Batasan Konsumsi Makanan dalam Islam
A. Batasan Konsumsi Makanan dalam Islam
Islam sangat membantu masyarakat menanamkan kualitas kebaikan seperti ketaatan, kejujuran, integritas, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, kesalingmengertian, kerjasama, kedamaian, keharmonisan, dan berperannya fungsi kontrol tingkah laku terhadap hal yang dapat membahayakan masyarakat. Itulah kenapa syariah berpengaruh terhadap konstruksi keseimbangan sumber daya masyarakat. Hal ini didukung dengan ajaran Islam bagi masyarakat tentang tanggung jawab manusia di dunia dan akhirat dan konsepsi mardhatillah (mengharap ridha Allah SWT.) untuk perilaku dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Jadi konsumsi terintegrasi dalam syariah, orientasinya tidak lepas dari upaya menyeimbangkan kebutuhan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, dalam Islam ada pembedaan yang jelas antara yang halal dan haram. Dengan kata lain, dalam sebuah kegiatan ekonomi dilarang mencampur adukkan antara yang halal dan haram. Hal tersebut merupakan bagian dari batasan konsumsi dalam perilaku konsumen muslim.
Konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan dalam pandangan Islam. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting, karena keimanan memberikan cara pandang dunia dan mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumber daya dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam kepuasan material maupun spiritual. Inilah yang disebut untuk menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Keimanan memberikan saringan moral dalam membelanjakan harta dan sekaligus juga memotivasi pemanfaatan sumber daya (pendapatan) untuk hal-hal yang efektif. Saringan moral bertujuan menjaga kepentingan diri tetap berada di dalam batas- batas kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual semata menjadi Konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan dalam pandangan Islam. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting, karena keimanan memberikan cara pandang dunia dan mempengaruhi kepribadian manusia, yaitu dalam bentuk perilaku, gaya hidup, selera, sikap-sikap terhadap sesama manusia, sumber daya dan ekologi. Keimanan sangat mempengaruhi sifat, kuantitas, dan kualitas konsumsi baik dalam kepuasan material maupun spiritual. Inilah yang disebut untuk menyeimbangkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Keimanan memberikan saringan moral dalam membelanjakan harta dan sekaligus juga memotivasi pemanfaatan sumber daya (pendapatan) untuk hal-hal yang efektif. Saringan moral bertujuan menjaga kepentingan diri tetap berada di dalam batas- batas kepentingan sosial dengan mengubah preferensi individual semata menjadi
Batasan Islam dalam pembelanjaan ada dua kriteria (Listiawati, 2012: 86-
88) yaitu:
1. Batasan yang terkait dengan kriteria sesuatu yang dibelanjakan, cara dan sifatnya Batasan ini adalah yang dirumuskan oleh Islam mengenai konsumsi yang terkait dengan cara dan macam tanpa melihat pada kuantitas sesuatu yang dibelanjakan, sedikit atau banyaknya, yaitu pembelanjaan yang terkait dengan hal-hal yang diharamkan Islam seperti: khamar dengan berbagai jenis dan namanya, berbagai macam tembakau (rokok), yang dapat merusak badan, melemahkan semangat dan membuang-buang uang, judi yang juga diharamkan, dan patung-patung yang telah diharamkan. Dengan demikian bahwa setiap pembelanjaan hal-hal yang diharamkan adalah suatu perbuatan yang berlebih-lebihan (melampaui batas) dan pemborosan yang dilarang dalam Islam. Dalam hal ini Ibnu Katsir, juga Ibnu Mas‟ud,
menyatakan bahwa kata at-tabdzir (pemborosan) adalah membelanjakan harta pada selain hal yang benar, demikian juga menurut Ibnu Abbas. Sementara itu Mujahid mengatakan bahwa seandainya seseorang membelanjakan semua hartanya dalam kebenaran, maka ia bukanlah orang yang berbuat tabdzir . Berkata Qatadah bahwa perbuatan pemborosan adalah membelanjakan pada perbuatan kemaksiatan kepada Allah, pada selain yang dibenarkan dan pada kerusakan.
2. Batasan pada kuantitas dan ukuran Di antara yang termasuk dalam kriteria ini yaitu membelanjakan harta yang diperlukannya dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya. Contohnya seseorang yang membelanjakan hartanya melebihi dari pendapatannya padahal yang ia belanjakan bukanlah hal mendesak (bukan primer), artinya ia terpaksa meminjam untuk dapat menutupi 2. Batasan pada kuantitas dan ukuran Di antara yang termasuk dalam kriteria ini yaitu membelanjakan harta yang diperlukannya dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya. Contohnya seseorang yang membelanjakan hartanya melebihi dari pendapatannya padahal yang ia belanjakan bukanlah hal mendesak (bukan primer), artinya ia terpaksa meminjam untuk dapat menutupi
Dalam konteks itulah, Islam melarang untuk bertindak israf (boros), pelarangan terhadap bermewah-mewahan dan bermegah-megahan, dan lain-lain. Pelarangan israf ini karena banyak menimbulkan efek buruk pada diri manusia, di
antaranya adalah tidak efisien dan efektif dalam pemanfaatan sumber daya, egoisme, mementingkan diri ( self interest ), dan tunduknya diri terhadap hawa nafsu, sehingga uang yang di belanjakannya habis untuk hal-hal yang tidak perlu dan merugikan diri. Oleh sebab itu dalam menghapus perilaku israf , Islam memerintahkan: 1)Memprioritaskan konsumsi yang lebih diperlukan dan lebih bermanfaat; 2) Menjauhkan konsumsi yang berlebih-lebihan untuk semua jenis komoditi.
Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja, tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya. Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsir al-Misbah , bahwa komoditi yang haram itu ada dua macam , yaitu haram karena zatnya seperti babi, bangkai dan darah dan yang haram karena sesuatu bukan karena zatnya seperti makanan karena tidak diijinkan oleh pemiliknya. Komoditi yang halal adalah yang tidak termasuk dari dua macam tersebut. Di samping itu, aspek yang mesti diperhatikan juga adalah yang baik, yang cocok, yang bersih, dan yang tidak menjijikkan. Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu komoditi bukan tanpa sebab. Pengharaman untuk komoditi karena zatnya karena antara lain memiliki kaitan langsung dalam membahayakan moral dan spiritual.
Dalam hal konsumsi makanan dan minuman, Islam mengharamkan sesuatu yang menyebabkan mabuk, tidak berdaya, dan semua yang merusak Dalam hal konsumsi makanan dan minuman, Islam mengharamkan sesuatu yang menyebabkan mabuk, tidak berdaya, dan semua yang merusak
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi (2003) dalam bukunya Halal Haram dalam Islam , bahwa ada sekelompok agama seperti Brahmanisme dan beberapa kelompok lainnya, mengharamkan untuk kelompoknya menyembelih binatang dan memakannya. Kelompok tersebut hidup dengan menyantap makanan nabati. Kelompok itu mengatakan , “Pada penyembelihan binatang ada unsur kekejaman dari manusia kepada makhluk hidup sesamanya.
Padahal ia tidak memiliki hak untuk merampas kehidupan yang lain.” Di sisi lain, bagi bangsa Arab Jahiliyah, sebagian daging binatang haram
hukumnya karena dianggap menjijikkan, sebagian lagi dengan alasan ibadah, sebagian lagi dalam rangka taqarrub kepada patung, dan sebagian lagi karena mengikuti wahm saja, seperti bahirah, saibah, wasilah dan haam, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Namun demikian mereka menghalalkan banyak hal yang kotor, seperti bangkai dan darah yang tertumpah. (Yusuf Qardhawi, 2003: 71)
Islam datang ketika umat manusia dalam keadaan seperti ini dalam memandang makanan hewani; ada yang mengonsumsinya secara berlebihan, ada pula yang secara ekstrem meninggalkannya. Karena itulah maka Allah SWT berfirman sebagai berikut:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik- baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar - Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik- baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar -
Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 172-173) Pada seruan khusus bagi orang-orang yang beriman ini, Allah SWT
memerintahkan mereka untuk menyantap makanan yang baik-baik dari rezeki yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya menunaikan kewajiban atas nikmat itu dengan bersyukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat. Setelah itu, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia tidak mengharamkan kepada mereka kecuali empat hal yang disebutkan dalam ayat di atas dan disebutkan pula dalam ayat yang lain. Yakni ayat yang lebih jelas menegaskan bahwa hanya empat jenis itulah yang diharamkan.
Artinya: Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al- An‟am: 145(
Pada dasarnya Allah tidaklah mengharamkan makanan apapun yang hendak dimakannya, akan tetapi Allah mengkategorikan bangkai, darah yang Pada dasarnya Allah tidaklah mengharamkan makanan apapun yang hendak dimakannya, akan tetapi Allah mengkategorikan bangkai, darah yang
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah: 3) Sebagaimana ayat-ayat sebelumnya ayat ini juga memberi penekanan
terhadap status keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas kecuali sempat disembelih. Dan Allah juga sangat mengharamkan apabila binatang yang disembelih untuk berhala.
Selanjutnya tentang konsumsi hewani (binatang), Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa dilihat dari tempat hidupnya binatang terbagi menjadi dua macam yakni binatang yang hidup di dalam air/laut dan binatang darat. Binatang laut, yakni binatang yang hidup di dalam air laut dan tidak bisa hidup kecuali di Selanjutnya tentang konsumsi hewani (binatang), Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa dilihat dari tempat hidupnya binatang terbagi menjadi dua macam yakni binatang yang hidup di dalam air/laut dan binatang darat. Binatang laut, yakni binatang yang hidup di dalam air laut dan tidak bisa hidup kecuali di
Artinya: “dan Dia -lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada- Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
Adapun binatang darat, Al- Qur‟an tidak menyebutkan pengharaman sesuatu pun darinya kecuali secara khusus daging babi juga bangkai dan darah, serta semua binatang yang disembelih tidak dengan nama Allah. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dengan bentuk pembatasan yang haram atas empat macam secara global dan sepuluh macam secara terinci.
Namun demikian Al- Qur‟an berkata tentang Rasulullah SAW;
Artinya: “Ia menghalalkan kepada mereka segala yang baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang kotor.” )QS. Al-A‟raaf: 157(. “Yang kotor” maksudnya adalah semua binatang yang dirasakan kotor oleh selera dan perasaan orang pada umumnya, meskipun beberapa orang mungkin menganggapnya tidak demikian. Salah satu misal Rasulullah SAW mengharamkan untuk menyantap
daging keledai jinak di Perang Khaibar. “ Rasulullah SAW melarang makan daging keledai jinak pada hari Perang Khaibar ”
Masih mengenai makanan yang halal dan haram, Sitta (2014: 6) mengatakan bahwa makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya masing-masing:
1. Bangkai Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar‟i dan
juga bukan hasil perburuan. Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya:
“Diharamkan bagimu )memakan( bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, “Diharamkan bagimu )memakan( bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh,
Dan juga dalam firmannya: عَ ك ك ا “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS. Al-An‟am: 121)
Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas:
a. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
b. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras.
c. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
d. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
e. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
f. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
g. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
h. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
i. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu':
“Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. )HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya)
Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan: Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua
hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu „Umar secara marfu':
ح “Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu
adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi - Shallallahu „alaihi wasallam- bersabda:
ك ج ك “Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”.
Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.
2. Darah. Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-
An‟am ayat 145: ًح
ً “Atau darah yang mengalir”. Dikecualikan darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu
„Umar yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah penyembelihan.
3. Daging babi.
Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma`idah ayat ketiga di atas. Yang diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya.
4. Khamar. Allah SWT berfirman: ح ع
جف طش ع ج اأ صأ ء “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”. )QS. Al-Ma`idah: 90
Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu „Umar -radhiallahu „anhuma- secara marfu':
“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”. Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan
hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.
5. Semua hewan buas yang bertaring. Sahabat Ab u Tsa‟labah Al-Khusyany -radhiallahu „anhu- berkata: ع
“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu „alaihi wasallam- melarang dari )mengkonsumsi( semua hewan buas yang bertaring”. )HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim darin ya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”.
Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya.
Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya.
6. Semua burung yang memiliki cakar. Yang diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang kuat
yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu „Abbas -radhiallahu „anhuma-:
“Beliau )Nabi( melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar”. )HR. Muslim( [Al-Majmu‟ )9/22(, Al- Muqni‟ )3/526,527(, dan Takmilah Fathil Qodir )9/499(]
Jallalah Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain, baik berupa
onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak. Lihat Nailul Author (8/128).
Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu riwayat- dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi‟iyah, mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu „Umar -radhiallahu „anhuma- beliau berkata:
“Rasulullah -Shallallahu „alaihi wasallam- melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya”. )HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy (3787))
Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah: Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang
diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al- Muqni‟ )3/529(.
Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al- Majmu‟ )9/28(. [Al-Muqni‟ )3/527,529(, Mughniyul Muhtaj )4/304(, dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]
8. Keledai jinak (bukan yang liar). Ini merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian
riwayat darinya. Dari Anas bin Malik - radhiallahu „anhu-, bahwasanya Rasulullah - Shallallahu „alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging- daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis”. )HR. Al-Bukhary dan
Muslim) Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir - radhiallahu „anhu- berkata:
ك “Saat )perang( Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi -
Shallallahu „alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak”. )HR. Muslim( Inilah pendapat yang paling kuat, sampai- sampai Imam Ibnu „Abdil Barr
men yatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang men yatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang
9. Kuda. Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang
Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu „anhuma-:
“Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu „alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. )HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Sya fi‟iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440).
10. Baghol. Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu
„anhuma- berkata:
ح “Rasulullah -Shallallahu „alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang
Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy)
Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan. [Al- Majmu‟ )9/27(, Ays- Syarhul Kabir )11/75(, dan Majmu‟ Al-Fatawa (35/208)].
11. Anjing. Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang
menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -
Shallallahu „alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda: ح ًش ح َ “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan
harganya [12]“. Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas‟ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan
Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing. [Al-Luqothot point ke-12]
12. Kucing baik yang jinak maupun yang liar. Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk
hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya. [Al- Majmu‟ )9/8( dan Hasyiyah Ibni „Abidin )5/194(]
13. Monyet. Ini merupakan madzhab Syafi‟iyah dan merupakan pendapat dari „Atho`,
„Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah - Ta‟ala- telah merubah sekelompok manusia
yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah - Ta‟ala- tidaklah merubah bentuk (suatu yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah - Ta‟ala- tidaklah merubah bentuk (suatu
Luqothot point ke-13]
14. Gajah Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori
hewan buas yang bertaring. D an inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu „Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-. [Al-Luqothot point ke-14]
15. Musang )arab: tsa‟lab( Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan
memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy- Syafi‟iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al- Muqni‟ )3/528(, dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
16. Hyena/kucing padang pasir )arab: Dhib‟un( Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam
Asy- Syafi‟iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits „Abdurrahman bin „Abdillah bin Abi „Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan
buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan i ni telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At- Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I‟lamul Muwaqqi‟in )2/117(.
17. Kelinci Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim
dari Anas bin Malik - radhiallahu „anhu-: ف،
“Sesungguhnya beliau )Nabi( -Shallallahu „alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupu n menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al- Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang
diriwayatkan dari „Amr ibnul „Ash”. [Al-Luqothot point ke-16]
18. Belalang Telah berlalu dalam hadits I bnu „Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang
diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik - radhiallahu „anhu-:
“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu „alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. )HR. Al-Bukhary dan Muslim). [Al-Luqothot point ke-17]
19. Kadal padang pasir
Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy- Syafi‟iyah dan Al- Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi - Shallallahu „alaihi wasallam- tentang biawak:
ا ح ف ع ك “Makanlah dan berikanlah makan dengannya )dhabb( karena sesungguhnya dia
adalah halal”. )HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu „Umar( Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb
bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:
ع ، ا “Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”. Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al- Muqni‟ )3/529(]
20. Landak Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy- Syafi‟iyyah akan boleh dan halalnya
karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al- Majmu‟ )9/10(.
21. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah. Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu
„anhu-, beliau berkata: ع
“Rasulullah -Shallallahu „alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan me mbunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu „Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. [Al- Luqothot point ke-19 s/d 23]
22. Yarbu‟ Halal. Ini merupakan madzhab Asy- Syafi‟iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan
pendapat „Urwah, „Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan
hara mnya yarbu‟ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al- Mughny )11/71(. [Hasyiyatul Muqni‟ )3/528( dan Mughniyul Muhtaj )4/299(]
23. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses
penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar‟iy.
Rasulullah SAW bersabda: ح كٍ
ف خ “Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di
daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)
Adapun tokek dan - wallahu a‟lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek). [Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
24. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga
hewan ini adalah halal dimakan. [Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]
25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “ Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah - Ta‟ala - , “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah - Ta‟ala - , “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijina kkan, tidaklah teranggap secara syar‟iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak
disembelih” [16]. [Al-Luqothot point ke-31 s/d 34] Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah
penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.
Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq .
Selanjutnya Mazhab Ibnu Abbas menyebutkan bahwa tidak ada yang haram kecuali empat jenis yang dituturkan dalam Al- Qur‟an. Ia sepertinya menganggap bahwa hadits-hadits larangan untuk binatang buas dan lain-lain hanya memberikan makna dibenci bukan diharamkan, atau mungkin riwayat ini belum sampai kepadanya. Ia berkata, “Masyarakat Jahiliyah dahulu memakan banyak jenis makanan dan meninggalkan banyak jenis juga lantaran dianggap kotor. Lalu Allah SWT mengutus Nabi-Nya dan menurunkan Kitab-Nya. Allah menghalalkan yang halal dan haramkkan yang haram. Apa yang dihalalkan maka ia halal hukumnya dan apa yang diharamkan maka ia haram hukumnya, sedangkan yang didiamkan maka ia ditolerir.” Lalu ia membaca, “ Katakanlah,
Tiada ku peroleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku makanan yang diharamkan…” (QS. Al-An‟am: 145(
Dengan ayat ini Ibnu Abbas melihat bahwa daging keledai jinak halal saja hukumnya. Imam Malik mengikuti madzhab Ibnu Abbas ini, yaitu ia tidak mengatakan haramnya binatang buas dan semisalnya, melainkan hanya memakruhkannya. (Qardhawi, 2003: 88)
Hadits-hadits lain tentang adab makan dan minum bagi seorang muslim terdapat dalam kumpulan hadist dalam kitab Muhammad Alfis Chaniago (2012: 172-176) diantaranya sebagai berikut:
“ Apabila seseorang di antara kalian makan, makanlah dengan tangan kanan; minumlah dengan tangan kanan; ambillah (makanan) dengan tangan kanan; dan berikanlah (makanan pada orang lain) dengan tangan
kanan pula .” )HR. al-Hasan Ibnu Sufyan) Hadits ini menganjurkan agar manusia menggunakan tangan kanan bila
makan, minum, mengambil, dan memberi makanan kepada orang lain. Bahkan dalam semua gerakan yang baik dianjurkan menggunakan tangan kanan terlebih dahulu, seperti berwudhu, mandi, dan lain-lain. Dianjurkan demikian agar perbuatan yang manusia lakukan mendapat berkah karena kata yamiin yang artinya kanan berasal dari kata al-yumnu , artinya berkah. Karena kanan artinya berkah dan hal tersebut sesuai dengan kaidah etika dan estetika. Berdasarkan hadist ini disunnahkan menggunakan tangan kanan dalam semua pekerjaan yang baik. Untuk pekerjaan yang tidak baik, dianjurkan menggunakan tangan kiri, seperti beristinja‟ dan mencuci najis atau kotoran, dan sebagainya.
Selanjutnya seorang muslim dianjurkan mendahulukan makan sebelum shalat sebagaimana sabda Nabi :
“ Apabila shalat didirikan, sedangkan makanan malam telah terhidang maka makan malamlah lebih dahulu .” )HR. Syaikhan(.
Dianjurkan demikian oleh hadist ini karena mengerjakan ibadah dalam keadaan perut tidak lapar adalah membantu manusia dalam ketaatan kepada Allah SWT. dalam hadist ini tersirat suatu makna yang menganjurkan kepada manusia agar bila manusia ketika makan dan minum hendaknya diniatkan untuk bekal beribadah dan taat kepada Allah SWT. Apabila manusia beribadah kepada Allah tentu saja harus dalam keadaan yang khusyuk maka apabila seseorang merasa lapar ketika akan shalat maka hendaknya makan terlebih dahulu agar bisa berkosentrasi dengan baik dalam beribadah.
Nabi SAW juga melarang seseorang meniup-niup makanan :
“ Nabi SAW melarang meniup-niup makanan dan minuman .” )HR. Ibnu Abbas)
Terdapat juga hadist Nabi mengenai kuantitas makannya seorang muslim :
“ Orang yang paling disukai Allah di antara kalian adalah yang paling sedikt makannya dan paling ringan badannya .”)HR. ad-Dailami melalui
Ibnu Abbas)
“ Apabila seseorang sedikit makan maka perutnya dipenuhi oleh cahaya .” (HR. ad-Dailami melalui Abu Hurairah)
Nabi SAW menganjurkan umatnya agar tidak terlalu banyak makan karena banyak makan menyebabkan tubuh menjadi gemuk; dan apabila gemuk, badan Nabi SAW menganjurkan umatnya agar tidak terlalu banyak makan karena banyak makan menyebabkan tubuh menjadi gemuk; dan apabila gemuk, badan
adalah kaum yang tidak akan makan kecuali bila merasa lapar, dan apabila kami makan maka tidak sampai sekenyang-kenyangnya .” Sehubungan dengan masalah makan ini Rasul SAW telah memberikan patokan kepada umatnya, yaitu hendaknya sepertiga isi perut untuk makanan, sepertiga lainnya untuk minumnya, sedangkan sepertiga yang terakhir untuk nafasnya.
Dan Nabi SAW juga bersabda :
” Makanlah, minumlah, berpakainlah, dan bersedekahlah tanpa berlebih- lebihan dan tanpa kesombongan .” )HR. Imam Ahmad(.
Hadits ini jelas menyatakan bahwa tidak sekali-kali Allah melarang sesuatu karena hal tersebut membahayakan dan tidak sekali-kali Allah menganjurkan sesuatu hal melainkan karena di dalamnya terkandung manfaat. Dalam hadist lain disebutkan, “ sebaik-baik perkara ialah yang pertengahan, tidak berlebihan .”
Di dalam literatur lain juga banyak hadist Rasulullah mengenai makan dan minum, diterima dari Ali bin Aqmar, katanya:” Saya dengar dari Abu Juhaifah berkata telah bersabda Rasulullah SAW: “ Saya tidak makan dengan tangan
bertelekan .” )HR. Bukhari, Turmudzi, Nasa‟I dan Abu Daud( “Bertelekan” ialah menopangkan tubuh di waktu duduk di atas hamparan
atau kasur empuk di bawahnya. Dan setiap orang yang duduk di atas hamparan secara mantap disebut bertelekan. Sebagian dari pengulas hadits ini berpendapat bahwa orang yang bertelekan itu ialah yang duduk dengan miring ke salah satu sisinya. Hal ini ditakwilkannya menurut aliran kedokteran, dan bahwa orang yang atau kasur empuk di bawahnya. Dan setiap orang yang duduk di atas hamparan secara mantap disebut bertelekan. Sebagian dari pengulas hadits ini berpendapat bahwa orang yang bertelekan itu ialah yang duduk dengan miring ke salah satu sisinya. Hal ini ditakwilkannya menurut aliran kedokteran, dan bahwa orang yang
Ada pula hadits serupa dari Abdullah bin Amar, katanya: “ Tidak pernah sekali-kali dilihat Rasulullah SAW makan sambil bertelekan, dan tidak pula tumitnya diinjak oleh orang yang berjalan kaki .” )HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Hadits ini menganjurkan agar ketika makan hendaknya tidak duduk
secara bertelekan demi mencontoh Rasulullah SAW yang mulia. Mengenai “ tidak pula tumitnya diinjak oran g berjalan kaki”, maksudnya bahwa Nabi SAW
tidaklah mendahului para sahabatnya. Rasulullah SAW juga tidak pernah mencela makanan, sebagaimana sabda
nya yang diterima dari Abu Hurairah ra, katanya: “ Nabi SAW tidak pernah sekali- kali mencela sesuatu makanan. Jika Ia suka, dimakannya, dan jika Ia tidak suka,
maka ditinggalkannya .” )HR. Bukhari, Turmudzi, Abu Daud dan Ibnu Majah(. Hal ini menunjukkan adab dan sopan santun yang baik, karena apa yang tidak disukai atau tidak dibutuhkan oleh seseorang, adakalanya disukai atau dibutuhkan oleh orang lain. Maka selayaknya manusia tidak mencelanya, hingga karena demikian itu ia lari daripadanya.
Sebaliknya Rasul menyuruh manusia untuk selalu memuji Allah sebelum dan sesudah makan atau minum, sebagaimana sabdanya yang diterima dari Anas
bin Malik ra, bahwa Nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba, jika setiap makan atau minum, ia memuji-Nya atasnya .” )HR. Turmudzi(
Dari Abu Umamah ra bahwa Nabi SAW, jika mengangkat hidangannya, beliau mengucapkan: “ Alhamdulillah katsiran thayyiban mubarakan fih, ghaira makfiyih wala muwadda‟in wala mustaghnan „anhu rabbana”, artinya segala puji bagi Allah, dengan pujian yang berlimpah, lagi baik dan penuh berkah, tak pernah dicukupi dan tak dapat diabaikan sama sekali, maka bagi Allah puji-pujian wahai Tuhan kami. (HR. Bukhari)
Dalam hal konsumsi makanan hendaknya seorang muslim meniru pola makan Rasulullah SAW. Rasulullah merupakan teladan yang baik dalam segala hal, salah satunya dalam hal makan. Beliau juga memberi perhatian besar dalam hal makan ini, karena sesungguhnya pangkal penyakit kebanyakan bersumber dari makanan. Berikut ini prinsip-prinsip dalam pola makan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW:
Prinsip pertama, makanan dan minuman harus halal dan thoyyib (baik). Maksudnya selain masuk kategori halal, maka makanan dan minuman pun harus bersih dan mengandung kandungan gizi yang baik.
Prinsip kedua, seimbang, sederhana dan tak berlebihan. Rasulullah mengajarkan untuk makan tidak terlalu kenyang. Lambung cukup di isi dengan 1/3 makanan, lalu 2/3nya untuk minuman dan udara:
Rasulullah bersabda: “Tiada wadah yang dipenuhi oleh anak Adam lebih buruk daripada perutnya sendiri, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang sulbinya. Apabila terpaksa ia memenuhinya maka sepertiganya untuk makanan, dan sepertiganya lagi untuk minuman, serta sepertiganyalagi untuk nafasnya. (HR. Turmudzi)
Rasulullah melarang untuk makan lagi sesudah kenyang. Rasulullah bersabda:
" Janganlah sekali-kali kalian makan terlalu kenyang karena sesungguhnya hal tersebut dapat merusak tubuh, dan dapat menyebabkan
malas mengerjakan shalat dan pertengahanlah kalian dalam kedua hal malas mengerjakan shalat dan pertengahanlah kalian dalam kedua hal
Suatu hari, di masa setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat mengunjungi Aisyah r.a. saat itu daulah islamiyah sudah sedemikian luas dan makmur. Lalu, sambil menunggu Aisyah r.a., para sahabat yang sudah menjadi orang-orang kaya, saling bercerita tentang menu makanan mereka yang meningkat dan bermacam-macam. Aisyah r.a., yang mendengar hal itu tiba-tiba menangis. "Apa yang membuatmu menangis, wahai Bunda?" tanya para sahabat. Aisyah r.a. lalu menjawab, "Dahulu Rasulullah tidak pernah mengenyangkan perutnya dengan dua jenis makanan. Ketika sudah kenyang dengan roti, beliau tidak akan makan kurma, dan ketika sudah kenyang dengan kurma, beliau tidak akan makan roti."
Penelitian membuktikan bahwa berkumpulnya berjenis-jenis makanan dalam perut telah melahirkan bermacam-macam penyakit. Maka sebaiknya jangan mudah tergoda untuk makan lagi, kalau sudah yakin bahwa Anda sudah kenyang.
Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihkan air liur dan pencernaan. Rasulullah bersabda, " Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Al- Qur'an ." (HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Selanjutnya, Rasulullah tidak makan dua jenis makanan panas atau dua jenis makanan yang dingin secara bersamaan. Beliau juga tidak makan ikan dan daging dalam satu waktu dan juga tidak langsung tidur setelah makan malam, karena tidak baik bagi jantung. Beliau juga meminimalisir dalam mengonsumsi daging, sebab terlalu banyak daging akan berakibat buruk pada persendian dan ginjal. Pesan Umar r.a., "Jangan kau jadikan perutmu sebagai kuburan bagi hewan-hewan ternak!"
Masih mengenai batasan konsumsi makanan dalam Islam, M. Nur Rianto dan Euis Amalia mengatakan dalam bukunya Teori Ekonomi Mikro (2010: 87-
91) bahwa ada etika atau nilai-nilai yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam mengonsumsi diantaranya:
1. Tauhid ( unity /kesatuan) Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sehingga senantiasa berada dalam hukum Allah
)Syari‟ah(. Karena itu, orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan
anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia.
2. Adil ( equilibrium /keadilan) Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah SWT seperti firman-Nya
Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.” Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai
dengan syari‟ah, sehingga di samping mendapatkan keuntungan materiil, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual, al- Qur‟an secara tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat materiil maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan yang berimbang antara kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karenanya, dalam Islam konsumsi tidak hanya barang-barang yang bersifat duniawi semata, namun juga untuk kepentingan di jalan Allah ( fisabilillah ).
3. Free Will (kehendak bebas) Alam semesta merupakan milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan kesempurnaan atas makhluk-Nya. Manusia diberi kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah. Atas segala karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkehendak bebas, namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Allah. Sehingga kebebasan dalam melakukan aktivitas haruslah tetap memilik batasan agar jangan sampai menzalimi pihak lain.
4. Amanah ( responsibility /pertanggung jawaban) Manusia merupakan khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas tetapi akan mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan alam, masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak. Pertanggungjawaban sebagai seoarang muslim bukan hanya kepada Allah SWT namun juga kepada lingkungan.
5. Halal Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan, serta akan menimbulkan kemashalahatan untuk umat baik secara materiil maupun spiritual. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat diangap sebagai barang- barang konsumsi dalam Islam serta dapat menimbulkan kemudaratan apabila dikonsumsi akan dilarang. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 173. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah mengharamkan manusia memakan 5. Halal Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan, serta akan menimbulkan kemashalahatan untuk umat baik secara materiil maupun spiritual. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat diangap sebagai barang- barang konsumsi dalam Islam serta dapat menimbulkan kemudaratan apabila dikonsumsi akan dilarang. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 173. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah mengharamkan manusia memakan
6. Sederhana Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas ( israf ), termasuk pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewahan), yaitu membuang-buang harta dan mengahambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu semata. Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan yang melampaui batas, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al- A‟rāf: 31. Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia disuruh memakai pakaian yang indah di setiap (memasuki) masjid, dan janganlah berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makan dan minum karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih- lebihan.
Setelah pembahasan yang mendalam mengenai batasan konsumsi makanan dalam Islam dapat dipahami bahwa bagi konsumen muslim sebelum mengkonsum makanan, seharusnya mengetahui darimana makanan tersebut, halal atau haramkah makanan tersebut, dan memperhatikan kadar makanan yang akan dikonsumsi sehingga tidak berlebihan. Batasan konsumsi makanan itu sangatlah penting mengingat dewasa ini banyak sekali kuliner yang beredar di pasaran yang bukan hanya produk pribumi saja tetapi juga ada yang merupakan makanan adobsi dari luar negeri.