Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara

(1)

PREVALENSI MANIFESTASI ORAL PADA PASIEN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

DI KOMUNITAS LUPUS (CINTA KUPU)

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar sarjana Kedokteran Gigi

Oleh : ATIKA PUTRI NIM : 100600005

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2014

Atika Putri

Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di

Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara. x + 45 halaman

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis

yang etiologi utamanya belum diketahui dan paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif yaitu usia 15–44 tahun. SLE dapat menimbulkan manifestasi ke organ sistemik lain seperti ginjal, muskuloskeletal, saraf, kulit, kardiovaskular termasuk rongga mulut. Pada rongga mulut, manifestasi SLE dapat berupa xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid serta lesi merah dan merah/putih yang dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para ODAPUS (Orang Penderita Lupus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manifestasi oral SLE yang timbul pada rongga mulut ODAPUS dan mengetahui prevalensi masing-masing manifestasi oral tersebut. Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif dan dilakukan pada 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara. Data manifestasi oral dikumpulkan menggunakan kuesioner dan pemeriksaan langsung pada rongga mulut ODAPUS. Hasil penelitian menunjukkan dari 45 ODAPUS ditemukan 29 orang mempunyai manifestasi oral. Pada 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral, ditemukan sebanyak 30% lesi


(3)

merah dan merah/putih, kemudian xerostomia ditemukan berjumlah 29%, lesi ulserasi berjumlah 26%, dan lesi diskoid sebanyak 15%. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manifestasi penyakit SLE pada rongga mulut merupakan kasus yang cukup sering dialami oleh para ODAPUS sehingga upaya pencegahan dan penatalaksanaan oral yang tepat sangat diperlukan bagi para ODAPUS agar tetap memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.

Daftar Rujukan: 39 (1978-2013)


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu dengan kerendahan hati serta penghargaan yang tulus penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM, Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing I atas waktu yang telah diberikan, kesabaran, saran, dukungan, bantuan, motivasi dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Indri Lubis, drg, selaku dosen pembimbing II atas waktu yang telah diberikan, tenaga, saran, motivasi dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penyelesaian skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Dr. Wilda Hafni Lubis, drg., M.Si dan Nurdiana, drg., Sp.PM selaku tim penguji skripsi atas waktu yang telah diberikan, saran, dukungan, dan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Dwi Tjahyaning Putranti, drg., MS, penasehat akademik yang telah banyak membimbing selama masa pendidikan.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan saran, masukan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

7. Dr. Gino Tann, Sp.PK., MD., Ph.D (LOND).,FISH selaku penasehat komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara yang telah memberikan nasehat, saran, arahan dan dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini.

8. Hj. Irawati Nasution, SH., MH selaku Ketua komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara beserta staff pengurus komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara yang telah memberikan izin, bantuan, arahan dan saran dalam pelaksanaan penelitian ini.

9. Sahabatku tersayang Athien Fadillah, Zeri Winda Ayu, Poppy Yoanda, Puput Roza Dewi, Gustrigiani Putri, Alfina Subiantoro, Intan Aisyah, Dara Puspita, Nurul Yunita, Wulandari Thawafany, dan teman-teman angkatan 2010 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan, semangat dan hal-hal yang telah diberikan selama menjalani perkuliahan.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, ayahanda dan ibunda tercinta Alm. Tugiman, SH dan Siti Azir, orang tua angkat tercinta Nursana Nasution, adik-adik tersayang M. Zulfahmi Putra, Indana Raihatul Jannah dan Indani Raihatul Jannah, yang telah memberi doa, semangat, kasih sayang serta pengorbanan tak terhingga kepada penulis.

Penulis menyadari kelemahan dan keterbatasan ilmu yang penulis miliki menjadikan skripsi ini masih perlu perbaikan, saran dan kritik membangun. Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen Ilmu Penyakit Mulut.

Medan, April 2014 Penulis,

Atika Putri NIM: 100600005


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1 Manfaat Teoritis ………. 3

1.4.2 Manfaat Praktis ………. 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Systemic Lupus Erythematosus... 5

2.1.1 Definisi ... 5

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi ... 5

2.1.3 Gambaran Klinis ... 7

2.1.4 Diagnosis ... 9

2.1.5 Terapi ... 11

2.2 Manifestasi SLE pada Rongga Mulut ... 13

2.3 Kerangka Teori ... 21

2.4 Kerangka Konsep ... 22

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.3 Populasi dan Sampel ... 23


(7)

3.3.2 Kriteria Eksklusi ………... 24

3.4 Variabel dan Definisi Operasional ... 24

3.4.1 Variabel Bebas ... 24

3.4.2 Variabel Tergatung ... 24

3.4.3 Variabel Tak Terkedali ... 24

3.4.4 Definisi Operasional ... 24

3.5 Sarana Penelitian ... 26

3.6 Cara Pengumpulan Data ... 26

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 27

3.7 Etika Penelitian ... 28

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 29

BAB 5 PEMBAHASAN ... 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi

tahun 1997 ... 10 2 Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan jenis

kelamin pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu)

Sumatera Utara ... 29 3 Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan umur pada

pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus

(Cinta Kupu) Sumatera Utara ... 29 4 Distribusi dan Frekuensi Pasien SLE di Komunitas

Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara yang Memiliki

Manifestasi Oral ... 30 5 Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di

komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara berdasarkan jumlah lesi ... 31 6 Distribusi dan Frekuensi Manifestasi Oral pada Pasien

SLE yang Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu

Sumatera Utara ... 31 7 Distribusi dan frekuensi lesi ulserasi pada pasien

SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu

Sumatera Utara ... 32 8 Distribusi dan frekuensi lesi merah dan merah/putih

pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Butterfly rash ...... 9

2 Ulser oral pada pasien SLE ... 15

3 Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE ... 16

4 Lesi Herpes Simplek ... 16

5 Lesi diskoid pada bibir pasien SLE ... 17

6 Lesi bibir bersisik dan merah pada pasien SLE ... 17

7 Lesi mirip lichen planus retikuler ... 18

8 Lesi mirip lichen planus atrofik ... 18

9 Trush ... 19

10 Trush pada pasien imunosupresi (SLE) ... 19

11 Kandidiasis hiperplastik kronis disudut mulut yang menyebar ke mukosa pipi ... 20

12 Kandidiasis atrofik akut ... 20

         


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

2. Lembar persetujuan setelah penjelasan (Informed Consent)

3. Kuesioner

4. Lembar pemeriksaan

5. Gambar lichen planus retikuler, ulser, lesi diskoid dan trush

6. Surat persetujuan komisi etik

7. Surat keterangan izin penelitian dari komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara

8. Surat keterangan telah melakukan penelitian di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara


(11)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2014

Atika Putri

Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di

Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara. x + 45 halaman

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis

yang etiologi utamanya belum diketahui dan paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif yaitu usia 15–44 tahun. SLE dapat menimbulkan manifestasi ke organ sistemik lain seperti ginjal, muskuloskeletal, saraf, kulit, kardiovaskular termasuk rongga mulut. Pada rongga mulut, manifestasi SLE dapat berupa xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid serta lesi merah dan merah/putih yang dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para ODAPUS (Orang Penderita Lupus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manifestasi oral SLE yang timbul pada rongga mulut ODAPUS dan mengetahui prevalensi masing-masing manifestasi oral tersebut. Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif dan dilakukan pada 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara. Data manifestasi oral dikumpulkan menggunakan kuesioner dan pemeriksaan langsung pada rongga mulut ODAPUS. Hasil penelitian menunjukkan dari 45 ODAPUS ditemukan 29 orang mempunyai manifestasi oral. Pada 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral, ditemukan sebanyak 30% lesi


(12)

merah dan merah/putih, kemudian xerostomia ditemukan berjumlah 29%, lesi ulserasi berjumlah 26%, dan lesi diskoid sebanyak 15%. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manifestasi penyakit SLE pada rongga mulut merupakan kasus yang cukup sering dialami oleh para ODAPUS sehingga upaya pencegahan dan penatalaksanaan oral yang tepat sangat diperlukan bagi para ODAPUS agar tetap memperoleh kualitas hidup yang lebih baik.

Daftar Rujukan: 39 (1978-2013)


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronis

yang paling sering ditemukan pada perempuan usia produktif yaitu usia 15 – 44 tahun.1 Menurut The Lupus Foundation of America, diperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk Amerika menderita lupus dengan rasio perbandingan 9 : 1 antara perempuan dan laki-laki pada setiap 100.000 penduduk.2

Kepala Badan Litbang Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, dr. Dr. Trihono, MSc menyatakan bahwa di Indonesia, orang penderita lupus (ODAPUS) diperkirakan berjumlah 1,5 juta orang dengan 100.000 ODAPUS baru ditemukan setiap tahunnya.3 Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah ODAPUS di Indonesia meningkat dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang, sementara di RS. Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien lupus dari total pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010.Dari data Yayasan Lupus Indonesia, ternyata di Sumatera Utara juga terdapat sebuah komunitas lupus yang bernama Cinta Kupu yang didirikan oleh para penderita lupus yang ada di Sumatera Utara.4

Bukti ilmiah menyatakan bahwa etiologi utama penyakit SLE belum diketahui. Meskipun demikian, beberapa faktor seperti genetik, imunologi, hormonal serta lingkungan diketahui dapat berperan dalam patofisiologi SLE.5 Pada respons kekebalan tubuh normal, semua unsur sistem imun bekerja sama untuk memberikan respons terhadap peradangan yang terjadi di dalam tubuh. Sistem imun berfungsi untuk menjaga tubuh dari bakteri, virus dan benda asing lain, namun pada ODAPUS, sistem imun berbalik menyerang jaringan tubuh yang sehat sehingga terjadi inflamasi pada jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan berbagai macam gejala yang sangat mirip dengan


(14)

gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit lain, sehingga diagnosa SLE sangat sulit untuk ditegakkan.6,7

SLE dapat berdampak pada beberapa organ, seperti ginjal, muskuloskeletal, saraf, kulit, kardiovaskular, termasuk rongga mulut. Manifestasi yang timbul pada beberapa organ tersebut dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para ODAPUS.2 Biesecker dkk (1982) melakukan penelitian untuk melihat manifestasi SLE pada beberapa organ tubuh dan menemukan bahwa kelainan pada sendi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai pada pasien SLE. Selain itu depresi, anorexia dan kelainan pada kulit juga dilaporkan dijumpai pada pasien SLE.8 Albilia dkk (2007) melaporkan bahwa 30% dari pasien SLE mengalami komplikasi pada ginjal dan 40% dapat mengalami lesi pada rongga mulut.9

Penelitian yang dilakukan oleh Rhodus dan Jhonson (1990) yang dilakukan pada 16 pasien SLE dengan usia di atas 60 tahun, ditemukan 100% dari pasien SLE tersebut mengalami xerostomia, 87,5% mengalami angular kelitis, 87,5% mengalami gangguan pengecapan, dan 81,3 % mengalami mukositis dan glositis.10 Zakeri dkk (2012) dalam penelitiannya mengenai manifestasi oral pada pasien SLE di Iran menemukan dari 70 pasien SLE pada rentang usia 10-70 tahun ditemukan 43 orang (61,4%) memiliki lesi oral dan 27 orang (38,6%) tidak memiliki lesi oral. Lesi oral yang paling banyak ditemukan adalah lesi merah 20 orang (35,08%), lesi putih 12 orang (21,05%), pigmentasi 11 orang (19,29%), ulser 10,52%, angular kelitis 10,52%, lesi putih dan merah 3,52%, serta 36 orang (51,4%) mengalami xerostomia.11

Hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai prevalensi manifestasi oral SLE masih terlihat bervariasi. Disamping itu menurut survei pendahuluan peneliti, komunitas lupus yang terdapat di Sumatera Utara (Cinta Kupu) belum pernah dilakukan penelitian di bidang kedokteran gigi. Mengacu pada hal-hal yang telah dikemukakan di atas penulis merasa perlu melakukan penelitian dari bidang kedokteran gigi, khususnya mengenai manifestasi oral SLE yang timbul pada ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara.


(15)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apa saja manifestasi oral SLE yang timbul pada ODAPUS yang bergabung di Cinta Kupu ?

2. Berapakah prevalensi masing-masing manifestasi oral SLE yang timbul pada ODAPUS yang bergabung di Cinta Kupu ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui manifestasi oral SLE yang timbul pada ODAPUS yang bergabung di Cinta Kupu.

2. Untuk mengetahui prevalensi masing-masing manifestasi oral SLE yang timbul pada ODAPUS yang bergabung di Cinta Kupu.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis :

1. Memberikan informasi untuk ODAPUS dan komunitas lupus Cinta Kupu tentang manifestasi oral yang dapat timbul akibat penyakit lupus.

2. Sebagai bahan informasi untuk perkembangan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi mengenai manifestasi oral yang dapat timbul pada pasien lupus.

1.4.2 Manfaat Praktis :

1. Dokter gigi secara profesional dapat mengedukasi para ODAPUS tentang pentingnya menjaga kebersihan rongga mulut sebagai bagian dari pencegahan dan mengurangi manifestasi yang timbul pada rongga mulut.


(16)

2. Sebagai bahan masukan untuk aparat pemerintahan serta komunitas lupus agar melibatkan baik dokter gigi umum maupun dokter gigi spesialis penyakit mulut untuk menangani para ODAPUS, sehingga kualitas hidup para ODAPUS dapat meningkat.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 2.1.1 Definisi

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,

sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah

lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan

suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. 12

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan

menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.13 Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat.14

2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang


(18)

paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.15 Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.15,1

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.15,1

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu : a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa

reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.16


(19)

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.16,2

c. Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.16,2

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.16,17

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri

Streptococcus dan Clebsiella.17

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.17


(20)

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.17,18

d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.17,19

2.1.3 Gambaran Klinis

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.15,20

Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.15

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE.15

Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous

lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa

lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena membentuk


(21)

seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.15,21

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla, dan panikulitis.15

Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar 20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.15,22

SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada perempuan dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum. Kecenderungan


(22)

peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.15,22

2.1.4 Diagnosa

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.14,23

Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.14

Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.14

Kriteria Definisi

1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung

tidak mengenai lipatan nasolabial.

2. Discoid Rash Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan

sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang sudah lama timbul.


(23)

Kriteria Definisi

4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak nyeri jika sudah kronis.

5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih

persendian perifer dengan rasa sakit disertai pembengkakan 6. Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau pada

jantung disebut juga pericardium

7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan tidak normal dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop 8. Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan

metabolik yang diketahui.

9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x 10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau lebih pemeriksaan.

10.Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer

abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus menggunakan uji standar.

11.Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi obat.

Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan


(24)

tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.14,1

2.1.5 Terapi

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai.14,15 Berikut pilar terapi SLE :

a. Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.14

b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.14

c. Terapi Medikasi

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.14,24

1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.14,24


(25)

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.14,24

3. Antimalaria

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari

hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.14,24

4. Immunosupresan

Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.14,24

2.2 Manifestasi SLEpada Rongga Mulut

Sekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral.25 Beberapa manifestasi oral yang timbul pada pasien SLE, antara lain :


(26)

a. Xerostomia

Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit pada kelenjar saliva mayor telah ditemukan pada 50-75% pasien SLE, baik pada pasien yang mengeluhkan adanya rasa kering di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang tidak distimulasi terlihat menurun pada beberapa penderita SLE. Hal ini dapat dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’s Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s Syndrom.26,27

Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat adanya peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini ditemukan pada 30% pasien lupus. Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan kuantitas saliva.28

b. Lesi Ulserasi

Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu kriteria untuk penegakan diagnosis SLE.29 Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi orofaringeal berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih dari 1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo. Ulser ini dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada pasien lupus sering ditemukan pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi (flare up) (Gambar 2). Biasanya, ulser pada pasien lupus lebih lama mengalami masa penyembuhan. Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk jaringan parut dan fibrosis.25,30


(27)

Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk garis-garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini dapat dikatakan mirip dengan lichen planus (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik kronik yang memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser.25 Pada pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan lichen planus,

yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular, hiperkeratotis, dan atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan hidung dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen planus, yaitu pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada lichen planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut.25,28


(28)

Gambar 3. Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE. 15

Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa vesikel berukuran kecil dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat lapisan berwarna kekuningan (Gambar 4).25,33


(29)

c. Lesi Diskoid

Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari (Gambar 5), sementara itu bibir bagian atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang terdapat pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lama-kelamaan berubah menjadi lesi keratotik dan bersisik (Gambar 6). Bila sisik diangkat, maka bibir akan perih dan menimbulkan perdarahan.25

Gambar 5. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE.15,25

Gambar 6. Lesi bibir bersisik dan merah pada pasien SLE.25


(30)

d. Lesi Mir Pad disertai ul berkilauan sakit. Lesi 7).25,33 Le bercak pa terlihat di t

rip Lichen P

da pasien SL lserasi. Les n yang tersu i biasanya d esi lain yang ada mukosa tepi lesi. Da

Planus

LE dapat ter si terlihat b usun dalam dapat terlih g juga dapa a yang berw apat terlihat Gambar 7 Gambar 8 rlihat bebera berupa gari satu jaring hat di pipi, at terlihat p warna mer di pipi, lida

. Lesi mirip

8. Lesi mirip

apa lesi mir is-garis ata gan mirip ja

lidah, bibi pada pasien

rah, tanpa d ah, gusi, dan

p lichen plan

p lichen plan

rip lichen pl

au papula-p ala dan pad

r, gusi dan SLE merup disertai ulse n palatum (G

nus retikuler

nus atrofik.1

lanus, namu apula putih da umumny

palatum (G pakan lesi b erasi. Striae Gambar 8).2

r.15 15 un tidak h halus ya tidak Gambar bercak-e sbercak-ering 25,33


(31)

e. Kandidi Ka opurtunisti komplikas sistemik y sebagai pla akan meni 25,33 Ka masuk mel asis Oral ndidiasis ik yang dis

i paling seri yang sering ak-plak puti inggalkan pe

Gam ndidiasis h lalui permu

pseudomem sebabkan ol

ing akibat p g digunakan

ih, berkelom ermukaan y

mbar 10. Tr

hiperplastik ukaan mukos

mbran aku eh jamur c

penggunaan n oleh pas mpok, memp yang merah,

Gambar 9.

rush pada pa

kronis dis sa dan men

ut (trush) andida albi

obat imuno ien SLE. S punyai tepi , kasar atau

. Trush. 15

asien imuno sebabkan ol stimulasi re

merupaka

icans super osupresif sep Secara klin eritematosu berdarah (G osupresi (SL leh jamur espon hiperp an suatu rfisial dan m

perti kortiko nis, thrush

us, dan jika d Gambar 9 d

LE).15 candida sp plastik. Lesi infeksi menjadi osteroid terlihat dikerok dan 10). p. yang i paling


(32)

sering tim mempunya beberapa d

Pe mengakiba membuat d merah difu

mbul di dae ai tepi meni daerah mera Gamb enggunaan atkan kond daerah muk us. Sakit sep

erah dorsum imbul yang ah dan tidak

bar 11. Kand yang antibiotik isi mulut y kosa permuk perti terbaka

Gambar 1

m lidah, p g tegas, dan

dapat diker didiasis hipe menyebar k k spektrum yang disebu kaan menge ar adalah ke

2. Kandidia

palatum dan permukaan rok (Gamba

erplastik kro ke mukosa p m luas t

ut kandidia elupas dan

luhan utama

asis atrofik a

n sudut bi n putih berb ar 11).25,33

onis disudut pipi.25

terutama t asis atrofik

tampak sep a (Gambar 1

akut. 15

ibir. Lesi t bintil-bintil t mulut tetrasiklin, akut. Infe perti bercak 12).25 tersebut dengan dapat eksi ini -bercak


(33)

2.3 Kerangka Teori

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

 Xerostomia  Lesi Ulserasi  Lesi Diskoid  Lesi mirip

lichen planus

 Kandidiasis SLE

(Systemic Lupus Erythematosus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

sistemik Kulit Oral Laboratorium

 Arthritis  Serositis

 Gangguan ginjal  Gangguan saraf

Butterfly rash

Discoid rash

 Fotosensitivitas

 Gangguan darah  Gangguan imun  Antibodiantinuklir


(34)

2.4 Kerangka Konsep

ODAPUS (Orang Penderita Lupus)

Manifestasi Oral  Xerostomia

 Lesi Ulserasi

 Lesi Merah dan Merah /Putih  Lesi Diskoid


(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional adalah jenis penelitian dimana data yang menyangkut variabel bebas, yaitu pasien Systemic Lupus Erythematosus dan variabel terikat, yaitu manifestasi oral (xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid, lesi merah dan merah/putih) akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.34

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekretariat komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara di Jl. Medan Binjai Km 10,8 Perumahan Villa Mulia. Cinta Kupu didirikan pada tanggal 16 Oktober 2011 yang bertujuan untuk membantu sesama ODAPUS dengan cara berbagi informasi seputar penyakit lupus baik bersumber dari pengalaman maupun bersumber dari dokter ahli. Pada komunitas ini belum ada peran serta dokter gigi dalam membagi informasi mengenai penyakit SLE yang berhubungan dengan ruang lingkup kedokteran gigi.35 Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dimulai dari bulan Desember sampai Februari 2014.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah orang penderita lupus (ODAPUS) yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan berjumlah 45 orang.


(36)

Sampel pada penelitian ini diambil secara total sampling, yaitu pada Orang Penderita Lupus (ODAPUS) yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan.

3.3.1 Kriteria Inklusi

a. ODAPUS yang bergabung di komunitas Cinta Kupu SUMUT b. ODAPUS yang menyetujui menjadi sampel penelitian

c. ODAPUS yang sanggup untuk dilakukan pemeriksaan

3.3.2 Kriteria Eksklusi

ODAPUS yang tiba-tiba berhenti mengikuti seluruh tahapan prosedur pemeriksaan sehingga tidak dapat menyelesaikan seluruh tahapan pemeriksaan.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional 3.4.1 Variabel Bebas

Orang Penderita Lupus (ODAPUS).

3.4.2 Variabel Tergantung

Manifestasi oral pasien Systemic lupus erythematosus, terdiri dari xerostomia, lesi ulserasi, lesi diskoid, lesi merah dan merah/putih.

3.4.3 Variabel Tak Terkendali Jenis kelamin


(37)

3.4.4 Definisi Operasional

1. ODAPUS adalah orang yang menderita penyakit Systemic Lupus

Erythematosus dan diagnosis penyakit SLE tersebut ditegakkan berdasarkan rekam

medis dokter komunitas lupus Cinta Kupu SUMUT

2. Xerostomia adalah jika ODAPUS merasakan sensasi mulut kering atau keadaan mukosa kering atau merasakan keduanya.23 Pemeriksaan sensasi mulut kering secara subjektif akan diperiksa menggunakan kuesioner dengan ketentuan skor lebih besar lima atau sama dengan lima, sementara pemeriksaan kondisi rongga mulut yang terlihat kering akan dilakukan pemeriksaan menggunakan kaca mulut, dengan ketentuan kaca mulut akan lengket atau susah terlepas dari mukosa bukal dan lidah.

3. Lesi ulserasi

a. Ulser: jika terlihat ulser yang tidak beraturan, dangkal, berwarna kuning-keputihan, berbatas jelas, dikelilingi eritema halo dan berukuran >1 cm.25

b. Lichen planus erosif: jika terlihat tepi-tepi mukosa yang tidak teratur, pseudomembran sentral berwarna kuning-kuningan dan dikelilingi oleh striae.25

c. Ulser herpetika: jika terlihat ulser berukuran kecil, berbentuk oval, berkelompok, menyatu, pseudomembran berwarna kuning.25

4. Lesi diskoid adalah jika terlihat lesi eritema dengan titik putih yang dikelilingi striae putih dan terihat bersisik.25

5. Lesi merah dan merah/putih

a. Lichen planus retikuler: jika terlihat banyak garis-garis putih halus

berkilauan yang tersusun dalam satu jaringan mirip jala.25 b. Lichen planus atrofik: jika terlihat bercak-bercak pada mukosa, berwarna

merah, tanpa ulserasi. Striae sering terlihat di tepi lesi.25

c. Trush: jika terlihat plak-plak putih, berkelompok, mempunyai tepi

eritematosus dan jika dikerok akan meninggalkan permukaan yang merah, kasar atau berdarah.25


(38)

d. Kandidiasis atrofik akut: jika terlihat permukaan mukosa eritema dengan daerah kemerahan simetris, tepi berbatas tidak teratur.25

e. Kandidiasis keratotik kronis (hiperplastik): jika terlihat mukosa yang tepinya menimbul, tegas, dan permukaan putih dengan beberapa daerah merah dan tidak dapat dikerok.25

3.5 Sarana Penelitian Alat Pemeriksaan

a. Kidney tray

b. Kaca mulut c. Spatula kayu d. Lampu

e. Kantong sampah f. Lembar pemeriksaan g. Kuesioner

Bahan

a. Larutan sterilisasi

b. Masker dan sarung tangan c. Rekam medik

3.6 Metode Pengumpulan Data

Sebelum dilakukan pengumpulan data, peneliti beserta anggota peneliti melakukan pelatihan dengan dokter spesialis penyakit mulut guna melatih kemampuan peneliti dan anggota peneliti untuk melihat lesi-lesi oral pada para ODAPUS. Pengumpulan data dilakukan di sekretariat komunitas cinta kupu Sumatera


(39)

Utara, subjek yang dipilih disesuaikan dengan kriteria inklusi. Selanjutnya subjek diberikan lembar penjelasan mengenai penelitian. Bila subjek bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka subjek penelitian menandatangani lembar informed concent.

Data demografi diperoleh dari rekam medik pasien yang berobat ke klinik dokter komunitas lupus. Kelainan mulut diketahui dengan cara anamnesis dan pemeriksaan klinis terhadap pasien SLE. Anamnesis dilakukan untuk pemeriksaan xerostomia. Sedangkan pemeriksaan klinis untuk melihat kelainan mulut berupa lesi ulser, lesi diskoid dan lesi merah dan merah/putih. Pemeriksaan rongga mulut dilakukan dengan meminta subjek untuk duduk dalam keadaan rileks, posisi pemeriksaan berdiri di depan subjek. Satu orang asisten berada di samping pemeriksa yang bertugas mengisi kartu rekam medik yang dijumpai pada subjek penderita. Kriteria diagnosis menifestasi oral sesuai dengan kriteria definisi operasional. Selanjutnya alat disterilkan, lalu dilakukan hal yang sama pada subjek lain.

3.7Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara manual, ditabulasi, lalu dikonversikan ke tabel. Analisis data menggunakan analisis univariat. Data univariat disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi:

1. Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan jenis kelamin pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

2. Distribusi dan frekuensi sampel berdasarkan umur pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

3. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara berdasarkan jumlah lesi.

4. Distribusi dan frekuensi manifestasi oral pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

5. Distribusi dan frekuensi lesi ulserasi pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.


(40)

6. Distribusi dan frekuensi lesi merah dan merah/putih pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara.

3.8Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup : 1. Lembar persetujuan (Informed Consent)

Peneliti melakukan pendekatan dan memberikan lembar persetujuan kepada responden kemudian menjelaskan terlebih dulu tujuan penelitian, tindakan yang akan dilakukan serta menjelaskan manfaat yang akan diperoleh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penelitian. Bagi responden yang setuju, maka dimohonkan untuk menandatangani lembar persetujuan agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.

2. Ethical Clearance

Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.


(41)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Responden penelitian ini terdiri dari 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan. Dari data primer yang diperoleh, dapat dilihat pada tabel 2 ODAPUS yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 2 orang (5%) dan perempuan sebanyak 43 orang (95%).

Tabel 2. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (F) Persentase (%)

Laki- Laki 2 5

Perempuan 43 95

Total 45 100

Pada penelitian ini, usia responden dibagi menjadi tiga kelompok usia yaitu kelompok usia < 20 tahun dijumpai 1 orang (2%) laki-laki dan 11 orang (25%) perempuan, kelompok usia 20-40 tahun dijumpai 1 orang (2%) laki-laki dan perempuan 22 orang (49%), serta kelompok usia > 40 tahun dijumpai 10 orang (22%) perempuan (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara berdasarkan usia

Usia (Tahun) Frekuensi (F) Persentase (%)

< 20 12 27

20 – 40 23 51

>40 10 22


(42)

4.2 Distribusi dan Frekuensi Pasien SLE di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara yang Memiliki Manifestasi Oral

Pada 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara, ditemukan 29 orang (64%) memiliki manifestasi oral dan 16 orang (36%) lainnya tidak ditemukan adanya manifestasi pada rongga mulut (Tabel 4).

Tabel 4. Distribusi dan frekuensi pasien SLE di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara yang memiliki manifestasi oral

Manifestasi Oral Frekuensi (F) Persentase (%)

Ada 29 64

Tidak Ada 16 36

Total 45 100

4.3 Distribusi dan Frekuensi Pasien SLE yang Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara Berdasarkan Jumlah Lesi

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan kepada 45 ODAPUS, sebanyak 16 orang (36%) tidak ditemukan adanya lesi di rongga mulut, kemudian ditemukan sebanyak 3 orang (7%) hanya mengalami 1 lesi saja, sebanyak 5 orang (11%) ditemukan 2 lesi pada rongga mulutnya, ditemukan sebanyak 6 orang (13%) mengalami 3 lesi oral dan sebanyak 15 orang (33%) ditemukan lebih dari 3 lesi pada rongga mulut ODAPUS (Tabel 5).


(43)

Tabel 5. Distribusi dan frekuensi pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara berdasarkan jumlah lesi

Jumlah Lesi Frekuensi (F) Persentase (%)

Tidak ada lesi 16 36

Ada lesi : a. 1 Lesi b. 2 Lesi c. 3 Lesi d. > 3 Lesi

3 5 6 15

7 11 13 33

Total 45 100

4.4 Distribusi dan Frekuensi Manifestasi Oral pada Pasien SLE yang Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara

Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi di rongga mulut, ditemukan 94 manifestasi oral. Persentase paling tinggi adalah lesi merah dan merah/putih ditemukan sebanyak 28 lesi (30%), kemudian xerostomia ditemukan berjumlah 27 lesi (29%), lesi ulserasi dengan jumlah 25 lesi (26%), dan lesi diskoid dengan jumlah 14 lesi (15%) (Tabel 6).

Tabel 6. Distribusi dan frekuensi manifestasi oral pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara

Manifestasi Oral Frekuensi (F) Persentase (%)

Xerostomia 27 29

Lesi ulserasi 25 26

Lesi merah dan merah/putih 28 30

Lesi diskoid 14 15


(44)

4.5 Distribusi dan Frekuensi Lesi Ulserasi pada Pasien SLE yang Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara

Pada penelitian ini, dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral ditemukan 25 (26%) lesi ulserasi. Lesi ulserasi yang ditemukan terdiri dari ulser dan ulser herpetika, dengan persentase paling besar terlihat pada ulser dengan jumlah 20 (80%), kemudian ulser herpetika ditemukan sebesar 5 (20%) dan tidak ditemukan

lichen planus erosif pada ODAPUS yang bergabung di komunitas cinta kupu

Sumatera Utara (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi dan frekuensi lesi ulserasi pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara

Lesi Ulserasi Frekuensi (F) Persentase (%)

Ulser 20 80

Lichen Planus Erosif 0 0

Ulser Herpetika 5 20

Total 25 100

4.6 Distribusi dan Frekuensi Lesi Merah dan Merah/Putih pada Pasien SLE yang Bergabung di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara

Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi di rongga mulut, di temukan sebanyak 28 (30%) lesi merah dan merah putih yang terdiri dari trush ditemukan paling banyak yaitu 24 (86%), kemudian ditemukan lichen planus retikuler sebesar 4 (14%). Tidak ditemukan manifestasi oral berupa lichen planus atrofik, kandidiasis hiperplastik dan kandidiasis atrofik akut pada ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara (Tabel 8).


(45)

Tabel 8. Distribusi dan frekuensi lesi merah dan merah/putih pada pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara

Lesi Merah dan Merah/Putih Frekuensi (F) Persentase (%)

Lichen Planus Retikuler 4 14

Lichen Planus Atrofik 0 0

Trush 24 86

Kandidiasis Hiperplastik 0 0

Kandidiasi Atrofi Akut 0 0


(46)

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, dari 45 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Cinta Kupu Sumatera Utara, diperoleh bahwa ODAPUS yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan ODAPUS yang berjenis kelamin laki-laki (tabel 2). Dari data tersebut diperoleh rasio antara laki-laki dan perempuan yaitu 1 : 19. Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian Khatibi dkk (2012) yang melaporkan bahwa jumlah pasien SLE berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio antara laki-laki dan perempuan 1 : 6.36 Hasil penelitian ini juga serupa dengan penelitian Lourenco SV (2007) yang melaporkan bahwa pasien SLE lebih banyak perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki-laki-laki 3 : 1.28 Perbedaan rasio yang signifikan antara laki-laki dan perempuan disebabkan karena adanya epigenetik. Epigenetik merupakan perubahan turunan pada ekspresi gen yang terjadi tanpa perubahan sekuens DNA dimana mekanisme yang terjadi berkaitan dengan metilasi DNA. Inhibisi metilasi DNA selama proses mitosis akan mengganggu ekspresi gen yang mengakibatkan terjadinya perubahan imunogenik yang dapat mengganggu respon terhadap self-antigen, termasuk ekspresi berlebihan dari molekul-molekul, salah satunya adalah molekul ko-stimulasi sel B yaitu CD70 dan CD40L yang menyebabkan stimulasi berlebih pada produksi immunoglobulin. Molekul CD40L inilah yang berperan penting terhadap kejadian lupus pada perempuan. Ekspresi berlebihan molekul ini hanya terjadi pada perempuan karena enkodisasinya terjadi pada kromosom x. Perempuan memiliki dua kromosom x, sementara laki-laki hanya memilki satu kromosom x saja, maka kemungkinan terjadinya ekspresi berlebihan CD40L pada perempuan dua kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. 1,22 Selain epigenetic, hormone estrogen yang jumlahnya lebih banyak pada perempuan, juga dinyatakan dapat membuat perempuan lebih beresiko menderita SLE disbanding laki-laki.12 Hormon estrogen dapat memicu terjadinya


(47)

autoimunitas, yang secara tidak langsung akan meningkatkan inflamasi. Estrogen juga dapat meningkatkan produksi autoantibodi, menghambat fungsi sel NK, serta memicu atrofi kelenjar timus. Pada penderita SLE, estrogen dimetabolisme secara berbeda, diakibatkan abnormalitas dari jalur kimia (16-alfa-hidroksilasi) dimana konsentrasi metabolit 16-alfa-hidroksiestron dan estriol akan terlihat tinggi.1

Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pasien SLE yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan terjadi hampir pada semua rentang usia, namun persentase paling tinggi dapat ditemukan pada perempuan dengan rentang usia 20–40 tahun sebanyak 51%, sementara pasien dengan usia <20 tahun sebanyak 27 % dan persentase paling rendah pada usia >40 tahun yaitu sebanyak 22 %. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Khatibi dkk (2012), pasien dengan usia <25 tahun ditemukan sebanyak 6%, usia 25-45 tahun ditemukan sebanyak 47% dan pasien dengan usia >45 tahun ditemukan 47%.36 Penelitian ini memiliki sedikit persamaan dengan hasil penelitian Zakeri Z (2012) dkk, yang menyatakan pasien yang menderita SLE paling banyak berusia 20-40 tahun yaitu sebanyak 54%, sementara usia >20-40 tahun ditemukan 11% yang menderita SLE dan 5% ditemukan pada usia <20 tahun. Hal ini dapat disebabkan karena usia produktif pada perempuan merupakan usia peningkatan hormon estrogen.1 Pada usia produktif juga kerentanan terpaparnya sinar matahari serta kerentanan terhadap stres, sangat tinggi.1,14

Menurut literatur, manifestasi oral pada pasien SLE juga dijumpai pada pasien SLE sekitar 20-40%.1,15 Dari tabel 4 terlihat distribusi pasien SLE di komunitas lupus Sumatera Utara dan berdomisili di Medan yang memiliki manifestasi pada oral ditemukan sebanyak 64%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Uthman dkk (1999) yang melaporkan bahwa ditemukan dari 40 pasien SLE ditemukan 40% pasien mengalami lesi oral.37 Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Lourenco SV dkk (2007) menemukan dari 46 pasien SLE, 9-45% mengalami lesi oral yang berhubungan langsung dengan penyakit SLE, dibuktikan dari pemeriksaan histolgi dan imunoflouresens.28 Pemeriksaan histologi dan imunoflouresens merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan


(48)

antara lesi oral yang timbul karena penyakit SLE secara langsung dengan lesi oral yang timbul karena efek samping obat atau penyakit lain yang diderita oleh pasien pasien SLE.25

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 45 rongga mulut ODAPUS, dari tabel 5 dapat terlihat bahwa pada 16 ODAPUS tidak ditemukan lesi oral, sedangkan pada 29 dapat ditemukan orang dapat ditemukan lesi oral. Dari 29 ODAPUS, sebanyak 15 ODAPUS yang memiliki 3 lesi oral pada rongga mulutnya. Menurut beberapa literatur, keadaan flare up dari para ODAPUS dapat mempengaruhi timbulnya manifestasi pada organ-organ tubuh pasien termasuk rongga mulut.16,30 Pada penelitian ini kebanyakan pasien yang diperiksa merupakan pasien yang sedang mengalami flare up yang ditentukan oleh beberapa kriteria, terdiri dari timbulnya ruam malar pada kulit, lesi diskoid, ulser rongga mulut serta timbulnya gejala penyakit SLE pada organ tubuh yang diserang. Para ODAPUS tersebut sedang dalam masa perawatan yang intensif. Lupus terdiri dari dua periode yaitu periode remisi dan periode flare up.14 Periode remisi pada pasien lupus merupakan periode tidak aktifnya lupus, ditandai dengan tidak munculnya gejala-gejala di beberapa organ tubuh, dan dapat dikatakan bahwa pada periode ini pasien dalam keadaan sehat karena periode ini merupakan tujuan dari pengobatan pada pasien SLE.1,14 Periode flare up pada pasien SLE merupakan periode yang ditandai dengan munculnya kembali gejala-gejala dari penyakit lupus yang dipicu oleh beberapa faktor seperti paparan langsung sinar ultra violet, stress, infeksi virus, kehamilan dan lain-lain, artinya pada keadaan ini penyakit lupus aktif kembali menyerang pasien.1,14

Manifestasi oral yang dapat ditemukan pada pasien SLE terdiri dari xerostomia, lesi ulserasi, lesi merah dan merah putih serta lesi diskoid.25 Pada tabel 6 dapat terlihat bahwa dari 29 ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus Sumatera Utara yang berdomisili di Medan dan mempunyai manifestasi oral ditemukan 29% mengalami xerostomia. Beberapa literatur menyebutkan bahwa 50-70% pasien SLE ditemukan dapat mengalami xerostomia, bahkan penelitian yang dilakukan oleh Rhodus dan Johnson terhadap 16 pasien SLE yang mempunyai manifestasi oral ditemukan 100% mengalami xerostomia. Xerostomia pada ODAPUS dapat dikaitkan


(49)

dengan sindrom sjogren yang berhubungan dengan pasien SLE. Sindrom sjogren merupakan sebuah kelainan autoimun dimana sel imun menyerang dan menyebabkan kerusakan pada kelenjar air mata serta kelenjar saliva.15 Diperkirakan 10% pasien SLE dapat mengalami sindrom sjogren (SS).1Selain itu pada penelitian ini beberapa ODAPUS yang dianamnesis telah menjalani pengobatan xerostomia dengan mengunyah permen karet.

Lesi diskoid pada penelitian ini terlihat sebagai bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis seperti bersisik di sekitar rongga mulut dan dapat terjadi karena perluasan dari lesi pada kulit.1 Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulut dapat ditemukan lesi diskoid sebanyak 15%. Lesi ini banyak ditemukan di daerah vermilion bibir para ODAPUS. Hasil penelitian yang berbeda dijumpai pada penelitian SchiOdt dan Anderson yang melaporkan bahwa 9,52% pasien lupus hanya mempunyai lesi diskoid didaerah rongga mulut saja dan 90,47% pasien mempunyai lesi diskoid di kulit yang meluas ke daerah rongga mulut.38 Hal ini dapat disebabkan karena pada penelitian ini tidak dibedakan antara lesi diskoid yang timbul hanya pada daerah rongga mulut dengan lesi diskoid yang timbul di rongga mulut karena perluasan dari lesi di kulit.

Pada penelitian ini ditemukan 26% lesi ulserasi pada 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral. Pada tabel 7 dapat dilihat bahwa lesi ulserasi yang paling banyak ditemukan pada ODAPUS adalah ulser, yaitu sebanyak 80% dan paling banyak di jumpai di lidah, mukosa bukal dan palatum durum. Hasil penelitian De Rossi pada tahun 1988 juga menyatakan bahwa sebanyak 81,3% pasien SLE ditemukan ulser pada rongga mulutnya, paling banyak ditemukan di daerah mukosa bukal dan bibir.39 Ulser sangat sering ditemukan pada rongga mulut para ODAPUS karena keadaan para ODAPUS pada saat pemeriksaan, lupus sedang teraktifasi (flare up).1 Keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya ulser pada rongga mulut.25 Pada penelitian ini menemukan ulser herpetika sebanyak 20% dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulut. Menurut literatur, penggunaan obat imunosupresan pada pasien SLE dapat memudahkan infeksi virus berkembang di dalam tubuh pasien SLE.15,21


(50)

Pada tabel 8 terlihat prevalensi yang berhubungan dengan lesi merah dan merah putih pada penelitian ini ditemukan sebanyak 30%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Zakeri dkk (2012) yang hanya mendapatkan 3,52% lesi merah dan merah putih pada pasien SLE. Hal ini dapat disebabkan karena pengelompokkan lesi merah dan merah putih pada penelitian ini lebih banyak, yaitu terdiri dari lichen planus tipe retikuler, lichen planus tipe atrofi, oral trush, kandidiasis atrofik akut dan kandidiasis hiperplastik kronis. Sementara pada penelitian Zakeri dkk mengelompokkan satu persatu lesi-lesi tersebut yang terdiri dari lesi putih, lesi merah dan lesi merah dan putih.11

Dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi pada rongga mulutnya ditemukan lesi mirip lichen planus sebanyak 14%. Penelitian Uthman pada 40% pasien SLE yang mempunyai lesi oral, ditemukan 45% lesi merupakan lesi mirip

lichen planus dan paling banyak di temukan di daerah palatum durum serta mukosa bukal.37 Pada penelitian ini lesi mirip lichen planus yang ditemukan hanya lesi dengan tipe retikuler dan terlihat di bagian bukal serta dasar mulut ODAPUS. Sementara itu lesi mirip lichen planus tipe erosif dan atrofi tidak ditemukan. Beberapa literatur menyatakan bahwa lesi mirip lichen planus yang timbul pada rongga mulut pasien SLE paling banyak berbentuk seperti jala-jala dan dapat disebabkan karena adanya reaksi hipersensitif yang dapat dilihat melalui mikroskopis.13 Perbedaan ini dapat disebabkan karena lesi mirip lichen planus ini terjadi karena proses imunologis yang secara mikroskopis menyerupai reaksi hipersensitif.13 Reaksi hipersensitif seseorang terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen dan melakukan reaksi yang tepat terhadap antigen tersebut.2,13 Hal ini berarti, semua pasien SLE dapat mengalami lesi mirip lichen planus tergantung pada kemampuan sistem imun dari tiap-tiap pasien.2

Selain lesi mirip lichen planus, pada penelitian ini juga ditemukan salah satu lesi merah dan merah putih yaitu kandidiasis oral dapat dilihat pada tabel 8. Pada penelitian ini hanya tipe oral trush yang ditemukan yaitu sebanyak 86% dari 29 ODAPUS yang mempunyai manifestasi oral dan paling banyak ditemukan di daerah


(51)

lidah. Ditemukannya trush pada penelitian ini dapat disebabkan karena penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid, antibiotic dan imunosupresan pada pasien SLE dapat meningkatkan pertumbuhan jamur Candida sp. pada rongga mulut.30 Selain itu, kebersihan rongga mulut juga memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan rongga mulut dan mengontrol pertumbuhan flora normal pada rongga mulut.29,30


(52)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini pada ODAPUS yang bergabung di komunitas lupus cinta kupu Sumatera Utara yang berdomisili di Medan dijumpai manifestasi oral yaitu 30% lesi merah dan merah/putih, 29% xerostomia, 26% lesi ulser, dan 15% ditemukan lesi diskoid. Dari hasil tersebut prevalensi kasus terjadinya manifestasi pada rongga mulut cukup tinggi, sehingga menunjukkan bahwa manifestasi penyakit SLE pada rongga mulut merupakan kasus yang cukup sering dialami oleh para ODAPUS. Pengetahuan mengenai manifestasi oral yang terjadi pada ODAPUS dapat dijadikan sebagai sebuah pertimbangan dan rujukan dalam upaya melakukan pencegahan dan penatalaksanaan oral yang tepat agar para ODAPUS tetap dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

Kesehatan rongga mulut ODAPUS juga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya manifestasi oral. Peningkatan upaya kesehatan rongga mulut dapat mencegah timbulnya manifestasi pada rongga mulut serta mencegah timbulnya komplikasi penyakit lebih lanjut pada ODAPUS. Program memelihara kebersihan rongga mulut yang adekuat dapat dilakukan untuk membantu menjaga kesehatan rongga mulut ODAPUS serta mencegah timbul dan berkembangnya penyakit rongga mulut seperti kandidiasis oral dan ulser herpetika.

Peran serta dokter gigi spesialis penyakit mulut dan dokter gigi umum sangat dibutuhkan oleh para ODAPUS, melihat cukup tingginya prevalensi manifestasi oral yang timbul pada ODAPUS. Oleh karena itu diharapkan kepada pihak komunitas lupus serta pemerintah agar dapat bekerja sama dengan dokter gigi baik dokter gigi umum maupun spesialis dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan rongga mulut para ODAPUS. Dokter gigi juga dapat melakukan kerja sama yang baik dengan para dokter spesialis yang merawat para ODAPUS dalam menjaga kesehatan rongga mulut ODAPUS. Para dokter spesialis yang merawat ODAPUS dapat memberikan nasehat mengenai pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut dan memberikan motivasi


(53)

kepada ODAPUS untuk menjaga kesehatan rongga mulutnya. Para dokter spesialis yang merawat para ODAPUS juga dapat memberikan profilaksis agar infeksi opurtunistikyang disebabkan oleh jamurdalam rongga mulut dapat terkontrol.

Penelitian ini hanya mencoba menjelaskan secara umum manifestasi oral yang timbul pada ODAPUS dan prevalensi dari masing-masing manifestasi oral. Penelitian ini tidak dapat menemukan hubungan langsung dari lamanya penyakit dengan timbulnya manifestasi oral serta hubungan antara masing-masing manifestasi oral dengan penyakit SLE. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu dilakukan jenis penelitian lain yang sesuai untuk melanjutkan penelitian ini, berupa penelitian analitik, sehingga dapat diperoleh hubungan yang signifikan dari penyakit SLE terhadap manifestasi oral yang timbul. Penelitian ini mengelompokkan beberapa lesi merah dan merah/putih sehingga tidak dapat membedakan jenis lesi merah dan jenis lesi merah/putih secara satu persatu. Penelitian ini juga tidak menggunakan pemeriksaan histologi dan imunofloresens sehingga tidak dapat membedakan secara langsung lesi yang disebabkan oleh penyakit lupus. Oleh karena itu, diharapkan penelitian lanjutan mengenai manifestasi oral pada ODAPUS yang menggunakan pemeriksaan histologi dan imunoflouresens.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wallace DJ. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan keluarganya. Alih bahasa. Wiratama C. Yogyakarta: B – First, 2007: 1-170 2. Lupus Foundation of America. How lupus affects the body.

http://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_learnaffects.

aspx?articleid=2268. (Agustus 12. 2013)

3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peringatan hari lupus sedunia.

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1500-peringatan-hari-lupus-sedunia.html. (Juli 29. 2013).

4. Yayasan Lupus Indonesia. Lupus di Indonesia.

http://yayasanlupusindonesia.org/. (Juli 29. 2013).

5. Wallace DJ, Hahn BH. Dubois’ lupus erythematosus. 7th Edition. Philadhelphia: Lippincott, Williams & Willikins, 2002: 22-8

6. Lenher T. Imunologi pada penyakit mulut ed.3. Alih Bahasa: Farida R, Suryadana N.G. Jakarta: EGC, 1995: 148-9

7. Bartels MC. Systemic lupus erythematosus (sle) practice essentials. medscape reference: drugs, diseases, & procedurs. 19 Juli 2013: 1-19

8. Biesecker G, Lavin L, Zaskid W, et al. Cutaneous localization of membrane attack complex in discoid and systemic lupus erythematosus. New Engl J Med

1982 ; 306: 264-70

9. Albilia JB, Clokie C, Sandor G. Systemic lupus erythematosus: A review for dentist. JCDA 2007; 73 (9): 823-8

10.Rhodus NL, Jhonson KD. The prevalence of oral manifestation of systemic lupus erythematosus. Oral Pathology 1990; 21: 461-65

11.Zakeri Z, Naroui B, Bakhshipour A, Sarabadani J, et.al. Prevalence of oral manifestation in patient with systemic lupus erythematosus. Life Science Journal 2012; 9 (3): 1307-11

12.Waluyo S, Putra MB. 100 question & answers lupus. Jakarta: Gramedia, 2012: 1-57


(55)

13.Regezi JA, Sciubba JJ. Oral pathology clinical-patologic correlation. 5th ed. China: WB Saunders Co, 2008: 94-9

14.Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011: 1-9

15.Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment 11th ed. Hamilton: BC Decker Inc., 2008: 442-7

16. Alexis FA, Barbosa HV. Skin of Color : A practical guide to dermatologic diagnosis and treatment. New York: Springer Science, 2013: 52-5

17.Tahitian N. Tahukah anda penyebab penyakit lupus .

http://penyebablupus.com/. (Juli 21. 2013)

18.Morgan G, Hamilton C. Obstetri & ginekologi: Panduan praktik. Alih Bahasa. Syamsi M Rusi, Kapoh. P Ramona. Jakarta: EGC, 2003: 235-7

19.Eastham W, Brooke A. Discoid lupus erythematosus.

http://emedicine.medscape.com/article/1065529-overview#showall. (Agustus

21. 2013).

20.Web Md. Lupus Health Center. http://lupus.webmd.com/ . (Agustus 21. 2013) 21.Fidanoski B. Systemic lupus erythematosus (sle) oral manifestation and

adverse effect of lupus in oral cavity. http://www.fidanoski.ca/sle/. (Agustus 21. 2013).

22.Wood NK, Goaz PW. Differential diagnosis of oral and maxillofacial lesions. 5th ed. Taronto, Princeton: The CV. Mosby CO. St. Louis 1997: 87

23.Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. Dental management of the medically compromised patient. 7th ed, St. Louis, Elsevier Inc 2008: 327-9

24.Syamsi Dhuha Foundation. Pengobatan lupus.

http://eviandrianimosy.blogspot.com/2012/10/syamsi-dhuha-peduli-pada-odapus.html. (Juli 28. 2013)

25.Langlais PR, Miller SC. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Alih Bahasa. Budi Susetyo. Jakarta: Penerbit Hipokrates. 2012: 66-7


(56)

26.Sridevi P, Munnisekhar MS, Harika CH, et al. Oral manifestation of autoimmune diseaases. International Journal of Oral & Maxillofacial Pathology 2012; 3 (4): 27-33

27. Angela CC. Oral manifestations of systemic disease. American Family Physician 2010; 82 (11): 1381-8

28. Lourenco SV, Fabio C, et al. Lupus erythematosus: Clinical and histopathological study of oral manifestations and immunohistochemical profile of the inflammatory infiltrate. J Cutan Pathol 2007; 34: 558–64

29.Burkhat N. Oral exam lupus erythematosus. RDH 2007

30.Gayford JJ. Clinical oral medicine: Penyakit mulut. Alih Bahasa. Yuwono Lilian. Jakarta: EGC, 1993: 92-93

31.Rheumatology Image Bank. Butterfly Rush.

http://images.rheumatology.org/login.php?referer=/viewphoto.php&params=/i

mageId/2862550/albumId/75693/j/1. (Agustus 21. 2013)

32.Scully C, Cawson RA. Atlas bantu kedokteran gigi: Penyakit Mulut. Alih Bahasa: Yuwono L. Jakarta: Hipokrates, 2012: 56

33. Hamburger John. Systemic lupus erythematosus and the mouth.

http://www.lupusuk.org.uk/latest-news/103-sle-and-the-mouth. (Juli 02. 2013)

34.Praktiknya AW. Dasar–dasar metodologi penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2011: 117- 35.

35.Cinta Kupu. Profil Cinta Kupu.

http://eviandrianimosy.blogspot.com/2012/10/cinta-kupu-peduli-pada-odapus.html. (Juli 28.2013)

36.Khatibi M, Shakoorpour AH, Jahromi ZM, et.al. The prevalence of oral mucosal lesions and related factors in 188 patients with systemic lupus erythematosus. http://www.sagepub.co.uk/journalsPermissions.nav. (Juli 05. 2013).

37.Uthman I, Nasr F, Kassak K, Masri AF. Systemic lupus erythematosus in Lebanon. J. of Lupus 1999; 8(9): 713-5.


(57)

38.Schiodt M, Halberg P. A clinical study of 32 patient with oral discoid and systemic lupus eryhtematosus. Int J Oral Surg 1978; 7(2): 85-94.

39.De Rossi SS. Glick M. Lupus eriythematosus: Considerations for dentistry. J Am Dent Assoc 1998; 129: 30-339.


(58)

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN

Selamat Pagi,

Saya Atika Putri mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan dokter gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Saya akan mengadakan penelitian dengan judul “Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara” yang bertujuan untuk mengetahui jumlah penyakit mulut yang timbul pada ODAPUS. Manfaat penelitian ini adalah memberi pengetahuan kepada Bapak/Ibu tentang penyakit mulut yang timbul dan dapat menjaga kesehatan rongga mulut agar tidak terjadi penyakit mulut lainnya.

Bapak/Ibu sekalian, berdasarkan hasil penelitian di Iran, ada beberapa penyakit mulut yang timbul pada pasien SLE seperti mulut kering (xerostomia), sariawan, infeksi jamur kandida, infeksi virus herpes simplex dan terdapat lesi yang berwarna putih. Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit pada rongga mulut dan memerlukan penjagaan kesehatan rongga mulut yang lebih baik.

Penelitian yang akan saya lakukan, dilaksanan dengan wawancara dan pemeriksaan rongga mulut. Dalam penelitian ini, saya akan mewawancarai Bapak/Ibu mengenai keadaan rongga mulut Bapak/Ibu. Setelah wawancara selesai, selanjutnya saya akan memeriksa keadaan rongga mulut Bapak/Ibu dengan menggunakan kaca mulut dengan cara menempelkan kaca mulut tersebut ke bagian pipi untuk melihat apakah kaca mulut tersebut melekat atau tidak. Penelitian ini tidak membahayakan dan tidak memiliki efek samping.

Partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela. Pada penelitian ini, identitas Bapak/Ibu akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti, dan anggota komisi etik yang bisa melihat datanya. Kerahasiaan data Bapak/Ibu akan dijamin sepenuhnya. Bila data Bapak/Ibu dipublikasikan kerahasiaan akan tetap dijaga. Jika selama menjalankan penelitian ini akan terjadi keluhan pada Bapak/Ibu silahkan menghubungi saya Atika Putri (HP : 082164028970).


(59)

Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi dan kesediaan waktu Bapak/Ibu sekalian, saya ucapkan terima kasih.

Peneliti,


(60)

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SUBYEK PENELITIAN

(INFORMED CONCENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*)

Alamat :

Telah membaca semua keterangan dan mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang risiko, keuntungan dan hak saya sebagai subjek penelitian yang berjudul Prevalensi Manifestasi Oral pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara. Setelah saya memahaminya, maka saya dengan sadar dan tanpa paksaan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini untuk diteliti oleh peneliti Atika Putri sebagai mahasiswa FKG USU, dengan catatan apabila suatu ketika merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhal membatalkan persetujun ini.

Biaya penelitian tidak dibebankan kepada saya.

Mahasiswa Peneliti Medan, Desember 2013 Peserta Penelitian

(Atika Putri)


(61)

Lampiran 3

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KUESIONER : Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera

Utara

No. Kartu :

Tanggal :

Data Pribadi

Nama Lengkap :

Umur :

Jenis Kelamin : P / L

Pekerjaan :

Alamat :

No. Hp/Telp :

Keadaan flare up : Ya Tidak

Petunjuk Pengisian :

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan menggunakan tanda silang ( x ).

(Xerostomia)

1. Apakah mulut Anda terasa kering saat ini ?

a. Ya b. Tidak 1.

2. Apakah Anda sulit menelan ?

a. Ya b. Tidak 2.

3. Apakah mulut Anda terasa panas atau terbakar ?

a. Ya b. Tidak 3.

4. Apakah air ludah Anda terasa sedikit ?

a. Ya b. Tidak 4.


(62)

a. Ya b. Tidak 5. 6. Apakah Anda kesulitan menelan makanan yang kering ?

a. Ya b. Tidak 6.

7. Apakah Anda bangun pada malam hari untuk minum ?

a. Ya b. Tidak 7.

Skor :

≥ 5 = Xerostomia  


(63)

Lampiran 4

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LEMBAR PEMERIKSAAN : Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara

Pemeriksaan Intra Oral

1. Gingiva

2. Mukosa Bukal

3. Mukosa Labial

4. Palatum Durum

5. Palatum Mole

6. Lidah

7. Dasar Mulut


(64)

a. Jenis Penyakit

Lichen planus retikuler

Lichen planus atrofik

Trush

Kandidiasis keratotik kronis (hiperplastik) Kandidiasi atrofi akut

Ulser

Lichen planus erosif Ulser herpetika

Lesi diskoid

b. Pemeriksaan Xerostomia

Pemeriksaan klinis :


(65)

Lampiran

Liche

Ulser ya n 5

en planus re

ang terdapat

etikuler pada (Cint

di bawah li (Cint

a ODAPUS ta Kupu) Su

idah ODAPU ta Kupu) Su

yang berga umatera Utar

US yang be umatera Utar

abung di kom ra

ergabung di ra

munitas lupu

komunitas l us


(66)

Lesi diskoi

Trush pa

d pada ODA (Cint

ada ODAPU (Cint

APUS yang ta Kupu) Su

US yang ber ta Kupu) Su

bergabung umatera Utar

rgabung di k umatera Utar

di komunita ra

komunitas l ra

as lupus


(1)

Lampiran 3

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

KUESIONER : Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera

Utara

No. Kartu :

Tanggal :

Data Pribadi

Nama Lengkap :

Umur :

Jenis Kelamin : P / L

Pekerjaan :

Alamat :

No. Hp/Telp :

Keadaan flare up : Ya Tidak Petunjuk Pengisian :

Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan menggunakan tanda silang ( x ). (Xerostomia)

1. Apakah mulut Anda terasa kering saat ini ?

a. Ya b. Tidak 1.

2. Apakah Anda sulit menelan ?

a. Ya b. Tidak 2.

3. Apakah mulut Anda terasa panas atau terbakar ?

a. Ya b. Tidak 3.

4. Apakah air ludah Anda terasa sedikit ?

a. Ya b. Tidak 4.

5. Apakah Anda memerlukan air minum untuk membantu menelan makan ?


(2)

a. Ya b. Tidak 5. 6. Apakah Anda kesulitan menelan makanan yang kering ?

a. Ya b. Tidak 6.

7. Apakah Anda bangun pada malam hari untuk minum ?

a. Ya b. Tidak 7.

Skor :

≥ 5 = Xerostomia  


(3)

Lampiran 4

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LEMBAR PEMERIKSAAN : Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di Komunitas Lupus Cinta Kupu Sumatera Utara

Pemeriksaan Intra Oral

1. Gingiva

2. Mukosa Bukal

3. Mukosa Labial

4. Palatum Durum

5. Palatum Mole

6. Lidah

7. Dasar Mulut

8. Lain - lain


(4)

a. Jenis Penyakit

Lichen planus retikuler Lichen planus atrofik

Trush

Kandidiasis keratotik kronis (hiperplastik) Kandidiasi atrofi akut

Ulser Lichen planus erosif

Ulser herpetika Lesi diskoid

b. Pemeriksaan Xerostomia Pemeriksaan klinis :


(5)

Lampiran

Liche

Ulser ya n 5

en planus re

ang terdapat

etikuler pada (Cint

di bawah li (Cint

a ODAPUS ta Kupu) Su

idah ODAPU ta Kupu) Su

yang berga umatera Utar

US yang be umatera Utar

abung di kom ra

ergabung di ra

munitas lupu

komunitas l us

lupus


(6)

Lesi diskoi

Trush pa

d pada ODA (Cint

ada ODAPU (Cint

APUS yang ta Kupu) Su

US yang ber ta Kupu) Su

bergabung umatera Utar

rgabung di k umatera Utar

di komunita ra

komunitas l ra

as lupus