Waspada Terhadap Konsep

18. Waspada Terhadap Konsep

Sekarang kita sedang melihat kopi, “Wah, kalau sehari tidak minum kopi, tidak bisa sehat rasanya.” Maka kita mengatakan kopi itu membawa

kemelekatan, ketagihan. Tetapi, sesungguhnya tidak demikian, kopi itu tidak membawa kemelekatan. Pikiran kitalah yang melekat pada

kopi. Karena kita menikmati kopi terus-menerus.

Mereka yang mungkin hanya minum kopi sekali sebulan, tidak akan melekat pada kopi itu sedemikian kuat. Tidak ada kemelekatan dalam

diri mereka yang minum kopi sekali-sekali saja. Kemelekatan itu muncul dari kenikmatan yang diulang-ulang, berkali-kali, tanpa

kewaspadaan, tanpa kebijaksanaan. Kopi tidak pernah menarik-narik orang. Kopi adalah benda mati. Emas, intan, uang, tidak pernah menarik- narik orang, itu benda mati. Tetapi, konsep atau pandangan salah yang menunggangi kenikmatan itulah, yang membuat kemelekatan.

Ada seorang yang miskin sekali, anaknya menangis minta dibelikan balon. Ibunya mengatakan, “Kita ini tidak punya apa-apa, untuk makan

saja sulit.” Tetapi, karena cinta kepada anaknya yang semata wayang, penjual balon itu diundang, dan ibu itu b erkata, “Anak saya ini ingin

balon, tetapi saya tidak punya uang. Apakah anda mau menerima bokor ini untuk ditukar dengan satu balon saja?” Penjual balon itu tidak tertarik, bokor sudah penyok seperti ini, kecil, kotor, hitam. Lalu bokor itu di korek- korek, ternyata bokor itu terbuat dari emas. Penjual itu tertarik, tetapi dia jual mahal. Penjual balon itu mencemooh, “Bokor seperti ini, kecil,

penyok- penyok, untuk membeli balon satu pun tidak cukup.” Padahal dia tahu kalau bokor itu terbuat dari emas.

Setelah penjual balon itu lewat, penjual balon kedua datang ke rumah si ibu miskin. Dia lalu diundang oleh ibu itu dan ditawari bokor itu juga. Penjual balon kedua tahu juga kalau bokor itu emas, lalu dia

Cerita belum selesai. Karena sebetulnya ingin sekali memiliki bokor itu, penjual balon yang pertama tadi kembali menemui ibu lagi, tetapi penjual balon kedua sudah berlalu. Dia berkata, “Ya, sudahlah, bokormu saya tukar dengan satu balon, biarpun tidak cukup harganya.” Tetapi, ibu itu sekarang sudah tahu bahwa bokornya terbuat dari emas.

Mengapa pada awalnya penjual balon pertama tidak tertarik? Karena tidak ada konsep bahwa benda itu berharga. Tetapi, setelah dikorek- korek, kemudian tahu bahwa bokor itu terbuat dari emas, dan dia pernah tahu bahwa emas itu mahal. Mahal itulah konsep atau pandangan. Dia

tahu betapa senangnya kalau punya emas. Kesenangan yang ditunggangi oleh konsep, tidak ada kebijaksanaan, tidak ada pengendalian diri, maka timbullah niat jahat untuk menipu ibu

miskin itu.

Beberapa waktu lalu ketika ikan arowana masih banyak disukai, harga seekor ikan arowana sangat mahal. Tetapi, orang desa yang tidak tahu tentang ikan arowana, tidak akan mau beli meskipun murah. Dia pikir, “Apakah ikan ini bisa dimakan? Kalau tidak bisa, buat apa dibeli?” Orang desa itu tidak punya konsep apa-apa terhadap ikan arowana, tetapi orang kota punya konsep bahwa ikan arowana bisa membuat pemiliknya makmur. Dan makmur itu rasanya enak, lebih makmur lebih enak.

Orang kota mempunyai sarana untuk membeli ikan yang mahal itu. Kenikmatan ditunggangi dengan pengertian yang salah, dibantu sarana yang cukup, maka jadilah dia mengeluarkan uang berjuta-juta untuk membeli seekor arowana. Demikian juga iklan-iklan yang selalu membuat orang terangsang untuk membeli. Iklan-iklan itu menanamkan konsep bahwa barang yang diiklankan itu akan memberikan kenikmatan.

- o0o -