pinanga merkusii gnemon merkusii gnemon

55 Pembahasan Fungi ektomikoriza dikatakan telah membentuk simbiosis dengan akar tanaman, bila telah terbentuk tiga ciri utama , yaitu 1 keberadaan Hartig net; 2 terbentuknya mantel dan 3 terbentuk hifa eksternal dan internal pada akar tanaman Smith dan Read 2008. Persentase kolonisasi ektomikoriza didapat berdasarkan perhitungan jumlah ujung akar yang terkolonisasi miselium Brundrett et al. 1996. Secara alami, S. pinanga ditemukan bersimbiosis dengan S. columnare , P. merkusii bersimbiosis dengan S. dictyosporum dan G. gnemon bersimbiosis dengan S. sinnamariense. Pada penelitian ini, upaya melakukan inokulasi buatan S. sinnamariense pada S. pinanga dan P. merkusii tidak berhasil, namun S. sinnamariense membentuk simbiosis sangat baik pada G. gnemon. Hal ini menunjukkan adanya spesifisitas tanaman inang pada S. sinnamariense. Sebaliknya S. columnare dan S. dictyosporum mampu membentuk simbiosis dengan G. gnemon. S. columnare dan S. dictyosporum tampaknya memiliki spektrum tanaman inang yang lebih luas. Kedua fungi ini dapat membentuk simbiosis dengan ketiga tanaman inang, baik pada perlakuan tunggal maupun bersama, bahkan tampaknya pemberian secara bersamaan memberikan hasil yang lebih baik. Menurut Rinaldi et al. 2008, fungi ektomikoriza memiliki spesifisitas tanaman inang yang tinggi. Di dunia diperkirakan terdapat sekitar 20—25 000 spesies fungi ektomikoriza namun jumlah tanaman inang yang dapat bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza hanya sekitar 8000 spesies. Bruns et al. 2002 menyatakan bahwa spesifisitas terhadap tanaman inang dimungkinkan oleh 1 kecepatan pertemuan antara akar tanaman dengan fungi ektomikoriza yang sesuai, yang juga berhubungan dengan kecepatan perkecambahan spora fungi ektomikoriza dan 2 besar kecilnya permintaan karbohidrat oleh fungi terhadap 56 tanaman, yang berhubungan dengan jumlah N dan P yang dapat ditranslokasikan oleh fungi untuk tanaman. Mollina et al. 1992 membagi fungi menjadi tiga kategori berdasarkan kisaran tanaman inang, yaitu: “sempit”, jika fungi ektomikoriza hanya dapat bersimbiosis dengan satu genus tanaman dalam satu famili, “Intermediate”, bila fungi hanya membentuk simbiosis dengan satu famili tanaman inang, dan “luas” bila fungi ektomikoriza dapat membentuk simbiosis dengan berbagai tanaman dari famili, ordo, bahkan kelas yang berbeda. Sebaliknya, sebagian besar tanaman yang menjadi inang bagi fungi ektomikoriza memiliki spesifisitas yang rendah terhadap fungi ektomikoriza, sehingga banyak ditemukan bahwa satu tanaman inang dapat bersimbiosis dengan berbagai spesies fungi ektomikoriza pada waktu yang berbeda Kennedy et al. 2009, maupun secara bersama-sama Bruns 1995; Richard et al. 2004; Hedh et al. 2009. Spesifisitas tanaman inang yang rendah ini memberikan keuntungan bagi tanaman, karena akan meningkatkan peluang akar untuk menemukan koloni yang sesuai dan juga dapat membentuk simbiosis dengan berbagai fungi yang memiliki atribut fisiologi yang berbeda, yang akan menambah akses menuju nutrisi Mollina et al. 1992. Hal ini diduga berkaitan dengan fungsi masing- masing fungi ektomikoriza, menurut Smith dan Read 2008 diduga walaupun setiap fungi ektomikoriza memiliki fungsi umum yang sama, namun masing- masing memiliki keunggulan atau spesifisitas dalam fungsi tertentu. Semakin tinggi persentase akar berektomikoriza, maka semakin tinggi kontribusi fungi ektomikoriza pada tanaman. Hal ini dapat dilihat dari penambahan biomassa, tinggi dan diameter tanaman, yang berbeda nyata dengan tanaman kontrol. Pada ketiga tanaman, S. columnare dan S. dictyosporum baik pada perlakuan tunggal maupun bersamaan mampu meningkatkan ketiga parameter pertumbuhan ini. Sedangkan S. sinnamariense hanya berkontribusi pada pertumbuhan G. gnemon dan tampaknya S. columnare dan S. dictyosporum 57 juga memiliki kemampuan yang sama pada G. gnemon. Hal ini serupa dengan hasil yang diperoleh Wulandari 2002, bahwa ketiga fungi ektomikoriza memiliki kemampuan untuk bersimbiosis dengan G. gnemon, namun S. sinnamariense menunjukkan kompatibilitas yang lebih tinggi dibandingkan kedua fungi ektomikoriza lainnya, sehingga pada penelitiannya persen kolonisasi S. sinnamariense lebih tinggi dibandingkan dua fungi lainnya walaupun nilai biomassa tidak berbeda nyata antara S. sinnamariense dan S. dictyosporum. Aplikasi multi fungi ektomikoriza tampaknya memberikan pengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman pada akhir bulan 10 dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh Kennedy et al. 2007a, yang menginokulasikan tiga spesies Rhizopogon pada Pinus muricata. Hasilnya menunjukkan persen kolonisasi dan biomassa lebih rendah pada tanaman yang diinokulasi oleh multi fungi ektomikoriza dibandingkan dengan pada saat mereka diinokulasi secara tunggal, hal ini terjadi karena adanya dominasi salah satu spesies Rhizopogon terhadap dua fungi ektomikoriza lainnya. Sementara Hortal et al. 2008 mendapatkan hasil yang berbeda saat memadukan Lactarius delicious dengan Rhizopogon roseolus dan R. Luteolus. Ternyata hanya R. roseolus yang memberikan dampak negatif terhadap perkembangan L. delicious, sementara R. luteolus tidak berdampak apapun, sehingga persen kolonisasi dan pertumbuhan tanaman tidak berbeda pada tanaman yang diinokulasi oleh satu atau dua fungi ektomikoriza. Penyerapan unsur P dan N pada tanaman inang yang diinokulasi dengan multi fungi ektomikoriza rata-rata 50 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Pada G. gnemon peranan S. columnare dan S. dictyosporum tampaknya bahkan lebih baik dibandingkan dengan S. sinnamariense yang diinokulasi secara tunggal. Kemampuan S. columnare dalam meningkatkan serapan N tanaman juga diperoleh Turjaman et al. 2006, yang mengaplikasikan fungi ini pada tanaman Shorea seminis hingga umur 7 bulan, dan meningkatkan 58 serapan N hingga dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman tanpa ektomikoriza. Menurut Allen et al. 2003, akar bermikoriza lebih efisien dalam menyerap unsur-unsur makro dan mikro dibandingkan dengan akar yang tidak bermikoriza, terutama pada tingkat kesuburan rendah. Dell 2002 menyatakan mekanisme peningkatan penyerapan nutrisi ini dikarenakan adanya perluasan daerah pencarian nutrisi oleh hifa eksternal yang memiliki diameter yang sangat kecil hingga dapat masuk ke dalam pori-pori tanah yang kecil dan mengakses tempat-tempat nutrisi yang tidak dapat dicapai oleh akar tanaman. Rasio panjang hifa dibandingkan dengan akar tanaman diperkirakan berkisar antara 300 sampai 8000, sementara diperkirakan terdapat 16—2000 m hifacm 3 tanah Pampolina et al. 2002. Fungi ektomikoriza juga menghasilkan enzim fosfatase untuk mendegradasi fosfat dalam bentuk phytate, asam nukleat dan fosfolipid Ducic et al. 2009, selain itu fungi ektomikoriza juga mengseksresikan asam-asam organik seperti oksalat, sitrat dan malat, dalam upayanya memobilisasi nutrisi dari bentuk mineral Landeweert et al. 2001, sehingga akar berektomikoriza mampu menyerap P 3—5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan akar yang tidak bermikoriza Smith et al. 2003 Namun, beberapa penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi antara kolonisasi fungi ektomikoriza dengan penyerapan P dan N tanaman. Brearley et al . 2007 meneliti pengaruh pemberian pupuk P pada Hopea nervosa, dan mendapatkan bahwa tidak terdapat peningkatan penyerapan P dan pertumbuhan tanaman akibat kolonisasi fungi ektomikoriza. van Hees et al. 2006 juga menemukan tidak ada peningkatan penyerapan P pada Pinus sylvestris yang bersimbiosis dengan Hebeloma crustuliniforme. Smith dan Read 2008 menyatakan tidak adanya hubungan positif antara persen kolonisasi dan pertumbuhan tanaman serta penyerapan unsur hara mungkin disebabkan oleh dua hal yaitu 1 adanya perubahan tahapan fungi ektomikoriza dari saprofitik menjadi 59 mutualistik dan 2 merupakan salah satu dampak bila ciri-ciri utama ektomikoriza tidak terbentuk dengan sempurna. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa S. sinnamariense memiliki spesifisitas tanaman inang yang sempit, hanya dapat membentuk simbiosis dengan G. gnemon . Sedangkan S. columnare dan S. dictyosporum memiliki spektrum tanaman inang yang lebih luas, sehingga dapat membentuk simbiosis pada S. pinanga, P. merkusii dan G. gnemon. Aplikasi ketiga fungi ektomikoriza pada ketiga tanaman inang, baik secara tunggal maupun bersama mampu meningkatkan peningkatan biomassa tanaman, namun pengaruhnya berbeda-beda pada penambahan tinggi dan diameter tanaman. Aplikasi fungi ektomikoriza meningkatkan penyerapan N dan P hingga 50 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Aplikasi gabungan pada S. pinanga dan G. gnemon lebih baik dalam meningkatkan penyerapan N dan P dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal, sedangkan pada P. merkusii aplikasi secara tunggal serapan N dan P lebih baik dibandingkan dengan aplikasi fungi ektomikoriza secara bersama-sama. DAFTAR PUSTAKA Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303. Brearly FQ, Press CM, Scholes JD. 2003. Nutrient obtained from the leaf litter can improve the growth of dipterocarp seedling. New Phytol 160:101– 110. Brearly FQ, Scholes JD, Press CM, Palfner G. 2007. How does light and phosphorus fertilization affect the growth and ectomycorrhizal community of two contrasting dipterocarp spesies. Plant Ecol 192:237–249. Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture . Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. 60 Bruns TD, Bidartondo MI, Taylor DL. 2002. Host specificity in ectomycorrhizal communities: What do the exceptions tell us? Integ and Comp Biol 42:352–359. Bruns TD. 1995. Thoughts on the processes that maintain local species diversity of ectomycorrhizal fungi. Plant and Soil 170:63—73. Chen Y. 2006. optimizing scleroderma spore inoculum for eucalyptus nursery in South China [disertasi]. Perth: Division of Biology and Engineering, Murdoch University. Dehlin H, Nilson MC, Wardle DA, Shevtsova. 2004. Effect of shading and humus fertility on growth, competition and ectomycorrhizal colonization of boreal forest tree seedling. Can J For Res 34:2573–2586. Dell B. 2002. Role of mycorrhiza fungi in ecosystems. CMU J 1:47–55. Du čić T, Berthold D, Langenfeld-Heyser R, Beese F, Polle A. 2009. Mycorrhizal communities in relation to biomass production and nutrient use efficiency in two varieties of Douglas-fir Pseudotsuga menziesii var. menziesii and var. glauca in different forest soils. Soil Biol Biochem 41:742–753. Hedh J, Johansson T. Tunlid A. 2009. Variation in host specificity and gene content in strains from genetically isolated lineages of ectomycorrhizal fungus Paxillus involutus s. lat. Mycorrhiza 19:549–558. Hortal S, Pera J, Parlade J. 2008. Tracking mycorrhizas and extraradical mycelium of edible fungus Lactarius deliciosus under field competition of Rhizopogon spp. Mycorrhiza 18:69–77. Kennedy PG, Peay KG, Bruns TD. 2009. Root tip competition ectomycorrhizal fungi: Are priority effects a rule or an exception? Ecology 90:2098–2107. Kennedy PG, Bergemann SE, Hortal S, Burns TD. 2007b. Determining the outcome of field-based competition between two Rhizopogon species using Real-Time PCR. Mol Ecol 16:881–890. Kennedy PG, Hortal S, Bergemann SE, Burns TD. 2007a. Competitive interaction among three ectomycorrhizal fungi and their relation to host plant performance. J of ecol 95: 1338–1345. Landeweert L, Hoffland E, Findlay RD, Kuyper T, van Breeman N. 2001. Linking plants to rock: Ectomycorrhizal fungi mobile nutrients from minerals. Trends Ecol Evol 16:248–54. Mollina R, Massicotte H, Trape JM. 1992. Specificity phenomena in mycorrhizal symbiosis: Community ecological consequences and practical application. Di dalam: Allen MF, editor. Mycorrhizal Functioning. New York: Chapman and Hall. Hlm 357—4223. 61 Pampolina NM, Dell B, Malajczuk N. 2002. Dynamics of ectomycorrhizal fungi in an Eucalyptus globulus plantation: Effect of phosphorus fertilization. For Ecol and Man 158:291—394. Prameswari D. 2005. Aplikasi beberapa cendawan ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea selanica. J Hut Trop 1:13–18. Richard E, Millot S, Gardes M, Selosse MA. 2004. Diversity and specificity of ectomycorrhizal fungi retrieved from an old-growth mediterranean forest dominated by Quercus ilex. New Phytol 166:1011–1023. Rinaldi AC, Comandini O, Kuyper TW. 2008. Ectomycorhizal fungal diversity: Separating wheat from the chaff. Fungal Diversity 33:1–45. Riniarti M, Setiadi Y, Sopandie D. 2005. Aplikasi asam organik dan inokulasi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea pinanga. J Hut Trop 1:25–29. Scattolin L. 2006. Variation of ectomycorrizal community in high mountain Norway spruce stands and correlation with the main climatic factor [disertasi]. München: Fakultät für Biologie, Ludwig-Maximilians- Universität. Smith FW, Mudgr SR, Rae AL, Glassopp D. 2003. Phosphate transport in plants. Plants and Soil 248:71–83. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press. Sugiarti, Darwo, Panjaitan DJ. 2007. Efektivitas bentuk inokulum cendawan Scleroderma citrinum Persoon dalam meningkatkan pertumbuhan semai Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. J Pen Hut KA 4:63–74. Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza Dipterocarpaceae [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tennakoon MMD, Gunatilleke IAUN, Hafeel KM, Seneviratne G, Gunatilleke CVS, Ashton PMS. 2005. Ectomycorrhizal colonization and seedling growth of Shorea Dipterocarpaceae species in simulated shade environments of a Sri Lankan rain forest. For Ecol and Man 208:399–405. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30:67–73. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249. 62 van Hees PAW, Rosling A, Finlay RD. 2006. The impact of trees, ectomycorrhizal and potassium availability on simple organic compounds and dissolved organic carbon in soil. Soil Biol Biochem 38:1912–1923. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The occurrence and distribution of putative ectomycorrhizal basidiomycetes in a regenerating South East Asian rain forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes . New York: CABI Publishing. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

V. KARAKTERISTIK AKAR BEREKTOMIKORIZA PADA Shorea pinanga, Pinus merkusii DAN Gnetum gnemon

Characteristics of Ectomycorrhizal Roots of Shorea pinanga, Pinus merkusii and Gnetum gnemon ABSTRAK Karakteristik morfologi dan anatomi digunakan untuk mengidentifikasikan fungi ektomikoriza yang bersimbiosis. Bahan yang digunakan adalah akar Shorea pinanga , Pinus merkusii, dan Gnetum gnemon yang telah diinokulasi oleh Scleroderma columnare , S. dictyosporum, dan S. sinnamariense. Akar yang digunakan berumur 6, 8, dan 10 bulan. Ujung akar dikumpulkan untuk menentukan warna hifa, pola percabangan, keberadaan clamp-connection, Hartig net , dan mantel. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa karakteristik morfologi warna miselium dan keberadaan clamp connection lebih dipengaruhi oleh fungi, sementara bentuk percabangan dan kedalaman Hartig net dipengaruhi oleh jenis tanaman. Pada S. pinanga dan G.gnemon pola percabangan akar yang terbentuk akibat simbiosis dengan fungi ektomikoriza adalah monopodial, sementara pada P. merkusii berbentuk dikotomus. Ketebalan mantel dan Hartig net meningkat seiring dengan waktu. Pada S. pinanga dan G. gnemon Hartig net terbentuk pada jaringan epidermis dan tidak mencapai kortek, yang merupakan ciri angiospermae. Pada P. merkusii Hartig net terbentuk hingga jaringan korteks, sebagai ciri gymnospermae. Kata kunci: fungi ektomikoriza, Hartig net, mantel, Scleroderma ABSTRACT Morphology and anatomy characteristics were used to identify ectomycorrhizal fungi. Scleroderma columnare, S. dictyosporum, and S. sinnamariense were inoculated to Shorea pinanga, Pinus merkusii, and Gnetum gnemon. After 6,8, and 10 months, each root tips were colleted to determined hyphae colour, branching pattern, clamp-connection, Hartig net and mantle. This result revealed that morphology were affected by fungi, while branching pattern and Hartig net were affected by plants. S. pinanga dan G. gnemon were have monopodial branching pattern which P. merkusii was dichotomously branching pattern. The depth of mantels and Hartig net were increase by time. The Hartig net was only at epidermis S. pinanga and G. gnemon, while its penetrated in cortex on P. merkusii . PENDAHULUAN Ektomikoriza merupakan simbiosis mutualisme antara fungi dan akar tanaman, dalam hubungan ini fungi memperoleh hasil fotosintesis sementara akar mendapat bantuan unsur hara dan air dan keuntungan lainnya melalui perantara 64 hifa fungi Allen 2003; Dehlin et al. 2004. Sebagian besar tanaman yang membentuk simbiosis dengan fungi ektomikoriza adalah jenis pohon, sekalipun beberapa jenis semak dan perdu juga ditemukan dapat bersimbiosis dengan fungi ini Onguene dan Kuyper 2002. Fungi ektomikoriza diketahui dapat bersimbiosis dengan jenis-jenis tanaman dari famili Dipterocarpaceae Turjaman et al. 2005, Turjaman et al. 2006 Pinaceae Chen 2006, Scattolin 2006 dan Gnetaceae Wulandari 2002; Watling et al. 2002, yang merupakan bagian dari angiospermae dan gymnospermae. Hubungan fungi dengan tanaman inang ini dapat disebut ektomikoriza bila terdapat perubahan morfologi dan anatomi pada akar tanaman akibat masuknya hifa pada sel-sel akar. Terdapat berbagai variasi dalam karakteristik morfologi dan struktur akar berektomikoriza, namun ada tiga bentuk utama yang secara umum disepakati sebagai karakteristik penting, yaitu terbentuknya sebuah mantel yang menutupi akar, berkembangnya hifa di antara sel-sel akar yang membentuk sel-sel yang kompleks yang disebut Hartig net, dan hifa-hifa yang menonjol keluar dari mantel dan berkembang ke tanah hifa ekstra radikal Peterson et al. 2004. Bahkan menurut Smith dan Read 2008 bila salah satu dari tiga ciri utama ini tidak terbentuk dengan sempurna maka peranan fungi ektomikoriza pada tanaman inang tidak akan berjalan dengan baik. Masing-masing fungi ektomikoriza akan memiliki karakteristik morfologi dan anatomi yang khas pada tanaman inang yang diinfeksinya. Keunikan ini menjadi ciri yang akan digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan jenis-jenis fungi tersebut Agerer 2002. Beberapa karakteristik lebih banyak dipengaruhi oleh tanaman inang daripada fungi ektomikoriza, antara lain adalah pola percabangan dan kedalaman Hartig net. Pada tanaman tertentu, seperti Pinus, pola percabangan yang terbentuk adalah dikotomus walaupun tanaman diinokulasi oleh berbagai fungi ektomikoriza Brundrett et al. 1996. Sementara kedalaman Hartig net lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan struktur akar pada