Delapan Cara yang Menandai "Dhamma dan Vinaya"

31. Delapan Cara yang Menandai "Dhamma dan Vinaya"

Delapan Cara yang menandai apakah sesuatu merupakan Dhamma dan Vinaya dan apakah ia bukan merupakan Dhamma dan Vinaya.

Sesuatu Dhamma atau hal apapun juga jika untuk tujuan:

1. Merangsang indria-indria dan pikiran

2. Menambah penderitaan (Dukkha)

3. Memupuk kilesa

4. Ingin mencapai kedudukan lebih tinggi

5. Tidak puas dengan apa yang telah dimiliki, dengan kata lain, setelah memperoleh ini, ingin itu.

6. Terlalu banyak bergaul dengan teman-teman (hanya untuk para Bhikkhu).

7. Malas dan menghabiskan waktu dengan sia-sia.

8. Sukar dirawat/dilayani.

Maka hal-hal tersebut adalah bukan Dhamma atau Vinaya ataupun Ajaran Sang Arahanta Sammasambuddha.

Sebaliknya, Dhamma ini atau apapun juga jika untuk tujuan:

1. Mengurangi rangsangan indria-indria dan pikiran.

2. Menjadi bebas dari Dukkha.

3. Tidak memupuk kilesa (kekotoran-kekotoran batin).

4. Tidak ingin kedudukan apa-apa.

5. Yang puas dan bahagia-dengan apa yang telah dimiliki.

6. Hidup di tempat-tempat sunyi, jauh dari orang-orang lain (hanya untuk para Bhikkhu).

7. Usaha yang bersemangat.

8. Mudah dirawat/dilayani. 224

Maka Dhamma atau hal-hal tersebut adalah Dhamma dan Vinaya atau Ajaran Sang Guru Agung Arahanta Sammasambuddha.

A. Atthaka 23/288.

Maksud Umum

1. Dalam pelajaran yang terdahulu kita telah mempelajari pokok-pokok Dhamma yang terpenting seperti Empat Kesunyataan Mulia, yang merupakan dasar dan ajaran yang disampaikan oleh Sang Buddha. Jalan Utama Beruas Delapan yang merupakan cara hidup Buddham āmaka, Buddhamāmika. kini kita akan menambah pelajaran tentang Dhammacariya yang lebih banyak, yang merupakan Dhamma mulia. Kita mengerti adanya suatu kebenaran, bahwa segala sesuatu di dunia ini selalu berpasangan, seperti ada gelap dan ada terang, ada dingin` dan ada panas, ada kebahagiaan dan ada penderitaan, ada barang yang asli dan ada barang yang palsu serta lain sebagainya. Kita sebagai pemakai barang-barang ini harus memeriksa secara teliti dan mendalam, kemudian membedakannya antara yang asli dan yang palsu. Barang yang asli kita harus memilikinya, dan yang palsu kita buang.

2. Demikian pula ajaran Sang Arahanta Sammasambuddha, merupakan ajaran yang asli dan benar serta sangat bermanfaat untuk mereka yang menjalankannya secara bersungguh-sungguh. Akan tetapi bila kita telah mempelajari ajaran yang benar maka lambat laun ajaran yang tidak benar, palsu, keliru akan datang bercampur menjadi satu. Mereka yang menjalankan ajaran palsu, keliru berarti mereka telah membuang waktu secara sia-sia. Contoh: Sang Arahanta Sammasambuddha mengajarkan kepada kita tentang Sam ādhi yang benar untuk memurnikan dan membersihkan pikiran tetapi di kemudian hari ada orang yang mengajarkan Sam ādhi untuk meramal atau memberikan nomor-nomor undian dan lain sebagainya. Berdasarkan hal-hal ini maka ada yang mengatakan bahwa melaksanakan ajaran Sang Arahanta Sammasambuddha akan menimbulkan pengertian Sam ādhi yang palsu.

Dalam ajaran agama, pengertian yang palsu ini dinamakan Saddhamma Patirupa atau ajaran yang palsu. Bila di dalam agama telah timbul ajaran palsu atau Saddhamma Patirupa berarti pemeluk-pemeluknya telah melaksanakan dan mengolah yang palsu, yang akhirnya menimbulkan kemerosotan dalam keyakinan. Karena hal inilah maka lambat laun agama itu pun akan menjadi merosot.

Munculnya Sadhamma Patirupa atau ajaran yang palsu itu dikarenakan banyak hal, misalnya: - Pengajar itu tidak mengerti ajaran Buddha Dhamma yang

sesungguhnya. - Pengajar itu mempunyai tujuan untuk kepentingan diri sendiri, misalnya merubah ajaran yang telah ada demi memperoleh keuntungan.

- Pengajar itu mempunyai pikiran jahat terhadap agama Buddha. Misalnya: supaya para umat menjadi berkurang keyakinannya. - Dan tujuan lainnya lagi.