Teknik Analisis Data

A. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan data yang dikumpulkan oleh peneliti, yaitu: data kualitatif yang berupa data (kalimat), maka kemudian data tersebut dianalisa dengan teknik analisa data kualitatif dengan model analisa interaktif.

Ada 3 (tiga) kelompok pokok yang terdapat dalam model analisa interaktif, yaitu:

43 Lexy J. Moleong (2008). Op. Cit. hlm. 159 44 Menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman kepada responden, dengan tujuan untuk

mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh dari sumber pertama. 45 Bagong Suyanto dan Sutinah (2008). Op.cit, hlm. 56

1. Data Reduction (Reduksi Data); merupakan sajian dari analisa yang mempertegas, memperpendek, membuat focus dan membuang hal yang tidak penting sehingga kesimpulan akhir dapat ditarik.

2. Data Display (Display Data); merupakan rakitan suatu organisasi informasi yang memungkinkan riset dapat dilaksanakan dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan suatu analisa atau tindakan lain berdasar penelitian tersebut.

3. Conclusion Drawing (Kesimpulan), adalah kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang terdapat dalam data rediction dan data display. Pada dasarnya makna data harus diuji validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi

lebih kokoh. 46 Adapun proses menganalisa data adalah dengan mereduksi data yang telah

terkumpul, yaitu dengan cara menyederhanakan atau membuang data-data yang tidak relevan dengan penelitian, kemudian diadakan penyajian data agar memungkinkan untuk dapat ditariknya suatu kesimpulan. Namun apabila dirasa masih terdapat kekurangan dalam menarik kesimpulan akibat kurang tercukupinya data yang telah ada, maka peneliti dapat melakukan penelitian di lapangan kembali, sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan lagi yang lebih mengena dengan sasaran dan tujuan penelitian.

Pengecekan Keabsahan Data

Triangulasi; 47 teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Di mana seorang pakar peneliti yang bernama Denzin telah

membedakan 4 (empat) macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam penelitian ini triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber atau informan yang memiliki perbedaan karakteristik.

46 Sutopo H.B. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, (Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 1981), hlm. 35.

47 Tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk kepentingan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA

Sub bab ini diperoleh dari pengurus Muslimat NU dan Aisyiyah kota Malang, yang penulis pilih berdasarkan purposive random sampling. Penulis memilih empat orang pengurus dari Muslimat NU dan empat orang pengurus dari Aisiyah. Pemilihan dilakukan berdasarkan pendidikan mereka dan kedudukannya dalam organisasi. Profil mereka penulis sajikan dalam table berikut ini.

Tabel Informan

Tabel informan Muslimat NU N0.

NAMA

PENDIDIKAN

JABATAN ALAMAT

1. Hj. Nyai Chasinah

Pondok

Ketua I

Jl. Kebalen

Pesantren

Muslimat NU Wetan 8/21 A

Singosari

Kedung Kandang Malang

2. Hj. Sulalah, Dr.M.Ag

S-3

Ketua Litbang Perum Dinas Muslimat NU

UIN, Jl. Gajayana 50 Malang

3. Hj. Siti Aminah Rofi’i

Penasehat Masjid Jami’ Muslimat NU

Kota Malang

4. Dewi Hamidah, Dr.,

Anggota Klayatan M.Ag.

S-3

Gang 1 Muslimat NU

Litbang

kanjuruan

Table informan Aisyiyah

N0. NAMA

PENDIDIKAN

JABATAN ALAMAT

1 Dra. Hj. Rukmini

S-1

Ketua Cabang Aisiyah Kota

Malang

Jl. Soponyono Hasyim SH., M.Hum

2 Dra. Hj. Sunkanah

S-2

Bidang

Da’wah

23 Losari

Aisiyah

Singosari Malang

3. Komariah SH, M.Si,

Ketua Majelis Jl. Kebalen II M.Hum

S-2

A No. 16 HAM Aisiyah Sukun Malang

Hukum &

4. Fifik Wiryani

S-3

Anggota

Perum Muara

Sarana Indah Hukum &

Majelis

F.9 HAM Aisiyah

Mulyoagung Malang

Kepada informan penulis kirim putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi topic pembahasan dan fatwa MUI tentang kedudukan anak zina terlebih dulu sebelum melakukan wawancara. Kemudian wawancara dilaksankan dalam waktu sehari, karena bertepatan dengan acara seminar sehari yang dilaksanakan Fakultas Syariah UIN Malang pada tanggal 14 Desember 2012, dengan tema, “Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya” ( Mengkaji Putusan MK N0. 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1) dan Fatwa MUI N0. 11/2012 tanggal 10 Maret 2012 ) yang bertempat di Hotel Pelangi Jl. Merdeka Selatan N0 3 Malang 65119.

Instrumen wawancara dipilah berdasarkan isi putusan MK agar bisa menggali pandangan informan secara terperinci. Inti putusan MK pada prinsipnya ada dua, yaitu tidak dikabulkannya uji materi pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, yang menyatakan perkawinan harus dicatat. Dan dikabulkannya uji materi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan

ibunya dan keluarga ibunya”. Dengan putusan MK, pasal tersebut berubah, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan bapaknya dan keluarga bapaknya sepanjang bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan/teknologi atau bukti-bukti lain yang bisa

digunakan”. Sebab itu, instrument wawancara berbunyi :

1. Bagaimana pandangan ibu tentang pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang dikukuhkan oleh putusan

MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal

2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

2. Bagaimana pandangan ibu tentang hak-hak isteri dalam perkawinan yang tidak dicatat atau nikah siri ?

3. Bagaimana pandangan ibu tentang hubungan keperdataan ( nafkah, nasab dan waris) anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagaimana putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal

2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)?

4. Bagaimana pandangan Informan tentang Pencatatan Perkawinan pada pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang dikukuhkan dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)

Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU

“Sebenarnya pengalaman saya, hidup di tengah-tengah masyarkat, ini ada satu persoalan bahwa ada pasangan laki-laki dan

perempuan yang mau menikah, sebenarnya persoalan ini di masyarakat menjamur, tatkala mau menikah mendatangkan orang tua mereka, terus ada RT ada RW, karena ada itu seorang kiyai mau menikahkan sirri itu dengan catatan pada tanggal tertentu harus nikah secara resmi. Persoalan ini sering terjadi di masyarakat apalagi orang yang dianggap tokoh/ulama, mau masyarakat itu tidak mau ribet dan solusi seperti apa. keputusan MUI saat di Gontor itu memutuskan bahwa nikah sirri itu boleh dengan catatan punya kewajiban harus segera dicatatkan di KUA. Sebab itu putusan MK yang mengukuhkan pencatatan

perkawinan ya sudah sesuai. Saya kira itu”. 48

Hj. Sulalah Dr., M.Ag, Ketua Litbang Muslimat NU

48 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

“Bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan dengan sah dalam pandangan syar’i dan juga sah dimata hukum. Artinya istilah sah

ini ada dua konteks; sah menurut agama dan sah menurut Negara, Perkawinan harus sah menurut syar’I dan Negara. Jadi putusan MK yang mengukuhkan pencatatan perkawinan itu ya sudah sesuai” 49 .

Ibu Hj. Siti Aminah ( Mantan Ketua Muslimat NU ): “Setuju. Karena dengan pencatatan keturunanya agak jelas hak

waris jelas dan kelanjutan dari pendidikan anak bagus karena kalo masuk sekolah harus dicatatkan ke KUA itu kan pemerintah, tapi karena itu pemerintah jadi harus kita ikuti. Jadi di catatkan mari ngono oleh akte kelahiran sekolah, ini memang harusnya begitu, jadi di catatkan begitu, Cuma ada catatan sipil ada catatan dari KUA yaitu catatan yang di catat oleh buku nikah kan gitu dapat buku nikah, kan sebagai bukti sudah sah menjadi suami istri. Makanya tadi saya sampaikan menghalalkan yang harom tadi. Suami mengucapkan saya nikahi saja sudah halal. (lafadz akad) itu suami menikahi dan perempuan di kawini, mulane islam ngatur seng nggolek bojo iki wong lanang, apa ndak boleh perempuan, boleh tapi adatnya di jawa timur kan arek lanang nglamar wong wedhok. Kalo islam di ikuti bagus, kadang kita masih terutama anak muda sak enak e. kalo islam diikuti bagus. Ada wong lanang ngelamar trus di takokne wedhok e seneng po g? kalo sudah mengucapkan akad nikah kan sudah halal segala galanya. Dengan mertua ya g batal. Dengan istri halal di apakno

ae 50 ”.

Ibu Dr. Dewi Hamidah ( Anggota Litbang Muslimat NU )

49 49 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 50 Wawancara di rumah Ibu Hj Siti Aminah, Belakang Masjid Jami’ Malang, 22 oktober

“Pencatatan perkawinan berarti prosedur, perlengkapan

administrasi yang harus di lakukan seseorang untuk menikah di kantor urusan agama, sangat setuju sekali ketika aturan aturan yang berlaku sesuai dengan ketentuan administrasi, dan tidak di lebih lebihkan, artinya, biasanya kita melengkapi administrasi, lalu ada beberapa persyaratan yang sebetulnya tidak perlu tapi di bikin perlu contohnya: surat pindah nikah itu memang harus. Kalo biasanya di sini di mempelai putri sehingga harus ada pengurusan surat pindah nikah. Itu sih memang logis, tapi kalo’ kemudian ada biaya di luar biaya keluar

administrasi itu yang menjadikan tidak efektif. Ya kalo pencatatan harus, kenapa? Karena mengingat penduduk Indonesia yang begitu banyaknya, dan semuanya banyak yang pengen nikah juga, maka harus ada pencatatan dengan syarat petugas itu harus melakukan sesuai dengan schedule. Misalnya si A akan menikah, tanggal 1 september, datang lagi yang ke dua, minta tanggal 1, nah tanggal itu kan sudah di daftar, ndak pokoknya saya minta tanggal 1 karena ini tanggal yang penting, kemudian dia memberi uang yang lebih lah kepada petugas. Kalo dia bayar 500 saya bayar satu juta, akhirnya di cancel ato di rubah itu yang menjadikan tidak baik. Tapi kalo semua sesuai

schedule dan sesuai kete 51 ntuan lebih tertib.”

Ibu Sunkanah, ( Anggota Bidang Dakwah Aisiyah) “Di muahamadiyah itu pencatatan (perkawinan) itu wajib.

Untuk melindungi wanita salah satunya, kenapa kok banyak terjadi nikah sirri kadang kadang mau poligami seperti murdiyono kalo dia mau poligami kan seharusnya dia dapet ijin, tapi tidak mungkin karena pegawai negri itu harus apa ini dapet ijin dari atasan atasanya. Nah ini

51 Wawancara di Fakultas Humainora UIN Maliki, jam 12.15 tanggal 24 september 2013.

makanya lalu kawein sirri. Nah ini hanya saja wanitanya mau nah itu yang saya maksudkan. 52 ”

Ibu Hj. Rukmini ( Ketua Aisiyah Cabang Kota Malang) “Di aisyiah itu punya buku hasil dari rumusan tarjih

muhamadiyah, yang kebetulan di serahkan kepada Aisyiah untuk keputusan hasil majlis tarjih, jadi dari ulama dan pakar seindonesia bahkan muhamadiyah punya cabang di luar n egri. Dan semua ulama’ ulama’nya pada ngumpul untuk melihat dan berkaitan bahwa keluarga sakinah adlh sebuah keluarga yang dilandasi dengan pernikahan yang sah dan tercatat di kantor urusan agama, jadi pencatatan itu suatu hal yang penting dalam artian teks di masa rasul tidak pernah ada. Tapi rasulullah atau di masa rasul para sahabat itu jujur orang kafirpun jujur. Makanya dalam kesaksian kaitanya utang piutang di perjalanan jika terjadi musibah ya, makanya di albaqoroh itu 283 itu ya? Maka ketika ia non muslim itu di suruh bersumpah atas agamanya nama tuhanya. Maka orang islam itu jujur. Sedangkan orang munafik dari non muslim, kana da yang munafik orang islam juga ada yang munafiknya. Yang g jujur yang munafik itu. Nah untuk itulah pencatatan itu tidak ada tapi memori sahabat kuat. Kejujuranya, untuk itulah kondisi yang seperti itu yang di gunakan di aisyiayah u mengambil ini, metode memahami ini mengambil metode qiyas. Jadi qiyas aulawy yang lebih tinggi, kalau jual beli saja di suruh catet bahkan ada saksi apalagi pernikahan. Kenapa? Krn dalam hadis di riwayatkan bahwa wanita sholihah itu adalah harta, permata yang mahal harganya dalam rumah tangga keluarga. Kalo kita punya kendaraan punya emas, aja ada kwitansinya

lo masak al mar’atu sholihah tidak di beri kwitansi. Jadi dihadapkan pada dua kondisi, umat islam sekarang banyak yang tidak jujur. Beda

dengan di masa rasulullah jadi catatanya lewat memori sahabat.

52 Wawancara dengan Ibu Sunkanah di Kantor Muhammadiyah, 4 oktober 2013

Namanya sahabat kan jujur bisa di pertahankan kesaksianya. Sekarang banyak orang jadi saksi pernikahan tapi dia g tau sebenarnya, lak wes ngomong sah yo sah, kan gitu. harusnya Jika wanita ini hamil, anaknya bukan anak kandung, seharusnya saksi kan harus menceritakan. Itu kan kaitanya dengan kesaksian. Jadi tentang pencatatan itu suatu hal yang termasuk mengantarkan kepada keluarga sakinah. Ya yang dikatakan

sah itu ya yang di catat di KUA 53 ” Hj. Komariah Ketua Majelis HAM dan Hukum Aisyiyah :

“Saya akan memberikan rekomendasi, semua masalahnya harus

diselesaikan dari akar maslahnya, baik nikah siri, maupun perzinahan. Ini harus ada pencegahan preventif dan pencegahan kuratif. Preventifnya apa? Saya kira ini dari kalangan organisasi atau perguruan tinggi, dakwahnya itu masih kurang baik kepada orang tua maupun kepada remaja, makin lama makin marak seperti hal yang biasa, mungkin dua puluh tahun yang lalu orang tua kalau anaknya hamil diluar nikah, disingkir-singkirkan, bahkan diusir dari rumah, kalau sekarang udah biasa, kalau anaknya gonta-ganti pacar kok malah bangga. Oleh karena itu sebagai preventif dakwah kita harus getol sebelum terjadinya seksual diluar nikah, Intinya saya setuju dengan

pencatatan perkawinan yang dikukuhkan oleh MK”. 54

Fifik Wiryani Anggota Majelis HAM dan Hukum Aisiyah : “Saya sangat menyetujui putusan MK, karena nikah siri,

banyak digunakan hanya melegalkan hubungan seks saja antara laki- laki dan perempuan. Banyak kaum laki-laki yang memanfaatkan praktik nikah siri ini hanya untuk memanjakan libidonya semata dan mata keranjangnya saja. Kaum perempuan yang mau dinikah siri harus

53 Wawancara di rumah Ibu Rukmini, 4 oktober 2013. 54 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 53 Wawancara di rumah Ibu Rukmini, 4 oktober 2013. 54 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

laki-laki yang egois saja 55 ”.

Berdasarkan data di atas, bisa ditarik kesimpulan, bahwa pandangan informan baik pengurus Muslimat NU maupun Aisiyah tentang pencatatan perkawinan yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan dikukuhkan putusan MK sebagaimana paparan data emik di atas adalah sejalan. Bahwa mereka menyetujui putusan MK tersebut. Bahwa sahnya perkawinan harus dikukuhkan dengan pencatatan resmi oleh pejabat Negara untuk memperoleh perlindungan hukum. Akan tetapi mereka tidak berpendapat bahwa nikah siri itu sebagai penyimpangan. Nikah siri tetap merupakan perkawinan yang sah, meskipun seharusnya tidak dilakukan, karena akan merugikan perempuan dan anak. Mereka mengemukakan bahwa nikah siri masih banyak dilakukan di masyarakat karena beberapa factor. Antara lain, masyarakat tidak mau repot dengan mengurus administrasi ke KUA dan untuk menghindari zina.

1. Pandangan Informan Tentang Hak-hak Isteri dalam Perkawinan yang Tidak Dicatat

Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU ”Untuk yang kedua hak dan kewajibannya itu hanya diberikan

kepada yang memberikan hak dan kewajibannya kepada Negara, seperti itu tadi, kalau nikah sirri ke pengadilan tidak akan diterima karena kewajiban kepada Negara tidak terpenuhi, maka dia secara perdata tidak akan diterima. Saya punya saudara di Pengadilan Agama, pernah ada kasus ada seseorang yang nikahnya sirri, kemudian tidak terjadi kecocokan, terus mau cerai, ini kan menjadi persoalan, setelah

55 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 55 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

menurut Negara. 56 ”

Ibu Hj. Sulalah, Dr. M.Ag. Ketua Litbang Muslimat NU “saya terikat sebuah teori bahwa warga Negara akan

mendapatkan hak dan kewajibannya apabila warga Negara tersebut memenuhi hak dan kewajibannya kepada Negara. Artinya apa, tidak salah kalau Negara itu tidak memberikan hak kepada warga Negara yang tidak mengikuti aturannya tadi kalau terjadi masalah, misalnya

seperti Macica itu, ya resikonya dia tidak dapat apa- 57 apa”.

Ibu Hj, Siti Aminah “Enggak dapet harta waris karena g punya keterangan tapi kalo

di beri hibah ndak pa pa belum mati masih hidup dan dia sudah punya gambaran iki ngko lak mati mesti tukaran seng tuek karo seng enom. Ndak pa pa, tapi lak wes warisan mana buktinya kalo itu anak istrinya la itu yang susahnya di situ kalo kawin sirri. Kalo nafkah tiap hari wajib, kalo udah di nikahi meski sirri ya wajib di nafkahi, wajib di ingoni selama dia masih karena sirri itu kan menurut agama sah. Kita tidak bisa menentang saya tidak setuju dengan sirri lo ikuislam memperbolehkan kok, cuman sekarang kita ngatur bolehnya gimana? Itu tergantung perempuan. Ngatur kalo dia nikah sirri harus siap lahir batin. Ya siap di labrak seng tuek hayo iyo tho? Singit singitan g iso terang terangan iyo lak keluargane setuju lak g setuju dia kan terkucil.

56 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 57 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

Jadi makanya kita ndak boleh mengandalkan, minta aja nikah yang baik. Kalo mengatakan saya tidak setuju dengan nikah sirri itu yang g boleh. Itu kan menyalahi aturan agama. Cuma sekarang ini biar bisa, wajib menafkahi wong nduwe duit. Kalo sekarang menurut agama iku adil yang satu di belikan rumah di belikan rumah, kan harus gitu adil sekalipun itu sirri. Jadi keadilan harus tetap wong Cuma di g di catetno kok. Lak wes mati g nduwe bukti mau nuntut warisan g bisa, karena tidak ada tulisanya menurut pemerintah nah sekarang menurut islam meninggal ya sebetulnya dia punya hak waris tapi karena g ada catetanya nah biar bagus selama dia menikahi hibah aja pemberian, tapi ati ati kalo pemberian besok besok ndak jelas misalnya di marah sama bojo seng tuek g enak nikah sirri enak ya terang terangan. Koyok wong solo bojone sah semua jadi rukun, ada kawin di gawekno warung ”

Ibu Dr. Dewi Hamidah, “Kalo hak istri begitu terjadi pernikahan kita tidak berbicara masalah

sirri atau jahri. Begitu akad itu sah menurut islam asalkan tadi y syarat dan rukun semua sedah terpenuhi. Sah menurut islam maka semua kewajiban suami harus terpenuhi. Pertama untuk istri nafkah trus kemudian semuanya,

dan harta gono gini terjadi kalo’ sampek terjadi perpisahan. Dan harta yang di cari bersama, nah kalo seumpama nafkah itu memang hak istri harus di peroleh setelah akad nikah, kalo nikah sirri tidak di catatkan sebetulnya

karena secara islam secara syar’I sudah menjadi istrinya berarti tetep saja wajib, suami memberi nafkah sama istrinya, hanya saja kalo terjadi ketidakadilan tetep itu haknya istri, tapi kalo sampai g adil, sampek tidak di beri nafkah istri ndak bias gugat itu aja. Jadi problemnya nikah sirri itu hanya pada perundang undangan. Segala yang berhubungan dengan undang undang karena secara islam secara syar’I sudah menjadi istrinya berarti tetep saja wajib, suami memberi nafkah sama istrinya, hanya saja kalo terjadi ketidakadilan tetep itu haknya istri, tapi kalo sampai g adil, sampek tidak di beri nafkah istri ndak bias gugat itu aja. Jadi problemnya nikah sirri itu hanya pada perundang undangan. Segala yang berhubungan dengan undang undang

g bisa. Sampai dia ke pengacara pun tidak bisa karena dia tak punya surat nikah. Intinya di situ. Hanya kasus yang berkait dengan undang undang, peraturan administrative itu yang tidak bisa di lakukan istri. Sehingga itu yang menyebabkan lemah. Secara otomatis semua di lakukan”

Ibu Hj. Sunkanah “Kalo saya gono gini waris tergantung suaminya ya, kalo kawinya

secara sah atau poligami sah, kalo kawin sirri itu kalo menurut saya tergantung pada kedua belah pihak itu saja ya sudah itu saja, kalo suami bilang salahmu kok gelem, ya sudah bejamu aku ngono gitu aja la dia g punya bukti kalo dia itu istrinya itu saja, kalo saya ya kayk dagang aja, itu sudah dagang itu bagaimana kayak saya urun berapa apalagi kalo itu biaya suaminya, walaupun di KHI ada pasal kana da “apabila terjadi perceraian dan kematian kan satu di bagi dua” ketika kemarin saya melaksanakan pengabdian masyarakat itu pertanyanya gini, “ buk poligami ato sirri itu istri kedua dapat warisan g? saya sampaikan tergantung pada istri pertma kalo istri pertama mau memberi ya bejane awak . kalo istri pertama g ada belas kasian ya sudah jangan berharap. Tapi kalo kebetulan harta yang banyak ini ada pada istri kedua. Ya kalo istri pertama merebut ya itu sya katakana tidak salah dia tidak punya bukti bahwa dia itu istrinya saya katakana begitu. Emang kadang2 kita ini bertntangan kita ini mau membela wanita tapi wanitnya begitu tidak mau di bela la bagaimana saya membela. Tapi kadang2 saya dalam hati temen saya

g mbok rewangi tho buk. (hitungan waris) - Hak anak dari pernikahan sirri, nah kalo itu menurut ini kawin sirri itu

nasabnya ke ibuknya, itu kan seperti kawin kontrak. Wes susahnya di sini nanti sya bedakan begini kawinya sah atau tidak, kalo kawinya memenuhi syarat artinya rukun dan syaratnya terpenuhi itu knya bisa ke bapaknya. Tapi ini akan tergantung pada istri tua, kalo poligami kan seperti itu. La ini ya kalo

temen saya tidak mau betul, sampek ketika bapaknya meninggal tidak mau masuk rumah, nah banyaknya seperti ini, ketika bapak masih hidup itu bertentangan tapi pas sudah mati rukun kembali. Seperti itu, misalnya itu rumahnya istri tua di sini yang istri satunya yang muda di sini kalo mau pengajian g mau lewat sini. Atau ngajinya di sini itu g mau, tapi ketika istrinya meninggal kebetulan matinya di istri muda istri tua untuk ngambil mayatnya, kemudian saya Tanya warisne yok opo, wes opo jare buk seng kono yo ben kono, rela jadi itu yg saya maksudkan, saya juga pernah bagi warisan, ada yang datang trus saya Tanya anak ini, yok opo ki warisane? Ibuk ki mau bagi warisan, warisane ayah, lo ayahmu saya dengar istrinya 4 trus dia bilang kalo istrinya 4 kan harus dikumpulkan gitu, udahlah buk saya g mikir punyanya sana punyanya sini saya mikir punyanya ayah saja akhirnya saya bagikan punya dia dan ibunya saja yang lain g saya ikut sertakan, kemudian dia bilang, harusnya di kumpulin jadi satu kan baru di bagi bagi. Kalo itu gono gini. Kan MA membuat apa itu pedoman, kalo istri pertama itu gono gininya si pertama dengan suami ituseparo separo, kemudian istri kedua sepertiga sepertiga, kemudian yang ketiga seperempat, kalo istrinya empat seperlima. Jadi kalo gono gini itu hasil suami istri yang pertama nah itu baru di bagi, istri selanjutnya seperdelapan kalo punya anak, sisanya bagi anak kalo anaknya tiga orang ya di bagi sejumblah anaknya itu, yang meninggal dunia itu, kenapa MA mengatur pedoman? Karena MA seijin peradilan karena tanpa ijin istri pertama dia g bisa kawin, sehingga oleh itulah maka istrinya dapet sepertiga 2 kalo saya itung gini aja, kalo 100 sama istri pertama 50 50 sama istri kedua 25 25. Sama istri ketiga 25 25, sama istri keempat juga. Jadi hasil sang istri denga suami itu suami. Setelah di bagi gono gini di bagi waris tinggal di liat berapa istrinya. Yang empat ya seperdelapan kalo punya anak gitu, apakah anak dari istri pertama atau istri ketiga kita ndak memandang, yang penting di antara istri istrinya punya anak gitu ya. Nah itu yg di maksudkan, lalu kita lihat orangtuanya almarhum hidup pa g? kalo msh hidup bapak dapat seperempat ibu dapet seperenam. Itu ya, sisanya buat anak anak.

Kalo perempuan semua bapaknya kan dapet ashobah gitu, atau mungkin bisa juga tidak ashobah, nah itu saya sampaikan, istrinya seperdelapan, seperenam seperenam kalo anaknya laki laki dan perempuan kan tinggal sisanya, kptx tingga 24 la ini kan itung itunganya 2:1 untuk anak2, krn ini g bz di halangi siapapun ya, kalo anaknya perempuan bapaknya dapet ashobah kalo anaknya

3 perempuan semua, anaknya tetep dua pertiga, 2/3 x 11= 27 itu kan nanti dapet aul dapet 24 =11 kadang aul.

Ibu Hj. Rukmini “Itu kembali pada ini ya, keimanan pasangan itu sendiri ya, kalo dia

sudah menyatakan pernikahanya itu sah kepada pribadi jadi anak itu nanti. Karena orang percaya pada hari kiamat. Ini yang perlu ditatar untuk orang yang akan melakukan nikah sirri itu juga harus ada saksi ada kaitanya secara hukum ya ada pencatatan saksi yang di situ mungkin syarat dari masuk peradilan. Jadi ada yang membuat ada kuasa hukum ada surat yang bisa menguatkan kalo tidak mau di anukan ke pemerintah, sehingga nanti permasalahan ini diajukan. Jadi jelas Negara kita tidak seperti itu kan, tidak dapet hak haknya jadi kembali keimanan masing masing, untuk itu maka di keluarga yang sudah memahami nikah sirri itu sah ya memang sah karena pada masa rasul tidak ada pencatatan, tuh kan di katakan yang g di catat sirri karena di bawah tangan artinya tersembunyi. yang berkaitan dengan hak,selama itu orang beriman meyakini pernikahanya itu sah tentunya berdampak pada anaknya. Makanya di situ harus di buat semacam kesaksian biar ada yang menguatkan. Bicara sama hukum, ini tugas anda untuk semacam itu ya harus ada hitam di atas putih”.

Ibu Hj. Komarihah, SH.,MH. Ketua Majelis HAM dan Hukum Aisiyah “Kalau orang berpikir bahwa hak-hak dan kewajiban yang akan

mereka dapatkan dari sebuah pernikahan siri sama dengan pernikahan yang dilakukan secara legal tercatat di KUA, terutama bagi kaum mereka dapatkan dari sebuah pernikahan siri sama dengan pernikahan yang dilakukan secara legal tercatat di KUA, terutama bagi kaum

atas adanya anak yang lahir, dan lain-lain. 58 ”

Ibu Fifik Wiryani, Anggota Majelis HAM dan Hukum Aisiyah “Seperti Macica itu sudah berjuang 8 tahun untuk mendapatkan

hak-hak nya, ya tetap tidak bisa. Makanya saya setuju sosialisasi dampak perkawinan siri harus digalakkan 59 ” .

Berdasarkan data di atas, bisak ditarik kesimpulan, bahwa pandangan informan baik Muslimat NU maupun Aisiyah tentang hak-hak isteri di dalam perkawinan siri juga sejalan. Yaitu, karena tidak dicatat oleh pejabat Negara, maka Negara tidak salah jika tidak memberi perlindungan hukum. Hal itu jika terjadi problem dengan tidak dipenuhinya hak-hak mereka oleh suami mereka, sebagaimana yang dialami oleh Macica. Dalam perkawinan siri, jika pihak laki-laki wan prestasi, maka hak-hak perempuan seperti nafkah dan waris tidak mendapat perlindungan dari Negara.

2. Pandangan Informan tentang Kedudukan Anak yang dilahirkan di Luar Perkawinan sebagaimana dalam putusan MK 46/PUU-VIII/2010, tentang Uji Materiil UU Perkawinan pada pasal 2 ayat (1), dan Pasal 43 ayat (1)

Ibu Nyai Hj. Chasinah Ketua I Muslimat NU. Bagaimana kedudukan anak di luar nikah yang dari perzinahan ?

“Saya sependapat dengan putusan MK, kalau diartikan bahwa anak di luar nikah adalah dari nikah sirri, karena kalau tidak disikapi seperti itu nanti memang bisa saja anak zina masuk sebagai anak yang sah. Jadi putusan MK itu memang masih multitafsir, banyak pandangan, ada

58 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 59 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 58 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 59 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

begitu.” 60

Ibu Hj. Sulalah Dr., M.Ag. Ketua Litbang Muslimat NU. “saya sangat setuju tadi kalau dari kalangan intelektual akan

membuat suatu terobosan bagaimana melindungi anak yang lahir dari perkawinan sirri itu harus diberikan hak-haknya, sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan yang dicatat. Karena menurut saya apa yang diputuskan oleh MK itu mempertimbangkan kepada sisi

pengakuan dari agama, mungkin seperti ini, selain diakui secara syar’i, itu barangkali tidak diberikan, atau barangkali diberikan batasan-batasan

dan sekaligus menjadi pelajaran, peringatan sehingga tidak mudah untuk melakukan pernikahan sirri itu. Adapun anak yang lahir dari perzinahan ini yang sulit. Pemerintah perlu membuat aturan khusus. Atau mungkin ditetapkan sebagaimana fatwa MUI. Bapak biologisnya diminta bertanggung jawab memberi nafkah, wasiyat wajibah kalau meninggal sebagai ganti waris, tetapi tidak bisa ditarik garis nasab dan tidak bisa

menjadi wali nikah 61 ” .

Ibu Hj. Siti Aminah “Nasabnya ke ibu, makanya kemarin kan jadi rame karena pak mahfud

mengatakan bahwa anak di luar nikah sah dan mendapat warisan karo MUI. Ada artikel “problematika nikah sirri bagi perempuan” nikah sirri itu tidak

mendapatkan perlindungan hukum, ya yang tadi itu hukum waris, ndak ono perlindungan hukum, tapi mahfud omonge jadi nikah sirri tidak mempunyai kekuatan hukum baik waris, nasab. Dan biasanya nikah sirri di lakukan bagi

60 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 61 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

orang yang menikah ke dua, PNS dan pengusaha nang ndi ndi, ustad ustad yang ke sana ke mari kan butuh istri akhirnya nikah sirri. Kalo saya tergantung perempuan kalo mau ya harus siap mentalnya lahir batin. Lak punya anak ya harus siap jadi harus pintere wong wadon. Kalo sekarang hak waris g ada. Sebetulnya bisa dalam islam tapi karena tidak ada surat yang sah itu dianggap, akhirnya sulit. Biasanya yang nikah sirri itu laki laki yang kaya. Lak miskin bojo loro kan terlantar akhirnya kana da perempuan yang membunuh suaminya karena selingkuh. Islam itu bagus g melarang kawin. Tapi usahakan y ang resmi meski jadi bojo loro” “Ya itu yang diperkaran asalkan bisa menunjukan tes DNA nah itu yang di perkarakan pak mahfudz, asalakn bisa menunjukan keterangan darahnya itu di anggap anak sah, makanya ini geger majelis ulama menolak itu. Kalo anak zina kan islam sudah melarang. Makanya kita harus hati hati bar meteng nikah kan anaknya sudah di luar perkawinan. Tapi ada madzhab yang menghamili yang berbuat boleh dan sah. Lak nikah jg boleh jadi wali. Susah mbak, pokok

e nikah biasa ae”. Ibu Dewi Hamidah, Dr

“Nasabnya tetep ke bapaknya, karena dia lahir setelah terjadinya akad nikah. Meskipun sirri menurut Negara. Nikah sirri kan menurut Negara. Yang

tidak punya hak sama sekali menasabnya itu yang di luar nikah. Anak zina, zina itu kalo anak nasabnya g bisa langsung ke bapak jadi nasabnya tetep ke ibu. Nikah sirri itu bukan zina legal lo, jadi nikah sirri tetep sah karena akad. Beda dengan mut’ah karena mut’ah di hapus. Kalo sampai terjadi nikah kontrak, nikah mut’ah jelas itu dianggap tidak sah. Beda dengan sirri” “Jadi anak zina tadi g bisa dapat waris kan anak ibunya. Nikahpun dia g bisa

walinya bapaknya kan, harus dengan wali hakim. Walaupun sudah tes DNA itu tetep g bisa, karena terjadinya hubungan pertemuan sel sperma dan indung telur yang menjadi bakal DNA nya anak itu terjadi sebelum akad”.

“Nasab anak di luar zina itu nasabnya tetep ke ibuk y, dan g akan dapet hak haknya walinya g, perwalian pernikahan ke wali hakim, warisnya g dapet.

Jelas itu kalo dalam perzinahan. Walaupun sudah di buktikan dengan tes DNA tetep. Tes DNA itu kan hanya kayak macica, sebelumnya machica itu masih jauh masih minta pengesahan perkawinan banyak itu sudah, g bisa begitu saja minta hak, artinya anaknya memperoleh keperdataanya. Minta harus ada pengesahan dll. Kalo nikahnya tidak sah lo, umpamanya tetep ndak bisa. Padahal pengadilan itu, pembatalan nikah itu sah bila seorang suami melakukan poligami tanpa ijin istri. Bisa itu di batalkan. Nah kalo bisa dibatalkan oleh istri pertama kan tidak sah perkawinanya. Nah kalau sudah g sah tetep aja, kalo perempuan g dapet warisan dan bapak ini juga g bisa jadi wali, emang kadang2 sa’aken, tapi memang harus tegel, tegas hakim mengatakan g bisa itu, jadi kalo saya mengatakan kawin zina kawin mut’ah, makanya hati hati, kalo diliat sirri itu sah apa tidak ya memang siapa yang mau menghamili kalo bukan bapaknya itu, meti tes DNA ya mesti bapaknya wong dek e g sama yang lain, ini ada kasus mbak ada seorang laki-laki mau cerai saya Tanya, kenapa kok mau cerai, katanya saya ini di gebrek, lo kok iso sech, gini buk saya ini, katakanlah pelacur tapi dia dikumpuli orang banyak itu mau e, itu seper ti di fiqh sunah nikah ibdho’ jadi itu begini mbak orang ini katakanlah beli, setelah anak lahir anak itu katanya menurut si perempuan yang ikut mengumpuli katanya mirip dia, milih, rasulullah kan mengatakan bagaimana untuk menentuka siapa orang tuanya, liat saja anak itu kriting rambutnya atau juling matanya kan begitu kalo kit abaca bulugul marom loh ya, akhirnya si laki itu di suruh kawin, lha saya ini harus bagaimana namanya saya beli saya kan g cinta ya sudah saya Cuma beli, tapi kan sampean ikut urun, tapi kan saya di jebak, makanya pada waktu itu di batalkan nikah itu sama rasullah, la say bilang ya mboh mirip mripatmu po irungmu, tapi saya sambil guyonan, biar g stress orangnya, la karepmu yo opo? Saya g ada rasa cinta makanya saya cerai, ternyata zaman yang 14 abad yang lalu muncul lagi saat ini. Complex ,,makanya di pengadilan ki kok reno reno ”

Ibu Hj. Rukmini “Nasab anak zina ke ibunya karena tidak di, ini kembali kepada al

qur’an kasus Maryam dan isa itu kesana. Itu sebagai apa ya? Sebenernya di dalam islam sendiri ketentuan hukum hukumnya kan preventif ya atau pencegahan. Coba Di situ kan memang masyarakat, saya pernah mengajukan dalam acara muktamarnya tarjih muhamadiyah itu, kenapa yak ok g’ orang yang hamil duluan itu g usah di nikahkan aja sampek anaknya lahir. Ndak usah dinikahkan dulu, itu sebagai pembelajaran supaya nanti yang lain tidak segampang itu kan jadi hukum hukum islam itu ada rajam ada pengangsingan dsbg. Dalam rangka kayak orang bunuh diri itu g di sholati itu kan bukan sebuah kekejaman. Itu untuk supaya hati hati memberi pelajaran untuk yang lain. Tapi akhirnya di ketemukan di kompilasi hukum islam ya jadi tetep akhirnya di nikahkan karena dasarnya kana da di an nur yang berzina di nikahkan sama yang berzina. Itu juga berkaitan dengan karena takut mudhorot yang lebih besar mi salnya anaknya di terlantarkan” “Masalah DNA dan sebagainya itu otomatis tidak di awali pernikahan yang sah menurut agama. Jadi artinya ayah biologis, tanggung jawab ayah tetap ada tapi hak hak agama seperti sebagai wali dan sebagainya hak hak agama ini di pertanyakan. Nah ini yang memang perlu ngetes DNA itu biayanya berapa, kayaknya adanya di sinetron. Kalo kita kayaknya g mampu bayar ya. Ini realistis aja kayaknya yang bisa bayar golonganya pak yusuf kalla. Meski pegawai negrei g usah wes karena biayanya cukup mahal” “Pandangan saya tentang kasusnya machica muchtar yang suaminya murdhiyono kalo memang itu sudah ada saksi dan sebagainya ya jadi hak haknya secara biologis harus di berikan. Harus bertanggung jawab untuk itu. Tapi hak hak agama tapi untuk masalah waris dapat peluang tho seperti wasiat

wajibah ada hibah hukum kan pasti ada hikmah ada maqoshidu syari’ah dan hikmat tasri’nya. Ini kan kita harus pandai mencari itu. Yang dirugikan

perempuan akhirnya anaknya juga g dapat haknya. Makanya perempuan harus perempuan akhirnya anaknya juga g dapat haknya. Makanya perempuan harus

Ibu Hj. Siti Komariyah, SH., MH. Ketua Majelis HAM dan Hukum Aisiyah “Kalau menurut saya keputusan MK itu tidak apa, seperti yang

dikatakan bu tutik tadi, betatpun seorang ayah biologis dari anak itu harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya itu”. jadi intinya saya

pribadi mendukung apa yang telah diputuskan oleh MK, alasanya, ada hal-hal yang perlu diperhatikan dan mendukung terhadap putusan MK itu, yang pertama saya ingin mensoroti aspek ke anak, anak itu dilahirkan dalam kondisi fitrah, disisi lain kita melihat, bahwa seseorang (termasuk bayi) tidak boleh menanggung apa yang diperbuat oleh kedua orang tuanya, saya melihat anak dari hasil zina ini mendapatkan beban yang sangat banyak, baik dari sisi sosial, moral, ekonomi dan lain sebagainya. Kemudian dari sisi lain dalam konsep sejarah, kenapa anak itu dalam kajian fikih dinasabkan kepada ibunya saja dalam kasus anak yang lahir dari perbuatan zina, itu karena dalam hukum bahwa kejelasannya menempati kedudukan yang paling tinggi, kalau tidak pasti seseorang tidak akan menghukum, kenapa dinasabkan kepada ibunya, karena jelas-jelas ibu yang mengandung, ibu yang menyusui, ibu yang melahirkan itu jelas, tetapi dalam kasus perempuan yang ahli zina, dimana dia sering berganti pasangan di dalam zina, ini untuk menetapkan siapa orang tuanya ini idak ada kepastian pada waktu itu, seperti contoh di dalam hadits yang dijadikan dasar MUI, jadi itu menujukkan bahwa Rasulullah kesulitan sendiri, jadi keserupaan itu juga tidak bisa, kalau saya melihat hadits ini adalah pribadi mendukung apa yang telah diputuskan oleh MK, alasanya, ada hal-hal yang perlu diperhatikan dan mendukung terhadap putusan MK itu, yang pertama saya ingin mensoroti aspek ke anak, anak itu dilahirkan dalam kondisi fitrah, disisi lain kita melihat, bahwa seseorang (termasuk bayi) tidak boleh menanggung apa yang diperbuat oleh kedua orang tuanya, saya melihat anak dari hasil zina ini mendapatkan beban yang sangat banyak, baik dari sisi sosial, moral, ekonomi dan lain sebagainya. Kemudian dari sisi lain dalam konsep sejarah, kenapa anak itu dalam kajian fikih dinasabkan kepada ibunya saja dalam kasus anak yang lahir dari perbuatan zina, itu karena dalam hukum bahwa kejelasannya menempati kedudukan yang paling tinggi, kalau tidak pasti seseorang tidak akan menghukum, kenapa dinasabkan kepada ibunya, karena jelas-jelas ibu yang mengandung, ibu yang menyusui, ibu yang melahirkan itu jelas, tetapi dalam kasus perempuan yang ahli zina, dimana dia sering berganti pasangan di dalam zina, ini untuk menetapkan siapa orang tuanya ini idak ada kepastian pada waktu itu, seperti contoh di dalam hadits yang dijadikan dasar MUI, jadi itu menujukkan bahwa Rasulullah kesulitan sendiri, jadi keserupaan itu juga tidak bisa, kalau saya melihat hadits ini adalah

“bismillahirrahmanirrahim, berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Jadi posisi hakim tidak terpaku kepada UU tapi keadilan kepada

Allah, jadi hakim ini menurut saya adalah wakil Tuhan tertinggi di dunia ini di dalam menegakkan keadilan, kalau kita lihat keadilan itu apa, seperti yang diungkapkan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah itu pernah menulis bahwa syariat itu dasarnya/pondasi adalah kepada kebijaksanaan dan kemaslahatan umat di dunia maupun di akhirat, keadilan itu adalah kebijaksanaan keseluruhan dan kemaslahatann secara keseluruhan, selanjutnya sesuatu yang bertentangan dengan keadilan itu adalah bukan syariat, jadi sesuatu yang bukan keadilan itu bukan syariat. Jadi tentunya keadilan yang dirasakan oleh manusia, bukan keadilan Allah, kita tidak tahu keadilan Allah yang bagaimana. Jadi saya kira melihat kondisi anak yang terdzolimi dengan perbuatan zina ini harus dibolehka, karena dia tidak boleh menanggung beban apapun, karena harus sama, sederajat dengan anak-anak yang lain. Saya setuju sekali kalau kita membuat rekomendasi pemerintah

membuat UU Anti Perzinahan, tapi jangan lama-lama 62 ” .

Ibu Fifik Wiryani, Anggota Majelis HAM dan Hukum Aisyiyah “Saya sangat setuju dengan putusan MK maupun Fatwa MUI

yang pada prinsipnya secara filosofis ada dua, yang pertama adalah melindungi anak, dan yang kedua adalah menghukum pelaku ”.

62 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

“Bagaimana kedudukan anak ? ”Terkait dengan kekosongan

hukum dari makna hubungan perdata tadi, minimal nafkah hadhonah dan wasiat wajibah, cuman masalahnya adalah bagaimana realisasinya fakta di Pengadilan Pak Hakim sangat faham itu. Untuk memberikan nafkah kepada anak itu realisasinya sangat susah dimana nanti implementasinya, belum lagi itu mekanismenya kemana, lalu ke pengadilan, ya kalau seperti Machica Muchtar banyak uang, bagaimana dengan kasus-kasus yang terjadi di Malang tadi, bagiaman dia bisa mengajukan kalau tidak ada pendamping, mestinya gratis

kalau itu ke pengadilan 63 ”

Berdasarkan data di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pandangan informan tentang putusan MK, poin anak yang dilahirkan di luar perkawinan, merevisi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, ini terbagi menjadi dua. Pertama, semua informan menyetujui putusan MK, sepanjang yang dimaksud adalah anak yang dilahirkan di dalam perkawinan siri. Mereka memiliki hak sebagaimana anak sah dalam pengertian UU Perkawinan. Yaitu memiliki hak nasab kepada orang tuanya, hadlanah , nafkah, waris, dan wali. Kedua, bahwa putusan MK bisa dimaknai anak yang dilahirkan tanpa perkawinan atau anak zina, pendapat mereka bisa dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Menolak putusan MK, jika dimaknai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah anak zina. Sebagaimana bunyi putusan MK, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah , termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ”. Mereka menerima fatwa MUI, bahwa anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya dan keluarga ayah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibu. Namun ayah biologis mempunyai kewajiban memberi

63 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012 63 Wawancara di Hotel Pelangi, 14 Desember 2012

2) Menerima putusan MK bahwa anak hasil zina memiliki hubungan perdata, baik nasab, nafkah, waris dengan ayah biologis, sebagaimana memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Alasan yang mereka kemukakan, sebagaimana alasan yang terdapat dalam putusan MK, bahwa anak dilahirkan fitrah (suci). Ia tidak menanggung dosa ke dua orangtuanya. Dalil yang digunakan MUI dipandang lemah karena difahami secara tekstual, tidak dihubungkan dengan fakta historis. Di samping itu, anak hasil perzinahan ini di masyarakat sangat dirugikan karena sikap diskriminasi masyarakat kepada mereka. Namun yang menerima putusan MK secara bulat ini, merekomendasikan supaya pemerintah membuat UU Anti perzinahan. Dengan UU Anti perzinahan, maka pelaku zina bisa dihukum.

B. ANALISIS DATA

1. Pandangan tokoh perempuan kota Malang, yaitu Pengurus Muslimat Nu dan Aisiyah tentang pencatatan perkawinan bisa dipilah menjadi dua hal yang substansial. Pertama, tentang kedudukan pencatatan perkawinan. Tokoh perempuan kota Malang berpendapat bahwa kedudukan pencatatan perkawinan adalah sebagai persyaratan administrative. Pencatatan perkawinan merupakan kewajiban warga Negara terhadap Negara. Pencatatan perkawinan bukan merupakan syarat atau rukun perkawinan yang bias menentukan sah-nya perkawinan. Dalam hal ini, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dirujuk sebagai landasan kewajiban pencatatan. Selain itu, bagi Aisiyah, ada landasan lain yang dikemukakan, yaitu keputusan majlis tarjih Muhammadiyah, yang mewajibkan pencatatan perkawinan.

Pandangan tokoh perempuan tersebut, jika ditarik dalam ranah Fiqh kontemporer, adalah sejalan dengan pandangan para ‘ulama kontemporer, baik di

Indonesia, seperti MUI, NU dan Negara-negara Islam seperti Mesir, Malaisia, Brunei

Daarussalam dan lain-lain. Dan jika ditarik dalam ranah perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak ada perbedaan. Dalam Undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan bahwa pencatatan perkawinan adalah persyaratan administrative yang tidak mempengaruhi sah-nya perkawinan. Kedudukan pencatatan tersebut sama dengan pencatatan kelahiran, kematian, dan lain-lain.

Kedua, Penerimaan terhadap pencatatan perkawinan. Meskipun bukan merupakan syarat atau rukun perkawinan, namun semua tokoh perempuan sangat setuju terhadap pencatatan perkawinan. Reasoning yang dikemukakan adalah lebih melindungi pihak perempuan, lebih menjaga tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, lebih menjaga anak-anak.

Pandangan tersebut, jika ditarik dalam realitas masa sekarang, adalah tepat. Mengingat banyaknya kasus perkawinan yang tidak dicatat, yang merugikan isteri dan anak. Sebab itu, jika ditarik dalam ranah maqashid syariah, yaitu melindungi keluarga, maka pencatatan adalah sebuah keharusan. Sesuai dengan kaidah ا أ بجاولا

بجا و ف هب متي ا ام ( Sesuatu yang menjadi sebab sempurnanya pelaksanaan suatu kewajiban, adalah wajib). Dan jika ditarik dalam ranah Undang-undang, maka pencatatan diperlukan untuk melindungi hak-hak warga Negara. Jika tidak dilakukan pencatatan maka prosedur yang ditempuh akan panjang dan sulit.

2. Pandangan tokoh perempuan tentang perkawinan sirri, secara substansial juga bias diklasifikasikan menjadi dua. Pertama , Sahnya perkawinan sirri. Semua informan memandang bahwa nikah sirri adalah sah dan bukan penyimpangan. Meskipun begitu, mereka memandang sebaiknya tidak dilakukan. Pandangan ini menunjukkan adanya ambiguitas, yaitu mengapa tidak secara tegas dikatakan bahwa nikah sirri itu dilarang. Pernyataan nikah sirri itu sah, tetapi tidak dianjurkan adalah ambigu. Bagaimana ada perkara yang sah namun tidak dianjurkan. Di sini menunjukkan bahwa secara epistemology, tokoh perempuan belum mengenal epistemology selain epistemology jumhur ‘ulama yang menghasilkan fiqh klasik. Epistemologi alternative 2. Pandangan tokoh perempuan tentang perkawinan sirri, secara substansial juga bias diklasifikasikan menjadi dua. Pertama , Sahnya perkawinan sirri. Semua informan memandang bahwa nikah sirri adalah sah dan bukan penyimpangan. Meskipun begitu, mereka memandang sebaiknya tidak dilakukan. Pandangan ini menunjukkan adanya ambiguitas, yaitu mengapa tidak secara tegas dikatakan bahwa nikah sirri itu dilarang. Pernyataan nikah sirri itu sah, tetapi tidak dianjurkan adalah ambigu. Bagaimana ada perkara yang sah namun tidak dianjurkan. Di sini menunjukkan bahwa secara epistemology, tokoh perempuan belum mengenal epistemology selain epistemology jumhur ‘ulama yang menghasilkan fiqh klasik. Epistemologi alternative

Kedua, Perlindungan bagi isteri dan anak dalam perkawinan sirri. Semua informan menyatakan bahwa tidak ada perlindungan Negara dalam perkawinan sirri, baik untuk isteri maupun anak. Sebab itu jika perkawinan sirri berjalan dengan baik, tidak ada pelanggaran hak, maka hal itu merupakan keberuntungan isteri dan anak. Namun jika sebaliknya, terjadi pelanggaran hak isteri dan anak, maka pelaku nikah sirri harus sadar untuk menerima akibatnya. Karena untuk memperoleh perlindungan dari Negara harus menempuh prosedur yang berbelit-belit, bias dikatakan hamper mustahil.

3. Kedudukan nasab, nafkah, wali dan waris anak yang dilahirkan diluar perkawinan, semua informan setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu anak tersebut memiliki hubungan perdata atau hak dan kewajiban dengan orang tua yang menjadi sebab kelahirannya, baik ayah maupun ibu, sepanjang dimaknai anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri. Meskipun anak tersebut tidak memiliki perlindungan hokum, jadi nasibnya bergantung kepada kebaikan kedua orang tuanya, terutama ayahnya. Bisa jadi anak ini menjadi korban dari perkawinan sirri yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Namun dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka ada jalan untuk mendapatkan perlindungan, yaitu dengan membuktikan DNA anak. Maka jika ayah mengingkari anak tersebut, bias dilakukan tes DNA dan dikukuhkan di pengadilan.

4. Kedudukan nasab, nafkah, wali dan waris anak yang dilahirkan dalam perzinahan, adalah tidak sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan sirri. Semua informan tidak setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang 4. Kedudukan nasab, nafkah, wali dan waris anak yang dilahirkan dalam perzinahan, adalah tidak sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan sirri. Semua informan tidak setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN

Penelitian ini menyimpulkan :

1. Semua informan mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban pencatatan perkawinan. Pencatatan perkawinan sebagaimana ketentuan perundangan diterima sebagai kewajiban yang berguna untuk ketertiban dan jaminan hukum. Namun demikian nikah di bawah tangan (siri) tidak dipandang sebagai penyimpangan. Melaksanakan nikah di bawah tangan, tidak menjadi problem asalkan setelah nikah dicatatkan. Hal ini terjadi karena adat dan lebih percaya kepada ‘ulama dibandingkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Namun

demikian bagi Aisiyah, sedikit lebih tegas, yaitu nikah siri meskipun sah tetapi dilarang, dikarenakan Aisiyah mengikuti keputusan Majelis Tarjih.

2. Jika terjadi wan prestasi dalam perkawinan siri, maka sudah wajar jika tidak bisa di bawa ke Pengadilan dan tidak mendapat perlindungan hukum.

3. Kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, semua mendukung keputusan MK sepanjang dimaknai anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, yaitu mempunyai hubungan keperdataan, yang berupa nafkah, nasab, wali dan waris.

4. Kedudukan anak di luar perkawinan atau anak zina, tidak memiliki hubungan nasab, wali waris dari ayahnya dan keluarga ayahnya. Semua informan setuju dengan fatwa MUI. Anak zina hanya mempunyai hak nafkah dan wasiyat wajibah dari ayah biologisnya. Dengan demikian, semua informan tidak setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan hubungan keperdataan kepada anak yang lahir di luar perkawinan, baik dalam nikah sirri maupun zina.

Adapun implikasi penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pencatatan perkawinan sudah diterima sebagai kewajiban administrative di kalangan tokoh perempuan, sebab itu implikasi ke depan, pencatatan

perkawinan sudah tidak memerlukan landasan teoritis syar’I atau fiqh lagi, yang diperlukan adalah sosialisasi terutama pada masyarakat pedesaan.

2. Nikah siri dalam pandangan tokoh Muslimat NU dan Aisiyah kota Malang sudah tidak mempunyai masa depan. Meskipun sah pada umumnya mereka sudah tidak menyukai nikah siri, karena tidak sejalan dengan tujuan berkeluarga.

3. Kedudukan anak diluar nikah, jika dalam nikah sirri, mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi, yaitu mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah dan ibunya, berimplikasi kepada perlindungan anak dalam nikah siri, yaitu dengan jalan tes DNA, jika ayah nya tidak mengakui.

4. Adapun anak hasil zina, dipandang tidak memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Hal ini berarti tidak menyetujui putusan Mahkamah Konstitusi. Ini berimplikasi pada adanya diskriminasi pada anak yang dilahirkan dalam zina. Sementara sesungguhnya anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah.