdaya dan menimbun barang dengan maksud menaikkan harga perdagangan, spekulasi, dan sebagainya adalah contoh aspek tahsiniyat dalam bidang mu‟amalat.

Perlu ditegaskan bahwa ketiga jenis kebutuhan manusia di atas dalam mencapai kesempurnaan kemaslahatan yang diinginkan syar‟ i sulit dipisahkan satu sama lain. Sekalipun aspek-aspek aruriyat merupakan kebutuhan yang paling esensial, tapi untuk kesempurnaannya diperlukan aspek-aspek hajjiyat dan tahsiniyat . Hajjiyat merupakan penyempurna bagi dharuriyat dan tahsiniyat adalah penyempurna bagi hajjiyat . Namun, aspek aruriyat adalah dasar dari segala kemaslahatan manusia.

Sekalipun dikatakan aruriyat merupakan dasar bentuk bagi adanya hajjiyat dan tahsiniyat tidak berarti bahwa tidak terpenuhinya dua kebutuhan yang

disebut terakhir akan membawa kepada hilangnya eksistensi aruriyat. Atau, ketiadaan dua aspek itu tidaklah mengganggu eksistensi aruriyat secara keseluruhan. Namun, untuk kesempurnaan tercapainya tujuan syar‟I dalam mensyari‟atkan hukum Islam, ketiga jenis kebutuhan tersebut harus terpenuhi. Dan inilah yang dimaksud bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan.

Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqaṣid tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya, bagi al-Syatibi, tingkat hajjyat merupakan penyempurna tingkat aruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hajjiyat , sedangkan aruriyat menjadi pokok hajjiyat dan tahsiniyat .

Pengklasifikasian yang dilakukan oleh al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan Allah SWT dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia. (Asafri Jaya Bakri, 1996: 73)

Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa (1989: 35) menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek aruriyah dapat merusak kehidupan manusia di dunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajjiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih jauh ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi ( aruriyat dan tahsiniyat ).

Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karena itu, problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan ( fulfillment needs ) dengan sumber daya alam yang tersedia.

Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep maqashid syari‟ah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti yang sudah dikenal sebelumnya, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang berperilaku. Mptivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan konsep maqashid syari‟ah, jelas bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. (Karim, 2004: 387)

Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang konsumen akan berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.

Menurut Maslow (dalam Karim: 2004), apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal yang menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs , Maslow berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:

a. Kebutuhan fisiologi ( physiological needs ), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.

b. Kebutuhan keamanan ( safety needs ), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.

c. Kebutuhan sosial ( social needs ), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang, dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.

d. Kebutuhan akan penghargaan ( esteem needs ), mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan terhadap penghormatan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.

e. Kebutuhan aktualisasi diri ( self actualization needs ), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi. Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan

oleh Maslow di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqashid syari‟ah. Bahkan konsep yang telah dikemukakan oleh al-Syatibi mempunyai

keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow bahwa agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.

Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Hal serupa juga dikatakan oleh al-Ghazali bahwa kesejahteraan ( maṣlaḥah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yakni agama ( al-dien ), hidup atau jiw ( an-nafs ), keluarga atau keturunan ( an-nasl ), harta atau kekayaan ( al- māl), dan intelektual atau akal ( al- „ aql ). al-Ghazali menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat ( maṣlaḥah al-din wa al-dunya ). (Zarqa, 1980: 14)

Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartite , yakni kebutuhan ( aruriyat), kesenangan atau kenyamanan ( hajjiyat ) dan kemewahan ( tahsiniyat ). Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis. (Abu Hamid al-Ghazali, 1980: 109)

Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada penyediaan tingkatan pertama, yaitu kebutuhan terhadap makanan, pakaian, dan perumahan. Namun demikian, al-Ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar yang demikian cenderung fleksibel, mengikuti waktu dan tempat, bahkan dapat mencakup kebutuhan-kebutuhan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi dibutuhkan untuk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup. Kelompok ketiga mencakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini terletak pada penyediaan tingkatan pertama, yaitu kebutuhan terhadap makanan, pakaian, dan perumahan. Namun demikian, al-Ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar yang demikian cenderung fleksibel, mengikuti waktu dan tempat, bahkan dapat mencakup kebutuhan-kebutuhan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi dibutuhkan untuk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup. Kelompok ketiga mencakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari

Walaupun keselamatan merupakan tujuan akhir, al-Ghazali tidak ingin bila pencarian keselamatan ini sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi seseorang. Bahkan pencarian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja diinginkan, tetapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Dalam hal ini, beliau menitikberatkan jalan tengah dan kebenaran niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila niatnya sesuai dengan aturan Ilahi, aktivitas ekonomi dapat bernilai ibadah.

Di samping itu, al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial ( fard al-kifayah ) yang sudah ditetapkan Allah: jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. Beliau menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Selanjutnya, ia mengidentifikasikan tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi, yaitu: pertama , untuk mencukupi kebutuhan hidup orang yang bersangkutan; kedua , untuk mensejahterakan kebutuhan hidup keluarganya; dan ketiga, untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Menurutnya, tidak terpenuhinya ketiga alasan ini dapat dipersalahkan oleh agama.

Al-Ghazali mengkritik mereka yang usahanya terbatas hanya untuk memenuhi tingkatan sekadar penyambung hidupnya. Ia menyatakan,

“Jika orang-orang tetap tinggal pada tingkatan subsisten ( sad al ramaq ) dan menjadi sangat lemah, angka kematian akan meningkat, semua

pekerjaan dan kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya, agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat.” )al-Ghazali, 1980: 15)

Walaupun al-Ghazali memandang manusia sebagai maximizers dan selalu ingin lebih, ia tidak melihat kecenderungan tersebut sebagai sesuatu yang harus dikutuk agama. Dalam hal ini, ia menyatakan,

“Manusia senang mengumpulkan kekayaan dan kepemilikan yang bermacam ragam. Bila ia sudah memiliki dua lembah emas, maka ia juga akan menginginkan lembah emas yang ketiga.

Kenapa? Karena “manusia memiliki aspirasi yang tinggi. Ia selalu berfikir bahwa kekayaan yang sekarang cukup mungkin tidak akan bertahan, atau

mungkin akan hancur sehingga ia akan membutuhkan lebih banyak lagi. Ia berusaha mengatasi ketakutan ini dengan mengumpulkan lebih banyak lagi. Tetapi ketakutan semacam ini tidak akan berakhir, bahkan bila ia

memiliki semua harta di dunia.” )al-Ghazali, 1980: 16) Dari ungkapannya tersebut, tampak jelas bahwa al-Ghazali tidak hanya

menyadari keinginan manusia untuk mengumpulkan kekayaan tetapi juga kebutuhannya untuk persiapan di masa depan. Namun demikian, al-Ghazali memperingatkan bahwa jika semangat selalu ingin lebih ini menjurus kepada keserakahan dan pengejaran nafsu pribadi, hal itu pantas dikutuk. Dalam hal ini, al-Ghazali memandang kekayaan sebagai ujian terbesar.

Pada dasarnya, konsep maṣlaḥah ini telah dikemukakan terlebih dahulu oleh al-Ghazali hanya saja al-Syatibi memang membahas lebih lanjut tentang konsep maṣlaḥah ini dalam kitabnya. Jadi, dari kedua paparan yang dijelaskan oleh al-Ghazali dan al-Syatibi pada dasarnya mengemukakan bahwa maṣlaḥah tergantung dari lima tujuan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia, yakni agama, jiwa, keluarga atau keturunan, harta atau kekayaan dan terakhir akal.

Masih mengenai pemenuhan kebutuhan, menurut al-Ghazali negara atau pemerintah juga mempunyai peranan yang penting di dalamnya, Ia menganggap bahwa negarasebagai lembaga penting, tidak hanya bagi berjalannya aktivitas Masih mengenai pemenuhan kebutuhan, menurut al-Ghazali negara atau pemerintah juga mempunyai peranan yang penting di dalamnya, Ia menganggap bahwa negarasebagai lembaga penting, tidak hanya bagi berjalannya aktivitas

“Negara dan agama adalah tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang teratur. Agama adalah fondasinya, dan penguasa

adalah penyebar dan pelindungnya, bila salah satu dari tiang ini lemah, masyarakat akan ambruk.”

Jelas terlihat bahwa al-Ghazali menitikberatkan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi , negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan dan stabilitas. Ia menekankan perlunya keadilan serta aturan yang adil dan seimbang,

“Bila terjadi ketidakadilan dan penindasan, orang tidak memiliki pijakan; kota-kota dan daerah-daerah menjadi kacau, penduduknya mengungsi dan pindah ke daerah lain, sawah dan ladang ditinggalkan, kerajaan menuju kehancuran, pendapatan publik menurun, kas negara kosong, dan kebahagiaan serta kemakmuran dalam masyarakat menghilang. Orang- orang tidak mencintai penguasa yang tidak adil, alih-alih mereka selalu

berdoa semoga kemalangan menimpanya.” Dengan demikian, tampak jelas bahwa al-Ghazali berpendapat negara atau

pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi tidak hanya berperan sebagai salah satu pelaku ekonomi, akan tetapi pemerintah juga berperan dalam merencanakan, membimbing, dan mengarahkan terhadap jalannya roda perekonomian demi tercapainya tujuan pembangunan nasional.

A. Kebutuhan Dan Keinginan

Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan

Abraham Maslow menerangkan lima tingkatan kebutuhan dasar manusia adalah sebagai berikut : 1. Basic needs atau kebutuhan fisiologi, merupakan kebutuhan yang paling penting seperti kebutuhan akan makanan. Dominasi kebutuhan fisiologi ini relatif lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan lain dan dengan demikian muncul kebutuhan- kebutuhan lain.

2. Safety needs atau kebutuhan akan keselamatan, merupakan kebutuhan yang meliputi keamanan, kemantapan, ketergantungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas kekuatan pada diri, pelindung dan sebagainya.

3. Love needs atau kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, merupakan kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keselamatan telah terpenuhi. Artinya orang dalam kehidupannya akan membutuhkan rasa untuk disayang dan menyayangi antar sesama dan untuk berkumpul dengan orang lain. 4. Esteem needs atau kebutuhan akan harga diri. Semua orang dalam masyarakat mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat yang biasanya bermutu tinggi akan rasa hormat diri atau harga diri dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini di bagi dalam dua peringkat : a. Keinginan akan kekuatan, akan prestasi, berkecukupan, unggul, dan kemampuan, percaya pada diri sendiri, kemerdekaan dan kebebasan.

b. Hasrat akan nama baik atau gengsi dan harga diri, prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain), status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian dan martabat.

5. Self Actualitation needs atau kebutuhan akan perwujudan diri, yakni kecenderungan untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan kemampuannya (Maslow, 1988 : 39). Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan

dan keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas antara keinginan ( raghbah dan syahwat ) dan kebutuhan (hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional.

Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus . Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.

Anehnya, ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu merisaukan adanya perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi buta dan menciptakan Anehnya, ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu merisaukan adanya perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya sumber-sumber daya alam secara membabi buta dan menciptakan

Lebih jauh Imam al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan konsumsi sehingga tidak kosong dari makna dan steril. Konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Di sini tampak pula pandangan integral beliau tentang falsafah hidup seorang Muslim. Pandangan ini tentu sangat berbeda dari dimensi yang melekat pada konsep konsumsi konvensional. Pandangan konvensional yang materialis melihat bahwa konsumsi merupakan fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa mempedulikan pada dimensi spiritual karena hal itu dianggapnya berada di luar wilayah otoritas ilmu ekonomi. Tidak ada yang dapat menghalangi perilaku homo economicus kecuali kemampuan dananya. Tidak ada perasaan apakah konsumsi sekarang akan berpengaruh kepada masa depan dirinya sendiri (misalnya mengkonsumsi alkohol dan merokok), masa depan umat manusia ( misalnya, menguras minyak bumi, menebangi hutan, proses industri yang menimbulkan polusi udara dan air) apalagi masa depan kelak di akhirat.

Pembahasan tentang tingkatan-tingkatan pemenuhan kebutuhan manusia (hajaat) telah menarik perhatian para ulama di sepanjang zaman. Di antara mereka ada yang lebih menonjol dari yang lain dan secara khusus membahasanya dalam karya-karya ilmiahnya seperti Imam al-Juwaini (w. 478 H) dalam kitabnya al- Burhan fi Usul al-Fiqh , Imam al-Ghozali dalam al-Mustasfa dan Ihya , al-Izz bin Abdus Salam (w. 660 H) dalam Qowaid al-Ahkam fi Masolih al-Anam , Imam as- Syatibi (w. 790 H) dalam al-Muwafaqot dan Ibnu Khaldun (w. 808 H) dalam Muqoddimah . Penyusunan tingkatan konsumsi ini menjadi menarik karena Islam memberikan norma-norma dan batasan-batasan ( constraints ) pada individu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Norma dan batasan ini pada gilirannya akan membentuk gaya hidup ( life style) dan pola perilaku konsumsi ( patterns of consumption behaviour ) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari gaya hidup yang tidak diilhami oleh ruh ajaran Islami.

Dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumiddin Imam al-Ghazali membagi tiga tingkatan konsumsi yaitu sadd ar-Ramq dan ini disebut juga had ad- dhorurah , had al-hajah dan yang tertinggi adalah had at- tana‟um.

Yang dimaksud dengan had ar-ramq atau batasan darurat adalah tingkatan konsumsi yang paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya mampu bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Imam al-Ghazali sendiri menolak gaya hidup seperti ini karena individu tidak akan mampu melaksanakan kewajiban agama dengan baik dan akan meruntuhkan sendi-sendi keduniaan yang pada gilirannya juga akan meruntuhkan agama karena dunia adalah ladang akhirat (ad- Dunya Mazro‟ah al-akhirah).

Tingkatan tana‟um digambarkan bahwa individu pada tahapan ini melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebutuhannya an sich , tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang dan bernikma-nikmat. Menurut Imam al-Ghazali gaya hidup bersenang-senang ini tidak cocok bagi seorang mukmin yang tujuan hidupnya untuk mencapai derajat tertinggi dalam ibadah dan ketaatan. Kendatipun begitu, gaya hidup demikian tidak seluruhnya haram. Sebagian dihalalkan, yaitu ketika individu menikmatinya dalam kerangka menghadapi nasib di akhirat, walaupun untuk itu, ia tetap akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Barangkali keadaan ini dapat lebih ditegaskan bahwa meninggalkan had tana‟um tidak diwajibkan secara keseluruhan begitu juga menikmatinya tidak dilarang semuanya.

Antara had ad-dhorurah dengan tana‟um terdapat area yang sangat luas disebut had al-hajah di mana keseluruhannya halal dan mubah. Menurut al- Ghazali area ini memiliki dua ujung batasan yang berbeda yaitu ujung yang berdekatan dengan perbatasan dharurah dan ini dinilainya tidak mungkin dipertahankan karena akan menimbulkan kelemahan dan kesengsaraan dan ujung yang lain berbatasan dengan tana‟um di mana individu yang berada di sini dianjurkan untuk ekstra waspada. Hal ini disebabkan karena ujung perbatasan ini dapat menjerumuskannya ke dalam hal-hal yang membuatnya terlena secara tidak Antara had ad-dhorurah dengan tana‟um terdapat area yang sangat luas disebut had al-hajah di mana keseluruhannya halal dan mubah. Menurut al- Ghazali area ini memiliki dua ujung batasan yang berbeda yaitu ujung yang berdekatan dengan perbatasan dharurah dan ini dinilainya tidak mungkin dipertahankan karena akan menimbulkan kelemahan dan kesengsaraan dan ujung yang lain berbatasan dengan tana‟um di mana individu yang berada di sini dianjurkan untuk ekstra waspada. Hal ini disebabkan karena ujung perbatasan ini dapat menjerumuskannya ke dalam hal-hal yang membuatnya terlena secara tidak

Kajian al-Ghazali tentang tingkatan konsumsi ini banyak bersentuhan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Imam al-Juwaini dan itu adalah wajar karena Imam al-Haromain adalah salah satu gurunya dan al-Ghazali banyak belajar dan mengambil ilmu dari padanya. Di samping itu kategorisasinya juga banyak persamaannya dengan para ulama sesudahnya seperti al-Izz bin Abdus Salam, as-Syatibi dan Ibnu Khaldun. Umumnya mereka membagi tiga kategori pemenuhan kebutuhan, hanya ada sedikit perbedaan dalam penggunaan bahasa. Para ekonom Muslim lebih menyukai istilah dan kategorisasi yang dikembangkan oleh Imam as-Syatibi dalam al-Muwafaqot yaitu dhoruriyah , hajiyah dan tahsiniyah (kamaliyyah). Sekalipun demikian, belakangan Imam Suyuthi ( w.911

H ) dalam al-Asybah wan Nazhoir menulis lima tingkatan yaitu dhorurah, hajah, manfa‟ah, ziinah, dan fudhul.

B. Preferensi Konsumsi

Preferensi konsumsi dan pemenuhannya dapat di dipetakan/ mapping sebagai berikut:

1. Utamakan Akhirat dari pada dunia Pada tataran dasar konsumsi dilakukan bersifat duniawi (CW) dan bersifat

Ibadah (Ci) Keduanya bukan subtitusi yang sempurna karena perbedaan ekstrim. Ibadah lebih bernilai tinggi karena orientasinya pada meraih falah yaitu pahala dari Allah SWT.

Dalam Al- Qur‟an & hadits konsumsi duniawi adalah untuk masa sekarang ( present consumption ) sedangkan untuk konsumsi ibadah untuk masa depan

( future consumption ), semakin besar konsumsi akhirat / ibadah semakin besar menuju falah begitu juga sebaliknya .

F Terdapat hubungan positif antara pencapaian tujuan

Falah dengankebutuhan konsumsi ibadah. Semakin tinggi ujuan falah semakin di tuntut tinggi Konsumsi kebutuhan ibadah.

CI

F Terdapat hubungan negatif antara pencapaian

falah Tujuan dengan kebutuhan konsumsi duniawi.

Semakin tinggi tujuan falah yg akan dicapai,

CW Semakin dituntut untuk kurangi konsumsi ke

. Butuhan dunia

Seorang muslim yang rasional yaitu yang beriman semestinya anggaran konsumsi ibadahnya harus lebih banyak dibandingkan anggaran konsumsi duniawinya. . Karena dengan maksimumkan falah adalah tujuannya.

Sebaliknya dengan semakin tidak rasional, maka semakin kufur sehingga semakin besar anggaran konsumsinya untuk duniawi, yang pada akhirnya menjauhkan dari menuju target falah .

C. Budget Line

Dari pilihan-pilihan yang ada, setiap pelaku ekonomi selalu harus mengambil keputusan dalam mengonsumsi sebuah barang/kegiatan. Keputusan yang diambil oleh konsumen tersebut selanjutnya membawa kita kepada konsep permintaan terhadap barang dan jasa. Konsep ini hanya memperhatikan konsumen yang memiliki preferensi dan daya beli sekaligus. Menurut Nasution (2007), Permintaan terhadap barang atau jasa didefinisikan sebagai kuantitas barang atau jasa yang orang bersedia untuk membelinya pada berbagai tingkat harga dalam suatu periode waktu tertentu. Secara umum diketahui bahwa semakin tinggi harga suatu barang, semakin kecil permintaan terhadap barang tersebut.

Pilihan untuk konsumsi sangat dipengaruhi oleh keterkaitan antara dua barang dan preferensi konsumen. Secara umum, keterkaitan ini bisa digolongkan menjadi tiga, yaitu saling menggantikan (substitusi), saling melengkapi (komplementer) atau tidak ada keterkaitan (independen).

Pada substitusi hubungan antara kedua barang adalah negatif yang terbagai atas 3 tingkatan juga yaitu Substitusi sempurna, substitusi dekat dan substitusi jauh. Dan dalam Islam ditegaskan tidak adanya substitusi antara barang haram dan barang halal kecuali dalam keadaan darurat.

Sedangkan pada hubungan yang bersifat komplemen, terdapat tingkatan/derajat yang berbeda-beda antara pasangan barang yang satu dengan pasangan barang yang lain. Hal ini terjadi karena sifat barang yang terkait dengan kegunaan barang yang bersangkutan. Seperti halnya substitusi, tingkatan dari komplementaritas ini ada 3 jenis, yaitu komplementaritas sempurna, dekat dan jauh. Komplementaritas sempurna, terjadi jika konsumsi dari suatu barang mengharuskan konsumen untuk mengonsumi barang yang lain sebagai penyerta dari barang pertama yang dikonsumsi, sedangkan yang jauh, keharusan untuk mengkonsumsinya menjadi kecil.

Dalam Islam, asumsi dan aksioma yang sama seperti disebutkan pada pendahuluan juga berlaku, akan tetapi titik tekannya terletak pada halal, haram, serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi sehingga jika individu dihadapkan pada dua pilihan A dan B maka seorang muslim (orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang yang mempunyai tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang lainnya secara fisik lebih disukai

Kemudian, konsumen Islam dalam menentukan pilihan konsumsi juga memperhatikan batasan seperti mengkonsumsi tidak dalam jumlah berlebih- lebihan (israf), memerhatikan kebutuhan orang lain dan menyesuaikan dengan kemampuan anggaran.

Dalam konsep Budget Line , Kendala Anggaran ( Budget ), merupakan kendala penting yang dihadapi konsumen dalam menentukan pilihan untuk mengonsumsi barang dan jasa. Seseorang tidak akan bisa membeli barang-barang yang mereka butuhkan jika anggaran yang ada tidak mencukupi.

Bagaimana memahami konsep budget line ini, perhatikan ilustrasi berikut: (1) Persamaan dari Budget Line Batas budget konsusmen untuk mengkonsumsi dua jenis barang

digambarkan sebagai berikut :

I = PxX + PyY, dimana X untuk barang A, dan Y untuk barang B Jika kita ubah persamaannya menjadi jumlah Y yang dapat dibeli sebagai

fungsi dari berapa banyak X yang dibeli yang memberikan batas budget, akan menjadi sbb.

Y = _I_ - _Px_·X Py Py

Jika kita punya budget $40 yang dibelanjakan untuk Soda (harga $4 per 6- kotak) dan pizza (harga $2 per potong), maka dapat dihitung sebagai berikut :

Y = ($40/2$) - ($4/$2)·X Y= 20 - 2·X

(2) Persamaan matematis Budget Line Slope

∆TE = Px∆X + Py∆Y, sepanjang Budget Line , ∆TE = 0, sehingga

Py ∆Y = Px∆X, maka |- ∆Y/∆X| = Px/Py. Besaran slope Budget Line = harga X relatif terhadap Y.

(3) Logika dibalik Budget Line Slope

Px = berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli satu unit X. Py

= berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membeli satu unit Y. Px/Py = total Y yang dikorbankan untuk mendapatkan uang membeli 1X |- ∆Y/∆X| (besaran slope dari budget line ) Alokasi budget seorang muslim bila dibandingkan dengan non muslim

untuk konsumsi lebih kecil, kecuali jika pendapatan mereka memang terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja, karena jika memungkinkan untuk konsumsi lebih kecil, kecuali jika pendapatan mereka memang terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja, karena jika memungkinkan

Hubungan keimanan dengan pola Budget Line Ci

(a). Semakin rasional (beriman) seorang muslim maka budget line - nya

akan semakin condong vertikal (inelastis)

Cw

Ci (a). Semakin tidak rasional ( kufur) seorang muslim, maka

budget line -nya akan semakin condong horizontal (elastis)

Cw

2. Konsisten dalam prioritas pemenuhannya Ulama telah membagi prioritas pemenuhan kebutuhan dalam tiga bagian: 2. Konsisten dalam prioritas pemenuhannya Ulama telah membagi prioritas pemenuhan kebutuhan dalam tiga bagian:

b. Hajjiyah , yaitu kebutuhan pelengkap/ penunjang atau sekunder

c. Tahsiniyyah , yaitu kebutuhan akan kemewahan atau kebutuhan tersier.

3. Memperhatikan etika dan norma Islam memiliki seperangkat etika dan norma dalam berkonsumsi. Diantaranya: kesederhanaan, keadilan, kebersihan, halalan toyyiban , keseimbangan dan lain-lain.

D. Indifferent Curve

Pada pendekatan kardinal nilai guna kardinal manfaat atau kenikmatan yang diperoleh sesorang konsumen dapat dinyatan dengan angka kuantitatif, sedangkan pada pendekatan ordinal tingkat kepuasan tidak diukur dengan kuantitatif melainkan dengan bantuan kurva yang disebut kurva indiveren ( Indifferent Curve ), di mana kurva ini menggambarkan tingkat kepuasan dua barang (jasa) yang disukai konsumen. Semakin tinggi kurva indeferensi semakin tinggi pula tingkat kepuasan konsumen. Bentuk kurva ini cembung terhadap titik 0( Convec ) menunjukkan kepuasan yang didapat dari mengkonsumsi barang yang pertama. Barang pertama lebih disukai dari pada barang yang kedua. Kurva ini mempunyai karakteristik:

1). Selera konsumen terhadap barang tertentu dianggap konsisten, akibat dari asumsi ini adalah kurva indeference tidak pernah bersinggungan berpotongan ( intersection ) satu sama lain.

2). Individu atau konsumen lebih menyukai barang dengan jumlah yang lebih banyak dari pada jumlah yang lebih sedikit, sehingga akibat dari asumsi ini adalah kurva indeference berslope negatif, yang merfleksikan prinsip umum dimana individu akan mengorbankan baraang untuk mendapatkan barang yang mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.

3) Kurva indifference menggambarkan efek subtitusi antara barang satu dengan barang lainnya. Misalnya X dan Y mempunyai efek subtitusi 1:2 3) Kurva indifference menggambarkan efek subtitusi antara barang satu dengan barang lainnya. Misalnya X dan Y mempunyai efek subtitusi 1:2

Untuk memahami kurva ini, akan dijelaskan dengan 3 gambar berikut.

Gambar 1. Contoh Indifferent Curve

I 3 daripada I 2 , dan I 2 lebih daripada I 1 , tapi tidak peduli pada posisi yang berada pada kurva indifference. Kemiringan (slope) dalam nialai absolut, dikenal sebagai marginal rate of substitution , menunjukkan besaran di mana konsumen bersedia mengorbankan suatu barang untuk digantikan dengan suatu kelebihan barang lain. Pada kebanyakan barang angka marginal rate of substitution tidak konstan sehingga kurva indifference curve berbentuk melengkung. Kurva berbentuk cembung terhadap sumbu menggambarkan efek substitusi negatif. Bila hargha naik sementara pendapatan tetap, maka konsumen akan membeli sedikit barang yang mahal dengan menggantinya pada kurva indiffereence yang lebih rendah. Sebuah contoh dari fungsi utility yang menghasilkan kurva indifference seperti ini adalah fungsi Cobb-Douglas:

Pada Gambar 1, konsumen lebih memilih

Gambar 2. Tiga indifference curve dimana barang X dan Y adalah substitusi sempurna. Garis abu-abu tegaklurus terhadap kurva menggambarkan ketiga kurva adalah paralel.

Pada Gambar 2, Jika barang adalah subtitusi sempurna kurva indifference akan merupakan garis paralel, di mana konsumen akan mau menggantinya pada perbandingan yang tetap. marginal rate of substitution nya konstan. Contoh fungsi utilitas kurva seperti ini adalah

Gambar 3: Indifference curve untuk barang X dan Y complement sempurna.

"Siku-siku " dari kurva adalah kolinier Pada Gambar 3, di mana barang komplemen sempurna, maka kurva

indifference akan berbentuk L. Sebagai contoh misalkan kita punya resep kue dengan 3 cangkir tepung dan 1 cangkir gula. Tidak peduli berapapun kelebihan

tepung yang dipunyai, kita tetap tidak akan membuat adonan jika tidak ada tambahan gula. Contoh lain adalah sepatu kiri dan kanan. Konsumen tidak akan menambah sepatu kanan jika dia hanya punya satu sepatu kiri. Tambahan satu sepatu kanan, mempunyai nilai marginal nol jika tidak ada sepatu kiri. Sehingga tepung yang dipunyai, kita tetap tidak akan membuat adonan jika tidak ada tambahan gula. Contoh lain adalah sepatu kiri dan kanan. Konsumen tidak akan menambah sepatu kanan jika dia hanya punya satu sepatu kiri. Tambahan satu sepatu kanan, mempunyai nilai marginal nol jika tidak ada sepatu kiri. Sehingga

Kesimpulannya adalah, perubahan harga pada budget line yang mempertahankan konsumen pada titik keseimbangan pada kurva indifference yang sama.

Dalam hal keputusan konsumen dalam hal konsumsi, seperti dibahas di atas tentang aksioma dalam menentukan pilihan, Dalam Islam, asumsi dan aksioma yang sama juga berlaku, tetapi penekanannya terkletak pada halal, haram, serta berkah tidaknya barang yang akan dikonsumsi sehingga jika individu dihadapkan pada dua pilihan X dan Y maka seorang muslim (orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang yang mempunyai tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang lainnya secara fisik lebih disukai. Islam mengutamakan pahala maksimum bukannya kepuasan maksimum. Disamping itu Islam juga percaya bahawa setiap manusia itu rejekinya diperoleh dari Tuhan.

Objektif Ekonomi Islam adalah untuk mencapai pahala maksimum (atau untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat). Sehingga dalam Islam dilarang mencampuradukkan antara barang atau transaksi yang halal dengan barang atau transaksi yang haram. Hubungan barang halal طharam yang dituntunkan Islam adalah berapa pun jumlah barang halal yang dikonsumsi, maka jumlah barang haram yang dikonsumsi adalah tetap nol.

Dengan membandingkan antar dua barang halal substitusi, maka seorang konsumen muslim dalam memilih barang yang dikonsumsinya akan mempertimbangkan jumlah mashlahah total yang akan diperolehnya paling tinggi. Terkait dengan anggaran yang tersedia dalam mengkonsumsi suatu barang, konsumen muslim akan memilih barang yang memiliki mashlahah total yang lebih tinggi.

E. Kurva Konsumsi Islami

Karena itu, konsumsi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :

Konsumsi = Maslahah = Manfaat + Berkah

Dengan mengkonsumsi sesuatu, maka diharapkan akan didapat manfaat, yang dapat dirinci sebagai berikut:

1. Manfaat material, seperti murah, kaya, dan lainnya.

2. Manfaat fisik/psikis meliputi rasa aman, sehat, nyaman dan lain sebagainya.

3. Manfaat intelektual, seperti informasi, pengetahuan dan lainnya.

4. Manfaat lingkungan, eksternalitas positif.

5. Manfaat secara inter-generational dan antar-generationnal , yaitu adanya kelestarian, bermanfaat untuk keturunan dan generasi yang akan datang.

Sedangkan berkah yang diharapkan didapat dari aktivitas konsumsi tersebut yaitu:

1. Kehalalan barang dan jasa yang dikonsumsi.

2. „Idak Israf artinya memberikan kegunaan bagi yang mengkonsumsinya maupun bagi yang lainnya

3. Mendapat Ridho Allah.

F. Fungsi Konsumsi Islam

Dalam ekonomi Islam, setiap aktivitas konsumsi, bagi semua orang akan selalu menghadapi kendala. Kendala utama yang dihadapi dalam melakukan konsumsi adalah:

1) Anggaran

2) Berkah minimum,

3) Israf dan moral Islam.

Dengan kendala tersebut, maka setiap orang akan selalu berusaha untuk memaksimalkan maslahah dari kegiatan konsumsinya. Dengan kendala tersebut, maka fungsi konsumsi Islami adalah fungsi maslahah yang secara umum (Ikhwan

A. Basri. 2009) adalah sebagai berikut:

Fungsi konsumsi = fungsi maslahah:

M = m + (Mf, B)Yd

M = m + Mf Yd + B Yd

M = maslahah dalam berkonsumsi

m = konsumsi rata-rata = kebutuhan dasar

Mf = manfaat

B = berkah atau amal saleh

Yd = pendapatan halal personal (pendapatan halal yang siap dibelanjakan)

Berdasarkan fungsi konsumsi di atas, maka seseorang atau suatu rumahtangga akan berupaya memaksimalkan maslahanya dalam setiap melakukan Berdasarkan fungsi konsumsi di atas, maka seseorang atau suatu rumahtangga akan berupaya memaksimalkan maslahanya dalam setiap melakukan

Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan adalah ibadah, maka konsumsi merupakan aktivitas ibadah. Menyangkut ibadah ini, maka setiap orang atau rumahtangga secara umum dapat dibedakan dalam 2 (dua) katergori, yaitu:

1). Orang atau rumah tangga yang ber-Iman tinggi

2). Orang atau rumahtangga yang ber-Iman rendah

Bagi seseorang atau suatu rumahtangga yang mempunyai kelebihan harta dan tingkat keimanan yang tinggi, maka mereka wajib mengeluarkan zakat dan mereka tersebut disebut Muzakki. Karena itu, tambahan pengeluaran Muzakki dapat ditulis sebagai berikut:

MPCmuzakki = MPCriil + MPCamal shaleh

Dengan demikian apabila; β = MPCmuzakki; α= MPCriil;

d = MPC amal shaleh;

maka fungsi konsumsi Islami-nya dapat ditulis sebagai berikut;

C = α + )β + d( Yd

C = α + β Yd + dYd

Dengan kondisi:

d = 0; α=β d< α d= α d> α

d=β;α=0

Keimanan yang semakin meningkat membuat nilai d (amal shaleh) akan semakin mendekati nilai β. Dengan semakin tingginya nilai d maka para Muzakki

akan meminimalkan preferensi konsumsi untuk diri sendiri.