Manifestasi Sistemik Lupus Eritematosusterhadapkehilangan Tulang Kortikalmandibula Akibat Pemakaian Obat Kortikosteroid Pada Komunitas Cinta Kupu Medan Berdasarkan Radiografi Panoramik
MANIFESTASI SISTEMIK LUPUS
ERITEMATOSUSTERHADAPKEHILANGAN TULANG
KORTIKALMANDIBULA AKIBAT PEMAKAIAN OBAT
KORTIKOSTEROID PADA KOMUNITAS
CINTA KUPU MEDAN BERDASARKAN
RADIOGRAFI PANORAMIK
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
RANI ANGGITA P. NIM: 080600073
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
FakultasKedokteran Gigi
DepartemenRadiologi Dental
Tahun 2014
Rani Anggita P.
Manifestasi Lupus Erythematosus Sistemik terhadap Kehilangan Tulang Kortikal
Mandibula Akibat Pemakaian Obat Kortikosteroid pada Komunitas Cinta Kupu
Medan Berdasarkan Radiografi Panoramik
xii + 54 halaman
Lupus Eritematosus Sistemik atau dikenal juga dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Osteoporosis rahang akibat pemakaian obat
kortikosteroid merupakan manifestasipenyakit lupus eritematosus sistemik.
Radiografi panoramik digunakan untuk melihat bentuk kerusakan tulang rahang pada
penderitalupus eritematosus sistemik.
Metode penelitian merupakan deskriptif (crossectional), dengan sampel 32
orang. Hasil regio kiri C1= 4(12,5%) gambaran normal, C2= 27 (84,4%)gambaran
erosi ringan, C3= 1 (3,1%)gambaran erosi parah (poreus). Regio kanan C1= 2 (6,3%)
(3)
2(6,3%) gambaran erosi parah (poreus). Hubungan lama (waktu) penggunaan obat
kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibulaadalah sedang.
(4)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah dipersetujuiuntukdipertahankan dihadapantim penguji skripsi
Medan, 12 Juni 2014
Pembimbing: Tanda tangan
Dr. Trelia Boel, drg., M. Kes, Sp. RKG(K) ……….. NIP. 19650214 198203 2 004
(5)
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi initelah dipertahankan dihadapantim penguji padatanggal12 Juni 2014
TIM PENGUJI
KETUA : Dr. Trelia Boel, drg., M. Kes, Sp. RKG(K)
ANGGOTA : 1.H. Amrin Thahir, drg.
2. CekDaraManja, drg., Sp. RKG 3. Dewi Kartika, drg.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada ayahanda H. Ramula. H. Purba dan ibunda tercinta Hj. Arnia Riosana Harahap atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta segala bantuan baik berupa moril ataupun materil yang tidak akan terbalas oleh penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada abangda Maulana Febrino Purba S. IP., MM., Arief Marizki Purba S. E., S. Sos., M. Si., Rangga Novio Purba S. Sos., dan Kakanda Silveria Fahdevi S.T., serta keponakan tersayang Hamam Silvio Abyasa Purba yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing Dr. Trelia Boel, drg., M. Kes, Sp. RKG(K), yang telah bersedia meluangkan waktunya, memberikan semangat, motivasi, bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Nazruddin, drg., C. Ort., Ph.D., Sp. Ort., selaku dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. H. Amrin Thahir, drg., CekDaraManja, drg., Sp. RKG, Dewi Kartika, drg., dan Maria Sitanggang, drg., atas segala masukan dan saran yang telah diberikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
3. Prof. Ismet Danial Nst., drg., Ph.D., Sp. Pros.(K), selaku penasihat akademik yang telah memberikan nasihat selama penulis menjalankan pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
(7)
4. Ibu Maya selaku dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Bidang Statistik yang telah banyak membantu dalam penyempurnaan hasil penelitian ini.
5. Pegawai Unit RadiologiKedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (Kak Rani, Kak Tetty dan Bang Ari).
6. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis selama menjalani masa pendidikan.
7. Ibu Hj. Irawati Nasution S.H., M.H selaku ketua Yayasan Lupus “CINTA KUPU” Medan, Sumatera Utara.
8. Sahabat-sahabat tersayang (Rizki amalia putri, T.Melisa, Indah Pratiwi, Khairunisaq, Nadrah Husnah, Mona, Arie Aditya Paramitha, Ikbal, Devi Ayu Putri, dan Okti ) yang selalu memberikan dukungan moril kepada penulis dalam penelitian ini
9. Semua teman-teman Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam pengantar ini.
Akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi dan seluruhnya.
Medan, 12 Juni 2014 Penulis
(………....) Rani Anggita P.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN . ...
HALAMAN PENGESAHAN ...
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1 Tujuan Umum ... ... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ... ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.4.1 Manfaat Teoritis ... ... 5
1.4.2 Manfaat Aplikatif ... ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Panoramik ... 6
2.2 Radiografi Panoramik Konvensional ... 7
2.3 Radiografik Panoramik Digital ... 8
2.4 Definisi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)... 10
2.5 Epidemiologi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)... 10
2.6 Etiologi dan Faktor Predisposisi SLE ... 11
2.7 Klasifikasi dan Gambaran Klinis ... 13
2.8 Diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) ... 16
2.9 Terapi SLE dan Efek Samping Sistemik ... 16
2.10 Efek SampingSistemik Lupus Eritematosus ... 19
2.11 Struktur Tulang Manusia ... 20
(9)
2.12 Klasifikasi Osteoporosis ... 23
2.13 Osteoporosis Pada Sistemik Lupus Eritematosus ... 23
2.14 Tulang Kortikal Mandibula pada SLE ... 24
2.15 Pengukuran Tulang ... 25
2.16 Pengukuran Tulang Kortikal Mandibula ... 27
2.17 Kerangka Teori ... 32
2.17 Kerangka Konsep... 33
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 34
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34
3.3 Populasi dan Sampel ... 34
3.3.1 Populasi ... 34
3.3.2 Sampel ... 34
Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 35
3.5 Besar Sampel ... 35
3.6 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36
3.7 Prosedur Penelitian ... 37
3.7.1 Alat yang Digunakan ... 37
3.8 Analisis Data ... 38
3.9 Etika Penelitian ... 38
3.10 Alur Penelitian ... 39
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula ... 40
4.2 Hubungan antara Lama (Waktu) Penggunaan Obat Kortikosteroid dan Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula .... 41
BAB 5 PEMBAHASAN ... 43
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 47
Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA ... 48
(10)
DAFTAR TABEL
TabelHalaman
1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997… ... 17
2. Efek samping pemakaian kortikosteroid ………... ... .... 19
3. Kriteria Skor-T menurut WHO ………... ... 27
4. Kerusakan tulang kortikal mandibula ... ... ... 40
5.Hubungan lama (waktu) penggunaan obat dan kerusakan tulang kortikal mandibula ... 41
(11)
DAFTAR GAMBAR
Gambar ... Halaman
1. Gambaran foto panoramik ……...……….. ... 6
2. Butterfly Rashdi bagian hidung dan pipi . ...…..…………. 14
3. Tulang kortikal dan trabekular ………... 21
4. Normal and osteoporotic trabecular bone ... .... 24
5. Indeks kortikal mandibula ... . 29
6.Nilai estimasi daritulang kortikal………...………... ... 30
7. Nilai estimasi tulang kortikal ... 37
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Kuesioner penelitian
2. Hasil perhitungan spss
3. Surat konsultasi bagian biostatistika FKM
4. Surat persetujuan komisi etik (Ethical Clearance)
5. Lembar penjelasan kepada calon responden
6. Surat pernyataanpersetujuansubjekpenelitian (Informed Consent)
7. Kuesioner riwayat penyakit
8. Surat persetujuan penelitian komunitas Cinta Kupu
9. Jadwal pelaksanaan penelitian
10. Rincian biaya penelitian
(13)
FakultasKedokteran Gigi
DepartemenRadiologi Dental
Tahun 2014
Rani Anggita P.
Manifestasi Lupus Erythematosus Sistemik terhadap Kehilangan Tulang Kortikal
Mandibula Akibat Pemakaian Obat Kortikosteroid pada Komunitas Cinta Kupu
Medan Berdasarkan Radiografi Panoramik
xii + 54 halaman
Lupus Eritematosus Sistemik atau dikenal juga dengan Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Osteoporosis rahang akibat pemakaian obat
kortikosteroid merupakan manifestasipenyakit lupus eritematosus sistemik.
Radiografi panoramik digunakan untuk melihat bentuk kerusakan tulang rahang pada
penderitalupus eritematosus sistemik.
Metode penelitian merupakan deskriptif (crossectional), dengan sampel 32
orang. Hasil regio kiri C1= 4(12,5%) gambaran normal, C2= 27 (84,4%)gambaran
erosi ringan, C3= 1 (3,1%)gambaran erosi parah (poreus). Regio kanan C1= 2 (6,3%)
(14)
2(6,3%) gambaran erosi parah (poreus). Hubungan lama (waktu) penggunaan obat
kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibulaadalah sedang.
(15)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal juga dengan Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi yang tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi auto antibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 14-64 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 11:1.1
Menurut literatur yang dilaporkan bahwa di Amerika Serikat ditemukan 1,8 sampai 7,6 per 100.000 orang penduduk terdiagnosis sebagai orang dengan penyakit lupus (Odapus). Beberapa gejala awal yang dialami pasien lupus, antara lain sakit pada sendi dan tulang, demam berkepanjangan.Sedangkan gejala yang dialami pasien pada tahap lanjut penyakit lupus, diantaranya bercak merah berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly rash), ujung jari berwarna pucat kebiruan, kejang, sakit kepala, stroke, dan keguguran pada ibu hamil.1,2
Prevalensi Lupus Eritematosus Sistemik di Amerika Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penyandang SLE baru di seluruh dunia. SLE dapat mengenai semua ras, wanita Afrika-Amerika mempunyai insidensi tiga kali lebih tinggi dibandingkan kulit putih serta memiliki kecenderungan perkembangan penyakit pada usia muda dan dengan komplikasi yang lebih serius. SLE juga umum mengenai wanita hispanik Asia.1Selain itu, rasa sakit dan kelelahan yang disebabkan oleh penyakit ini dapat mengakibatkan berkurangnya aktifitas pada pasien, sehingga mengurangi aktifnya massa tulang yang lebih meningkatkan resiko osteoporosis.3 Pada salah satu etiologi SLE yang menjelaskan
(16)
bahwa paparan sinar matahari merupakan salah satu penyebab penyakit lupus, sehingga membuat penderita menghindari paparan sinar matahari. Maka pada keadaan tersebut,dapat menyebabkan kekurangan vitamin D, sehingga memberikan kontribusi untuk massa tulang berkurang.1,2
Beberapa penelitian telah menemukan peningkatan kehilangan tulang pada penderita SLE.Bahkan, wanita yang menderita penyakit lupus lebih mungkin mengalami kerusakan pada tulang sendi yang dapat menyebabkan osteoporosis dibandingkan mereka yang tanpa penyakit lupus.3Manifestasi sistemik dari SLE sangat bervariasi, salah satunya adalah manifestasi muskoloskeletal.Sistem ini melibatkan berbagai jenis jaringan baik sendi, otot, tulang, jaringan lunak dan struktur pendukung tulang sendi seperti tendon, ligamen, dan bursae.Kelainan sendi merupakan kelainan yang paling banyak terjadi yang mana radang sendi terjadi sebanyak 90% pada penderita Odapus. Obat-obatan merupakan salah satu manifestasi dari muskoskeletal yang nantinya dapat menyebabkan osteoporosis atau kehilangan tulang.1,2
Menurut Almehed et al., (2008), pada 163 wanita SLE di Swedia, yang dikategorikan pada SLE yang menggunakan kortikosteroid menyatakan 55% dari wanita berusia 47 tahun cenderung berdampak postmenopausal. Formigaetal., (2000)dinilai padaBMD(Bone Mineral Density)dari waktu ke waktupada 25 pasiendenganSLE, setelah 18 bulantidak adapenurunan yang signifikan dalamBMD(Bone Mineral Density).Yee et al., (2000), menunjukkan 9% dari 242 pasien mengalami patah tulang non traumatik sejak di diagnosis SLE. Lebih dari 90% dari pasien yang menderita patah tulang dalam penelitian ini memiliki BMD yang rendah dan 31,8% adalah osteoporosis.4
Radiografi merupakan komponen penting dalam bidang kedokteran gigi untuk perawatan pasien yang komprehensif.Pemeriksaan radiografi membantu dalam tujuan diagnostik, rencana perawatan, dan mengevaluasi hasil perawatan.Radiografi juga dapat membantu melihat banyak kondisi yang tidak dapat dilihat secara klinis pada gigi dan jaringan lunak untuk mengevaluasi kesehatan gigi dan tulang.5
(17)
Dalam mendiagnosis dan melakukan perawatan terhadap pasien, dokter gigi sering menggunakan radiografi panoramik.1Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa, radiografi panoramik berguna mengidentifikasi wanita dengan kehilangan tulang (osteoporosis)yang tidak terdeteksi dengan pengujian BMD(Bone Mineral Density) menggunakan DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry) yang tidak tersedia secara luas. Penelitian di Jepang (2002) menyatakan radiografi panoramik digunakan pada sekitar 65.000 instansi dokter gigi untuk mengidentifikasi osteoporosis.6
Ardakani FE seorang dokter gigi (2004) melakukan penelitian tentang penggunaan radiografi panoramik dalam mengindentifikasi osteoporosis pada wanita.Penelitian ini melaporkan bahwa untuk setiap pertambahan tahun masa menopause, maka ketebalan korteks mandibula akan turun sebanyak 0,1 mm. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kribbs (2006) yang membandingkan ketebalan angular korteks mandibula wanita sehat dan wanita osteoporosis dan Kribss menemukan bahwa korteks mandibula wanita osteoporosis lebih tipis dibandingkan wanita sehat.7,8
Taguchi et al., (2006), pada 158 pasien menyatakan untuk pemeriksaan densitometri tulang, dokter gigi dapat merujuk wanita yang berusia kurang dari 65 tahun melakukan tes hanya dengan temuan sinar-xpanorama. Vlasiadis et al., (2007),menentukanresorpsi tulang dan osteoporosis pada perempuan dengan kelompok umur yang berbeda.Mereka menemukan bahwa ketika lumbar tulang belakang T-score menurun,MTC (Mandibular Cortical Thickness) menurun secara signifikandan indeks ini berpengaruh pada jumlah gigi yang hilang.Mereka menyimpulkan bahwa dokter gigi memilikiInformasi sinar-x yang cukup untuk melakukan skrininguntuk osteoporosis.9
Karayianni et al., (2007), membandingkan survei klinis dan temuan X-ray dalam rangkauntuk mengidentifikasi resiko untuk pengembangan osteoporosis padaperempuan.5Jumlah yang besar juga untuk foto radiografi panoramik (kira-kira 10 juta di Jepang, 17 juta di Amerika, dan 1,5 juta di Wales, Inggris).10
(18)
Di Indonesia terdapat sekitar 150.000 penderitalupus eritematosus sistemik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan, berdasarkan data tahun 2002 di RSU Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 14% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung 291 Pasien SLE atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.8
Hal tersebut menunjukkan bahwa, semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia yang mengalami SLE setiap tahunnya. Untuk memperbaiki kualitas hidup para penderita lupus tersebut, saat ini telah didirikan sebuah komunitas lupus di Medan yaitu Cinta Kupu. Cinta Kupu didirikan pada tanggal 16 Oktober 2011 yang bertujuan untuk membantu sesama Odapus dengan cara berbagi informasi seputar penyakit lupus baik bersumber dari pengalaman maupun bersumber dari dokter ahli. Menurut survei pendahuluan peneliti, Odapus yang bergabung di Komunitas Cinta Kupu SUMUT terdiri dari 70 Odapus.11
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas dan belum adanya data tentang keadaan tulang kortikal mandibula pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik, maka peneliti bermaksud melakukan penelitian dengan radiografi panoramik untuk melihat manifestasi penyakitlupus eritematosus sistemik terhadap kehilangan tulang kortikal mandibula di Komunitas Cinta Kupu SUMUT.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang timbul sebagaiberikut:
Bagaimana kerusakan tulang kortikal mandibula pada penderita lupus eritematosus sistemikakibat pemakaian obat kortikosteroid ditinjau secara radiografi panoramik.
(19)
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui kerusakan tulang kortikal mandibula pada penderita lupus eritematosus sistemikKomunitas Cinta Kupu Medan ditinjau dengan menggunakan radiografi panoramik.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui bentuk kerusakan tulang kortikal pada penderita lupus eritematosus sistemikKomunitas Cinta Kupu Medan akibat pemakaian Obat Kortikosteroid ditinjau dengan menggunakan radiografi panoramik.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah:
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi informasi atau konstribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang kondisi tulang kortikal mandibula penderita SLE. Memberi informasi bagi dokter gigi dalam penegakan diagnosis, rencana perawatan, dan evaluasi hasil perawatan terutama pada pasien lupus eritematosus sistemik
1.4.2 Manfaat Aplikatif
Manfaat aplikatif dari penelitian ini adalah:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi tenaga-tenaga kesehatan, terutama dokter gigi dalam memperhatikan setiap tindakan yang berhubungan dengan perawatan pasien lupus, seperti: pencabutan, pembedahan, dan keaadan manifestasi oral pada pasien lupus.
(20)
18
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Radiografi Panoramik
Gambaran panoramik adalah sebuah teknik untuk menghasilkan sebuah gambaran tomografi yang memperlihatkan struktur facial mencakup rahang maksila dan mandibula beserta struktur pendukungnya dengan distorsi dan overlap minimal dari detail anatomi pada sisi kontralateral.12
Radiografi panoramik adalah sebuah teknik dimana gambaran seluruh jaringan gigi ditemukan dalam satu film.Foto panoramik dikenal juga dengan panorex atau orthopantomogram dan menjadi sangat popular di kedokteran gigi karena teknik yang sederhana, gambaran mencakup seluruh gigi dan rahang dengan dosis radiasi yang rendah.Foto panoramik dapat menunjukkan hasil yang buruk dikarenakan kesalahan posisi pasien yang dapat menyebabkan distorsi.12
Gambar 1. Gambaran Foto Radiografi Panoramik12
Adapun seleksi kasus yang memerlukaan gambaran panoramik dalam penegakan diagnosis, diantaranya seperti:
(21)
19
1.Adanya lesi tulang atau ukuran dari posisi gigi terpendam yang menghalangi gambaran pada intra-oral.
2.Melihat tulang alveolar dimana terjadi poket lebih dari 6 mm.
3.Untuk melihat kondisi gigi sebelum dilakukan rencana pembedahan. Foto rutin untuk melihat perkembangan erupsi gigi molar tiga tidak disarankan.
4.Rencana perawatan ortodonti yang diperlukan untuk mengetahui keadaan gigi atau benih gigi.
5.Mengetahui ada atau tidaknya fraktur pada seluruh bagian mandibula. 6.Rencana perawatan implan gigi untuk mencari sinar-x.13
2.2 Radiografi Panoramik Konvensional
Radiografi panoramik konvensional menggunakan film panoramik yang
merupakan film ekstra oral dimana film disinari diluar mulut pasien.Karena film sangat sensitif terhadap cahaya, untuk dapat melihat hasil paparan setelah film terpapar sinar-x maka film tersebut harus diproses lebih dahulu baik melalui processing (pencucian) manual dikamar gelap maupun melalui processing secara otomatis menggunakan automatic machine processor.Apabila dilakukan secara manual maka ruang gelap harus memiliki ventilasi yang baik atau menggunakan pendingin udara (AC) dan operator harus menggunakan sarung tangan sesuai prosedur untuk menghindari kontak dengan larutan kimia.13
A. Prinsip Kerja Radiografi Panoramik Konvensional
Prinsip kerja film konvensional dapat dijelaskan seperti gambar analog.Gambar pada film terjadi karena interaksi sinar-x dengan elektron dalam emulsi film yang menghasilkan gambar latent dan kemudian diperlukan proses kimiawi yang akan merubah gambar latent kedalam gambar sebenarnya
(visible).13Film radiografi konvensional terdiri dari ikatan halida perak didalam
matriks gelatin. Ketika film ini terpapar oleh photon dari sinar-x, maka kristal halida perak akan terinduksi dan terurai menjadi hitam selama proses developing. Film berfungsi sebagai detektor radiasi dan penampil gambar.14
(22)
20
Dalam film ekstra oral, secara tidak langsung reseptor digunakan untuk merekam gambar.Film tipe ini sensitif terhadap foton cahaya yang dipancarkan oleh layar penguat (intensifying screen). Film yang tersusun dari kristal halida perak ini memiliki sifat lebih sensitif terhadap cahaya dibandingkan terhadap sinar x.Penggunaan layar penguat adalah untuk mengurangi dosis dan dapat digunakan jika tidak membutuhkan detail yang baik.14 Menggunakan film dengan kecepatan tinggi adalah cara untuk mengurangi dosis radiasi pada pasien sampai 50% tanpa menggangu ketepatan diagnosis. 13
B. Kekurangan dan Kelebihan Radiografi Panoramik Konvensional 1. Kekurangan Film Konvensional, yaitu:13
a) Diperlukan biaya pembelian film dan larutan prosesing.
b) Diperlukan biaya untuk peralatan prosesing dan ruangan gelap.
c) Dibutuhkan banyak waktu untuk prosesing film dan perawatan prosesor. d) Penggunaan cairan kimia yang bersifat toksik terhadap lingkungan. e) Permasalahan dalam penyimpanan dan pengambilan kembali. 2. Kelebihan Film konvensional, yaitu:13
a) Dibutuhkan biaya awal yang rendah terutama untuk prosesingmanual. b) Tidak diperlukan waktu dan tenaga karena konvensional telah tersedia. c) Film konvensional memiliki resolusi lebih tinggi.
2.3 Radiografi Panoramik Digital
Radiografi digital merupakan bentuk dari gambaran sinar x dimana sensor digital digunakan untuk menggantikan film konvensional. Alat dan informasi mengenai radiografi digital tersedia dalam banyak sumber termasuk jurnal kedokteran gigi, internet dan promosi.1
A. Prinsip Kerja Radiografi Panoramik Digital
Gambar digital disusun oleh pixel atau elemen kecil yang sensitif terhadap cahaya.Pixel ini dapat berupa suatu rentang gradasi warna abu-abu tergantung
(23)
21
kepada paparan dan disusun pada baris dan grid pada sensor, tidak seperti kristal yang terdistribusi secara acak pada film standar. Namun demikian, tidak seperti film, sensor hanyalah berupa detektor radiasi dan gambar ditampilkan pada monitor.14
Signal yang dihasilkan oleh sensor merupakan signal analog. Sensor terhubung pada komputer dan signal akan disampling pada interval tertentu. Output dari masing-masing pixelakan dikuantifikasi dan dikonversi menjadi angka oleh frame gabber pada komputer. Rentang angka tersebut normalnya dimulai dari 0 sampai 256, dengan 0 berarti hitam dan 256 berarti putih. Warna lain merupakan gradasi warna abu-abu. 1
Jumlah tingkatan warna abu-abu berhubungan dengan resolusi kontras, dan ukuran pixel berhubungan dengan resolusi spatial.Kedua hal tersebut menentukan resolusi secara keseluruhan dari gambar.Resolusi juga dapat dijabarkan dalam pasangan garis permilimeter. Kebanyakan film E-speed konvensional memiliki resolusi 20 LP/mm sementara dengan radiografi digital rentang resolusi berada antara 7-10 LP/mm. Pengurangan resolusi tersebut tidak berpengaruh terhadap diagnosis klinik.14
Radiografi digital merupakan hasil interaksi antara sinar X dengan elektron pada pixel sensor elektronik (elemen gambar), konversi data analog menjadi data digital proses komputer, dan gambar yang ditampilkan pada layar komputer.13
B. Kelebihan dan Kekurangan Radiografi Panoramik Digital 1. Kelebihan radiografi digital, yaitu:13
a) Tidak diperlukan prosesing kimia dan mengurangi pencemaran lingkungan.
b) Penghematan waktu.
c) Penurunan dosis radiasi pada pasien
d) Persepsi pasien akan praktek dan klinik yang modern
e) Memudahkan penjelasan pada pasien mengenai edukasi dan rencana perawatan
(24)
22
f) Karena foto dalam bentuk elektronik, labeling dan mounting tidak diperlukan. Dan foto dapat dilihat hanya dengan beberapa kali klik.
g) Film dapat dikirim kemanapun dalam dokumen elektronik tanpa membuat duplikatnya.
h) Waktu penyinaran dapat dikurangi bahkan tanpa mengurangi kualitas hasil foto.
2. Kekurangan radiografi digital, yaitu:13
a) Diperlukan biaya yang besar untuk pembelian satu unit panoramik digital. b) Diperlukan tambahan monitor komputer, printer dan jaringan internet. c) Perbedaan cara dan sistem pengoperasian sehingga dibutuhkan waktu dan kemauan belajar digital.
2.4 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik
Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti serigala, sedangkan eritematosusdari bahasa latin dapat berarti kemerah-merahan. Sistemik sendiri dapat berarti berdampak di seluruh tubuhatau sistem internal.Sehingga, SLE didefinisikan sebagai salah satu penyakit auto imun kronis, yang mana sistem imun menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan. SLE timbul dengan remisi dan eksaserbasi, namun tidak bersifat menular.7,8
2.5 Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik
Insiden tahunan lupus eritematosus sistemikdi Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,dengan rasio wanita dan laki-laki antara 10:1.8 Di Indonesia, belum terdapat data epidemiologi mengenai penyakit SLE secara tepat. Namun, Kepala Badan Litbang Kesehatan Kemenkes RI, Dr. Trihono, dr., M. Sc., menyatakan bahwa di Indonesia, orang dengan lupus (Odapus) diperkirakan
(25)
23
berjumlah 1.500.000 orang dengan 100.000 Odapus baru ditemukan setiap tahunnya.16
Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah Odapus di Indonesia meningkat dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang, sementara di RS. Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE dari total pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi selama tahun 2010. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah penduduk yang mengalami SLE makin bertambah setiap tahunnya.17
2.6 Etiologi dan Faktor Predisposisi SLE
Lupus eritematosus sistemikmerupakan penyakit inflamasi yang etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti, serta manifestasi klinis perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam.Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Namun, diduga ada beberapa faktor predisposis yang berperan terhadap terjadinya SLE.Adapun faktor yang memicu seseorang menderita SLE, antara lain:1,2
a) Faktor genetik
Faktor genetik memberi pengaruh dengan meningkatkan penemuan auto imun dibandingkan dengan populasi lain. Berdasarkan riwayat keluarga dan kecenderungan meningkatnya SLE yang terjadi pada anak kembar identik menggambarkan adanya kemungkinan faktor genetik sebagai faktor predisposisi. Namun keterlibatan faktor genetik hanya 5-10%.1,2,12
b) Faktor imunologik 1. Antigen
Terjadi perubahan imunogenik berbagai molekul, selama aktifasi sel, apoptosis, dll.Sel apoptosis yang meningkat, molekul bakteri, atau virus yang menginduksi sel T dan B yang autoreaktif (molecular mimcry) dan adanya auto antigen dalam jumlah besar.1,2
(26)
24
2.Kompleks Imun dan Antibodi
Kompleks imun terdiri dari asam nukleat dan antibodi yang pada umumnya terdapat pada jaringan yang rusak pada pasien lupus eritematosus sistemik. Pasien dengan peningkatan sirkulasi kompleks imun juga menderita beberapa penyakit terutama ginjal. Komplek imun juga menyebabkan kerusakan jaringan di sistem saraf pusat, kulit, dan paru-paru.
c) Faktor hormonal
Faktor hormonal seks mempunyai peran penting dalam perkembangan dan penelitian klinis pada SLE. Pada Odapus perempuan dipengaruhi oleh status hormon esterogen, sehingga saat menstruasi,hamil dan melahirkan dapat pemicu kekambuhan, yang mana kadar esterogen pada Odapus ditemukan meningkat, hingga menyebabkan terjadinya gejala SLE yang lebih buruk.
Sedangkan pada Odapus laki-laki, ditemukan tingkat hormon androgen dan testosteron yang lebih rendah dibandingkan laki-laki normal.1,2
d) Faktor lingkungan 1. Infeksi Virus dan Bakteri
Agen infeksius seperti Epstein Barr Virus (EBV) pada anak-anak dapat menyebabkan lupus pada anak-anak serta bakteri streptococcus dan klebsiella.1,2
2. Paparan sinar UV
Sinar ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Hal ini disebabkan karena sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.1,2
3. Stres
Stres fisik maupun psikis secara berlebihan membuat daya tahan tubuh menurun sehingga menimbulkan demam. Demam yang tak kunjung membaik akan terjadi komplikasi. Komplikasi merupakan tanda awal dari SLE. Hal ini dapat terjadi karena stress diduga dapat mempengaruhi kondisi imunitas individu yang
(27)
25
bersangkutan yakni berupa penurunan imunitas Odapus hingga rentan infeksi virus.1,2
4. Obat-obatan
Obat pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan lupus (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
1. Obat yang pasti menyebabkan lupus obat : kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
2. Obat yang mungkin menyebabka lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin.1,2
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.1,2
2.7 Klasifikasi dan Gambaran Klinis
A. Klasifikasi
Menurut Myers SA and Mary HE, (2001) klasifikasi lupus eritematosus yaitu: 1. Lupus eritematosus sistemik(SLE)
Sistemik lupus eritematosus (SLE) atau dalam bahasa Indonesia disebut lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimunmulti sistem dengan manifestasi berbagai macam organ dan bersifat eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti sendi, kulit, ginjal, pembuluh darah, mulut, syaraf dan lain-lain.1,2
(28)
26
2. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai Discoid Lupus Erythematosus (DLE).Lesi discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanen rusak. Lesi dapat merusak wajah dan kulit kepala.1,2
Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.1,2
Gambar 2 .Butterfly rash di bagian hidung dan pipi7
Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik.SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan.Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A).Bercak SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (“lupus profundus”).Bercak dapat ringan atau berat; mereka dapat menjadi manifestasi utama penyakit ini.1,2
(29)
27
3.Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)
DILE ditemukan pada 10 % dari kasus-kasus lupus.Penyebabnya adalah mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Pada orang-orang tertentu akan muncul sensitifitas seperti gejala-gejala lupus ketika mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Gejala-gejala lupus tersebut akan menghilang jika obat penyebab lupus ini berhenti untuk dikonsumsi.1,2
B. Gambaran Klinis 1. Ginjal
Keterlibatan ginjal terdiri dari sekitar 50 sampai 70% pada pasien SLE dan merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Secara klinis penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif dengan gagal ginjal.1,2
2. Sistem Saraf Pusat
Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada sekitar 20% pasien dengan SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP termasuk psikosis, stroke, kejang, dan myelitis dan berhubungan dengan prognosis keseluruhan yang buruk.1,2
3. Kardiovaskular
Keterlibatan kardiovaskular pada SLE dimanifestasikan oleh vaskulitis dan
perikarditis.Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, hal ini telah menjadi masalah klinis yang penting. Sebuah studi berbasis masyarakat, infark miokard, gagal jantung, dan stroke adalah 10 kali lebih mungkin terjadi pada wanita dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum.1,2
Kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid berkontribusi terhadap peningkatan kecenderungan untuk trombosis pada SLE. SSP dan trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab
(30)
28
utama morbiditas pada pasien. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan tingkat tinggi antikoagulan.1,2
4. Muskuloskeletal
Manifestasi muskuloskeletal terjadi sekitar 95% pada pasien SLE dan
arthralgia merupakan gejala yang pertama sekitar 50% kasus artritis simetris non erosive paling sering menyerang tangan, pergelangan tangan dan lutut.
Pada pasien SLE deformitas sendi tetap jarang terjadi karena adanya keterlibatan ligamen dan tendon.Sebuah riwayat gejala yang berhubungan dengan sendi temporomandibular dilaporkan dalam dua pertiga kasus SLE dalam satu penelitian.Nekrosis avaskular dari tulang merupakan penyebab utama morbiditas dan biasanya berhubungan dengan terapi kortikosteroid.1,2
2.8 Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Manifestasi dari SLE sangat bervariasi yakni dapat melibatkan beberapa organ.Penyakit ini bisa timbul mendadak disertai tanda-tandanya terkena berbagai sistem organ tubuh, seperti kulit, persendian, ginjal, jantung, paru-paru, dan sistem saraf. Bila terjadi menahun, maka gejala pada satu sistem imun akan diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain dan dapat terjadi eksaserbasi atau remisi.1,2
Pada tahun 1997 American Collage Of Rheumatology membuat satu kriteria yang menjamin akurasi diagnosis lupus 98%. Berikut ini merupakan tabel kriteria SLE menurut Hochberg MC: updating the American Collage of Rheumatology revised criteria for the classification of systemic lupus erythematosus Arthritis Rheum 40:1725, 1997).1
2.9 Terapi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Pada dasarnya, terapi SLE bertujuan untuk mempertahankan keadaan remisi dan mencegah kerusakan organ dengan mengurangi inflamasi dan mempertahankan fungsi normal tubuh.Pemberian pada Odapus tergantung pada keterlibatan organ yang terkena, dan tingkatan keparahan dari organ yang terserang SLE.1,2
(31)
29
Pengobatan yang rutin dilakukan adalah obat-obatan dari golongan kortikosteroid.Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan kehilangan tulang atau disebut juga proses terjadinya osteoporosis pada Odapus.
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.1,2
Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997 7
No Kriteria Batasan
1 2 3 4 5 6 Ruam Malar Ruam Diskoid Foto sensitivitas Ulklus mulut Atritis Serositis
1. Pleuritis
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipatan nasolabial,
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofi.
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umunya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
1. Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter
(32)
30
2. Perikarditis
pemriksa atau terdapat bukti efusi pleura atau
2. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium. 7 8 10 Gangguan Ginjal Gangguan Neurologis Gangguan Imunologik
1 Priteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau
2. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritosit,
3. Hemoglobin, granular, tubular, atau campuran.
1. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit) atau
2. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit)
1. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal atau
2. Anti-Sm: terdapatnya anti bodi terhadap antigen nuklear Sm atau
3. Temuan positif terhadap antibodi antifofolipid yang didasarkan atas: 1) Kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus anti koagulan positif
menggunakan metoda standard, atau 3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap
sifilis sekuramg-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidium.
11 Anti Nuklear Antibodi (ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear
berdasarkan pemeriksaan imunofluresensi waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.
(33)
31
2.10 Efek SampingLupus Eritematosus Sistemik(SLE)
Efek samping pemakaian obat kortikosteroid pada penderita lupus eritematosus sistemikdapat dilihat pada tabel di bawah ini:1
Tabel 2. Efek Samping Pemakaian Kortikosteroid1
Sistem Efek Samping
Skeletal Osteoporosis, osteonekrosis, miopati
Gastrointestinal Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan OAINS), Pankreatitis, Perlemakan hati.
Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas
Kardiovaskular Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis, aritmia
Ocular Glaukoma, katarak
Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu, jerawat, buffalo hump,hirsutism
Endokrin Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan metabolisme lipid,perubahan nafsu makan dan meningkatnya berat badan, gangguan elektrolit, supresi HPA aksis, supresi hormon gonad
Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif.
HPA, hypothalamic-pituitary-adrenal; OAINS, obat anti inflamasi non steroid.
Penelitian yang dilakukan oleh Houssieau (2008), sebuah studi cross-sectional telah menemukan bahwa kortikosteroid adalah penentu utama massa tulang yang rendah pada pasien SLE. Pons et al., menemukan bahwa lumbar dan femur BMD jauh lebih rendah pada pasien SLE yang diobati dengan dosis prednison 7,5
(34)
32
mg / hari, dengan prevalensi keseluruhan osteoporosis setinggi 18 % pada pengguna steroid.18
Kip dan rekan kerja menunjukkan peran paparan kortikosteroid dalam memprediksi tulang belakang lumbal dan leher femoralis BMD.24 Dalam studi ini dosis steroid kumulatif, durasi pengobatan steroid, puncak dosis steroid saat ini semua secara bermakna terkait dengan lumbar rendah atau femoralis BMD, bahkan setelah mengendalikan variabel penyakit yang berhubungan. Para penulis yang sama melaporkan prevalensi osteoporosis setinggi 13,4% di tulang belakang lumbal dan 6,3% pada pinggul pada 97 pasien lupus.18 Sebuah studi menarik berikutnya pada 82 wanita SLE pra dan pasca menopause dengan penulis yang sama menekankan, keparahan penyakit dan paparan kortikosteroid terkait negatif dengan total BMD tubuh dan massa bebas lemak.18
2.11 Struktur Tulang Manusia
Struktur tulang sangat penting untuk penilaian pada postur tubuh, mobilitas dan perlindungan organ. Massa tulang maksimum dicapai pada 25-30 tahun. Pergantian tulang yang konstan sekitar 10 % dari massa tulang setiap tahunnya, tulang melakukan resorpsi dan formasi yang ada secara bersamaan. Keadaan keseimbangan yang mempengaruhi tulang dapat terjadi di usia yang lebih tinggi, dengan menggunakan obat atau makanan yang buruk, yang mengakibatkan penurunan massa tulang.19
Secara garis besar tulang dikenal dengan dua tipe yaitu tulang korteks (kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan bagian dalamnya adalah trabekular yang tersusun seperti bunga karang. 20
Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka, mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu menahan tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat. Tulang korteks
(35)
33
terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang.20
Tulang korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang spongiosa atau canselous atau trabekular mempunyai elastisitas lebih kecil dari tulang korteks, mengalami proses resorpsi lebih cepat dibandingkan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan epifisi tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek. 20
Gambar 3. Tulang Kortikal dan Trabekular pada Manusia 20
Tulang mengandung empat jenis sel dan matriks ekstra selular.Sel-sel osteoblas adalah, osteosit, sel-sel lapisan tulang dan osteoklas.Matriks tulang organik terdiri dari 90% kolagen tipe I. Tipe I kolagen juga dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih rendah dalam pembuluh darah, kornea, dentin, kulit dan tendon.Dalam tulang jenis prekursor I kolagen disekresikan oleh osteoblas dan membentuk triple helix dengan diperpanjang carboxyterminal dan aminoterminal berakhir.Tipe I kolagen dibelah selama sekresi dan fibril kolagen terbentuk.Fibril kolagen yang kemudian termineralisasi dengan kalsium hydroxyapatit dan garam kalsium lainnya. Tipe I kolagen berkontribusi elastisitas jika tidak akan sulit dan rapuh.19
(36)
34
2.11.1 Sel-Sel Tulang
Unsur yang membentuk tulang adalah mineral 65%, matriks 35%, sel-sel osteoblast, osteoclast, osteocyt dan air.Matriks tulang kortikal dan tulang trabekular terdiri dari matriks organik dan anorganik. Komponen anorganik merupakan 65% dari seluruh masa tulang sedangkan, komponen organik sekitar 20% dan air 10%.29
Kolagen tulang merupakan komponen organik terbesar yang membentuk dan memungkinkan tulang menahan regangan sedangkan anorganik atau mineral berfungsi menahan beban tekanan. 20
Osteoklas membantu dalam penyerapan tulang.Osteoklas berasal dari linage sel hematopoetic, seperti makrofag, monosit dan sel dendritik. Di bawah pengaruh macrofag stimulating factor (M-CSF) dan aktivator reseptor NF ligand (RANKL).19,20
Osteoblas bertanggung jawab untuk pembentukan tulang dan regulasi diferensiasi osteoklas.Mereka berasal dari sel batang mesenchymal yang juga merupakan turunan dari adiposit, kondrosit, miosit dan fibroblas dalam stroma sumsum tulang. Beberapa faktor penting untuk diferensiasi osteoblas adalah protein
morphogenetic tulang ( BMP ), mengubah faktor pertumbuhan (TGFβ) dan (Wnt)
protein yang bertanggung jawab juga untuk aspek pertumbuhan sel osteoblas dan fungsi. Osteoblas dewasa mengembalikan tulang dengan membentuk osteoid tersebut.Osteoid mengandung protein matriks tulang seperti kolagen tipe I dan protein morphogenetic tulang (BMP). 19,20
Osteoblas juga memulai mineralisasi atau kalsifikasi dari osteoid oleh membran terikat alkali fosfatase. Dalam proses mineralisasi beberapa osteoblas terperangkap dalam tulang baru dan menjadi osteosit. Osteosit sensitif terhadap beban mekanis dan kebutuhan sinyal untuk remodeling tulang sebagai respon terhadap beban dan ketika mikro-fraktur terjadi.Sel-sel tulang dan lapisan yang berasal dari osteoblas berada di permukaan tulang dan termineralisasi. 19,20
(37)
35
2.12 Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis diklasifikasikan atas: 1. Osteoporosis primer
Dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Dihubungkan dengan faktor resiko meliputi merokok, aktifitas, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih asia, riwayat keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah. 21
a. Tipe I (post menopausal)
Terjadi 5-20 tahun setelah menopause (55-75 tahun). Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles' fracture, dan berkurangnya gigi geligi. Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut. Dimana jaringan trabekular lebih responsif terhadap defisiensi estrogen.21
b. Tipe II (senile)
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥ 70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge. Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut. 21
2. Osteoporosis sekunder
Dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi gangguan tiroid hiperparatiroidisme, hipertirodisme, multipel mieloma, gagal ginjal kronis, malnutrisi, pemakaian kortikosteroid yang lama.6
2.13 Osteoporosis pada Lupus Eritematosus Sistemik(SLE)
Kekuatan tulangatau struktursulituntuk mengukurin vivo, tetapimassa tulangdapat diukur denganteknikdensitometri. Pasien lupus memerlukan tes untuk mengetahui keadaan sendi tulang dan kepadatan tulang pada keadaan individu mereka. Salah satu tes untuk melihat kepadatan mineral tulang dikenal sebagai pemeriksaan densitas tulang.19,20,21
Penelitian terbaru di negara Kanada oleh Stacey Steward (2012) menunjukkan sebanyak 2 juta orang penduduk di negara itu di diagnosa dengan pemeriksaam densitas tulang mempunyai penyakit kehilangan tulang.22 Kehilangan
(38)
36
tulang dapat menyebabkan dampak buruk kepada individu dan sistem kekebalan tubuh. Osteoporosisadalah penyakittulang sistemikyang ditandai denganmassa tulang
yang rendahdankerusakanarsitekturmikrojaringan tulangyang mengakibatkanpeningkatan risikopatah tulang.20
Gambar 4. Gambaran Mikroskopis Tulang Normal dan Osteoporosis
Osteoporosis dapat bersifat primer; disebabkan oleh penuaan, menopause dan faktor gaya hidup seperti merokok, alkohol, aktivitas fisik yang rendah, paparan sinar matahari yang rendah dan tidak cukup asupan kalsium atau sekunder; disebabkan oleh penyakit atau obat-obatan, terutama kortikosteroid.21
2.14Tulang Kortikal Mandibula pada SLE
Tulang kortikal mandibula sama seperti tulang lain dari tubuh, memiliki indikator anatomi yang dapat berpengaruh terhadap osteoporosis.Indikatoranatomirahang bawahpadaradiografi panoramikdapat bergunadalam evaluasiresorpsitulang padausia yang berbedadariperempuan untukmenentukan adanyaosteoporosis. Salah satuindikatortulangyang paling berguna digunakansebagai analisismetabolisme tulangadalah sudut korteksrahang
(39)
37
bawah.Lapisan sudutkortekspada rahang bawahtidak terlihatsebelum usia15 tahun.Osteoporosisdapatmempengaruhi semuatulang pada tubuh.3
Massa tulangsecara alamimeningkat dariembrio untukusia35-40tahun dan penurunan bertahap pada massa ini dimulai. Massapenurunanbagi perempuan 8% untuksetiap dekadedan3% laki-laki.Resorpsi tulangterutamaterlihat dalamtulang kortikal.Pria50% resorpsitulang kortikal padausia 80 tahun,Wanita50% pada usia 70tahundan100% usia90tahun. Melalui prosesosteoporosis,
tulangtrabeculardipengaruhilebih cepat darikehilangan tulangkortikal.Trabecularpadatpada orang mudapada kedua jenis
kelamindimulailebih pada wanita.Pengurangan tulang kortikal mandibula pada wanita, terlihat meningkat sejalan dengan peningkatan usia.Kortikosteroid merupakan indikator utama kerusakan tulang kortikal mandibula dan osteoporosis pada Odapus.Mekanisme utama obat kortikosteroidmempengaruhi pembentukan tulang, dimana berpengaruh pada penekanan osteoblastogenesis dan peningkatan apoptosis, osteoblas dan osteosit.22
Kortikosteroid menurun pada pengaturan ekspresi mRNA osteoprotegerin dalam osteoblas, seperti pada pengaturan sel dan merangsang aktivitas reseptor nuklirkappa B ligan (RANKL) dan menjadi faktor penghambat dari osteose miclastogenesisdan merangsang diferensiasidari osteoklas masing-masing.Osteoprotegerin adalah bagian dari reseptor tumor necrosis faktor yang antagonis.Interaksi RANKL dengan reseptornya menurun pada penyerapan kalsium dan peningkatanekskresi kalsium pada penggunaan obat kortikosteroid. 22Keadaan ini dapat menambah bentuk proses osteoporosis terutama pada wanita.3
2.15 Pengukuran Tulang
Densitas Mineral Tulang (DMT) merupakan cara pengukuran kalsium (mineral tulang) pada suatu area atau volume tulang. WHO menggunakan pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT)sebagai salah satu pendekatan diagnosis tulang padaosteoporosis.Secara umum terjadi penurunan DMT dalam proses
(40)
38
terjadinya osteoporosis sehingga terjadi kerapuhan tulang. DMT memberikan sumbangan terbesar pada kekuatan tulang.DMT normal jika T-score sampel ≥- 1 dan DMT rendah bila T-score sampel < - 1.Nilai DMT yang rendah merupakan faktor utama risiko fraktur pada masa selanjutnya.21
Jahari dkk., (2005), mendapatkan tingginya angka DMT rendah pada perempuan dewasa muda usia 25-34 tahun. Nilai DMT rendah meliputi risiko osteoporosis sebesar 4,35% dan osteopenia 37,25%.Penelitian osteoporosis di 3 provinsi (Sulawesi Utara, DI Yogyakarta dan Jawa Barat) ditemukan tingginya prevalensi nilai DMT rendah pada usia 25-35 tahun yang meliputi risiko osteoporosis sebesar 5,8 % dan osteopenia 30,1 %.23
Secara umum tingkat akurasi tes DMT tergolong tinggi, yaitu antara 89-99%.Namun, terdapat perbedaan nilai kepadatan (DMT) pada tiap tempat pengukuran di tubuh. Jadi, densitas tulang pada tempat tertentu merupakan prediktor utama fraktur pada tempat tersebut.24 Untuk menentukan DMT, dilakukan pengukuran dengan menggunakan dua skor, yaitu:
1. Skor-T
Skor-T adalah skor yang memfasilitasi klasifikasi wanita kedalam penderita atau orang yang beresiko terkena osteoporosis atau bahkan terkena fraktur. Selain itu skor-T merupakan nilai DMT yang menunjukkan berapa SD diatas atau dibawah DMT rata-rata kelompok umur dewasa muda (20-35 tahun).21
2. Skor-Z
Skor-Z merupakan nilai DMT yang menunjukkan berapa SD diatas atau dibawah DMT rata-rata kelompok umur yang sesuai.Jadi, umur penderita dan umur kelompok referensi harus sesuai atau disebut juga DMT rata-rata pada umur yang sesuai. Skor-Z adalah skor yang digunakan untuk memperkirakan resiko fraktur di masa yang akan datang, sehingga dapat diambil tindakan pencegahan. 21
(41)
39
Tabel 3. Kriteria Skor-T menurut WHO 21
Skor-T: Kritreria WHO untuk Kejadian Osteoporosis pada Wanita21
Normal Skor-T > -1.0 SD dibawah rentang yang
direkomendasikan untuk dewasa muda
Massa Tulang Rendah Skor-T -1.0 s/d -2.5 SD dibawah rentang yang direkomendasikan untuk dewasa muda
(Osteopenia)
Osteoporosis Skor-T < - 2.5 SD dibawah rentang yang direkomendasikan untuk dewasa muda
(Osteoporosis)
Osteoporosis berat Skor-T < - 2.5 SD dibawah rentang yang direkomendasikan untuk dewasa muda dan pasien yang memiliki satu atau lebih fraktur tulang.
(Telah Fraktur) Sumber: WHO, 1994.
2.16Pengukuran Tulang Kortikal Mandibula
Seperti tulang lain dalam tubuh, tulang rahang juga dapat dipengaruhi oleh penyakit sistemik atau perawatan medis serta sebagai penyakit tulang lokal yang dapat menyebabkan hilangnya total gigi.Secara radiografik, kerusakan tulang pada tulang rahang menunjukkan adanya penurunan kepadatan tulang, kortikal, dan lamina dura yang menipis serta trabekula yang jarang. Di Negara Jepang, prevalensi kejadian penyakit untuk kerusakan tulang kortikal adalah sebanyak 9,7 juta pada tahun 2010 dan 12,2 juta pada tahun 2011.24
Sebagian besar penelitian dilakukan pada tulang mandibula mengungkapkan bahwa ada hubungan antara osteoporosis dan tulang pada rahang, kehilangan dievaluasi dengan cara radiografi, histologi (microradiography), singlephoton
(42)
40
absorptiometry (SPA), dual-foto absorptiometry (DPA), CT kuantitatif (QCT) danyang lebih baru dual-energiX-ray absorptiometry (DXA). Semua teknik pengukuran ini lebih tepat daripada analisis visual yang sederhana.Namun, metode ini meningkatkan biaya pengobatan dan memerlukan pengukuran mahal. 23
Saat ini, DXA diterima secara luas sebagai ''standar emas metode'' mineral tulang klinis, pengukuran pada tulang belakang dan tulang paha proksimal dan umumnya dianggap sebagai teknik pilihan untuk penilaian kepadatan mineral tulang (BMD) karena presisi tinggi dan akurasi yang tinggi. Selanjutnya, DXA dapat diterapkan untuk menilai BMD baik tulang aksial dan tulang apendikularis. Namun, belum menjadi metode yang sering digunakan untuk penilaian BMD dari mandibula karena superimposisi sisi kontra lateral dari mandibula.21
DevlindanHorner (2002) berdasarkan penggunaan DXA untuk mandibula,hampir90% wanita dengan lebarkortikal<3,0 mmmemilikiBMDyang rendah, dan 60% dariwanita denganlebarkortikal<3,0 mmmemilikiosteoporosis. Hildebolt et al (2002) menggambarkan penggunaan DXA pada rahang mayat, tetapi tidak ada upaya yang dilakukan untuk menggunakannya secara klinis.2,3
Teknik radiologi dental panoramik berguna dimana dokter gigi dapat mengevaluasi keseluruhangigi serta tulang rahang dan secara luas digunakan untukpemeriksaan rutin. Pada keadaan perhitungan tulang, dokter dan dokter gigi sudah mulai fokus dan memahami pada beberapa indeks panoramik mandibula seperti; Indeks kortikal mandibula (MCI), Ketebalan korteks mandibula (MCT) dan indeks panoramik mandibula(PMI) untuk identifikasi individu yangharus menjalani penilaian BMD. Beberapakualitatif dan kuantitatif indeks, termasuk MCI,MCT dan PMI, juga telah digunakan untuk menilai kualitas tulang dan untuk mengamati tanda-tanda osteoporosis.Studi sebelumnya telah melaporkan korelasi yang signifikanantara pengukuran BMD dan MCT atau PMI.24
Indeks kortikal mandibula (MCI) adalah klasifikasi penampilan yang lebih rendahpada perbatasan korteks distal mandibula ke foramen mental pada radiograph.Munculnya MCI pada radiografi panoramikdinilai dengan mengamati
(43)
41
rahang bawah padanotch antegonial situs distal dari foramen mental yangbilateral. Dikategorikan ke dalam salah satu dari tiga kelompokmenurut klasifikasi Klemetti et al, yaitu sebagai berikut: 24
Gambar 5.Indeks Kortikal Mandibula: C1Margin endosteal korteks tajam di kedua sisi, C2 Margin endosteal menunjukkan cacat semilunar(lacunar resorption) atau tampak membentuk kortikal endosteal residu pada satu atau kedua sisi, C3 Lapisan kortikal membentuk residu kortikal endosteal berat dan jelas berpori.
MunculnyaMCI pada radiografi panoramik diklasifikasikan menurut Klemetti et al., (1997), metode ini juga digunakan untuk mengidentifikasi individu baik dengan BMD tulang rendah atau berisiko tinggi osteoporosis.Bertentangan dengan DXA, MCI dalam bentuk sederhana dengan tiga kategori penilaian untuk mengamati perubahan korteks mandibula. Perubahan struktur tulang dengan usia berbeda sesuai dengan keadaan.Meskipun kehilangan tulang terjadi pada semua situs rangka, jumlah kerugian tidak seragam. Selain itu, jumlah tulang hilang dari kerangka perifer (sebagian besar tulang kortikal) berbeda dari yang hilang dari kerangka aksial (terutama tulang cancellous).24
(44)
42
Penelitian yang dilakukan oleh Imaniar AL, Wahyuni OR, dan Saviri Yunita di Universitas Airlangga (2012)dengan radiografi panoramik BMD.Hasil pengamatan dengan melihat gambaran kortikal mandibula dan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berdasarkan mandibular cortical index.kategori C1 sebanyak 20% memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal. Pada kategori C2 didapatkan hasil sebanyak 43,3% memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat erosi ringan dan menengah (mildly tomoderately eroded cortex). Sedangkan, pada kategori C3 didapatkan hasil sebanyak 36,7% memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat erosi yang parah (severely eroded cortex) atau tampak porus.25Nilaiestimasivisual daritulang kortikal, menurutKlemetti(Mandibular Cortical Index) MCI. C1: Marginadalahendostealseragam danditandaidi kedua sisi. C2: Sedikitatau sedangterkikis. Marginendocytictampaknya memilikisemilunarcacat(lacunar resorption) atautampaknya adabentukresidukortikal.C3: korteksparahterkikis. tulang kortikaljelasberporidan adasejumlah besarresidu. 24
(45)
43
Gambar 6. Nilai Estimasi dari Tulang Kortikal 24
Drozdzowska et al., (2005), mengevaluasi korelasi antara indeks mandibula panorama berbasis dan BMD mandibula dalam 30 wanita edentulous pasca-menopause. Mereka menemukan bahwa, meskipun MCI berkorelasi secara signifikan dengan BMD mandibula diukur dengan DXA, MI dan PMI tidak berkorelasi. Horner dan Devlin (2005) menunjukkan bahwa kedua MCI dan PMI secara signifikan berkorelasi dengan mandibula BMD.24
Berbeda dengan laporan ini sebelumnya, kami menyimpulkan bahwa MCI, MI dan PMI tidak berkorelasi dengan mandibula BMD.MCI, MI dan PMI juga tidak berkorelasi denganmaksilaris BMD. Namun, tidak ada perbandingan dengan hasil dari penulis lain mungkin karena kurangnya data yang diterbitkan. Meskipun ada data yang diterbitkan tentang masalah dengan pengulangan indeks
radiomorphometric panorama, kebanyakan penulis menyimpulkan bahwa
(46)
44
2.17 Kerangka Teori
Sistemik Lupus Eritematosus
Definisi Efek yang
ditimbulkan Radiografi Panoramik
Pengukuran Tulang Kortikal
mandibula Konvensional
- Indikasi
- Kontra Indikasi - Keuntungan - kerugian
• PMI • MCI • MI
Digital
- Indikasi - Kontra
Indikasi - Keuntungan
(47)
45
2.18 Kerangka Konsep
Radiografi Panoramik
Keadaan Tulang Kortikal Mandibula
Mandibular Cortical Index
(MCI)
Normal
Ringan
Parah Penderita Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE)
Bentuk Tulang Kortikal Mandibula
(48)
46
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan pendekatan Crossectional.Fungsi analisis deskriptif untuk memberikan gambaran umum tentang data yang diperoleh, menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang diperoleh.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2014 di Jl. Binjai, Km 10,8 Villa Mulia Mas. Medan dan Laboratorium Pramita, Medan.
3.3 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi penelitian adalah penderita lupus eritematosus sistemik(SLE) pada Komunitas Cinta Kupu Medan.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah penderita lupus eritematosus sistemik (SLE)pada Komunitas Cinta Kupu Medan yang telah memakai obat kortikosteroid lebih dari 1 tahun.
(49)
47
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi penelitian ini adalah penderita lupus eritematosus sitemik dengan pemakaian obat kortikosteroid lebih dari 1 tahun. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah penderita lupus eritematosus sistemik yang memiliki penyakit sistemik lainnya dan mengkonsumsi obat-obatan lainnya.
3.5 Besar Sampel
Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 32 orang, dengan perhitungan besar sampel seperti yang tertera pada rumus di bawah ini:
n = [����0(1− �0) + ��√��(1− ��)] (�� − ��)²
n =�1,96�0,038(1−0,038)+ 1,282�−0,36(1−(−0,36)� (04)²
n = �1,96√0,03+ 1,282√0,48� 0,04
n = [1,96×0,17+ 1,282×0,69] 0,04
n = [0,33+0,88] 0,04
n = 30,25 32 Sampel Keterangan :
n = Jumlah Sample Minimum
Zα = Taraf Signifikan 5% 1,96
Zβ = Taraf Signifikan 10% 1,282
Po = Besar Proporsi (Penelitian Sebelumnya) 0,038 Pa = Po-(Pa-Po)
= 0,038-0,4 = -0,36 Pa-Po = 40%
(50)
48
3.6 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel Penelitian
Definisi Operasional Cara
Pengukuran Hasil Pengukuran Skala SLE Kortikosteroid Individudengan penyakit auto imun kronis inflammatory yang mengkonsumsi obat Kortikosteroid lebih dari 1 tahun
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pasien SLE, yang dapat menghambat respon imun apabila digunakan lebih dari 5mg atau jangka waktu lebih dari 1 tahun dapat menyebabkan Osteoporosis Data komunitas Sediaan obat pasien (+) SLE 5 mg Nominal Ratio
Osteoporosis Penurunan massa tulang karena ketidak seimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang yang disebabkan oleh SLE Radiografi Panoramik (indeks kortikal mandibula) C1= kortikal mandibulakon disi tepi korteks mandibula pada kedua sisi masih tajam. C2= kortikal mandibulakavi tas resorpsi dengan residu kortikal yang berlapis, C3= kortikal mandibula kondisierosi rongga Ordinal
(51)
49
Setelah menandatangani informed consent, pada tahap berikutnya pada semua sampel dilakukan pemeriksaan radiografi panoramik. Hasil panoramik dibaca radiologis untuk melihat kelainan yang ada dan bentuk kehilangan tulang kortikal pada mandibula berdasarkan Mandibular Cortical Index (MCI), yaitu C1, C2, dan C3.C1 kortikal mandibula dengan kondisi yang baik dan normal.C2 kortikal mandibula dengan kondisi yang tingkat erosi dan menengah.C3 kortikal mandibula dengan kondisi yang erosi pada tingkat yang parah. Untuk melihat perbandingan keadaan tulang kortikal mandibula, gambar dibawah ini dapat digunakan sebagai pedoman.24
Gambar 7. Nilai Estimasi Tulang Kortikal
(52)
50
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin radiografi panoramik dengan sistem sensor digital.Kemudian hasil foto panoramik diproses dengan Fujifilm FCR CAPSULA XL II yang kemudiannya menghasilkan film radiografi panoramik.
Gambar 8. Foto Panoramik
3.8Analisis Data
Data yang diperoleh menggunakan gambaran panoramik, kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan Mandibular Cortical Index (MCI) untuk mengetahui bentuk kehilangan tulang kortikal mandibula. Hasil pengolahan data dilakukan dengan perhitungan SPSS.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari komisi etik (Health Research Ethical Committee of North Sumatera)Mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada Komisi Etik Penelitian kesehatan
(53)
51
berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.Persetujuan komisi etik tentang pelaksanaan peneitian bidang kesehatan Nomor: 173/KOMET/FK USU/2014.
3.10 Alur Penelitian
Survey Lapangan Penelitian
Responden
Wawancara
Radiografi Panormik
(54)
52
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Sampel penelitian berjumlah, 32 orang penderita lupus eritematosus sistemik yang menggunakan obat kortikosteroid pada komunitas Cinta Kupu Medan.Penelitian dilakukan dengan menggunakan foto panoramik untuk mengetahui kerusakan tulang kortikal mandibula dan diklasifikasikan kedalam tiga kategori berdasarkan klasifikasi Mandibular Cortical Index (MCI).
4.1 Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan untuk melihat kerusakan tulang kortikal mandibula dengan mengklasifikasikan kedalam tiga kategori berdasarkan klasifikasi Mandibular Cortical Index (MCI).
Tabel 4. Kerusakan tulang kortikal mandibula
Tingkat kerusakan
TOTAL
C1 C2 C3
Regio Kiri 4 (12,5%) 27 (84,4%) 1 (3,1%) 32 (100%) Regio Kanan 2 (6,3%) 28 (87,5%) 2 (6,3%) 32 (100%)
(55)
53
Berdasarkan Tabel 4., dapat dilihat pada hasil pengamatan menurut Mandibular Cortical Index (MCI) pada regio kiri, C1= 4 orang (12,5%) memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal.C2= 27 orang (84,4%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, C3= 1 orang (3,1%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah (berat) atau tampak poreus.
Pada regio kananC1= 2 orang (6,3%) memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal. Pada C2= 28 orang (87,5%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, C3= 2 orang (6,3%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah atau tampak poreus.
4.2 Hubungan antara Lama (waktu) Penggunaan Obat Kortikosteroid dan Kerusakan Tulang Kortikal Mandibula
Tabel 5.Hubungan lama (waktu) penggunaan obat dan kerusakan tulang korrtikal mandibula
T.Kortikal Mandibula (kiri)
Lama (waktu) Penggunaan
Lama (waktu) Penggunaan
Interpretasi
0,488 Sedang
T. Kortikal Mandibula
(kanan) 0,488 Sedang
Berdasarkanpada Tabel 5, dengan jumlah 32 sampel maka, hubungan lama (waktu) penggunaan obat kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibula adalah 0,488 dengan nilai interpretasinya adalah sedang. Nilai tersebut menunjukkan dapat terjadi hubungan antara lama (waktu) penggunaan obat dengan kerusakan
(56)
54
tulang kortikal mandibula.Sesuai dengan panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, Seperti pada Tabel 6.
Tabel 6. Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi26
Parameter Nilai Interpretasi
Kekuatan korelasi 0,00-0,199 0,20-0,399
0,60-0,799
0,40-0,599
0,80-1,000
Sangat lemah Lemah
Kuat
Sedang
(57)
55
BAB 5
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini digunakan radiografi panoramik yang dapatmemperlihatkan gambaran secara luas padarahang, sehingga dapat mendukung penelitianini untuk dapat melihat bagian mandibula.Radiografi panoramik merupakan salah satu radiografi ekstra oral yang menghasilkangambaran yang memperlihatkan struktur facialtermasuk mandibula dan maksila besertastruktur pendukungnya. Radiografi panoramik digunakan untuk melihat area yangluas pada rahang dengan dosis radiasi yangrelatif kecil.12
Lupus eritematosus sistemikmerupakan suatu penyakit inflamasi autoimun yang dalam pengobatannya dilakukan terapi medikamentosa menggunakan jenis obat kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien lupus.24
Hasil pengamatan diklasifikasikan dengan Mandibular Cortical Index (MCI) disertai adanya penipisan korteks pada tepi bawah mandibula pada interpretasi radiografi panoramik. Gambaran kortikal mandibula berdasarkan MCI pada radiografi panoramik yaitu tampak pada mandibula dari sisi distal sudut antegonial sampai foramen mentale secara bilateral.
Berdasarkan hubungan tingkat kerusakan tulang kortikal mandibula (Tabel 4) padaregio kiri, C1= 4 orang (12,5%) memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal.C2= 27 orang (84,4%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, C3= 1 orang (3,1%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah (berat) atau tampak poreus
Pada regio kanan (Tabel 4) C1= 2 orang (6,3%) memiliki gambaran kortikal mandibula yang normal. Pada C2= 28 orang (87,5%) memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, C3= 2 orang (6,3%)
(58)
56
memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah atau tampak poreus..
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pada satu regio misalnya, pada sisi kiri C1= 4 orang dan sisi kanan C1= 2 orang, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh hasil pengamatan yang tidak begitu tegas. Dapat diakibatkan oleh dua kemungkinan, yaitu alat yang kurang konvensional, kerusakan yang tidak merata dan tinjauan hasil dengan kasat mata yang kurang mendukung. Namun apabila menggunakan alat yang lebih canggih 3 dimensi, kemungkinan hasil bisa terlihat lebih jelas.
Penelitian Mudda et al., (2010), dari total 60 orang wanita pra-menopause 22-45 tahun dan pasca-menopause 22-45-85 tahun, regio kanan dan kiri pra-menopause tingkat keparahan normal C1= 29 (0,48%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula normal, C2= 1 (0,01%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, pada tingkat kerusakan berat C3= (0%) atau tidak ditemukan adanya gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah (berat)atau tampak poreus.27
Untuk regio kanan dan kiri pasca menopause tingkat keparahan normal C1= 4 (0,06%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula normal, C2= 23 (0,38%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi ringan dan sedang, pada tingkat kerusakan berat C3= 3 (0,05%) orang memiliki gambaran kortikal mandibula dengan tingkat kerusakan erosi yang parah atau tampak poreus.Pasien dengan kategori C3 terlihat hanya dalam kelompok pasca-menopause setelah 54 tahun.27
Mudda et al., (2010), MCI terkait dengan status menopause pasien menunjukkan bahwa menopause menyebabkan perubahan morfologi kortikal mandibula. C1 adalah yang paling umum dalam kelompok pra-menopause, individu dengan penampilan C3 terlihat dalam kelompok pasca-menopause setelah usia 54 tahun dan peningkatan terkait usia pada jumlah pasien dengan penampilan C3 juga diamati, sehingga menjelaskan pasca-menopuase awal massa tulang menurun secara
(59)
57
bervariasi sesuai dengan tingkat usia dalam 10 tahun. Hal ini berkisar 0,5-2 % untuk tulang kortikal baik yang terjadi secara alami, obat atau pembedahan diinduksi. Hasil penelitian Mudda et al., (2010) menunjukkan perubahan tulang kortikal mandibula yang menyebabkan osteoporosis berdasarkan MCI terkait dengan perubahan usia.26
Terdapat perbedaan dari hasil penelitian yang sebelumnya oleh Mudda et al., (2010).Hal ini disebabkan pada penelitian ini tidak mengkategorikan berdasarkan umur pra menopause dan pasca menopause. Mudda et al., (2010), juga tidak mengkategorikan sampel yang memiliki penyakit sistemik.27
Faktor-faktor resiko osteoporosis pada umumnya juga relevan pada pasien SLE (misalnya usia, berat badan, riwayat merokok, puncak massa tulang, riwayat patah tulang sebagai orang dewasa) kondisi metabolik pada SLE yang juga dapat meningkatkan resiko osteoporosis: kadar serum vitamin D rendah, aktivitas tiroid rendah dan tingkat homocysteine yang tinggi yang dapat mengurangi aktivitas fisik mereka.28
Berdasarkan hubungan lama (waktu) penggunaan obat kortikosteroid dan kerusakan tulang kortikal mandibula (Tabel 5) nilainya adalah 0,488 dimana nilai interpretasinya adalah sedang.Nilai tersebut menunjukkan ada kemungkinan terjadi hubungan antara lama(waktu) penggunaan dengan kerusakan tulang kortikal mandibula.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Lee C et al., (2005), menunjukkan dari total sampel 307 pasien SLE yang menggunakan obat kortikosteroid selama 6-7 tahun dengan dosis rata-rata 5mg(kisaran 0 - 60mg / hari) sebanyak 0,651. Nilai tersebut dikatakan kuat hubungannya.29 Perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee C et al., (2005),mungkin disebabkan oleh rata-rata durasi waktu penggunaan yang berbeda.
Lee C et al., (2005), menggunakan sampel dengan kriteria inklusi pemakaian obat kortikosteroid lebih dari 5 tahun.29 Sedangkan penelitian ini ke32 sampel memiliki durasi lamapenggunaan yang berbeda-beda (±1-5 tahun) dan berpengaruh pada dosis rata-rata per harinya. Penelitian ini tidak membahas tentang dosis
(60)
58
penggunaan obat kortikosteroid per-harinya.sehingga kaitan antara waktu penggunaan dengan kerusakan tulang kortikal mandibula dapat dikatakan sedang.
Mekanisme utama obat kortikosteroidmempengaruhi pembentukan tulang, berpengaruh penekanan osteoblastogenesis dan peningkatan apoptosis, osteoblas dan osteosit. Kortikosteroid menurun pada pengaturan ekspresi mRNA osteoprotegerin dalam osteoblas, seperti pada pengaturan sel dan merangsang aktivitas reseptor nuklirkappa B ligan (RANKL) dan faktor penghambat dari osteose miclastogenesisdan merangsang diferensiasidari osteoklas masing-masing.25Efek samping pemakaian kortikosteroid pada sistem skeletal menyebabkan osteoporosis, osteonekrosis, dan miopati.7
Almehed K., (2008), 163 wanita SLE usia 47 tahun, sebanyak 0,52% dikatakan sedang memiliki hubungan antara jangka waktu penggunaan dan kerusakan tulang kortikal mandibula, terdapat kemiripan hasil penelitian ini, namun Almehed K., sampel yang digunakan merupakan wanita pramenopausal. Sehingga menurut Almehed K., (2008),usia tinggi merupakan faktor yang paling terkait dengan massa tulang yang mengakibatkan osteoporosis.10
(61)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kerusakan tulang kortikal mandibula pada penderita SLE akibat pemakaian obat kortikosteroid ditinjau secara radiografi panoramik terlihat bahwa:
Hasil pengamatan menurut Mandibular Cortical Index (MCI) pada Tabel 4., yaitu:
1. Regio kiri, C1= 4 orang (12,5%), C2=27 orang (84,4%), C3= 1 orang (3,1%). 2. Regio kanan, C1=2 orang (6,3%),C2= 28 orang (87,5%), C3= 2 orang (6,3%).
Hubungan lama (waktu) penggunaan obat kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibula pada Tabel 5., adalah 0,488, dimana nilai interpretasinya adalah sedang. Nilai tersebut menunjukkan dapat terjadi hubungan antara lama (waktu) penggunaan obat dengan kerusakan tulang kortikal mandibula.
6.2 Saran
1. Diharapkan pada penelitian selanjutnya menggunakan sampel yang lebih besar, agar hasil lebih representatif.
2. Diperlukan penelitian lanjut dengan penggunaan dosis kortikosteroid yang berbeda pada pasien lupus agar kaitannya lebih akurat dengan osteoporosis.
3. Diperlukan penelitian selanjutnya dengan kategori penderita SLE pra-menopause dan pasca-pra-menopause, yang menggunakan obat kortikosteroid agar kaitannya lebih akurat dengan osteoporosis.
(62)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 2011. [cited 2011 Oct 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik 2011
3. NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases ~ National Resource Center. What People With Lupus Need to Know About Osteoporosis. Januari 2012.
4. Panopalis P., Yazdany J., Bone health in systemic lupus erythematosus. Current rheumatology reports. 2009; 11 : 177-84.
5. Howerton LJ, Lannuci JM. Dental Radiography Principle and Technique Missiouri: Elsevier Saunders, 2012: 3.
6. Taguchi A., Tsuda M., Ohtsuka M., dkk. Use of dental panoramic radiographs in identifying younger postmenopausal women with osteoporosis. Osteoporos Int 2006;17 :387-94.
7. Ardakani FE, Niafar N. Evaluation of changes in the mandibular angular cortexusing panoramic images.J Contemp Dent Pract, vol. 5, No.3, 2004. 8. Kribbs PJ., Comparison of mandibular bone in normal and osteoporotic
women. J Prost Dent1990; 63 : 218-22.
9. Lopez J., Devesa AE., Salas EJ., dkk. Early Diagnosis of Osteoporosis by means of orthopantomograms and oral x-rays: a systemic review: J Oral Maxillofac Pathol, 2011.
(63)
10. Taguchi A., asano A., Suei Y., et al., Observer Performance in Diagnosing Osteoporosis by Dental Panoramic Radiograph: Result from OSPD. 2008; 43 :209-13.
11. Cinta Kupu–Medan. Yayasan Lupus
Indonesia.http://yayasanlupusindonesia.org/cinta-kupu-medan/
12. Pharoah W. Oral Radiology Principles and Interpretation Fourth Edition . St.Louis: Mosby, 2000 (11) 205.
13. Astari N., Perbandingan Dosis dan Kualitas Gambar Radiografi Panoramik Konvensional dengan Radiografi Panoramik Digital. Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Sumatera Utara. 2010.
14. Brennan J. An Introduction To Digital Radiography In Dentistry. Journal Of Orthodontics. 2002;29: 66-69.
15. Wartapedi
16. Sari MP., Gambaran Pengambilan Keputusan untuk Bekerja pada Penderita SLE Laki-laki. Univ Indonesia. 2008.
17. L. Sinigaglia, M. Varenna, L. Binelli, dkk. Bone mass in systemic lupus erythematosus 18. Almehed K., Osteoporosis in SLE.Thesis. University of Gothenburg.
Sahlgrenska Academy Dept of Rheumatology and Inflammation Research.200
19. Ahli Bedah Orthopedi. Osteoporosis (Dr H. Subagyo Sp.B-Sp.OT). 2013
20. Putra I. Studi Banding Densitas Mineral Tulang pada Masa Klimakterium. Dept.Obstetri & Ginekologi. Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Ked. Univ. Sumatera Utara Rsup. H. Adam Malik-RSUD Dr. Pirngadi Medan. 2010.
21. Stewart S., Hanning R., Building Osteoporosis Prevention into Dental Practice. J Can Dent 2012; 78 (29) : 1-11.
(1)
bervariasi sesuai dengan tingkat usia dalam 10 tahun. Hal ini berkisar 0,5-2 % untuk tulang kortikal baik yang terjadi secara alami, obat atau pembedahan diinduksi. Hasil penelitian Mudda et al., (2010) menunjukkan perubahan tulang kortikal mandibula yang menyebabkan osteoporosis berdasarkan MCI terkait dengan perubahan usia.26
Terdapat perbedaan dari hasil penelitian yang sebelumnya oleh Mudda et al., (2010).Hal ini disebabkan pada penelitian ini tidak mengkategorikan berdasarkan umur pra menopause dan pasca menopause. Mudda et al., (2010), juga tidak mengkategorikan sampel yang memiliki penyakit sistemik.27
Faktor-faktor resiko osteoporosis pada umumnya juga relevan pada pasien SLE (misalnya usia, berat badan, riwayat merokok, puncak massa tulang, riwayat patah tulang sebagai orang dewasa) kondisi metabolik pada SLE yang juga dapat meningkatkan resiko osteoporosis: kadar serum vitamin D rendah, aktivitas tiroid rendah dan tingkat homocysteine yang tinggi yang dapat mengurangi aktivitas fisik mereka.28
Berdasarkan hubungan lama (waktu) penggunaan obat kortikosteroid dan kerusakan tulang kortikal mandibula (Tabel 5) nilainya adalah 0,488 dimana nilai interpretasinya adalah sedang.Nilai tersebut menunjukkan ada kemungkinan terjadi hubungan antara lama(waktu) penggunaan dengan kerusakan tulang kortikal mandibula.
Penelitian yang sama dilakukan oleh Lee C et al., (2005), menunjukkan dari total sampel 307 pasien SLE yang menggunakan obat kortikosteroid selama 6-7 tahun dengan dosis rata-rata 5mg(kisaran 0 - 60mg / hari) sebanyak 0,651. Nilai tersebut dikatakan kuat hubungannya.29 Perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee C et al., (2005),mungkin disebabkan oleh rata-rata durasi waktu penggunaan yang berbeda.
Lee C et al., (2005), menggunakan sampel dengan kriteria inklusi pemakaian obat kortikosteroid lebih dari 5 tahun.29 Sedangkan penelitian ini ke32 sampel
(2)
penggunaan obat kortikosteroid per-harinya.sehingga kaitan antara waktu penggunaan dengan kerusakan tulang kortikal mandibula dapat dikatakan sedang.
Mekanisme utama obat kortikosteroidmempengaruhi pembentukan tulang, berpengaruh penekanan osteoblastogenesis dan peningkatan apoptosis, osteoblas dan osteosit. Kortikosteroid menurun pada pengaturan ekspresi mRNA osteoprotegerin dalam osteoblas, seperti pada pengaturan sel dan merangsang aktivitas reseptor nuklirkappa B ligan (RANKL) dan faktor penghambat dari osteose miclastogenesisdan merangsang diferensiasidari osteoklas masing-masing.25Efek samping pemakaian kortikosteroid pada sistem skeletal menyebabkan osteoporosis, osteonekrosis, dan miopati.7
Almehed K., (2008), 163 wanita SLE usia 47 tahun, sebanyak 0,52% dikatakan sedang memiliki hubungan antara jangka waktu penggunaan dan kerusakan tulang kortikal mandibula, terdapat kemiripan hasil penelitian ini, namun Almehed K., sampel yang digunakan merupakan wanita pramenopausal. Sehingga menurut Almehed K., (2008),usia tinggi merupakan faktor yang paling terkait dengan massa tulang yang mengakibatkan osteoporosis.10
(3)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kerusakan tulang kortikal mandibula pada penderita SLE akibat pemakaian obat kortikosteroid ditinjau secara radiografi panoramik terlihat bahwa:
Hasil pengamatan menurut Mandibular Cortical Index (MCI) pada Tabel 4., yaitu:
1. Regio kiri, C1= 4 orang (12,5%), C2=27 orang (84,4%), C3= 1 orang (3,1%). 2. Regio kanan, C1=2 orang (6,3%),C2= 28 orang (87,5%), C3= 2 orang (6,3%).
Hubungan lama (waktu) penggunaan obat kortikosteroid dengan kerusakan tulang kortikal mandibula pada Tabel 5., adalah 0,488, dimana nilai interpretasinya adalah sedang. Nilai tersebut menunjukkan dapat terjadi hubungan antara lama (waktu) penggunaan obat dengan kerusakan tulang kortikal mandibula.
6.2 Saran
1. Diharapkan pada penelitian selanjutnya menggunakan sampel yang lebih besar, agar hasil lebih representatif.
2. Diperlukan penelitian lanjut dengan penggunaan dosis kortikosteroid yang berbeda pada pasien lupus agar kaitannya lebih akurat dengan osteoporosis.
3. Diperlukan penelitian selanjutnya dengan kategori penderita SLE
pra-menopause dan pasca-pra-menopause, yang menggunakan obat kortikosteroid agar
(4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). 2011. [cited 2011 Oct 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
2. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik 2011
3. NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases ~ National Resource Center. What People With Lupus Need to Know About Osteoporosis. Januari 2012.
4. Panopalis P., Yazdany J., Bone health in systemic lupus erythematosus. Current rheumatology reports. 2009; 11 : 177-84.
5. Howerton LJ, Lannuci JM. Dental Radiography Principle and Technique Missiouri: Elsevier Saunders, 2012: 3.
6. Taguchi A., Tsuda M., Ohtsuka M., dkk. Use of dental panoramic
radiographs in identifying younger postmenopausal women with osteoporosis. Osteoporos Int 2006;17 :387-94.
7. Ardakani FE, Niafar N. Evaluation of changes in the mandibular angular cortexusing panoramic images.J Contemp Dent Pract, vol. 5, No.3, 2004. 8. Kribbs PJ., Comparison of mandibular bone in normal and osteoporotic
women. J Prost Dent1990; 63 : 218-22.
9. Lopez J., Devesa AE., Salas EJ., dkk. Early Diagnosis of Osteoporosis by means of orthopantomograms and oral x-rays: a systemic review: J Oral Maxillofac Pathol, 2011.
(5)
10.Taguchi A., asano A., Suei Y., et al., Observer Performance in Diagnosing Osteoporosis by Dental Panoramic Radiograph: Result from OSPD. 2008; 43 :209-13.
11.Cinta Kupu–Medan. Yayasan Lupus
Indonesia.http://yayasanlupusindonesia.org/cinta-kupu-medan/
12.Pharoah W. Oral Radiology Principles and Interpretation Fourth Edition . St.Louis: Mosby, 2000 (11) 205.
13.Astari N., Perbandingan Dosis dan Kualitas Gambar Radiografi Panoramik Konvensional dengan Radiografi Panoramik Digital. Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Sumatera Utara. 2010.
14.Brennan J. An Introduction To Digital Radiography In Dentistry. Journal Of Orthodontics. 2002;29: 66-69.
15.Wartapedi
16.Sari MP., Gambaran Pengambilan Keputusan untuk Bekerja pada Penderita SLE Laki-laki. Univ Indonesia. 2008.
17.L. Sinigaglia, M. Varenna, L. Binelli, dkk. Bone mass in systemic lupus
erythematosus
18.Almehed K., Osteoporosis in SLE.Thesis. University of Gothenburg. Sahlgrenska Academy Dept of Rheumatology and Inflammation
Research.200
19.Ahli Bedah Orthopedi. Osteoporosis (Dr H. Subagyo Sp.B-Sp.OT). 2013
20.Putra I. Studi Banding Densitas Mineral Tulang pada Masa Klimakterium. Dept.Obstetri & Ginekologi. Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Ked. Univ. Sumatera Utara Rsup. H. Adam Malik-RSUD Dr. Pirngadi Medan. 2010.
(6)
22.Carrasco MG et al., Osteoporosis in Patient with SLE. IMAJ 2009; 11.
23.Rochmah W., Prihatini S., Setyawati B. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Densitas Mineral Tulang pada Perempuan Dewasa Muda. Fak.Kedokteran Univ Gajah Mada Yogyakarta. 2011, 34(2): 93-03.
24.Cakur B, Dagistan S, Sahun A, Harolrli A,DKK. Realibility of Mandibular Cortical Index. J. Dentomax Radiology. 2009 (38) 255-61.
25.Imaniar AL, Wahyuni OR, Savitri Yunita. Gambaran Radiografik Kortikal Mandibula sebagai indikator Osteoporosis pada Wanita Postmenopause. Dentomaxillofacial Radiology Dent J. 2012; 3 (1) : 31-35.
26.Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. 5 th ed., Jakarta: 168-69
27.Mudda JA, Bajaj M, Patil VA. A Radiographic comparison of mandibular bone quality in pre and pasca menopausal women in Indian population. J. Of Indian Society Periodontology. 2010 (14) 2.
28.Lane NE.Therapy Insight: osteoporosis and osteonecrosis in systemic lupus erythematosus. Ncprheumo. 2006 (2) 562-69.
Lee C, Almagor O, Dunlop DD, dkk. Disease damage and low bone mineral density: an analysis of women with SLE and never receiving corticosteroids.Rheumatology. 2006; (45): 53.