Konsumsi Prinsip dan Batasan dalam Persp
BAB I PENDAHULUAN: Selayang Pandang Konsumsi
Allah SWT telah melimpahkan untuk manusia karunia kenikmatan yang melimpah di bumi. Bersama itu pula amanah juga dibebankan kepada manusia untuk mengelolanya. Karunia dan amanah atas sumber daya tersebut pada intinya memunculkan tiga masalah utama dalam kehidupan sosioekonomi masyarakat, yaitu apa dan berapa banya barang/jasa yang diperlukan ( what ), bagaimana cara menghasilkannya ( how ) dan bagaimana cara mendistribusikan kepada masyarakat secara adil ( for whom ), sehingga tercipta suatu keadilan dan kesejahteraan yang luas. Keinginan manusia agar terpenuhi kebutuhannya telah melahirkan konsep teori konsumsi. Perilaku konsumsi manusia biasa bersumber pada dualitas yaitu economic rasionalism dan utilitarianism yang menekankan keduanya lebih kepada kepentingan individu ( self interest ) dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Konsep self interest rationality menurut Edgeworth yang dikutip oleh Arif Pujiono (2006), meskipun secara ekonomi terkesan baik, tetap mengandung konsekuensi terhadap perilaku konsumsi yang lebih longgar karena ukuran rasional adalah memenuhi self interest tersebut. Sedangkan utilitarisme yang menekankan bagaimana manfaat terbesar dapat diperoleh meski harus mengorbankan kepentingan/hak orang lain.
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, baik dalam aspek material maupun spiritual, dalam jangka pendek maupun panjang. Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material, seperti sandang, rumah, dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan perhatian dalam ekonomi Islam. Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang disebut dengan sejahtera. Sejahtera atau kesejahteraan dalam perspektif Islam dimaknai dengan istilah “ fala ḥ” yang berarti kesejahteraan holistik dan seimbang antara dimensi material-spiritual, individual-sosial, dan kesejahteraan duniawi dan akhirat. Sejahtera dunia diartikan sebagai segala yang memberikan kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis ataupun material. Sedangkan Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, baik dalam aspek material maupun spiritual, dalam jangka pendek maupun panjang. Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material, seperti sandang, rumah, dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan perhatian dalam ekonomi Islam. Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang disebut dengan sejahtera. Sejahtera atau kesejahteraan dalam perspektif Islam dimaknai dengan istilah “ fala ḥ” yang berarti kesejahteraan holistik dan seimbang antara dimensi material-spiritual, individual-sosial, dan kesejahteraan duniawi dan akhirat. Sejahtera dunia diartikan sebagai segala yang memberikan kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis ataupun material. Sedangkan
Dalam upaya mencapai fala ḥ, manusia menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan ini sangat kompleks dan sering kali saling terkait antara satu faktor dengan faktor lainnya. Adanya berbagai keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang ada pada manusia serta kemungkinan adanya interpendensi berbagai aspek kehidupan sering kali menjadi permasalahan besar dalam upaya mewujudkan fala ḥ. Permasalahan lain adalah kurangnya sumber daya ( resources ) yang tersedia
dibandingkan dengan kebutuhan atau keinginan manusia dalam rangka mencapai fala ḥ. Kekurangan sumber daya inilah yang sering disebut oleh ekonomi pada umumnya dengan istilah „kelangkaan‟.
Peran ilmu ekonomi sesungguhnya adalah mengatasi masalah „kelangkaan‟ ini sehingga dapat mencapai fala ḥ, yang diukur dengan ma ṣ la ḥ ah .
Kelangkaan bukanlah terjadi dengan sendirinya namun bisa juga disebabkan oleh perilaku manusia. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam mencakup tiga aspek dasar yaitu, produksi, distribusi, dan konsumsi. Konsumsi yaitu komoditas apa yang
dibutuhkan dalam mewujudkan ma ṣ la ḥ ah . Masyarakat harus memutuskan komoditas apa yang diperlukan, dalam jumlah berapa dan kapan diperlukan sehingga ma ṣ la ḥ ah dapat terwujud. Pada dasarnya sumber daya dapat digunakan untuk memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan manusia, jadi terdapat pilihan-pilihan alternatif pemanfaatan sumber daya untuk berbagai komoditas yang benar-benar dibutuhkan untuk mencapai fala ḥ. (Arief Hoetoro, 2007: 304)
Hambatan berupa sumber daya alam menjadi alasan manusia untuk dapat terus meningkatkan skill, peningkatan kualitas serta perluasan jejaring produk kebutuhan manusia, agar segala kebutuhan dan keinginan dapat terpenuhi. Transfer atau pergerakan produk kebutuhan manusia dari satu daerah ke daerah lain, untuk melengkapi segala macam kebutuhan, menjadi tidak terelakkan. Pola ketergantungan antara satu wilayah dan wilayah lain terhadap macam-macam Hambatan berupa sumber daya alam menjadi alasan manusia untuk dapat terus meningkatkan skill, peningkatan kualitas serta perluasan jejaring produk kebutuhan manusia, agar segala kebutuhan dan keinginan dapat terpenuhi. Transfer atau pergerakan produk kebutuhan manusia dari satu daerah ke daerah lain, untuk melengkapi segala macam kebutuhan, menjadi tidak terelakkan. Pola ketergantungan antara satu wilayah dan wilayah lain terhadap macam-macam
Pola hubungan dan ketergantungan seperti di atas serta keterbukaan dari berbagai aspek kehidupan lainnya inilah yang lazim disebut serbagai globalisasi. Hal ini menjadi tidak terhindarkan karena bertambahnya variasi kebutuhan maupun karena bertambahnya populasi manusia itu sendiri. Dengan segala bentuk keuntungan maupun kerugiannya, globalisasi semakin memberikan banyak macam pilihan yang dapat ditemukan konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Banyaknya macam dan ragam pilihan pemenuhan kebutuhan hidup akan sangat menguntungkan konsumen. Konsumen lebih leluasa memilih sesuai dengan kebutuhan sesuai keinginan. Barang dari luar negeri banyak ditemukan dengan berbagai macam variasi. Model baru yang sebelumnya belum diproduksi di dalam negeripun akan dengan mudah ditemukan. Konsumen juga memperoleh lebih banyak pilihan harga dengan segala macam produk yang ada. Bisa memilih dari harga yang paling murah sampai harga yang paling mahal. Tergantung pada anggaran ( budget ) dan keinginan konsumen. (Sri Wigati, 2011: 23)
Dengan lahirnya berbagai segmen tersebut, produsen hanya akan mampu memasarkan hasil dengan optimal kepada konsumen apabila telah memahami dan menguasai berbagai segmen pasar. Di sini peneliti menyatakan bahwa distribusi dan produksi akan menjadi lancar apabila telah mengetahui pola perilaku konsumen di suatu wilayah. Dengan begitu kegiatan dalam menyalurkan produk barang ataupun jasa dari produsen ke konsumen dengan berbagai teknik dan cara yang efisien dan efektif.
Untuk mengenali perilaku konsumen tidaklah mudah, konsumen tidak selalu terus terang menyatakan kebutuhan dan keinginannya, namun sering pula mereka bertindak sebaliknya. Konsumen bahkan sering bereaksi untuk mengubah pikiran, dan konsumen baru pada menit-menit terakhir akhirnya memutuskan untuk melakukan pembelian. Untuk itulah para pemasar perlu mempelajari keinginan, persepsi, prefensi, dan perilakunya dalam berbelanja.
Setiap hari manusia membuat sejumlah keputusan mengenai bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Misalnya, kita harus memilih penggunaan waktu untuk bangun tidur terlambat atau makan pagi, untuk baca koran atau menonton televisi. Kita juga harus memilih pengunaan uang kita untuk membeli barang atau jasa yang kita butuhkan. Dalam menentukan pilihan, kita harus menyeimbangkan antara kebutuhan, preferensi dan ketersediaan sumber daya. Keputusan seseorang untuk memilih alokasi sumber daya inilah yang melahirkan fungsi permintaan. Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan ( utility ) dalam kegiatan konsumsinya. Utility secara bahasa berarti berguna ( usefulness ), membantu ( helpfulness ) atau menguntungkan ( advantage ). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen ketika mengonsumsi sebuah barang. Kegunaan ini bisa juga dirasakan sebagai rasa „tertolong‟ dari suatu kesulitan karena mengonsumsi barang tersebut. Karena adanya rasa inilah, maka sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seseorang konsumen dalam mengonsumsi sebuah barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas. (Misanam dkk, 2008: 145)
Dalam percakapan sehari hari, istilah konsumsi selalu dihubungkan dengan kegiatan makan dan minum. Sebenarnya konsumsi bukanlah sekedar makan atau minum, tetapi merupakan setiap penggunaan atau pemakaian barang- barang dan jasa-jasa yang secara langsung dapat memuaskan kebutuhan seseorang. Dengan demikian konsumsi berarti kegiatan memuaskan kebutuhan. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu produksi-konsumsi-distribusi, seringkali muncul pertanyaan manakah yang paling penting dan paling dahulu diantara mereka. Jawaban atas pertanyaan ini jelas tidak mudah, sebab memang ketiganya merupakan mata rantai yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena ada yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi, dan kegiatan disribusi muncul karena ada gap atau jarak antara konsumsi dan produksi.
Dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen hendaknya mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Di sisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang/jasa yang dihalalkan oleh syariat Islam atau sesuai dengan prinsip konsumsi dalam Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang/jasa yang telah dikonsumsi. Sebaliknya, konsumen tidak akan mengonsumsi barang/jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya akan berujung pada siksa Allah. Jadi mengonsumsi yang haram justru memberikan berkah negatif. (Hakim, 2011: 2)
Islam sebagai rahmatan lil „alamin menjamin agar sumberdaya dapat terdistribusi secara adil. Salah satu upaya untuk menjamin keadilan disribusi sumberdaya adalah mengatur bagaimana perilaku konsumsi sesuai dengan syari‟ah Islamiyah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur‟an dan Hadits. Konsep
keberhasilan dan kesuksesan seorang muslim bukan diukur berdasarkan seberapa besar kekayaan yang diperoleh dan dimiliki oleh seseorang. Kesuksesan seorang muslim diukur berdasarkan seberapa besar ketakwaan seseorang akan membawa konsekuensi terhadap berapapun besar dan banyaknya harta yang dapat diperoleh dan bagaimana menggunakannya. Manusia akan selalu bersyukur meskipun harta yang dimilikinya secara kuantitas sedikit. Apalagi jika yang diperoleh lebih banyak, akan semakin memperbesar rasa syukur dan semakin besar bagian yang akan diberikan kepada yang tidak mampu. Demikian pula saat kekurangan harta, manusia akan tetap bersabar atas ujian yang telah menimpanya dan tidak mengambil jalan pintas untuk mendapatkannya apalagi sampai melanggar ketentuan syari‟at Islam. (Pujiono, 2006: 2)
Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut, martabat manusia akan meningkat. Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia, Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut, martabat manusia akan meningkat. Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia,
tetap diperbolehkan selama hal itu mampu menambah ma ṣ la ḥ ah atau tidak mendatangkan mu arat . Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “Makanlah di an tara rezki yang baik yang Telah kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan- Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia.” (QS .Thāha: 81(
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah telah menganuhgerahkan rizki yang baik kepada manusia untuk dinikmati dan disyukuri dan kita dilarang untuk melampaui batas dengan mengingkari nikmat-Nya, karena bila manusia melampaui batas maka pasti Allah akan menimpakan kemurkaan dan bagi manusia yang ditimpa kemurkaan maka pasti manusia akan terjatuh ke dalam api neraka (Jalaluddin bin Muhammadi Al-Mahalli, 2011: 459-460).
Sebagai misal, seorang konsumen yang memperhatikan prinsip kecukupan ( suffiency ) dalam membeli barang/jasa, artinya ia akan berusaha untuk membeli sejumlah barang/jasa sehingga kebutuhan minimalnya tercukupi. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencukupi kebutuhan tersebut, tanpa perlu memandang ketersediaan barang bagi orang lain. Dalam kasus ketika terjadi musim paceklik pertanian, dimungkinkan terjadinya kelebihan permintaan. Dalam jangka pendek, maka akan terdapat sebagian konsumen yang tidak terpenuhi kebutuhannya. Ketika konsumen hanya mempertimbangkan aspek kecukupannya sendiri, maka ia akan berlomba-lomba dan bersaing untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain. Di sini terlihat bahwa manfaat dan berkah hanya akan diperoleh ketika prinsip dan nilai-nilai konsumsi Islami bersama-sama diterapkan dalam perilaku konsumsi. Sebaliknya, Sebagai misal, seorang konsumen yang memperhatikan prinsip kecukupan ( suffiency ) dalam membeli barang/jasa, artinya ia akan berusaha untuk membeli sejumlah barang/jasa sehingga kebutuhan minimalnya tercukupi. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencukupi kebutuhan tersebut, tanpa perlu memandang ketersediaan barang bagi orang lain. Dalam kasus ketika terjadi musim paceklik pertanian, dimungkinkan terjadinya kelebihan permintaan. Dalam jangka pendek, maka akan terdapat sebagian konsumen yang tidak terpenuhi kebutuhannya. Ketika konsumen hanya mempertimbangkan aspek kecukupannya sendiri, maka ia akan berlomba-lomba dan bersaing untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain. Di sini terlihat bahwa manfaat dan berkah hanya akan diperoleh ketika prinsip dan nilai-nilai konsumsi Islami bersama-sama diterapkan dalam perilaku konsumsi. Sebaliknya,
Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan yang ber- maṣlahah maka semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi atau konsumen. Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan bahwa setiap amal perbuuatan (kebaikan maupun keburukan) akan dibalas dengan imbalan (pahala maupun siksa) yang setimpal meskipun amal perbuatan itu sangatlah kecil bahkan sebesar biji sawi. Dengan demikian, dapat ditafsirkan bahwa maṣlahah yang diterima akan merupakan operkalian antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian pula dalam hal konsumsi, besarnya berkah yang diterima oleh konsumen tergantung frekuensi konsumsinya. Semakin banyak barang/jasa halal dan thoyyib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula berkah yang akan diterima. (Misanam dkk , 2008: 135)
Namun faktanya, konsumsi yang dilakukan oleh konsumen muslim dewasa ini pada umumnya tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam tentang prinsip mengonsumsi. Hal ini dapat kita lihat dari kasat mata dari media televisi atau juga dari kalangan masyarakat. Tidak hanya dari golongan menengah ke atas saja tetapi juga banyak dari golongan menengah ke bawah yang tidak menjalankan prinsip konsumsi Islami padahal mereka notabene nya adalah seorang muslim.
BAB II KONSUMSI: Konvensional vs Islam
A. Definisi Konsumsi
Secara etimologi, konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consumption yang berarti menghabiskan atau mengurangi atau kegiatan yang ditujukan untuk menghabiskan atau mengurangi nilai guna suatu barang atau jasa yang dilakukan sekaligus atau bertahap untuk memenuhi kebutuhan. (Pujiono, 2006: 2). Hal serupa juga dikatakan Wikipedia (dalam Pujiono) tentang konsumsi bahwa kata konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie , ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsumsi adalah pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang- barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia. (DEPDIKNAS, 2001). Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Yasyin, 1997: 298), konsumsi adalah pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia.
Dan dalam Kamus Besar Ekonomi, kata konsumsi berarti tindakan manusia baik secara langsung atau tidak langsung untuk menghabiskan serta mengurangi kegunaan ( utility ) pada pemuasan terakhir dari kebutuhannya. (Sigit dan Sujana, 2007: 115)
Sedangkan secara terminologi, konsumsi diartikan oleh beberapa pendapat sebagai berikut:
a. Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa. (Nurul Huda, 2006) a. Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa. (Nurul Huda, 2006)
c. Menurut Chaney (dalam Rivai Veithzal, 2009) konsumsi adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga dapat dipakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain (sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup. Sedangkan Menurut Samuelson (dalam Sulistiawati, 2005), konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama dan barang tidak tahan lama.
d. Don Slater (dalam Sri Wigati, 2011) mengatakan konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (material, simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat memuaskan manusia.
e. Menurut Featherstone (2001) dari Raymond Williams yang dikutip Heri Sudarsono (2007), konsumsi adalah merusak ( to destroy ), memakai ( to use up ), membuang ( to waste ), dan menghabiskan ( to exhaust) .
f. Max weber dalam Economy And Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu. (Damsar et al , 2013)
g. Konsumsi menurut IDKF Bogor adalah suatu kegiatan manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa.
h. Menurut Oxlay dalam artikelnya “ Konsumen dan Pengertian Konsumsi ”, konsumsi merupakan kegiatan seseorang atau kelompok dalam menggunakan, memakai atau menghabiskan barang dan jasa dengan maksud memenuhi kebutuhan hidupnya. (Oxlay, 2011)
Dari beberapa redaksi terkait dengan definisi konsumsi, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumsi adalah suatu aktifitas memakai atau menggunakan suatu produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh para produsen atau konsumsi juga berarti segala tindakan menghabiskan atau mengurangi nilai guna barang dan jasa.
B. Konsumsi Intertemporal Konvensional
Teori perilaku konsumen yang dikembangkan di konvensional sering dikenal dengan raionalisme ekonomi dan utilitarisme. Rasionalisme ekonomi menggambarkan manusia sebagai sosok yang sangat perhitungan dalam setiap aktivitas ekonominya, di mana kategori kesuksesan dihitung dari besaran materi yang berhasil dikumpulkan. Sehingga berdasarkan teori ini, maksimalisasi kepuasan adalah tujuan utama dari seorang konsumen. Manusia dianggap sebagai sosok homo economicus yaitu sosok manusia yang distimulus dalam aktivitasnya dengan materi. (M.Nur Rianto Al-Arif dan Euis Amalia, 2010: 133)
Kemudian apakah yang dimaksud dengan konsumsi intertemporal? Konsumsi intertemporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu yaitu masa sekarang (periode pertama) dan akan datang (kedua). Dalam ekonomi konvensional, pendapatan adalah suatu penjumlahan konsumsi dan tabungan yang secara matematis dinotasikan:
Y=C+S Di mana: Y = pendapatan; C = konsumsi; S = tabungan. Misalkan pendapaan, konsumsi dan tabungan pada periode pertama adalah Y 1, C1,
S1 dan pendapatan, konsumsi, dan tabungan pada periode kedua adalah Y2, C2, S2, maka persamaan di atas dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:
Pendapatan pada periode pertama adalah: Y1 = C1 + S1 Pendapatan pada periode kedua adalah:
Y2 = C2 + S2 Apabila konsumsi di periode pertama lebih kecil daripada pendapatan, maka
tabungan dan konsumsi di periode kedua akan lebih besar. Y1 = C1 + S1, dan C1 < Y1 Y2 = C2 + S2
= (C2 + S1) + S2 Dari persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa tingkat konsumsi yang
akan dilakukan di masa datang sangat tergantung dari tingkat konsumsi yang dilakukan saat ini. Apabila pada saat ini konsumsi yang dilakukan lebih kecil daripada pendapatan, maka akan ada tabungan di masa datang akan lebih besar dikarenakan masih adanya sisa pendapatan yang tidak dibelanjakan pada periode sebelumnya.
Dalam keadaan terjadinya selisih antara pendapatan dan jumlah uang yang dibelanjakan untuk konsumsi, perilaku konsumen dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lender, ketika jumlah konsumsi lebih kecil daripada pendapatan.
2. Borroer, ketika jumlah konsumsi lebih besar daripada pendapatan.
3. Polonius point, ketika jumlah konsumsi sama dengan jumlah pendapatan. Dalam sistem perbankan yang menerapkan sistem bunga, tabungan yang
disimpan pada periode pertama akan memberikan nilai lebih sebesar bunga, sehingga persamaan konsumsi pada periode kedua menjadi:
C2 = Y2 + S1 + r (S1) = Y2 + (Y1-C1) + r (Y1-C1) = Y2 + (1 + r) (Y1-C1)
C. Konsumsi Konsumen Muslim
Sebelum membahas lebih lanjut tentang konsumsi konsumen muslim, maka perlu disusun suatu asumsi dasar yang mendasarinya.
1. Sistem perekonomian yang ada telah mengaplikasikan aturan syariat Islam, dan sebagian besar masyarakatnya meyakini dan menjadikan syariat Islam sebagai bagian tntegral dalam setiap aktivitas kehidupannya.
2. Institusi zakat telah menjadi bagian dalam suatu sistem perekonomian dan hukumnya wajib untuk dilaksanakan bagi setiap individu yang mampu.
3. Pelarangan riba dalam setiap aktivitas ekonomi.
4. Prinsip mudarabah dan kerja sama diaplikasikan dalam perekonomian.
5. Tersedianya instrumen moneter Islam dalam perekonomian.
6. Konsumen mempunyai perilaku untuk memaksimalkan kepuasannya.
Dalam konsep Islam konsumsi intertemporal dimaknai bahwasanya pendapatan yang dimiliki tidak hanya dibelanjakan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif namun ada pendapatan yang dibelanjakan untuk perjuangan di jalan Allah atau yang lebih dikenal dengan infak.
Sehingga persamaannya dapat ditulis sebagai berikut: Y = (C + infak) + S Namun untuk mempermudah dalam melakukan analisis grafis maka
persamaan di atas disederhanakan menjadi: Y = (C + Infak) + S Y = FS + S Di mana FS ( Final Spending ) adalah konsumsi yang dibelanjakan untuk
keperluan konsumtif ditambah dengan pembelanjaan untuk infak. Sehingga Final Spending adalah pembelanjaan akhir seorang konsumen muslim.
Penyederhanaan ini memungkinkan untuk menggunakan alat analisis grafis yang biasa digunakan dalam teori konsumsi, yaitu memaksimalkan fungsi utilitas (kepuasan) dengan garis anggaran ( budget line ) tertentu atau memaksimalkan garis anggaran dengan fungsi utilitas tertentu. Sebab bila hal tersebut tidak disederhanakan, maka analisis harus dilakukan secara tiga dimensi, yang akan mempersulit dalam pemahaman mengenai teori ini.
Dalam pola konsumsi satu periode, sumbu X dan Y menunjukkan jumlah barang X dan barang Y, sedangkan dalam pola konsumsi intertemporal (dua periode), sumbu X menunjukkan jumlah pendapatan, konsumsi, dan tabungan pada periode pertama yang secara matematis dinotasikan Yt, Ct, dan St. Karena konsumsi dalam konsumsi Islam yang dikenal adalah (C + infak), maka simbol yang digunakan adalah FSt. Sumbu Y menunjukkan jumlah tabungan periode kedua (Ct+1), atau dengan kata lain St = Ct+1. Dalam konsep Islam, simbol yang digunakan adalah FSt+1, atau persamaannya menjadi St = FSt+1.
D. Tujuan Konsumsi Islami
Secara umum, tujuan manusia mengkonsumsi sesuatu yaitu:
1) Untuk memenuhi kebutuhan hidup
2) Mempertahankan status sosial
3) Mempertahankan status keturunan
4) Mendapatkan kesimbangan hidup
5) memberikan bantuan kepada orang lain (tujuan sosial)
6) Menjaga keamanan dan kesehatan
7) Keindahan dan seni
8) Memuaskan batin
9) Demonstration effect (keinginan untuk meniru) Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah
duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. (Sitta: 2014)
Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi. Dimana Al-Qur 'an telah mengungkapkan hakekat tersebut dalam firman-Nya :
Artinya: “ Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka ” (QS: Muhammad : 12)
Etika Konsumsi Islami
1. Barang dan jasa yang dikonsumsi harus halal
Al- Qur‟an karim memberikan kepada kita peunjuk-petunjuk yang sangat jelas dalam hal konsumsi, ia mendorong pengguna barang-barang yang halal lagi baik, dan bermanfaat, juga melarang orang muslim untuk makan dan berpakaian kecuali hanya yang baik. Pada dasarnya Al- Qur‟an tidak menyebutkan satu- persatu barang yang boleh dikonsumsi, tetapi hanya diberi batasan bahwa yang dikonsumsi hauslah barang-barang yang halal, hal tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan dalam melakukan konsumsi.
Artinya: “ (Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[574] . Maka orang- orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung ” (QS. Al-A‟raf: 157(
2. Tidak melanggar batas-batas kewajaran dalam proses konsumsi Batas-batas kewajaran dan kepantasan dalam Islam merujuk kebiasaan,
budaya dan adat istiadat setempat.
Artinya: “ Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan ” (QS.
harta yang
diberikan
Allah
Ath Thalaq:7) Dengan demikian kegiatan konsumsi dalam Islam harus sesuai batas-batas
kesanggupan dan kemampuan finansial serta tidak berlebih-lebihan, boros, dan bermewah-mewahan. Berlebih-lebihan yang dimaksud disini adalah pemakaian yang melanggar batas-batas kewajaran dan kepantasan dalam hal-hal yang diperbolehkan dan dan juga pemborosan dalam hal-hal yang tidak ada manfaat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
)) ،ًش كش ا ع ضف:ًا ًا ض َ - ًا
Artinya: " Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga perkara dan benci untuk kalian tiga perkara: (1). Allah ridha untuk kalian agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. (2). Agar kalian seluruhnya berpegang teguh dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah. (3). Hendaklah kalian saling memberikan nasehat kepada orang- orang yang mengurusi urusan kalian (yakni penguasa kaum muslimin). -Dan Allah benci untuk kalian tiga perkara- : (1). Qiila wa Qaal (dikatakan dan katanya), (2). banyak meminta dan bertanya, dan (3). menyia -nyiakan harta." (HR. Muslim)
3. Tidak bermewah-mewahan dalam mengkonsumsi
Bermewah-mewahan yang dimaksud disini adalah pemakaian sutu barang atau jasa diluar kebutuhan dan keperluan. Ekonomi Islam menilai bermewah- mewahan sebagai suatau cara yang tercela dalam konsumsi. Bermewah-mewahan akan menjadi sebab turunnya azab kemunduran, dan kehancuran suatu umat.
ع حف ف
Artinya: “ Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya ” ( QS. Al-Isra : 16)
E. Pengaruh Riba dan Zakat
Menurut M. Nur Rianto Al-Arif dan Euis Amalia dalam bukunya “Teori Mikro Ekonomi”, zakat mempengaruhi orang yang akan melaksanakan maupun bagi penerimanya. Adapun pengaruh zakat bagi yang melaksanakan adalah:
Pembayaran zakat akan memicu individu untuk meningkatkan rasio tabungannya. Karena zakat dikenakan pada kekayaan dan bukan hanya pendapatan semata, sehingga ia akan meningkatkan rasio tabungannya untuk mencegah penurunan nilai kekayaan yang dimiliki. Pengaruh zakat terhadap tingkat tabungan positif karena mampu meningkatkan rasio tabungan pendapatan, pengaruh ini dikenal sebagai pengaruh tabungan.
F. Definisi Perilaku Konsumen
Menurut Ismail Nawawi, terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang perilaku, yaitu: 1) teori insting: ini dikemukakan oleh Mc. Dougall sebagai pelopor psikologi sosial. Menurut Mc. Dougall perilaku disebabkan oleh insting. Insting merupakan perilaku yang innat e atau perilaku bawaan dan akan mengalami perubahan karena pengalaman; 2) teori dorongan ( drive theory ). Teori
ini yang sering disebut denganteori Hull dalam (Crider, 1983; Hergenhagen, (1976) yang juga disebut dengan reduction theory bertolak dari pandangan bahwa organisme itu mempunyai dorongan atau drive tertentu. Dorongan itu berkaitan dengan kebutuhan yang mendorong organisme untuk berperilaku; 3) teori intensif ( intensive theory ); berpendapat bahwa perilaku organisme disebabkan karena adanya intensif. Intensif disebut sebagai reinforcement. Reinforcement terdiri dari reinforcement positif yang berkaitan dengan hadiah dan reinforcement negatif yang berkaitan dengan hukuman; 4) teori atribusi. teori ini bertolak dari sebab-sebab perilaku seseorang. Apakah perilaku ini disebabkan disposisi internal (motif, sikap, dsb) atau eksternal; 5) teori Kognitif. Teori ini berdasarkan alternatif pemilihan perilaku yang akan membawa manfaat yang besar baginya. Dengan kemampuan memilih ini tersebut berarti faktor berpikir berperan dalam menentukan pilihannya; 6) teori kepribadian. teori ini berdasarkan kombinasi yang komplek dari sifat fisik dan material, nilai, sikap dan kepercayaan, selera, ambisi, minat dan kebiasaan dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu sosok yang unik. (Wigati, 2011: 28)
Dari enam teori perilaku itu dapat dipakai untuk memahami perilaku konsumen. Sehingga antar teori yang satu dengan teori yang lain masih dapat dipergunakan sesuai dengan perilaku konsumen yang berbeda antara konsumen satu dengan konsumen yang lain.
Secara etimologi, konsumen berasal dari bahasa Inggris yakni kata consumer adalah orang atau seseorang yang membutuhkan, menggunakan dan memanfaatkan barang atau jasa.
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi mengenai konsumen dan perilaku konsumen sebagai berikut:
a. Dalam Ilmu Ekonomi Mikro Islam (Karim, 2004: 52) yang dimaksud dengan konsumen adalah seseorang atau kelompok yang melakukan serangkaian kegiatan konsumsi barang atau jasa.
b. Menurut Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen )PK(, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sedangkan perilaku konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
c. Perilaku konsumen adalah proses dan aktivitas ketika seseorang berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevaluasian produk dan jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan. Perilaku konsumen merupakan hal-hal yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian. Untuk barang berharga jual rendah ( low- involvement ) proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mudah, sedangkan untuk barang berharga jual tinggi ( high-involvement ) proses pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan yang matang. (Pujiono, 2006)
d. Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1990) dalam Nurul Huda (2006), perilaku konsum en diartikan “…. Those actions directly involved in obtaining, consuming, and disposing of products and services, including the decision processes that precede and follow this action ” atau diartikan sebagai tindakan طtindakan yang terlibat secara langsung dalam memperoleh, mengkonsumsi, dan membuang suatu produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ط tindakan tersebut.
e. Menurut Mowen )1995(, “ Consumer behavior is defined as the study of the buying units and the exchange processes involved in acquiring, consume, disposing of goods, services, experiences, and ide ” yang artinya aktivitas seseorang saat mendapatkan, mengkonsumsi, dan membuang barang atau jasa (dalam Blackwell, Miniard, & Engel, 2001) yang dikutip oleh Nurul Huda (2006).
f. The American Marketing Association (dalam Arif Pujiono, 2006) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis dari f. The American Marketing Association (dalam Arif Pujiono, 2006) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis dari
g. Dalam kata lain perilaku konsumen mengikutkan pikiran dan perasaan yang dialami manusia dan aksi yang dilakukan saat proses konsumsi (Peter & Olson dalam Rangkuti, 2002).
h. Perilaku konsumen menitikberatkan pada aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi dari individu. Perilaku konsumen berhubungan dengan alasan dan tekanan yang mempengaruhi pemilihan, pembelian, penggunaan, dan pembuangan barang dan jasa yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pribadi (Hanna & Wozniak, 2001).
i. Katona (dalam Munandar, 2001) memandang perilaku konsumen sebagai cabang ilmu dari perilaku ekonomika (behavioral economics). j. Menurut Dieben )dalam Munandar, 2001( perilaku konsumen adalah “ The decision process and physical activity individuals engange in when evaluating, acquiring, using or disposing of goods and services ” mencakup perolehan, penggunaan disposisi produk, jasa, waktu, dan gagasan. Dalam perilaku konsumen terdapat consumer dan customer .
k. Menurut Engel (dalam Mangkunegara, 2002) mengemukakan bahwa perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut.
l. Loudon dan Bitta (dalam Mangkunegara, 2002) mendefinisikan perilaku konsumen yaitu sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam mengevaluasi, memperoleh, mempergunakan barang-barang dan jasa. Menurut Peter dan Olson (dalam Rangkuti, 2002) menyatakan bahwa perilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka.
m. Gerald Zaltman dan Melanie Wallendorf (dalam Nurul Huda, 2006) menjelaskan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan proses dan hubungan sosial yang dilakukan oleh individu, kelompok dan oraganisasi dalam mendapatkan, menggunakan sesuatu produk sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan dan sumber- sumber lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah
tindakan atau aktivitas manusia dalam memperoleh dan menggunakan barang ataupun jasa.
Individu atau keluarga tidak hanya menghadapi pilihan pada situasi misalnya seorang kepala keluarga ingin menunaikan ibadah haji bersama istrinya. Biayanya mencapai sekitar Rp. 80 juta. Pada saat yang bersamaan anaknya diterima di Fakultas Kedokteran Gajah Mada dan dia harus membayar Rp. 75 juta untuk kuliah anaknya tersebut. Karena sang bapak tidak memiliki tabungan lain, maka ia menghadapi situasi harus membuat pilihan, antara ibadah haji atau membayar sekolah anaknya di FK. UGM. Atau bisa juga dalam situasi di mana seseorang membeli sesuatu barang yang sesungguhnya belum dia butuhkan tetapi karena tergiur oleh diskon yang ditawarkan akhirnya seseorang tersebut membeli barang itu. Perilaku-perilaku tersebut merupakan segelintir contoh dari perilaku konsumen. Perilaku demikian belum akan menjadi masalah serius bila masih tertutup oleh penghasilan. Namun manakala perilaku ini tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin seseorang akan belanja melebihi dari pendapatannya.
Teori perilaku konsumen ( consumer behavior ) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya ( resources ) yang dimilikinya. Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari pada prinsip- prinsip dasar utilitarianisme. Diprakarsai oleh Benttham dalam Mustafa Edwin Nasution dkk (2012: 56), yang mengatakan bahwa secara umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh Teori perilaku konsumen ( consumer behavior ) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya ( resources ) yang dimilikinya. Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari pada prinsip- prinsip dasar utilitarianisme. Diprakarsai oleh Benttham dalam Mustafa Edwin Nasution dkk (2012: 56), yang mengatakan bahwa secara umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh
Oleh pengikutnya John Stuart Mill dalam bukunya On Liberty yang terbit pada tahun 1859, paham ini dipertajam dengan mengungkapkan konsep “freedom of action” sebagai pernyataan dari kebebasan-kebebasan dasar manusia. Menurut Mill, campur tangan Negara di dalam masyarakat mana pun harus diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan manusia merupakan campur tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan karena itu harus dihentikan.
Lebih jauh Mill (dalam Sri Wigati, 2011) berpendapat bahwa setiap orang di dalam masyarakat harus bebas untuk mengejar kepentigannya dengan cara yang dipilihnya sendiri, namun kebebasan seseorang untuk bertindak itu dibatasi oleh kebebasan orang lain; artinya kebebasan untuk bertindak itu tidak boleh mendatangkan kerugian bagi orang lain.
Dasar filosofis tersebut melatarbelakangi analisis mengenai perilaku konsumen dalam teori ekonomi konvensional. Beberapa prinsip dasar dalam analisis perilaku konsumen adalah: (Nurul Huda, 2006: 3)
1. Kelangkaan dan terbatasnya pendapatan. Adanya kelangkaan dan terbatasnya pendapatan memaksa orang menentukan pilihan. Agar pengeluaran senantiasa berada di anggaran yang sudah ditentukan, meningkatkan konsumsi atau jasa harus disertai dengan pengurangan konsumsi pada barang atau jasa yang lain
2. Konsumen mampu membandingkan biaya dengan manfaat. Jika dua barang memberi manfaat yang sama, konsumen akan memilih yang biayanya lebih kecil. Di sisi lain, bila untuk memperoleh dua jenis barang dibutuhkan biaya yang sama, maka konsumen akan memilih barang yang memberi manfaat lebih besar.
3. Tidak selamanya konsumen dapat memperkirakan manfaat dengan tepat. Saat membeli suatu barang, bisa jadi manfaat yang diperoleh tidak sesuai denga harga yang harus dibayarkan: segelas kopi Starsbuck , misalnya, ternyata terlalu pahit untuk harga Rp. 40.000,- per cangkir. Lebih nikmat 3. Tidak selamanya konsumen dapat memperkirakan manfaat dengan tepat. Saat membeli suatu barang, bisa jadi manfaat yang diperoleh tidak sesuai denga harga yang harus dibayarkan: segelas kopi Starsbuck , misalnya, ternyata terlalu pahit untuk harga Rp. 40.000,- per cangkir. Lebih nikmat
4. Setiap barang dapat disubstitusi dengan barang lain. Dengan demikian konsumen dapat memperoleh kepuasan dengan berbagai cara.
5. Konsumen tunduk kepada berkurangnya tambahan kepuasan ( The Law of Diminishing Marginal Utility ). Semakin banyak jumlah barang yang dikonsumsi, semakin kecil tambahan kepuasan yang dihasilkan. Jika untuk setiap tambahan barang diperlukan biaya sebesar harga (P), maka konsumen akan berhenti membeli barang tersebut manakala tambahan manfaat yang diperolehnya (MU) sama besar dengan tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Maka jumlah konsumsi yang optimal adalah jumlah di mana MU=P.
Fungsi utility dalam ilmu ekonomi konvensional dijelaskan sebagai berikut:
Dalam ekonomi, utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang.
Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan ( utility function ) digambarkan oleh kurva indiferen ( indifference curve ). Biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang (atau jasa) yang keduanya memang disukai konsumen.
Tujuan aktifitas konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan (utility) dari
mengkonsumsi sekumpulan barang/jasa yang disebut ’ consumption bundle ’
dengan memanfaatkan seluruh anggaran/ pendapatan yang dimiliki. Namun Perilaku konsumsi dalam Islam berdasarkan tuntunan Al- Qur‟an
dan Hadis perlu didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan yang dan Hadis perlu didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan yang
Islam memberikan konsep adanya an-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Di sinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain yang dalam bahasa Al- Qur‟an dikatakan “ al- iitsar ”.
Berbeda dengan konsumen konvensional. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilanya memiliki sisi penting yaitu untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah. Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.
Oleh karena itu, menurut Muhammad (2005) perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.
Lebih lanjut Mannan (2012) mengatakan semakin tinggi kita menaiki jenjang peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana, karena Lebih lanjut Mannan (2012) mengatakan semakin tinggi kita menaiki jenjang peradaban, semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana, karena
Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa kata konsumsi dan konsumen sangatlah berbeda. Konsumsi merupakan objek dari konsumen sedangkan konsumen sendiri merupakan subjek dari kegiatan konsumsi. Dan literatur lain mengenai konsumen adalah perilaku konsumen. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-barang atau jasa ekonomi yang selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. Dalam perilaku konsumen ada banyak faktor yang mempengaruhi seperti, faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi dari pembeli. Dan perilaku konsumen konvensional dengan perilaku konsumen muslim sangatlah berbeda.
G. Landasan Al- Qur’an tentang Konsumsi Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang Khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu pemanfaatan yang telah diberikan kepada sang Khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan kepada sang Khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang Pencipta.
Adapun dasar atau landasan Al- Qur‟an tentang konsumsi diantaranya sebagai berikut:
1. Konsumen Muslim diperintahkan untuk memakan makanan yang halal dan baik sebagaimana firman Allah SWT: