BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Systemic Lupus Erythematosus SLE
2.1.1 Definisi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing
hutan.
12
Lupus erythematosus LE terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus SLE
dan Discoid Lupus Erythematosus DLE. Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.
13
Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi
yang muncul dan organ yang terlibat.
14
2.1.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
Universitas Sumatera Utara
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.
15
Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5 anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
15,1
Studi mengenai
genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC Major Histocompatibility Complex kelas II khususnyaHLA- DR2 Human Leukosit Antigen-DR2, telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak
90 orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
15,1
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu : a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC Antigen Presenting Cell
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
16
Universitas Sumatera Utara
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
16,2
c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan
produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
16,2
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
16,17
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri
dari: a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus EBV, bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
17
b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
17
Universitas Sumatera Utara
c. Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
17,18
d. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus DILE. Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid.
17,19
2.1.3 Gambaran Klinis
SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal,
muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.
15,20
Sebanyak 50-70 pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas
pada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis
progresif disertai dengan gagal ginjal.
15
Sekitar 95 pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi pada muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi temporomandibular dan
nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE.
15
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Lupus dermatitis dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus DLE dan subacute cutaneous
lupus erythematosus SCLE. Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit berupa
lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena membentuk
Universitas Sumatera Utara
seperti sayap kupu-kupu Gambar 1, telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5 individu dengan DLE memiliki SLE
namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20 memiliki DLE.
15,21
Tingkat keparahan
butterfly rush , kadang disertai dengan serangan penyakit
sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat fotosensitif;
kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro SS-A. Manifestasi SLE pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bulla,
dan panikulitis.
15
Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat SSP dapat terjadi pada sekitar 20 pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan
saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.
15,22
SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis. Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga
terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah menjadi masalah
klinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan bahwa infark miokardium, gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1 kali lebih sering terjadi pada
perempuan dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum. Kecenderungan Gambar 1 . Butterfly rash.
20
Universitas Sumatera Utara
peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan protein S, dan adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan
trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.
15,22
2.1.4 Diagnosa
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat
sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar
limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain
misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk
diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.
14,23
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98 dan pada
tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.
14
Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus SLE revisi tahun 1997.
14
Kriteria Definisi
1. Butterfly Rash Terdapat eritema, datar, atau meninggi yang cenderung
tidak mengenai lipatan nasolabial. 2. Discoid Rash
Bercak eritema menonjol dengan skuama keratosis dan sumbatan folikel, parut atrofi dapat muncul pada lesi yang
sudah lama timbul. 3.
Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan B
Universitas Sumatera Utara
Kriteria Definisi
4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak
nyeri jika sudah kronis. 5.
Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih
persendian perifer dengan rasa sakit disertai pembengkakan 6.
Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau pada
jantung disebut juga pericardium
7.
Kelainan Ginjal
Proteinuria persisten 0,5 gdL atau 3+ atau endapan tidak
normal dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop
8. Kelainan Saraf
Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan metabolik yang diketahui.
9. Kelainan Darah
Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - 4,0 x 10 pangkat 9L 4000mm pangkat 3 total pada dua atau
lebih pemeriksaan. 10.
Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer
abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum
yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus
menggunakan uji standar.
11. Tes ANA
Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi
obat.
Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE mempunyai spesifisitas 95 dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan
Universitas Sumatera Utara
tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.
14,1
2.1.5 Terapi
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai.
14,15
Berikut pilar terapi SLE : a.
Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
14
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi
dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.
14
c. Terapi Medikasi Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID Non
Steroid Anti-Inflamation Drugs , antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi
lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
14,24
1. NSAID Non Steroid Anti-Inflamation Drugs
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan
jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
14,24
Universitas Sumatera Utara
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai
tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh :
Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.
14,24
Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan
kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
14,24
3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon
dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat
antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan
ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
14,24
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien
SLE seperti azathioprine imuran, mycophenolate mofetil MMF, methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide,
dan Rituximab.
14,24
2.2 Manifestasi SLE pada Rongga Mulut
Sekitar 20-45 pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral.
25
Beberapa manifestasi oral yang timbul pada pasien SLE, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Xerostomia
Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar 75 penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering
terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit pada kelenjar saliva mayor telah ditemukan pada 50-75 pasien SLE, baik pada pasien
yang mengeluhkan adanya rasa kering di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang tidak distimulasi terlihat menurun pada beberapa penderita SLE. Hal ini dapat
dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’s Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s
Syndrom.
26,27
Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat pemeriksaan kadar imunoglobulin Ig dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat
adanya peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal
dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini ditemukan pada 30 pasien lupus. Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat
disebabkan oleh penurunan kuantitas saliva.
28
b. Lesi Ulserasi Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu
kriteria untuk penegakan diagnosis SLE.
29
Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi orofaringeal berjumlah 15 pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih
dari 1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo. Ulser ini dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada
pasien lupus sering ditemukan pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah
akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi flare up Gambar 2. Biasanya, ulser
pada pasien lupus lebih lama mengalami masa penyembuhan. Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk jaringan parut dan fibrosis.
25,30
Universitas Sumatera Utara
Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk garis-garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini
dapat dikatakan mirip dengan lichen planus Gambar 3. Hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik kronik yang
memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser.
25
Pada pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan lichen planus,
yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular, hiperkeratotis, dan atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan hidung dapat
membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen
planus, yaitu pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah,
sementara pada lichen planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut.
25,28
Gambar 2. Ulser oral pada pasien SLE
31
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE.
15
Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa
vesikel berukuran kecil dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat lapisan berwarna
kekuningan Gambar 4.
25,33
Gambar 4. Lesi Herpes Simplek.
32
Universitas Sumatera Utara
c. Lesi Diskoid Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi
vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari Gambar 5, sementara itu bibir bagian atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang
terdapat pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lama- kelamaan berubah menjadi lesi keratotik dan bersisik Gambar 6. Bila sisik diangkat,
maka bibir akan perih dan menimbulkan perdarahan.
25
Gambar 5. Lesi diskoid pada bibir pasien SLE
.
15,25
Gambar 6. Lesi bibir bersisik dan merah pada pasien SLE.
25
Universitas Sumatera Utara
d. Lesi Mir Pad
disertai ul berkilauan
sakit. Lesi 7.
25,33
Le bercak pa
terlihat di t rip Lichen P
da pasien SL lserasi. Les
n yang tersu i biasanya d
esi lain yang ada mukosa
tepi lesi. Da Planus
LE dapat ter si terlihat b
usun dalam dapat terlih
g juga dapa a yang berw
apat terlihat
Gambar 7
Gambar 8 rlihat bebera
berupa gari satu jaring
hat di pipi, at terlihat p
warna mer di pipi, lida
. Lesi mirip
8. Lesi mirip apa lesi mir
is-garis ata gan mirip ja
lidah, bibi pada pasien
rah, tanpa d ah, gusi, dan
p lichen plan
p lichen plan rip lichen pl
au papula-p ala dan pad
r, gusi dan SLE merup
disertai ulse n palatum G
nus retikuler
nus atrofik.
1
lanus, namu
apula putih da umumny
palatum G pakan lesi b
erasi. Striae Gambar 8.
2
r.
15
15
un tidak h halus
ya tidak Gambar
bercak- e sering
25,33
Universitas Sumatera Utara
e. Kandidi Ka
opurtunisti komplikas
sistemik y sebagai pla
akan meni
25,33
Ka masuk mel
asis Oral ndidiasis
ik yang dis i paling seri
yang sering ak-plak puti
inggalkan pe
Gam ndidiasis h
lalui permu pseudomem
sebabkan ol ing akibat p
g digunakan ih, berkelom
ermukaan y
mbar 10. Tr hiperplastik
ukaan mukos mbran aku
eh jamur c penggunaan
n oleh pas mpok, memp
yang merah,
Gambar 9.
rush pada pa
kronis dis sa dan men
ut trush andida albi
obat imuno ien SLE. S
punyai tepi , kasar atau
. Trush.
15
asien imuno sebabkan ol
stimulasi re merupaka
icans super
osupresif sep Secara klin
eritematosu berdarah G
osupresi SL leh jamur
espon hiperp an suatu
rfisial dan m perti kortiko
nis, thrush us, dan jika d
Gambar 9 d
LE.
15
candida sp plastik. Lesi
infeksi menjadi
osteroid terlihat
dikerok dan 10.
p. yang i paling
Universitas Sumatera Utara
sering tim mempunya
beberapa d
Pe mengakiba
membuat d merah difu
mbul di dae ai tepi meni
daerah mera
Gamb
enggunaan atkan kond
daerah muk us. Sakit sep
erah dorsum imbul yang
ah dan tidak
bar 11. Kand yang
antibiotik isi mulut y
kosa permuk perti terbaka
Gambar 1 m lidah, p
g tegas, dan dapat diker
didiasis hipe menyebar k
k spektrum yang disebu
kaan menge ar adalah ke
2. Kandidia palatum dan
permukaan rok Gamba
erplastik kro ke mukosa p
m luas t ut kandidia
elupas dan luhan utama
asis atrofik a n sudut bi
n putih berb ar 11.
25,33
onis disudut pipi.
25
terutama t asis atrofik
tampak sep a Gambar 1
akut.
15
ibir. Lesi t bintil-bintil
t mulut
tetrasiklin, akut. Infe
perti bercak 12.
25
tersebut dengan
dapat eksi ini
-bercak
Universitas Sumatera Utara
2.3 Kerangka Teori
Faktor Genetik Faktor Imunologi
Faktor Hormonal Faktor Lingkungan
Xerostomia Lesi Ulserasi
Lesi Diskoid Lesi mirip
lichen planus Kandidiasis
SLE Systemic Lupus Erythematosus
Gejala gambaran menurut ACR
American Collage Of Rheumatology 1997
sistemik Kulit
Oral Laboratorium
Arthritis Serositis
Gangguan ginjal Gangguan saraf
Butterfly rash Discoid rash
Fotosensitivitas Gangguan darah
Gangguan imun Antibodiantinuklir
ANA
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Konsep
ODAPUS Orang Penderita Lupus
Manifestasi Oral Xerostomia
Lesi Ulserasi Lesi Merah dan Merah Putih
Lesi Diskoid
Jenis kelamin
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN