Dinamika kolonisasi tiga fungi ektomikoriza scleroderma spp. dan hubungannya dengan pertumbuhan tanaman inang

(1)

DINAMIKA KOLONISASI TIGA FUNGI EKTOMIKORIZA

Scleroderma spp. DAN HUBUNGANNYA DENGAN

PERTUMBUHAN TANAMAN INANG

MELYA RINIARTI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2010

Melya Riniarti NRP E061050011


(3)

ABSTRACT

MELYA RINIARTI. Colonization Dynamics of Three Ectomycorrhizal Fungi Scleroderma spp. and Their Role on Host Plant Growth. Supervised by IRDIKA MANSUR, ARUM SEKAR WULANDARI DAN CECEP KUSMANA.

Ectomycorrhizal symbiosis represented one of the most important mutualistic association in forest ecosystem. Scleroderma spp. have already been known as ectomycorrhizal fungi which could form symbioses with Dipterocarpaceae, Pinaceae, and Gnetaceae. This study was conducted in three steps, (1) Compatibility test of three ectomycorrhizal fungi Scleroderma spp. under in vitro condition. The aim of this study was to determine the mycelial antagonism and interaction patterns among the fungus under in vitro condition. Three species Scleroderma spp. were cultured on solid Modified Melin Norkrans (MMN) medium. Each fungus was cultured as single, pairs and triple combinations. A completely randomized design were used with 7 treatments and 8 replicates Petri dishes. We found that the radial growth of S. sinnamariense mycelia was two times faster than S. columnare and S. dictyosporum. There was no antagonism pattern between fungal mycelia when they grown together. (2) Colonization dynamics of three ectomycorrhizal fungi Scleroderma spp. and their relation to host plant growth. The aim of this study was to determine the compatibility and specificity of each ectomycorrhizal fungi with the host plants, and the effect on host plants growth. S. columnare, S. dictyosporum and S. sinnamariense were inoculated in single-, two-, and three- species treatments to Shorea pinanga, Pinus merkusii and Gnetum gnemon seedlings using spores suspension. After 6, 8, and 10 months of inoculation, seedlings were harvested to determine colonization percentage, height and diameter growth, and plant biomass. The results revealed that S. sinnamariense did not form association with S. pinanga and P. merkusii but form association with G. gnemon. On the other hand, S. columnare and S. dictyosporum both in single- and multi- species treatments could form association with all the host plants. Generally, Scleroderma spp. increased the growth of host plants. The last was (3) Root characteristics of ectomycorrhizal fungi on S. pinanga, P. merkusii, and G. gnemon. The aim of this study was to determine the morphology (hyphae colour, branching pattern, clamp-connection) and anatomy (mantel and Hartig net) of ectomycorrhizal roots in each host plants which associated with the ectomycorrhizal fungus. This result revealed that morphology were affected by fungi, while branching pattern and Hartig net were affected by plants. S. pinanga dan G. gnemon were have monopodial branching pattern which P. merkusii was dichotomously branching pattern. The depth of mantels and Hartig net were increase by time. The Hartig net was only at

epidermis S. pinanga and G. gnemon, while its penetrated in cortex on P. merkusii.

Key world: Dipterocarpaceae, ectomycorrhizal fungi, Gnetaceae, host specificity, Pinaceae, Scleroderma


(4)

MELYA RINIARTI. Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang. Di bawah bimbingan IRDIKA MANSUR, ARUM SEKAR WULANDARI DAN CECEP KUSMANA.

Fungi ektomikoriza memainkan peranan penting dalam berbagai ekosistem, melalui keterlibatannya dalam siklus karbon dan nutrisi, jejaring makanan di bawah tanah, serta dinamika komunitas tanaman. Fungi ektomikoriza merupakan salah satu komponen penting dalam ekosistem hutan, dan diketahui membentuk simbiosis dengan sebagian besar tanaman kehutanan. Scleroderma merupakan genus fungi ektomikoriza yang diketahui dapat membentuk simbiosis dengan Dipterocarpaceae, Pinaceae, dan Gnetaceae. Simbiosis dengan fungi ektomikoriza akan membantu pertumbuhan dan ketahanan hidup tanaman inang karena fungi ektomikoriza akan membantu dalam penyerapan unsur hara dan air, meningkatkan ketahanan terhadap patogen dan meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. Beberapa fungi ektomikoriza juga menghasilkan tubuh buah yang dapat dikonsumsi (edible mushroom).

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan tiga tanaman inang yang mewakili tiga famili, yaitu Shorea pinanga (Dipterocarpaceae-Angiospermae); Pinus merkusii (Pinaceae-Gymnospermae) dan Gnetum gnemon (Gnetaceae-peralihan gymnospermae ke angiospermae). Fungi ektomikoriza Scleroderma spp. yang digunakan adalah jenis yang secara alami bersimbiosis dengan ketiga tanaman inang yang digunakan yaitu: S. columnare bersimbiosis dengan S. pinanga; S. dictyosporum bersimbiosis dengan P. merkusii dan S. sinnamariense bersimbiosis dengan G. gnemon. Tujuan umum penelitian ini ialah mempelajari interaksi antar fungi ektomikoriza pada tanaman inang yang sama, yang berkaitan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi ektomikoriza sehubungan dengan upaya peningkatan pertumbuhan dan ketahanan hidup tanaman inang.

Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahapan. Penelitian 1 berjudul “Uji Kompatibilitas Tiga Jenis Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. Secara In Vitro”. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan serta hubungan yang terbentuk antar fungi ektomikoriza Scleroderma spp. secara in vitro. Pada penelitian ini ketiga jenis Scleroderma spp. dibiakkan pada media kultur MMN padat (Modified Melin Norkrans). Perlakuan yang diberikan ialah pembiakan miselium Scleroderma spp. secara terpisah, dua isolat bersamaan dan tiga isolat bersamaan. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengap (RAL) dengan 7 perlakuan dan delapan ulangan. Peubah yang diamati ialah kecepatan awal waktu pertumbuhan miselium dan diameter pertumbuhan koloni masing-masing fungi ektomikoriza.

Penelitian 2 (bab IV) berjudul “Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang”. Tujuan penelitian ialah (1) mempelajari kompatibilitas dan spesifisitas tiga jenis fungi ektomikoriza Scleroderma spp. terhadap ketiga jenis tanaman inang; dan (2) mempelajari hubungan antara fungi ektomikoriza Scleroderma spp. dengan tanaman inang. Pada tahapan ini tiap jenis tanaman inang diinokulasi


(5)

dengan menggunakan suspensi spora (jumlah spora 25 x 107), dengan perlakuan inokulasi tunggal, dual dan triple fungi ektomikoriza, sehingga untuk tiap jenis tanaman inang didapat 8 perlakuan. Pengamatan terhadap persen kolonisasi dan pertumbuhan tanaman (pertambahan tinggi, pertambahan diameter, berat kering akar, pucuk dan total, serta penyerapan N dan P) dilakukan pada bulan ke-6, 8, dan 10 setelah inokulasi. Rancangan yang digunakan ialah Rancangan Acak Lengkap untuk tiap jenis tanaman dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 5 tanaman.

Penelitian 3 (bab V) berjudul “Karakterisitik Akar Berektomikoriza Pada Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon”. Tujuan penelitian ini ialah untuk memperoleh informasi tentang karakteristik morfologi dan anatomi akar pada S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon yang telah diinokulasi dengan tiga jenis Scleroderma spp. selama 6, 8, dan 10 bulan. Bahan yang digunakan ialah akar berektomikoriza segar dan akar hasil proses histologi. Parameter yang diamati ialah warna miselium, bentuk percabangan, clamp connection, dan ketebalan mantel, serta kedalaman Hartig net.

Hasil Penelitian 1 menunjukkan bahwa S. sinnamariense adalah fungi ektomikoriza yang kecepatan perkembangan dan diameter pertumbuhan koloninya mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan S. columnare dan S. dictyosporum pada media MMN padat. Saat dibiakkan secara bersama-sama, ketiga jenis fungi ektomikoriza dapat tumbuh dengan baik tanpa adanya hambatan pertumbuhan satu dengan lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya barrier pada miselium ketiga fungi tersebut, yang menunjukkan tidak ada sifat antagonis di antara ketiganya. Hasil pengamatan pada hifa yang tumbuh diantara fungi menunjukkan pertumbuhan yang normal, ditandai dengan tidak adanya lisis pada dinding hifa.

Hasil penelitian 2 menunjukkan adanya spesifisitas yang tinggi pada S. sinnamariense. Fungi ektomikoriza ini hanya dapat bersimbiosis dengan G. gnemon yang merupakan tanaman inang alaminya. Sementara S. columnare dan S. dictyosporum dapat membentuk simbiosis dengan ketiga tanaman inang yang diujicobakan. Pada ketiga tanaman inang, S. columnare dan S. dictyosporum baik pada perlakuan tunggal maupun secara bersamaan, mampu meningkatkan kolonisasi dan pertumbuhan tanaman inang, sedangkan S. sinnamariense hanya dapat berkontribusi pada G. gnemon. Perlakuan multi fungi ektomikoriza tampaknya memberikan hasil yang lebih baik dalam penyerapan N dan P dibandingkan dengan perlakuan tunggal dan kontrol.

Hasil penelitian 3 menunjukkan bahwa karakteristik morfologi (warna dan clamp connection) dipengaruhi oleh fungi, sementara bentuk percabangan akar berektomikoriza dan kedalaman Hartig net merupakan karakteristik yang lebih dipengaruhi oleh jenis tanaman, pada P. merkusii percabangan berbentuk dikotomus dan Hartig net mencapai kortek. Pada S. pinanga dan G. gnemon bentuk percabangan akar berektomikoriza adalah monopodial dengan Hartig net hanya mencapai jaringan epidermis. Ketebalan mantel dan kedalaman Hartig net meningkat seiring dengan waktu.

Kata kunci: Dipterocarpaceae, Fungi ektomikoriza, Gnetaceae, Pinaceae, Scleroderma, Tanaman inang


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya disertasi tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor


(7)

DINAMIKA KOLONISASI TIGA FUNGI EKTOMIKORIZA

Scleroderma spp. DAN HUBUNGANNYA DENGAN

PERTUMBUHAN TANAMAN INANG

MELYA RINIARTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Penguji Luar Komisi : Sidang Tertutup :

1. Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. 2. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R.

Sidang Terbuka

1. Dr. Ir. Nampiah Sukarno


(9)

Judul Disertasi : Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang Nama : Melya Riniarti

NRP : E061050011

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Ketua

Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS

Anggota Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS.

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(10)

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan ridho-Nya penelitian dengan judul “Dinamika Kolonisasi Tiga Fungi Ektomikoriza Scleroderma spp. dan Hubungannya dengan Pertumbuhan Tanaman Inang” dapat diselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc., Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., dan Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari M.S. selaku komisi pembimbing. Dr. Istomo, Dr. Elis Nina Herliyana , Dr. Sri Wilarso Budi R, Dr. Nampiah Sukarno dan Dr. Made Hesti Lestari Tata selaku penguji prelim, penguji luar komisi dalam ujian tertutup, dan Penguji luar komisi dalam ujian terbuka. Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI, atas bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan DP3M Dikti atas Hibah Doktor 2009. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan segenap civitas akademika IPB atas kesempatan studi yang diberikan. Segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB. Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Unila, dan Jurusan Kehutanan Unila yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan tugas belajar. Dr. Supriyanto (Departemen Silvikultur IPB), Dr. Dorly (Jurusan Biologi IPB), Ibu Endang (LIPI Cibinong), Mbak Faiq, Mbak Susan, Ibu Esti, Pak Yadi, Pak Atang dan Bi Ita, dan berbagai pihak dari berbagai laboratorium yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Pak Julius dan keluarga, Pak Budi Sulistyawan dan keluarga, Mbak Dina, Ibu Diana, Arida, Jusuf Dibisono, Suhasman, Syahidah, Pak Abimanyu, , Pak Iskandar, Ibu Widi, Teh Nur, Mbak Yuniar, Rara, Nani, Yano, Warji dan keluarga, dan seluruh rekan-rekan SPS IPB dan Unila Keluarga besar Ir. S. Hasan Syahrin dan Achadi (Alm.) atas dukungan dan kasih sayangnya. Suami, Achmad Baehaqi S.P., M.Si., dan ketiga anakku, Achmadyan Raya, Adinda Tami Rahmani, dan Aqilya Puti Gemilang, untuk segala dukungan, pengorbanan dan kasih sayang.

Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak keterbatasan dan kekurangannya. Namun demikian, penulis mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan orang-orang yang memerlukannya terlebih lagi bagi perkembangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2010 Melya Riniarti


(12)

Pada kalian

Yang selalu berkata aku pasti bisa Ketika langkahku menyurut

Jalan ini tampaknya akan segera kusudahi Dengan kemenangan di tangan

Walau tiada gemilang dengan kilau Namun menorehkan sejarah dalam hidupku Karena perjalanan ini menganugerahiku Banyak cinta untuk diterima dan dibagi Terima kasih untuk kalian

Yang selalu berkata kami bangga padamu Ketika aku meragukan diriku

Karena tanpa segala dukungan dan doa Tak kan mampu aku singkirkan

Segala kerikil dan terjalnya pendakianku Terima kasih untuk kalian…

Segenap cinta dan kasih Tak kan mampu membalas Segala yang telah kalian berikan Pada ku dan keluarga ku

Selama menempuh perjalanan ini….. Kepada Allah lah segalanya ku pinta…. Untuk membalas…..

Catatan: kupersembahkan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada ketiga pembimbingku, yang telah mengikhlaskan aku dengan segala kekuranganku……..


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, pada tanggal 3 Mei 1977 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan Ir. S. Hasan Syahrin dan Maryati.

Penulis menyelesaikan pendidikan SLTA di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) melalui jalur PMKA dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan jenjang pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana IPB dan mendapatkan gelar Magister Sains pada tahun 2002. Tahun 2005 penulis mendapat kesempatan meneruskan pendidikan pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh melalui program BPPS dari Ditjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional

Sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Selama mengikuti program S3 penulis menjadi anggota AMI (Asosiasi Mikoriza Indonesia) dan mengikuti berbagai kegiatan seminar baik nasional maupun internasional yang berhubungan dengan penelitian dan keilmuan. Beberapa hasil penelitian S3 telah dipublikasikan pada berkala ilmiah yaitu (1) Uji kompetisi tiga fungi ektomikoriza Sclerodema spp. secara in vitro. Vegetasi (7):63—67. Dan (2) Karakteristik Akar Berektomikoriza pada Shorea pinanga, Pinus merkusii dan Gnetum gnemon. Perennial (6):11—19.

Pada tahun 2000 penulis menikah dengan Achmad Baehaqi, S.P., M.Si. dan sampai saat ini telah dikaruniai satu orang putra bernama Achmadyan Raya dan dua orang putri bernama Adinda Tami Rachmani dan Aqilya Puti Gemilang.


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

1 PENDAHULUAN ... 1

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

3 UJI KOMPATIBILITAS TIGA JENIS FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp. SECARA IN VITRO ... 29

Abstrak ... 29

Abstract ... 29

Pendahuluan ... 29

Metode Penelitian ... 31

Hasil dan Pembahasan ... 33

Kesimpulan ... 37

Daftar Pustaka ... 37

4 DINAMIKA KOLONISASI TIGA FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp. DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERTUMBUHAN TANAMAN INANG ... 39

Abstrak ... 39

Abstract ... 39

Pendahuluan ... 40

Metode Penelitian ... 42

Hasil dan Pembahasan ... 47

Kesimpulan ... 59

Daftar Pustaka ... 59

5 KARAKTERISTIK AKAR BEREKTOMIKORIZA PADA Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum Gnemon ... 63

Abstrak ... 63

Abstract ... 63

Pendahuluan ... 63

Metode Penelitian ... 65

Hasil dan Pembahasan ... 66

Kesimpulan ... 76

Daftar Pustaka ... 77

6 PEMBAHASAN UMUM ... 79

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 85


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Nama spesies Scleroderma, yang dikelompokkan berdasarkan bentuk spora dan keberadaan clamp-connections ... 11 2. Daftar penelitian fungi ektomikoriza Scleroderma spp. pada berbagai

tanaman inang dari Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae ... 18 3. Rincian perlakuan yang dilakukan secara in vitro ... 33 4. Rincian perlakuan inokulasi fungi ektomikoriza pada tiga jenis tanaman

inang ... 46 5. Nilai rata-rata pengamatan histologi akar P. merkusii yang diinokulasi

oleh S. columnare dan S. dictyosporum pada bulan ke 6, 8, dan 10 ... 67 6. Nilai rata-rata pengamatan histologi akar G. gnemon yang diinokulasi

oleh S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense pada bul ke 6, 8, dan 10 ... 70 7. Nilai rata-rata pengamatan histologi akar S. pinanga yang diinokulasi


(16)

Halaman

1. Bagan alir pemikiran ... 3

2. Simbiosis ektomikoriza pada tanaman ... 9

3. Empat tipe morfotipe spora Scleroderma dilengkapi dengan ornamen-ornamennya ... 10

4. Jumlah makalah jurnal dari tahun 2000 – 2008 yang berhubungan dengan mikoriza di hutan tropis (kata kunci pencarian: mycorrhiza & tropical & forest), dibandingkan dengan total literatur tentang mikoriza (kata kunci pencarian: mycorrhiza) ... 17

5. Bahan yang digunakan dalam penyiapan miselium fungi ... 32

6. Penempatan inokulum miselium fungi ektomikoriza pada cawan Petri . 32 7. Perhitungan diameter pertumbuhan koloni dalam cawan Petri dengan menggunakan delapan arah mata angin ... 33

8. Perkembangan diameter koloni tiga jenis fungi Scleroderma dengan beberapa perlakuan pada setiap minggu pengamatan ... 33

9. Diameter pertumbuhan koloni pada setiap minggu pengamatan ... 35

10. Tiga jenis tanaman inang yang digunakan dalam penelitian ... 41

11. Tiga fungi ektomikoriza yang digunakan dalam penelitian ... 44

12. Kolonisasi fungi ektomikoriza Scleroderma pada tanaman inang ... 48

13. Persentase kolonisasi ektomikoriza pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikoriza ... 49

14. Pertambahan tinggi dan diameter pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikoriza.... 51

15. Berat kering total, berat kering akar dan berat kering pucuk S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6,8, dan 10 bulan setelah inokulasi fungi ektomikriza ... 52

16. Penyerapan N dan P pada S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon pada 6, 8, dan 10 bulan setelah inokulasi dengan fungi ektomikoriza ... 54

17. Ujung akar berektomikoriza ... 67


(17)

19. Komposisi ketebalan mantel, Hartig net, dan jaringan akar pada akar P. merkusii berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza

dan umur inokulasi ... 69

20. Komposisi ketebalan mantel, Hartig net dan jaringan akar pada akar G. gnemon berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi ... 70

21. Komposisi ketebalan mantel, Hartig net dan jaringan akar pada akar S. pinanga berektomikoriza dengan beberapa perlakuan fungi ektomikoriza dan umur inokulasi ... 71

22. Citra SEM akar berektomikoriza ... 72

23. Citra SEM ujung akar berektomikoriza ... 73


(18)

Halaman 1. Komposisi media MMN ... 101

2. Analisis histologi akar ektomikoriza ... 102 3. Teknik pewarnaan akar ektomikoriza ... 103 4. Hasil analisis korelasi antara berat kering total tanaman dengan

persentase kolonisasi pada tanaman Shorea pinanga, Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon ... 104


(19)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Sebagian besar tanaman kehutanan sangat bergantung pada mikoriza untuk kelangsungan pertumbuhan dan perkembangannya (Nehls et al. 2007). Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, tanaman inang memperoleh hara nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis (Smith dan Read 2008). Mikoriza akan membantu penyerapan unsur hara (Allen et al. 2003; Dehlin et al. 2004; Lilleskov et al. 2002; Baghel et al. 2009), meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Dell 2002; Dunabeitia et al. 2004), meningkatkan ketahanan terhadap penyakit (Onguene dan Kuyper 2002; Whipps 2004), dan pada beberapa spesies fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) (Hall et al. 2003; Wulandari 2002; Yamada et al. 2001; 2007).

Fungi ektomikoriza memiliki kecenderungan untuk lebih spesifik dalam membentuk simbiosis, dan umumnya hanya pada tanaman berkayu (Brundrett 2002) walaupun terdapat laporan adanya fungi ektomikoriza pada perdu dan semak (Bidartondo et al. 2003; Dickie et al. 2004; Nara dan Hogetsu 2004). Fungi ektomikoriza merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan dan umum ditemukan pada hutan-hutan tropis di daerah Asia (Simard dan Durral 2004; Dell 2002; Brearly et al. 2007; Amaronpitak et al. 2006).

Scleroderma merupakan genus fungi ektomikoriza yang memiliki kisaran tanaman inang yang luas (Chen et al. 2007; Brundrett et al. 2005). Menurut Dell (2002), di Asia jumlah tanaman inang cenderung meningkat dengan semakin tingginya suatu daerah dari permukaan laut dan dengan semakin tingginya garis lintang. Kesesuaian antara Scleroderma spp. dengan Dipterocarpaceae (Lee et al. 2008; Prameswari dan Tata 2004, Watling et al. 2002; Turjaman et al. 2006; Turjaman et al. 2005), Pinaceae (Chen 2006; Scattolin 2006; Barroetavena et al.


(20)

2007; Irianto 2004; Obase et al. 2009), dan Gnetaceae (Watling et al. 2002; Wulandari 2002; Suhardi 1997) telah banyak dilaporkan, meskipun demikian masih belum banyak yang diketahui tentang interaksi antar fungi ektomikoriza dan spesifisitas tanaman inang dengan kualitas simbiosis yang terbentuk yang berhubungan dengan kompatibilitas antara tanaman inang dan fungi, dan kemampuannya dalam meningkatkan kualitas tanaman inang, sehingga perlu dikaji lebih dalam (Gambar 1).

Munculnya interaksi antar fungi ektomikoriza dan spesifisitas pada tanaman inang berhubungan dengan tingginya jumlah fungi ektomikoriza yang ada, menurut perkiraan Rinaldi et al. (2008) ada sekitar 20.000—25.000 spesies fungi ektomikoriza yang berasal dari 343 genus, sementara hanya ada 8000 tanaman yang dapat bersimbiosis dengan fungi ini. Berbagai hasil penelitian menemukan adanya berbagai spesies fungi ektomikoriza yang dapat berasosiasi dengan akar tanaman yang sama (Walbert et al. 2009; Valentine et al. 2004; Tedersoo et al. 2006; Obase et al. 2009; Richard et al. 2004). Hal ini akan menimbulkan interaksi antar fungi ektomikoriza (Koide et al. 2005), interaksi ini dapat bersifat saling melengkapi (Newsham et al. 1995; Mollina et al. 1992) atau kompetisi (Kennedy et al. 2007a; Kennedy dan Bruns 2005; Kennedy et al. 2007b; Hortal et al. 2008).

Spesifisitas fungi ektomikoriza terhadap tanaman inang telah dikemukakan oleh Mollina et al. (1992) yang mengklasifikasikan fungi ektomikoriza berdasarkan kisaran tanaman inang yang dapat dikolonisasi. Diketahui, beberapa spesies fungi ektomikoriza dapat bersimbiosis dengan tanaman yang berbeda seperti Pisolithus (Chen et al. 2007). Terdapat beberapa spesies fungi ektomikoriza yang hanya dapat bersimbiosis dengan genus tanaman tertentu atau spesies tertentu (Bruns et al. 2002). Sato et al. (2007) menemukan fungi Strobilomyces hanya membentuk simbiosis dengan Castanopsis cuspidate.


(21)

3

Dipterocarpaceae Pinaceae Gnetaceae Ektomikoriza

Gambar 1 Bagan alir pemikiran.

Scleroderma

Kualitas Simbiosis

Spesifisitas Ektomikoriza pada Tanaman

Inang Interaksi antar

Ektomikoriza Kompatibilitas

Spesies Ektomikoriza

Jumlah Spesies Ektomikoriza/Tan

Informasi aplikasi inokulum ektomikoriza yang

Meningkatkan kualitas tanaman


(22)

Hedh et al. (2009) menemukan dari 35 strain Paxillus involutus yang diujicobakan pada tanaman birch dan spruce terdapat beberapa strain yang hanya kompatibel dengan salah satu tanaman, dan strain yang kompatibel dengan kedua tanaman inang. Spesifisitas fungi ektomikoriza akan berhubungan dengan kompatibilitas antara fungi ektomikoriza dan tanaman inang, kesesuaiannya akan mempengaruhi optimalisasi fungsi dan peran fungi ektomikoriza dalam membantu pertumbuhan tanaman inang.

Pemilihan ketiga spesies tanaman yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa masing-masing spesies mewakili tiga kelas yang berbeda yaitu angiospermae (Shorea pinanga), gymnospermae (Pinus merkusii), dan peralihan antara angiospermae dan gymnospermae (Gnetum gnemon) sehingga diharapkan dapat menjabarkan secara luas hubungan antara fungi ektomikoriza dengan berbagai spesies tanaman.

Fungi ektomikoriza Scleroderma spp. yang digunakan adalah spesies yang secara alami ditemukan pada ketiga tanaman inang yang digunakan yaitu: Scleroderma columnare bersimbiosis dengan S. pinanga; S. dictyosporum bersimbiosis dengan P. merkusii dan S. sinnamariense bersimbiosis dengan G. gnemon. S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense merupakan spesies fungi ektomikoriza yang dikenal sebagai “early-stage ectomycorrhiza” (Supriyanto dan Irawan 1997) yaitu spesies fungi ektomikoriza yang membentuk simbiosis pada awal pertumbuhan tanaman inang.

Aplikasi multi fungi ektomikoriza pada tanaman inang diharapkan akan memberikan gambaran tentang kompatibilitas dan spesifisitas tanaman inang terhadap fungi ektomikoriza dan sebaliknya, sehingga menggambarkan dinamika yang terjadi pada akar tanaman. Teknik aplikasi inokulum fungi ektomikoriza ini juga diharapkan akan memberikan rekomendasi tentang teknik inokulasi yang dapat diterapkan pada tanaman kehutanan yang diketahui memiliki


(23)

5 ketergantungan yang tinggi terhadap fungi ektomikoriza, sehingga dapat mengoptimalkan peranan ektomikoriza dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini ialah:

Mempelajari interaksi antar fungi ektomikoriza pada tanaman inang yang sama, yang berkaitan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi ektomikoriza sehubungan dengan upaya peningkatan pertumbuhan dan ketahan hidup tanaman inang.

Tujuam khusus penelitian ini adalah:

(1) Mempelajari pertumbuhan dan perkembangan serta hubungan yang terbentuk antara S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense secara in vitro.

(2) Mempelajari kompatibilitas dan spesifisitas fungi ektomikoriza S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense terhadap S. pinanga. P. merkusii dan G. gnemon.

(3) Mempelajari hubungan antara fungi ektomikoriza S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense terhadap S. pinanga. P. merkusii dan G. gnemon.

(4) Mempelajari karakteristik morfologi dan anatomi akar S. pinanga, P. merkusii, dan G. gnemon yang telah diinokulasi dengan S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense selama 6, 8 dan 10 bulan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:

(1) Bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam memahami interaksi antar fungi ektomikoriza baik secara in vitro maupun in vivo.


(24)

(2) Bagi Pemerintah, khususnya bidang kehutanan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keunggulan penggunaan fungi ektomikoriza pada tanaman kehutanan sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kegiatan-kegiatan penanaman di lahan-lahan hutan.

(3) Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan informasi kegunaan fungi ektomikoriza pada berbagai tanaman sehingga memperbaiki kualitas tanaman.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

(1) Terjadi interaksi dalam pertumbuhan dan perkembangan S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense secara in vitro.

(2) Fungi ektomikoriza S. columnare, S. dictyosporum, dan S. sinnamariense dapat membentuk simbiosis dengan S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon.

(3) Aplikasi fungi ektomikoriza akan meningkatkan pertumbuhan S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon.

(4) Terdapat perbedaan ciri morfologi dan anatomi akar pada setiap spesies kombinasi fungi ektomikoriza dengan tanaman inang.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Ektomikoriza

Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, tanaman inang memperoleh hara nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis (Smith dan Read 2008). Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Frank pada tahun 1877 di Jerman (Brundrett 2004). Saat ini diketahui terdapat 7 tipe mikoriza yaitu (1) arbuskular mikoriza, (2) ektomikoriza, (3) ektendomikoriza, (4) arbutoid mikoriza, (5) monotropoid mikoriza, (6) ericoid mikoriza, dan (7) orchid mikoriza. Pembagian ini didasarkan pada karakter-karakter (1) ada/tidaknya septa; (2) intraseluler kolonisasi (3) keberadaan mantel dan Hartig net serta (4) acrophyl (Smith dan Read 2008).

Fungi ektomikoriza umumnya dari golongan Basidiomisetes dan Askomisetes. Beberapa genera fungi Basidiomisetes pembentuk ektomikoriza di antaranya adalah Amanita, Boletellus, Boletinus, Boletus, Pisolithus, Scleroderma, Suillus, Russula, dan Laccaria (Brundrett et al. 1996; Rinaldi et al. 2008).

Beberapa manfaat mikoriza bagi pertumbuhan tanaman antara lain: (1) meningkatkan penyerapan unsur hara tanaman dari dalam tanah. Hal ini disebabkan mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro. Eksplorasi hifa pada media tumbuh juga lebih luas dibandingkan dengan akar tanaman (Satomura et al. 2006; Santoso et al. 2007); (2) meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. Pada akar bermikoriza kerusakan jaringan kortek tidak akan bersifat permanen. Akar bermikoriza akan cepat pulih, karena hifanya masih mampu menyerap air pada pori tanah, dan penyebaran hifa yang luas akan dapat menyerap air lebih banyak (Querejeta et al. 2003); (3) meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen. Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi


(26)

patogen akar, perlindungan ini terjadi karena adanya lapisan hifa sebagai pelindung fisik dan antibiotika yang dikeluarkan oleh mikoriza (Whipps 2004; Martin-Pinto et al. 2006; Zadworny et al. 2007); dan (4) menghasilkan beberapa zat pengatur tumbuh. Fungi mikoriza dapat menghasilkan hormon auksin, sitokinin, gibberelin, dan vitamin yang bermanfaat untuk inangnya (Allen et al. 2003; Dell 2002). Auksin dapat berfungsi untuk mencegah atau menghambat proses penuaan dan suberinasi akar sehingga umur dan fungsi akar dapat diperpanjang. Manfaat lainnya ialah (5) beberapa fungi ektomikoriza menghasilkan tubuh buah yang dapat dimakan/dikonsumsi oleh manusia, sehingga memberikan hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi dan gizi yang tinggi (Hall et al. 2003; Yamada et al. 2001; 2007).

Interaksi antara fungi dan inang dalam medium pertumbuhan sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh sejumlah interaksi biokimia, fisiologi dan proses lingkungan. Simbiosis ektomikoriza pada tanaman disajikan pada Gambar 2.

Scleroderma

Scleroderma termasuk dalam divisi Basidiomycota, ditemukan oleh Persoon (1801) dengan spesies S. verrucosum. Karakter utama Scleroderma ialah: (1) peridium padat; (2) gleba berwarna kehitaman; (3) dan spora globose, kadang-kadang subglobes, ada/tidak adanya retikulata (Watling 2006). Terdapat empat tipe morfotipe spora Scleroderma (Gambar 3) dan berdasarkan bentuk spora Scleroderma dibagi menjadi empat kelompok: (1) Aculcatispora (2) Caloderma, (3) Sclerangium, dan (4) Scleroderma (Tabel 1) (Dickinson dan Hutchison 1997; Chen 2006).


(27)

9

Gambar 2 Simbiosis ektomikoriza pada tanaman (Anonim 2006) A: Gambaran simbiosis yang terbentuk pada akar tanaman dengan miselia fungi ektomikoriza, miselia fungi ektomikoriza dapat menghubungkan dua tanaman yang berbeda. B: Komponen fungi ektomikoriza yang terbentuk pada akar tanaman, yang terdiri dari mantel pada lapisan luar akar tanaman, Hartig net yang terbentuk di sela-sela epidermis dan/atau hingga kortek, serta hifa eksternal.

Tanaman Inang

semai

Pohon dewasa

Tubuh Buah (reproduktif)

Miselia

(hifa & rizomorf) Akar berektomikoriza

Hifa Rizomorf Mantel Kortek Hartig net Irisan

melintang akar

A


(28)

.

Gambar 3 Empat tipe morfotipe spora Scleroderma dilengkapi dengan ornament-ornamennya (a) Echinulate, (b) Verrucose, (c) Subreticulate, dan (d) Reticulate (Chen 2006)

Pada tahun 1970 Guzman mendeskripsikan 20 spesies Scleroderma, dan kini ada 31 spesies yang telah dideskripsikan (Tabel 1) (Rinaldi et al. 2008). Menurut Watling (2006) tampaknya seluruh genus Scleroderma adalah ektomikoriza. Scleroderma diketahui memiliki kemampuan bersimbiosis dengan banyak tanaman kehutanan, ada sekitar 28 genus tanaman yang terdapat dalam 11 famili yang dilaporkan dapat bersimbiosis dengan Scleroderma (Chen et al. 2007). Antara lain ialah Cistaceae (Moreau et al. 2006)., Dipterocarpaceae (Lee et al. 2008, Peay et al. 2009), Myrtaceae (Pescova 2005), Pinaceae (Kasuya et al. 2002; Niemi et al. 2002a, 2002b), dan Fagacae (Giomaro et al. 2002; Giachini et al. 2004)


(29)

11 Tabel 1 Nama spesies Scleroderma, yang dikelompokkan berdasarkan bentuk

spora dan keberadaan clamp-connection (Rinaldi et al. 2008). No. Nama Spesies

Kelompok Aculcatisporaechinulate atau verrucose, tidak reticulate; tanpa

clamp-connection

1 S. albidum Pat. Et Trab.

2 S. areolatum Ehrenb.

3 S. cepa Pers.

4 S. columnare Berk. & Broome

5 S. cyaneoperidiatum Watling & Sims

6 S. laeve Lloyd

7 S. leptopodium (Durieu & Mont.) De Toni

8 S. mayama Grgurinovic

9 S. texense Berk.

10 S. uruguayense (Guzmán) Guzmán

11 S. verrucosum Pers.

Kelompok Caloderma – sedikit reticulate dengan duri sangat ramping dan pendek;

dengan clamp-connection

12 S. stellatum Berk.

Kelompok SclerangiumSubreticulate ; dengan clamp-connection

13 S. bermudense Coker.

14 S. chevalieri Guzmán

15 S. citrinum Pers.

16 S. floridanum Guzmán

17 S. paradoxum Beaton

18 S. polyrhizum Pers.

19 S. reae Guzmán

Kelompok Scleroderma – reticulate sempurna; dengan clamp-connection

20 S. bougheri Trappe, Castellano & Giachini

21 S. bovista Fr.

22 S. congolense Demoulin & Dring

23 S. dictyosporum Pat.

24 S. fuscum (Corda) E. Fisch.

25 S. hypogeum Zeller

26 S. meridionale Dem. & Mal.

27 S. michiganense (Guzmán) Guzmán

28 S. schmitzii Demoulin & Dring

29 S. septentrionale Jeppson

30 S. sinnamariense Mont.


(30)

Scleroderma columnare , S. dictyosporum, dan S. sinnamariense

Species S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Brundrett et al. 1996; The National Science Museum 1998):

Divisi : Basidiomycota Kelas : Holobasidiomycetes Anak kelas : Gasteromycetes Bangsa : Sclerodermatales Famili : Sclerodermataceae Genus : Scleroderma

Species : Scleroderma columnare Scleroderma dictyosporum Scleroderma sinnamariense

Menurut Zeller (1948) S. columnare telah ditemukan sejak tahun 1888 oleh Berkeley dan Broome, mempunyai tubuh buah yang tertutup, peridium relatif tebal dan keras, himenium tidak jelas. Tubuh buah S. columnare berbentuk hampir bundar atau tidak beraturan dengan diameter 2—12 cm, berwarna coklat tua dan tangkai. Sporanya berwarna coklat muda hingga coklat tua dan mempunyai diameter 1—12 µm, bentuk spora echinulate atau verrucose, tidak reticulate (Chen 2006). Hifanya berwarna kuning pucat, berdinding tebal, bercabang dan bersepta sederhana (Smits 1994). Chen (2006) menemukan bahwa fungi ini tidak memiliki clamp-connection, namun Wulandari (2002), Tata (2001) dan Santoso (1997) menemukan clamp-connection pada hifa S. columnare yang diteliti.

S. dictyosporum memiliki tubuh buah yang berbentuk setengah bulat atau tidak beraturan, berdiameter 2—4 cm, berwarna coklat kehitaman dan tidak memiliki batang. Spora berwarna coklat tua hingga kehitaman dan memiliki diameter 7—12 µm, bentuk spora reticulate sempurna (Chen 2006).


(31)

13 Pertumbuhan S. dictyosporum relatif lambat. Anyaman hifa yang terbentuk seperti woll dan sulit dilepaskan dari tanah yang menempel, serta berwarna putih kekuningan (Sannon et al. 2009), bersepta dan memiliki clamp-connection (Chen 2006, Wulandari 2002).

Tubuh buah S. sinnamariense dapat ditandai dengan warna kuning yang khas, baik pada gleba hingga hifa yang terbentuk. Bentuk dan ukurannya sangatlah bervariasi, mulai berbentuk sangat bulat hingga berbentuk tidak beraturan. Spora berwarna coklat tua hingga kehitaman dan memiliki diameter 7—12 µm, bentuk spora reticulate sempurna dan hifa memiliki septa dan clamp connection (Chen 2006). Ciri khas lain fungi ini ialah ketika masak akan pecah dengan pola menyerupai bunga yang mekar. Pada umumnya ditemukan bersimbiosis dengan melinjo, dan di berbagai daerah di Indonesia tubuh buahnya yang masih muda (warna glebanya masih putih) dikonsumsi sebagai bahan sayuran (Watling et al. 2002: Wulandari 2002). Menurut Watling (2006) S. sinnmariense adalah species Scleroderma yang paling banyak sinonimnya, yaitu: S. aureum, Mass, 1889, dari New Guinea, S. chyrsasrum Mart, 1954 dari Panama, S. endosatrum Petch, 1919, dari Srilangka, S. flavocrocattum Sacc & de toni, 1887, dari Malaysia, S. lutuem Llyod, 1914, Sewarang, S. pantherinum Matt, 1931 dari Indonesia, S. pisiforme P. Henn, 1859, Camerun.

Tanaman Inang Shorea pinanga

Nama daerah dari S. pinanga ialah Brunai: kawang, meranti langgai bukit; Indonesia: awang boi (Kalimantan Selatan bagian timur), tengkawang biasa, tengkawang rambai (Kalimantan Barat); Malaysia: kawang pinang (Sabah), meranti langgai bukit (Serawak). Penyebarannya meliputi seluruh Borneo. Kayunya digunakan sebagai meranti merah ringan tetapi mempunyai nilai


(32)

ekonomi yang rendah. Buahnya digunakan sebagai tengkawang (Mindawati dan Rustaman 2004).

Pohon S. pinanga berukuran sedang hingga besar, tinggi 50 m, diameter 1,25 m, banir kecil dengan tinggi 1,5 m; daun jorong hingga bulat telur menyempit, berkulit tipis, 11-24 cm x 4-9 cm dengan 10-20 pasang tulang daun sekunder, daun penumpu 6 cm; benang sari 15, kepala sari seperti bola memanjang; stolopodium panjang dan pipih (Sumarhani 2007).

Pada umumnya ditemukan pada tanah lempung dan khususnya pada dataran yang luas hingga ketinggian 200 m dpl. Kerapatannya kayu 305-630 kg/m3 pada kadar air 15%. Species tengkawang menghasilkan lemak yang dikenal dengan green butter, yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarine, malam, sabun dan kosmetik. Biji tengkawang dikenal dengan nama borneo tallow, illipe nuts, dan tengkawang kernels. Produksi biji tengkawang dapat mencapai ± 1,25 ton biji kering/ha/panen (Mindawati dan Rustaman 2004).

Pinus merkusii (Pinus)

P. merkusii termasuk famili Pinaceae (Earle 2008a). Species ini merupakan salah satu species pohon industri yang penting di Indonesia. Di Sumatera dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti di Aceh disebut damar atau sala, di Gayo disebut uyam, di Tapanuli disebut tusam, di Kerinci sugi, di daerah Alas dikenal dengan nama Sulu, sedangkan di Sumatera Barat disebut susugi (Hendi 2000).

Pohon P. merkusii berukuran sedang sampai besar, dapat mencapai ketinggian 70 m dan diameter 140 cm. Pada pohon yang masih muda tajuk berbentuk piramida, kemudian tersebar berbentuk payung pada pohon yang sudah tua. P. merkusii termasuk kayu daun jarum. Jumlah jarum dalam berkas daun ialah dua. Tanaman ini berbuah sepanjang tahun dan buahnya berbentuk kerucut (Earle 2008b).


(33)

15 Species kayu pinus dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas, batang dan kotak korek api, dan kayu pertukangan. Sifat kayu tanaman ini ialah (1) kayunya berwarna kuning kecoklatan; (2) gubalnya berwarna putih; (3) berat species antara 0,42—0,59; dan (4) panjang serat rata-rata 4 mm. Vinir dan getah pinus banyak digunakan untuk bahan terpentin (sebagai bahan pelarut atau minyak pengering, semir sepatu dan logam) dan gondorukem (untuk campuran bahan batik; campuran sabun, cat, vernis kertas dan pestisida) (Kalima 2005).

P. merkusii merupakan salah satu species pinus di daerah tropik yang unik, karena penyebarannya secara alami melintasi khatulistiwa ke arah belahan bumi bagian selatan pada ketinggian 150—900 mdpl, curah hujan lebih dari 1900 mm per tahun dan pada tanah sarang serta baik drainasenya. Tanaman ini secara alami tersebar di Aceh, Tapanuli dan Jambi (Gunung Kerinci) (Yafid dan Jafarsidik 2005). Di luar negeri terdapat di Philipina, Laos, Khmer, Thailand dan Birma. P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian mulai dari beberapa meter dari permukaan laut hingga 1800 m dpl dan pada bermacam-macam jenis tanah dengan bahan induk yang berlainan.

Gnetum gnemon (Melinjo)

Tanaman ini berasal dari Malaysia, kemudian menyebar sampai ke India, Indonesia dan kepulauan Fiji. Genus melinjo terdiri dari 33 species yang tersebar di beberapa wilayah, di Amerika Utara ada tujuh species, Afrika Tropik ada dua species, dan sisanya di Asia Tropik termasuk di Indonesia. Di Indonesia terdapat 14 species. Di Indonesia tanaman ini dapat ditemukan di seluruh propinsi (Sentra Informasi IPTEK 2005).

Syarat tumbuh melinjo tidak terlalu sulit. Tanaman ini dapat tumbuh di lingkungan yang kurang menguntungkan. Melinjo dapat tumbuh di semua jenis tanah; tanah liat, berpasir ataupun lempung, dengan kisaran pH yang cukup luas,


(34)

sedikit asam hingga netral (4—6). Walaupun demikian tanaman ini tampaknya tidak tahan pada lahan-lahan yang tergenang. Di Indonesia melinjo terdapat pada daerah pantai yang berhawa panas sampai pegunungan dengan ketinggian 1200 m dpl.

Pohon melinjo memiliki batang yang ramping dan ditutupi oleh cabang yang banyak. Ketinggiannya dapat mencapai 15 m dengan diameter batang 25 cm. Pertumbuhan cabang tidak pernah melampaui batang pokok sehingga selalu tampak lebih jelas. Sistem percabangan yang demikian ini membuat perawakan pohon melinjo tampak seperti kerucut (Anonim 2007).

Daun melinjo berbentuk elips meruncing pada ujungnya dan bertepi rata dengan panjang antara 7,2 —20 cm dan lebarnya antara 2—10 cm. Daun melinjo berjenis tunggal dengan duduk daun berhadapan. Setiap buah melinjo mengandung satu biji melinjo berbentuk elips, ujung meruncing pendek dengan panjang 1—3,5 cm (Cheng dan Cheng 2007). Biji melinjo membutuhkan waktu beberapa bulan hingga satu tahun untuk berkecambah, hal ini disebabkan embrio yang terbentuk ketika biji gugur belum sempurna (dormansi embrio), perkembangan embrio disempurnakan ketika biji disemaikan.

Kulit batang pohon melinjo dapat dijadikan tali untuk jala atau tali panjat, karena mengandung banyak serat. Kayunya dapat digunakan untuk perkakas dapur, bahkan dapat diproses menjadi kertas yang berkualitas baik. Di Malaysia, kayu melinjo digunakan sebagai bahan bangunan (untuk pembuatan rumah) dan papan kayunya dapat dibuat peti kemas. Manfaat lainnya adalah tanaman ini dapat digunakan sebagai tanaman pelindung di sekitar rumah, tanaman sela di pinggir tegakan hutan, atau tanaman penghijauan di tanah-tanah terbuka dan sebagai tanaman untuk konservasi tanah. Bagian dalam bijinya umum digunakan sebagai sayuran atau dibuat emping. Bahkan saat ini juga banyak dibuat keripik dari kulit buah melinjo.


(35)

17

Perkembangan Penelitian Scleroderma Pada Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae

Menurut Alexander dan Selosse (2009) penelitian mengenai mikoriza pada hutan tropis masih sangat sedikit, hal ini didasarkan pada hasil penelusuran pada jurnal ilmiah sejak tahun 2000 hingga 2008, dari sekitar 5600 artikel ilmiah yang diterbitkan hanya sekitar 170 artikel yang membahas tentang mikoriza pada hutan tropis (Gambar 4).

Tahun

Gambar 4 Jumlah makalah jurnal dari tahun 2000 – 2008 yang berhubungan dengan mikoriza di hutan tropis (kata kunci pencarian: mycorrhiza & tropical & forest), dibandingkan dengan total literatur tentang mikoriza (kata kunci pencarian: mycorrhiza) (Alexander dan Selosse 2009).

Perkembangan penelitian fungi ektomikoriza Scleroderma pada Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae disarikan pada Tabel 2. Sebagian besar penelitian yang dilakukan pada Dipterocarpaceae pada genus Shorea. Belum banyak artikel yang membahas tentang P. merkusii dan sangat sedikit tentang G. gnemon.


(36)

Tabel 2 Daftar penelitian fungi ektomikoriza Scleroderma spp. pada berbagai tanaman inang dari Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae

Famili Tanaman inang Scleroderma Sumber pustaka

Gnetaceae G. gnemon S. sinnamariense Suhardi 1997 G. gnemon S. columnare

S. dictyosporum S. sinnamariense

Wulandari 2002

Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae S. dictyosporum S. verrucusom

Sannon et al. 2009 H. odorata

S. leprosula

Scleroderma sp. Lee et al. 2008 H. odorata,

V. sumatrana S. stenoptera S. pinanga S. compressa

S. columnare Santoso 1988;

Santoso 1991 S. affinis S. congestifora S. corfolia S. gardneli S. zaelanica

Scleroderma sp. Tenakoon et al. 2005

S. javanica S. columnare S. dictyosporum

Prameswari 2004

S. johorensis S. leprosula

S. columnare Omon 2006 Omon 2008

S. leprosula S. columnare Omon 2003 S. leprosula S. columnare Norvana 1997 S. leprosula Scleroderma spp. Lee et al. 1997 S. mecistopteryx Scleroderma sp. Supriyanto et al. 1993 S. pinanga Scleroderma sp. Turjaman et al. 2005 S. selanica

S. stenopter S. pinanga S. palembanica

S. columnare Scleroderma sp.

Santoso dan Turjaman 2003

S. selanica S. columnare Darusman 1995 S. selanica

S. leprosula

S. dictyosporum Supriyanto 1996 S. selanica S. columnare Prameswari 2005

S. seminis S. columnare Tata dan Prameswari 2004 S. seminis S. columnare Turjaman et al. 2006 S. seminis

S. mecistopteryx S. pinanga

S. columnare Riniarti 2002

Pinaceae P merkusii S. citrinum Sugiarti et al. 2007

Darwo dan Sugiarti 2008a Darwo dan Sugiarti 2008b


(37)

19 Tabel 2 (Lanjutan)

Famili Tanaman inang Scleroderma Sumber pustaka

Pinaceae P. patula S. citrinum Mohan et al. 1993 P. pinaster Scleroderma sp. Nieto & Carbone 2009

Pera &Alvarez 1995

P. pinaster S. citrinum Parlade et al. 1996 P. pinea Scleroderma sp. Rincon et al. 1999 P. pinea S. verrucosum Rincon et al. 2001 P. radiate S. citrinum Dunabeitia et al. 2004 P. radiata

P. ellioti

Scleroderma spp. Chen et al. 2006 P. taedae Scleroderma sp. Giachini et al. 2004

Penelitian yang terbanyak bertujuan untuk melihat kompatibilitas dan pengaruh inokulasi fungi ektomikoriza pada tanaman inang dengan berbagai macam inokulum yang digunakan, seperti inokulum suspensi spora (Santoso 1988; Santoso 1991 ; Chen et al. 2006; Tata dan Prameswari 2004; Turjaman et al. 2005; Turjaman et al. 2006; Prameswari 2005; Prameswari 2004;Norvana 1997; Sugiarti et al. 2007), Tablet spora (Omon 2006; Omon 2008; Riniarti 2002), miselium (Supriyanto et al. 1993; Darusman 1995; Lee et al. 2008; Wulandari 2002; Rincon et al. 1999, 2001). Hasil penelitian secara umum menunjukkan kesesuaian antara tanaman inang yang diujicobakan dengan fungi ektomikoriza Scleroderma spp. Hasil lainnya adalah kemampuan fungi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman inang dan juga membantu penyerapan unsur hara bagi tanaman inang.

Sebagian lainnya adalah hasil eksplorasi di bawah tegakan Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae (Santoso dan Turjaman 2003, Suhardi 1997, Sugiarti et al. 2007, Darwo dan Sugiarti 2008a, 2008b; Tata et al. 2010; Tennakoon et al. 2005; Duñabeitia et al. 2004; Parlade et al. 1996; Pera dan Alvarez 1995; Mohan et al. 1993). Hasil yang diperoleh umumnya menunjukkan bahwa satu species tanaman inang dapat bersimbiosis dengan berbagai species fungi ektomikoriza dari berbagai genus dan salah satunya ialah Scleroderma.


(38)

Beberapa penelitian tentang upaya pengembangan Scleroderma spp. secara in vitro juga telah dilakukan. Media yang digunakan adalah MMN (Modified Melin Norkrans) padat dan cair (Supriyanto dan Irawan 1997; Tata 2003; Ba et al. 1999; Sannon et al. 2009; Diedhiou et al. 2004; Ray et al. 2005; Zeng et al. 2003; Zadworny et al. 2007)

Selain dengan Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae, Scleroderma juga ditemukan banyak bersimbiosis dengan tanaman dari famili Fagaceae, seperti pada Eucalypyus globulus dan E. urophylla (Brundrett et al. 2005; Chen et al. 2007), E. tereticornis (Reddy dan Satyanarayana 1998), Quercus garryana (Valentine et al. 2004), Caesalpiniaceae, yaitu pada Afzelia africana (Bâ et al. 1999; Diedhiou et al. 2004), Uapaca bojeri L. (Ramanankierana et al. 2007), Betulaceae yaitu pada Alnus (Moreau et al. 2006), yang berada di hutan subtropis.

Dari hasil-hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Scleroderma merupakan fungi ektomikoriza yang potensial untuk diaplikasikan, berkaitan dengan kemudahan dalam memperoleh inokulum spora dan cukup banyaknya informasi tentang pembiakan miseliumnya pada media kultur. Scleroderma juga telah dibuktikan memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan pada Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae (Tabel 2). Namun demikian, masih terdapat berbagai bidang yang membutuhkan penelitian lebih lanjut, seperti interaksi antar fungi ektomikoriza pada tanaman inang yang sama, yang berkaitan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi ektomikoriza sehubungan dengan upaya peningkatan pertumbuhan dan ketahanan hidup tanaman inangnya. Spesifisitas fungi ektomikoriza terhadap tanaman inang dari famili yang berbeda juga belum banyak diteliti. Pengetahuan tentang kompatibilitas dan kesesuaian antara fungi ektomikoriza dengan tanaman inang tertentu akan memberikan pengetahuan tentang metode aplikasi inokulum yang tepat untuk diaplikasikan


(39)

21 pada hutan tanaman ataupun pada kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan yang saat ini semakin gencar dilakukan oleh pemerintah.

Pengetahuan tentang hubungan species-species fungi ektomikoriza dengan tanaman inang akan memberikan informasi penting untuk penelitian-penelitian di bidang silvikultur dan ekologi, serta dalam pengambilan keputusan manajemen ekosistem hutan, informasi-informasi ini dibutuhkan untuk memahami peranan dan fungsi fungi ektomikoriza bagi tanaman inang.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander I, Selosse M-A. 2009. Mycorrhizas in tropical forests: a neglected research imperative. New Phytol 182:14–16.

Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303. Anonim. 2006. Mushroom in Asia. www.edinburgh.ceh.ac.uk/tropica/

vietmushManintro.pdf. [4 April 2006].

Anonim. 2007. Gnetum gnemon. www.wordagroforestrycentre.org/sea/ PRODUCT/FDbases/AF/asp/Spesciesinfo.asp?SPID=1751 [4 November 2007].

Bâ AM, Sanon KB, Duponnois R, Dexheimer J. 1999. Growth response of Afzeli africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrient-deficient soil. Mycorrhiza 9:91–95.

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research.

Brundrett M, Malajczuk N, Mingqin G, Daping Xu, Snelling S, Dell B. 2005. Nursery inoculation of Eucalyptus seedlings in Western Australia and Southern China using spore and mycelia inoculum of diverse ectomycorrhizal fungi from different climatic regions. For Ecol Man 209:163–205.

Brunner I. 2001. Ectomycorrhizas: Their role in forest ecosystem under the impact of acidifying pollutants. Persp Plant Ecol Evol System 4:13–27.


(40)

Chen YL, Kang LH, Malajczuk N, Dell B. 2006. Selecting ectomycorrhizal fungi for inoculating plantations in south China: effect of Scleroderma on colonization and growth of exotic Eucalyptus globulus, E. urophylla, Pinus elliottii, and P. radiata. Mycorrhiza 16:251–259.

Chen YL, Liu S, Dell B. 2007. Mycorrhizal status of Eucalyptus plantations in south China and implication for management. Mycorrhiza 17:527–535. Cheng CY, Cheng WC. 2007. Gnetum, Flora of China. Acta Phytotax Sin

13:88–90.

Darusman LK. 1995. Telaah Biokimia Proses Asosiasi Shorea selanica dan Scleroderma columnare [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Darwo, Sugiarti. 2008a. Beberapa jenis cendawan ektomikoriza di kawasan hutan Sipirok, Tongkoh, dan Aek Nauli, Sumatera Utara. J Pen Hut & KA 5:157–173.

Darwo, Sugiarti. 2008b. Pengaruh dosis serbuk spora cendawan Scleroderma citrinum Persoon dan komposisi media terhadap pertumbuhan tusam di persemaian. J Pen Hut & KA 5:461-472.

Dickinson TA, Hutchison LJ. 1997. Numerical taxonomic methods, cultural characters, and the systematics of ectomycorrhizal agarics, boletes and gasteromycetes. Mycol Res 101:477–492.

Diedhiou AG, Verpillot F, Gueye O, Dreyfus B, Duponnois R, Bâ AM. 2004. Do concentrations of glucose and fungal inoculum influence the competitiveness of two early-stage ectomycorrhizal fungi in Afzelia africana seedlings? For Ecol And Man 203:187–194.

Diouf D, Diop TA, Ndoye I. 2003. Actinorhizal, mycorrhizal, and rhizobial symbioses: how much do we know? Af J Biotech 2:1–7.

Duñabeitia MK, Hormilla S, Garcia-Plazaola JI, Txarterina K, Arteche U, Becerril JM. 2004. Differential responses of three fungal species to environmental factors and their role in the mycorrhization of Pinus radiata D. Don. Mycorrhiza 14:11–18.

Earle CJ. 2008a. Pinus, The Gymnosperm Databases. www.conifers.Org/pi/pin/ index.html. [12 November 2008]

Earle CJ. 2008b. Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese 1845. www. Conifers. Org/pi/pin/merkusii.htm [12 November 2008].

Giachini AJ, Souza LAB, Oliveira VL. 2004. Species richness and seasonal abundance of ectomycorrhizal fungi in plantations of Eucalyptus dunnii and Pinus taeda in southern Brazil. Mycorrhiza 14:375–381.


(41)

23 Giomaro G, Sisti D, Zambonelli A, Amicucci A, Cecchini M, Comandini O,

Stocchi V. 2002. Comparative study and molecular characterization of ectomycorrhizas in Tilia americana and Quercus pubescens with Tuber brumale. FEMS Microbiol Letters 216:9–14.

Hall IA, Yun W, Amicucci A. 2003. Cultivation of edible ectomycorrhizal mushrooms. Trends in Biotechnol 21:433–438.

Hendi. 2000. Kajian Tehnik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci. www.dephut.go.id/files/Hendi.pdf [12 November 2008]

Kalima T. 2005. Mengenal panorama alam Pinus merkusii Jungh de Vries di Sumatera Utara. Warta Pusat Litbang dan Konservasi Alam 11:6–7. Kasuya T. Guzmán G, Ramirez-Guillèn F, Kato T. 2002. Scleroderma laeve

(Gasteromycetes, Sclerodermatales), new to Japan. Mycoscience 43:475– 476.

Koide RT, Shumway DL, Xu B, Sharda JN. 2007. On temporal partitioning of a community of ectomycorrhizal fungi. New Phytol 174:420–429.

Lee LS, Alexander IJ, Watling R. 1997. Ectomycorrhizas and putative ectomycorrhizal fungi of Shorea leprosula Miq. (Dipterocarpaceae). Mycorrhiza 7:63–81.

Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J of Trop For Sci 20:237–247.

Luo Z-B, Janz D, Jiang X, Göbel C, Wildhagen H, Tan Y, Rennenberg H, Feussner I, Polle A. 2009. Upgrading root physiology for stress tolerance by ectomycorrhizas: Insights from metabolite and transcriptional profiling into reprogramming for stress anticipation. Plant Physiol 151:1902–1917. Martín-Pinto P, Pajares J, Díez J. 2006. In vitro effects of four ectomycorrhizal

fungi, Boletus edulis, Rhizopogon roseolus, Laccaria laccata and Lactarius deliciosus on Fusarium damping off in Pinus nigra seedlings. New Forests 32:323–334.

Mindawati N, Rustaman B. 2004. Mengenal Tengkawang. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam 1:9–10.

Mohan V, Natrajan K, Ingleby K. 1993. Anatomical studies on ectomycorrhizas. III The ectomycorrhizas produced by Rhizopogon luteolus and Scleroderma citrinum on Pinus patula. Mycorrhiza 3:51–56.

Moreau P-A, Pintner U, Gardes M. 2006. Phylogeny of the ectomycorrhizal mushroom genus Alnicola (Basidiomycota, Cortinariaceae) based on rDNA sequences with special emphasis on host specificity and morphological characters. Mol Phylogen Evol 38:794–807.


(42)

Muchovej RM. 2002. Importance of Mycorrhizae for Agricultural Crops. http:edis.ifas.ufl.edu/BODY_AGI16 [10 Maret 2006].

Niemi K, Häggman H, Sarjala T. 2002a. Effects of exogenous diamines on the interaction between ectomycorrhizal fungi and adventitious root formation in Scots pine in vitro. Tree Physiol 22:373–381.

Niemi K, Vuorinen T, Ernstsen A, Häggman H. 2002b. Ectomycorrhizal fungi and exogenous auxins influence root and mycorrhiza formation of Scots pine hypocotyl cuttings in vitro. Tree Physiol 22:1231–1239.

Nieto MP, Carbone SS. 2009. Characterization of juvenile maritime pine (Pinus pinaster Ait.) ectomycorrhizal fungal community using morphotyping, direct sequencing and fruitbodies sampling. Mycorrhiza 19:91–98.

Norvana UI. 1997. Peranan Sleroderma columnare dan media tumbuh bahan organik terhadap pertumbuhan stek Shorea leprosula Miq [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Omon RM. 2003. Pengaruh tablet mikoriza terhadap persen akar bermikoriza stek Shorea leprosula Miq. di rumah kaca Wanariset Semboja, Kalimantan Timur. Bul Pen Hutan 16: 23—30.

Omon RM. 2006. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek Shorea johorensis Foxw. Di rumah kaca. J Pen Hut & KA 3:83–93.

Omon RM. 2008. Pengaruh dosis tablet mikoriza terhadap pertumbuhan dua jenis meranti merah asal benih dan stek di HPH PT. ITCIKU, Balikpapan. Kalimantan Timur. Info Hutan 5:329–35.

Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forests of South Cameroon. Mycorrhiza 12:13–17.

Parladé J, Per J, Alvarez IF. 1996. Inoculation of containerized Pseudotsuga menziesii and Pinus pinaster seedlings with spores of five species of ectomycorrhizal fungi. Mycorhiza 6:237–245.

Peay KG, Kennedy PG, Davies SJ, Tan S, Bruns TD. 2009. Potential link between plant and fungal distributions in a dipterocarp rainforest: Community and phylogenetic structure of tropical ectomycorrhizal fungi across a plant and soil ecotone. New Phytol doi: 10.1111/j.1469-8137.2009.03075.x.

Pera J, Alvarez IF. 1995. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinaster. Mycorrhiza 5:193–200.


(43)

25 Peterson RL, Massicotte HB, Melville LH. 2004. Mycorrhiza: Anatomy and Cell

Biology. Ottawa: NRC Research Press.

Prameswari D, Tata MHL. 2004. Effect of planting media on the growth of Shorea pinanga Scheff seedlings. J For Res 1:25–30.

Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi cendawan ektomikoriza dan media tumbuh terhadap pertumbuhan Shorea javanica K & V. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Prameswari D. 2005. Aplikasi beberapa cendawan ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea selanica. J Hut Trop 1:13–18. Querejeta JI, Egerton-Warburton LM, Allen MF. 2003. Direct nocturnal water

transfer from oaks to their mycorrhizal symbionts during severe soil drying. Oecologia 134:55–64.

Ramanankierana N, Ducousso M, Rakotoarimanga N, Prin Y, Thioulouse J, Randrianjohany E, Ramaroson L, Kisa M, Galiana A, Duponnois R. 2007. Arbuscular mycorrhizas and ectomycorrhizas of Uapaca bojeri L. (Euphorbiaceae): sporophore diversity, patterns of root colonization, and effects on seedling growth and soil microbial catabolic diversity. Mycorrhiza 17:195–208.

Ray P, Tiwari R, Reddy UG, Adholeya A. 2005. Detecting the heavy metal tolerance level in ectomycorrhizal fungi in vitro. World J Microbiol Biotech 21:309–315.

Reddy MS, Satyanarayana T. 1998. Inoculation of micropropagated plantlets of Eucalyptus tereticornis with ectomycorrhizal fungi. New Forests 16:273– 279.

Rinaldi AC, Comandini O, Kuyper TW. 2008. Ectomycorhizal fungal diversity: Separating wheat from the chaff. Fungal Diversity 33:1–45.

Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 1999. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinea L. in northeastern Spain. Mycorrhiza 8:271–276.

Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 2001. Inoculation of containerized Pinus pinea L. seedlings with seven ectomycorrhizal fungi. Mycorrhiza 11:265–271. Riniarti M, Setiadi Y, Sopandie D. 2005. Aplikasi asam organik dan inokulasi

ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea pinanga. J Hut Trop 1:25–29.

Riniarti M. 2002. Perkembangan kolonisasi ektomikoriza dan pertumbuhan semai Dipterocarpaceae dengan pemberian asam oksalat dan asam humat serta inokulasi ektomikoriza [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(44)

Sanon KB, AM Bâ, Delaruelle C, Duponnois R, Martin F. 2009. Morphological and molecular analysis in Scleroderma species associated with some Caesalpinioid legumes, Dipterocarpaceae, and Phylanthaceae trees in southern Burkina Faso. Mycorrhiza 19:571–584.

Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam: Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono, Mardiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang, 20 Sep 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hlm 71–80.

Santoso E. 1988. Pengaruh mikoriza terhadap diameter batang dan bobot kering anakan Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 504:11–21.

Santoso E. 1991. Pengaruh beberapa fungi mikoriza terhadap penyerapan unsur hara pada 5 jenis Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 532:11–18.

Santoso E. 1997. Hubungan perkembangan ektomikoriza dengan populasi jasad renik dalam rhizosfer dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan Eucalytus pellita dan Eucalyptus urophylla [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santoso E. Turjaman M. 2003. Tipe-tipe Struktur Ektomikoriza Pada Shorea selanica, S. stenoptera, S. pinanga, dan S. palembanica (Dipetocarpaceae) di Hutan Penelitian Haurbentes Jawa Barat. Bul Pen Hutan 636:33–37. Satomura T, Hasimoto Y, Kinoshita A, Horikoshi T. 2006. Methods to study the

role of ectomycorrhizal fungi in forest carbon cycling: Introduction to the direct methods to qualify the fungal content in ectomycorrhizal fin roots. Root Research 15:119–124.

Sentra Informasi IPTEK.2005. Melinjo. www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/ index.php?id=270 - 20k [20 Maret 2006].

Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press.

Smits WTM. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae and Regeneration. Wageningen: The Tropenbos Foundation.

Sugiarti, Darwo, Panjaitan DJ. 2007. Efektivitas bentuk inokulum cendawan Scleroderma citrinum Persoon dalam meningkatkan pertumbuhan semai Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. J Pen Hut & KA 4:63–74.

Suhardi. 1997. Inventory, exploration, and identification of mycorrhizae on forest plantation. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 17–23.


(45)

27 Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan konservasi jenis meranti merah penghasil biji tengkawang (Shorea stenoptera Burk dan Shorea pinanga Scheff). Info Hutan 4:177–185.

Supriyanto, Irawan US. 1997. Inoculation techniques of ectomycorrhizal. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 36–40.

Supriyanto, Setiawan I, Omon M. 1993. Effect of Scleroderma sp. on the growth of Shorea mecistopteryx Ridl. seedlings. Prosiding: Bio-Refor Proceeding of Yogyakarta Workshop. Yogyakarta 20–23 September 1993. Hlm 186– 188.

Tata HL, van Noordwijk M, Summerbell R, Werger MJA. 2010. Limited response to nursery-stage mycorrhiza inoculation of Shorea seedlings planted in rubber agroforest in Jambi, Indonesia. New Forests 39:51–74. Tata MHL, Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi tablet spora ektomikoriza

Scleroderma columnare terhadap pertumbuhan Shorea seminis dan efektivitasnya pada berbagai dosis arang. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM, editor. Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza; Bandung, 16 Sep 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia – Jawa Barat bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran Bandung. Hlm 163-170.

Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza dipterocarpaceae [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tata MHL. 2003. Nutrient acquisition of ectomycorrhizae fungus Scleroderma columnare. Presented at the Open Science Meeting Indonesia and Netherlands: Back to the Future. Jakarta. Indonesia, 1–2 Sep 2003.

Tennakoon MMD, Gunatilleke IAUN, Hafeel KM, Seneviratne G, Gunatilleke CVS, Ashton PMS. 2005. Ectomycorrhizal colonization and seedling growth of Shorea (Dipterocarpaceae) species in simulated shade environments of a Sri Lankan rain forest. For Ecol and Man 208:399–405. Turjaman M, Irianto RSB, Santoso E. 2002. Teknik inokulasi dan produksi

massal cendawan ektomikoriza. Info Hutan 152:1–16.

Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30:67–73.


(46)

Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249. Valentine LL, Fiedler TL, Hart AN, Petersen CA, Berninghausen HK, Southworth

D. 2004. Diversity of ectomycorrhizas associated with Quercus garryana in southern Oregon. Can J Bot 82:123–135.

Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The Occurrence and Distribution of Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South East Asian Rain Forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes. New York: CABI Publishing. Hlm 116—203.

Watling R. 2006. The sclerodermatoid fungi. Mycoscience 47:18–24.

Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can J Bot 82:1198–1227.

Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yafid B, Jafarsidik YS. 2005. Permudaan Pinus merkusii Jungh et de Vriese

galur kerinci, potensi dan komposisi tegakan di kawasan hutan Bukit Tapan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Info Hutan 2:145–152. Yamada A, Kobayashi H, Ogura T, Fukada M. 2007. Sustainable fruit body

formation of edible mycorrhizal Tricholoma spesies for 3 years in open pot culture with pine seedling hosts. Mycoscience 48:104–108.

Yamada A, Ogura T, Ohmasa M. 2001. Cultivation of mushrooms of ectomycorrhizal fungi associated with Pinus densyflora by in vitro mycorrhizal synthesis. Mycorrhiza 11:67–81.

Zadworny M, Smolinski DJ, Idzikowska K, Werner A. 2007. Ultrastructural and cytochemical aspects of the interaction between the ectomycorrhizal fungus Laccaria laccata and the saprotrophic fungi, Trichoderma harzianum and T. virens. Biocontrols Sci and Technol 17:921–932.

Zeller SM. 1948. Note on certain Gasteromycetes including two new orders. Mycologia 40:639–668.

Zeng RS, Mallik AU, Setliff ED. 2003. Growth stimulation of ectomycorrhizal fungi by root exudates of Brassicaceae plants: Role of degraded compounds of indole glucosinolates. J Chem Ecol 29:1337–1355.


(47)

III. UJI KOMPATIBILITAS TIGA SPESIES FUNGI EKTOMIKORIZA Scleroderma spp SECARA IN VITRO

(Compatibility Test of Three ectomycorrhizal Fungi Scleroderma spp. Under In Vitro Condition)

ABSTRAK

Interaksi antar fungi ektomikoriza dalam mengkolonisasi akar merupakan bagian penting yang harus dipelajari untuk dapat memahami pola pembentukan mikoriza pada akar. Sebuah percobaan secara in vitro di laboratorium telah dilakukan untuk mengidentifikasi pola pertumbuhan miselium fungi ektomikoriza. Tiga spesies Scleroderma spp. dikulturkan pada media MMN (Modified Melin Norkrans). Masing-masing fungi dikulturkan secara tunggal, berpasangan, dan tripel. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan dan 8 ulangan, pengamatan dilakukan selama lima minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa diameter pertumbuhan koloni S. sinnamariense dua kali lebih cepat daripada S. columnare dan S. dictyosporum. Ketiga fungi ektomikoriza dapat berkembang secara bersama-sama, tidak terdapat antagonisme di antara ketiganya. Kata kunci: fungi ektomikoriza, kompatibilitas, miselium, Scleroderma

ABSTRACT

Understanding on interaction among ectomycorrhizal fungus would led the knowledge of roots colonization. We conducted an in vitro experiment in laboratory condition to identify the compatibility of mycelia among the fungus. Three spesies Scleroderma spp. were cultured on solid Modified Melin Norkrans (MMN) medium. Each fungus was cultured as single, pairs and triple. A completed randomized design were used with 7 treatments and 8 replicates Petri dishes. We found that the radial growth of S. sinnamariense mycelia was two times faster than S. columnare and S. dictyosporum. There was no antagonism pattern among mycelium.

Key words: compatibility, ectomycorrhizal fungi, mycelia, Scleroderma

PENDAHULUAN

Beberapa tanaman diketahui memiliki spesifisitas fungi ektomikoriza yang rendah, sehingga dapat membentuk simbiosis dengan berbagai spesies fungi ektomikoriza (Richard et al. 2004). Hal ini tentunya menyebabkan terjadinya interaksi antar fungi ektomikoriza, salah satunya adalah kompetisi, yang berkaitan dengan alokasi sumber karbon dari tanaman inang (Hedh et al. 2009).


(48)

Kompetisi didefinisikan sebagai pengaruh negatif suatu spesies terhadap spesies lainnya yang berhubungan dengan alokasi sumberdaya, atau pembatasan akses terhadap sumberdaya yang ada (Keddy 2007). Adanya kompetisi akan menyebabkan terjadinya pembagian niche (Kennedy et al. 2007a), yang akan dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti kelembaban tanah (Kennedy et al. 2007b), kedalaman tanah (Dickie et al. 2004), status nutrisi (Püttsepp et al. 2004), dan sebagainya.

Hasil penelitian Kennedy et al. (2009) menunjukkan bahwa waktu pembentukan kolonisasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kompetisi antar fungi ektomikoriza. Hal ini berhubungan dengan kecepatan perkecambahan spora fungi ektomikoriza (Smith dan Read 2008), semakin cepat spora berkecambah maka kemungkinan untuk mengkolonisasi akar akan semakin besar. Fungi ektomikoriza yang lebih dulu menginfeksi akar umumnya akan menjadi spesies fungi ektomikoriza yang dominan (Kennedy dan Bruns 2005).

Pada kondisi alam, kompetisi yang terjadi berada pada tingkat hifa dan miselium (Daza et al. 2006). Miselium merupakan bagian yang paling dinamis dan berfungsi luas dalam membentuk simbiosis. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan miselium pada akar tanaman akan menentukan besarnya persen kolonisasi yang dapat dibentuk oleh fungi (Leake et al. 2004), karena 80% dari biomassa fungi ektomikoriza adalah ekstraradikal miselium (Wallander et al. 2001). Upaya mempelajari perilaku miselium dapat dilakukan secara in vitro (Zeng et al. 2003), kompetisi dapat dijabarkan dengan melihat adanya sifat antagonis pada miselium tiap spesies fungi ektomikoriza yang dibiakkan, untuk memahami perilaku miselium di alam.

Tujuan penelitian ini ialah memperoleh informasi tentang (1) pertumbuhan S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense secara in vitro dan (2) interaksi antar spesies fungi ektomikoriza secara in vitro.


(49)

31

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2008 hingga November 2009, di Laboratorium Silvikultur Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.

Bahan dan Metode Penyiapan media dan miselium fungi

Media yang digunakan untuk menumbuhkan fungi ektomikoriza secara in vitro ialah Modified Melin Norkrans (MMN) (Lampiran 1). Miselia yang dikembangkan berasal dari tubuh buah Scleroderma columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense. Tubuh buah yang digunakan ialah tubuh buah yang masih muda (ditandai dengan tubuh buah yang masih keras dan gleba yang masih kompak). Tubuh buah dikumpulkan dari beberapa lokasi di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, pada bulan Mei 2008. Bagian tubuh buah yang digunakan ialah bagian gleba, dicungkil dengan menggunakan jarum oase dan diletakkan di tengah-tengah media MMN. Miselium yang dikembangkan pada media MMN selama empat minggu digunakan sebagai bahan penelitian (Gambar 5). Semua proses pengembangan miselia dilakukan dalam keadaan aseptik.

Uji in vitro pada media agar

Di tengah-tengah cawan Petri yang telah berisi media MMN diinokulasikan inokulum fungi ektomikoriza yang berdiameter 1 cm (Gambar 6) selanjutnya cawan Petri diletakkan di dalam inkubator dengan suhu 26—28oC. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap minggu. Kombinasi perlakuan tertera pada Tabel 3. Dari pertumbuhannya di media kultur diharapkan dapat diperoleh data mengenai ruang tumbuh ketiga spesies Scleroderma yang digunakan.


(50)

Gambar 5 Bahan yang digunakan dalam penyiapan miselium fungi: bagian atas (a) tubuh buah dan bagian bawah (b) isolat hasil pembiakan tubuh buah; (1) S. sinnamariense, (2) S. columnare, dan (3) S. dictyosporum.

Gambar 6 Penempatan inokulum miselium fungi ektomikoriza pada cawan Petri: (a) perlakuan tripel (CDS); (b) perlakuan ganda (CD, CS, dan DS); (c) perlakuan tunggal (C, D, dan S).

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati ialah (1) awal pertumbuhan miselium (2) diameter pertumbuhan koloni (Gambar 7), dan (3) ruang tumbuh. Rancangan yang

c

a b

1 mm

1 cm

1 cm 1 cm

1 a 1 b

2 a 3 a

2 b 3 b

1 mm 1 mm


(51)

33 digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, dengan tujuh perlakuan dan delapan ulangan sehingga jumlah satuan percobaannya adalah 56.

Tabel 3 Rincian perlakuan yang dilakukan secara in vitro

No Perlakuan Ulangan

Fungi Ektomikoriza

1 S. columnare + S. dictyosporum +S. sinnamariense 8 2 S. columnare + S. dictyosporum 8 3 S. columnare + S. sinnamariense 8 4 S. dictyosporum + S. sinnamariense 8

5 S. columnare 8

6 S. dictyosporum 8

7 S. sinnamariense 8

Gambar 7 Perhitungan diameter pertumbuhan koloni dalam cawan Petri dengan menggunakan delapan arah mata angin.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Awal pertumbuhan miselium Scleroderma spp. yang dibiakkan dengan media MMN menggambarkan kecepatan pertumbuhan masing-masing spesies. S. sinnamariense merupakan spesies yang paling cepat tumbuh. Pada hari kelima miselium S. sinnamariense mulai tumbuh. Sementara S. columnare dan S. dictyosporum rata-rata baru mulai tumbuh di hari kedelapan setelah penanaman dalam cawan Petri.

Hal ini tampaknya berpengaruh pada diameter pertumbuhan koloni masing-masing spesies fungi (Gambar 8). S. sinnamariense merupakan fungi yang paling


(52)

pesat diameter pertumbuhan koloninya baik ketika dibiakkan sendiri maupun saat berpasangan. Kecepatan pertumbuhan S. sinnamariense dapat mencapai dua kali lipat dari diameter pertumbuhan koloni S. columnare dan S. dictyosporum. Sedangkan diameter pertumbuhan koloni S. dictyosporum sangat lambat, pertumbuhan radial baru dapat diukur pada minggu ketiga setelah penanaman.

Perbedaan kecepatan diameter pertumbuhan koloni pada ketiga fungi Scleroderma spp. ini tidak menyebabkan timbulnya kompetisi antar fungi tersebut. Hal ini ditandai dengan tidak adanya barrier saat miselium ketiganya tumbuh bersama dalam satu cawan Petri (Gambar 9), yang menunjukkan tidak adanya sifat antagonisme pada ketiga spesies Scleroderma. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan hifa yang tumbuh pada bagian yang bertumpukan antara dua dan tiga fungi tidak ada lisis dan kerusakan pada hifa-hifa fungi yang ada.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

c d s c d c s d s c d s

C D S CD CS DS CDS

(mm)

Minggu ke‐5 Minggu ke‐4 Minggu ke‐3 Minggu ke‐2 Minggu ke‐1

Keterangan:

C : Perlakuan tunggal S. columnare c : Miselium S. columnare

D :Perlakuan tunggal S. dictyosporum d : MiseliumS. dictyosporum

S :Perlakuan tunggal S. sinnamariense s : MiseliumS. sinnamariense

CD :Perlakuan ganda S. columnare + S. dictyosporum

CS :Perlakuan ganda S. columnare + S. sinnamariense

DS :Perlakuan ganda S. dictyosporum + S. sinnamariense

CDS :Perlakuan triple S. columnare + S. dictyosporum + S. sinnamariense

Gambar 8 Diameter pertumbuhan koloni tiga spesies fungi Scleroderma dengan beberapa perlakuan pada setiap minggu pengamatan.


(1)

(2)

(3)

101

Lampiran 1. Komposisi media MMN (Marx 1969)

No Bahan

Jumlah

1 Malt

extract

3,0

g

2 d-Glukosa

10,0

g

3 (NH4)2HPO4 0.25

g

4 KH2PO4 0,5

g

5 MgSO4.7H2O 0,15

g

6 CaCl2 0,05

g

7 FeCl3 1,2

ml

(1%)

8 NaCl

0,025

g

9

Thiamin HCl

100 µg

10 pH

5,5—5,7


(4)

Lampiran 2. Analisis histologi akar berektomikoriza (Sass 1958)

FIKSASI DALAM FAA

Pematian jaringan tanaman tanpa

merusak struktur yang dilakukan

dengan merendam material (akar) ke

dalam larutan FAA (formaldehyde

acetic acid alcohol) dengan

komposisi 50 ml asam asetat 50 ml

formalin dan 900 ml alkohol 95 %

untuk setiap 1 liter larutan.

Perendaman dilakukan selama 12 –

24 jam

DEHIDRASI

Pengeluaran air dari dalam jaringan

tanaman agar paraffin dapat masuk

ke dalam jaringan tanaman dengan

tahapan sebagai berikut:

-

alkohol 20 % : 3 x 5 menit

-

alkohol 40 % : 3 x 5 menit

-

alkohol 60 % : 3 x 5 menit

-

alkohol 80 % : 3 x 5 menit

-

alkohol 95 % : 3 x 5 menit

-

alkohol 100 % : 3 x 5 menit

PARAFINASI

Proses pemasukan paraffin ke dalam

jaringan tanaman dengan tahapan

sebagai berikut:

Xylol : Parafin

cair

3

:

1

: 3 x 5 menit

2

:

2

: 3 x 5 menit

1

:

3

: 3 x 5 menit

0 : 4 :

24

jam

Proses dilakukan dalam tabung gelas

di dalam oven dengan suhu 55

o

C

PRAPARAFINASI

Penghilangan alkohol dari dalam

jaringan agar jaringan dapat

dimasuki larutan paraffin.

Dilakukan dengan mencelupkan

material ke dalam larutan alkohol

100 % dan xylol dengan tahapan

sebagai berikut:

Alkohol : Xylol

4

:

0

: 3 x 5 menit

3

:

1

: 3 x 5 menit

2

:

2

: 3 x 5 menit

1

:

3

: 3 x 5 menit

0

:

4

: 3 x 5 menit

BLOCKING

Pencetakan paraffin yang

mengandung material ke dalam

bentuk balok

EMBEDING/

PEMOTONGAN AKAR

Pemotongan menggunakan mikroton

dengan ukuran 5 – 10 µm

PENGAMATAN AKAR

PEWARNAAN AKAR


(5)

103

Lampiran 3. Teknik pewarnaan akar berektomikoriza (Sass 1958)

Xylol

Xylol

Xylol : Alkohol = 1 : 1

Xylol : Alkohol = 1 : 1

Alkohol 100 %

Alkohol 100 %

Alkohol 95 %

Alkohol 95 %

Alkohol 70 %

Alkohol 70 %

Alkohol 50 %

Alkohol 50 %

Alkohol 30 %

Alkohol 30 %

Aquades

Aquades

Safranin 0,5 %

Alcian blue 1 %

Aquades

Keterangan: perendaman masing-masing selama 5 menit, kecuali pada larutan

pewarna perendaman dilakukan selama 15 menit


(6)

Lampiran 4. Hasil analisis korelasi antara berat kering total tanaman dengan

persentase kolonisasi pada tanaman

Shorea pinanga

,

Pinus

merkusii

, dan

Gnetum gnemon

.

CORRELATION (Shorea pinanga) 2010-01-21 10:36:42

Using: \KorelasiPinanga.dt X1 Column: 8) SP-BKT X2 Column: 10) SP-Kol

The Pearson Product Moment Correlation Coefficient ('r') is a measure of the linear association of two independent variables.

If the probability that r=0 ('P(r=0)') is <=0.05, r is significantly different from 0 and the variables show some degree of correlation.

X1 Column: 8) BKT S. pinanga

X2 Column: 10) % Kolonisasi S. pinanga

Corr (r) S.E. of r P(r=0) n --- --- --- --- 0.23518723 0.10799445381 .0323 * 83

CORRELATION (Pinus merkusii) 2010-01-21 12:47:39

Using: \KorelasiPinus.dt X1 Column: 8) P-BKT X2 Column: 10) P-Kol

The Pearson Product Moment Correlation Coefficient ('r') is a measure of the linear association of two independent variables.

If the probability that r=0 ('P(r=0)') is <=0.05, r is significantly different from 0 and the variables show some degree of correlation. X1 Column: 8) BKT P. merkusii

X2 Column: 10) % Kolonisasi P. merkusii

Corr (r) S.E. of r P(r=0) n --- --- --- --- -0.38863316 0.09993905599 .0002 *** 87

CORRELATION (Gnetum gnemon) 2010-01-21 12:55:20

Using: \KorelasiMelinjo.dt X1 Column: 8) M-BKT

X2 Column: 10) M-Kol

The Pearson Product Moment Correlation Coefficient ('r') is a measure of the linear association of two independent variables.

If the probability that r=0 ('P(r=0)') is <=0.05, r is significantly different from 0 and the variables show some degree of correlation. X1 Column: 8) BKT G. gnemon

X2 Column: 10) % Kolonisasi G. gnemon

Corr (r) S.E. of r P(r=0) n --- --- --- --- 0.24861069 0.10505979944 .0202 * 87