Map Join Layout Peta

25

3. LabellingAttributing

Labelling merupakan proses pemberian identitas label setiap polygon, line atau point yang terbentuk dalam coverage, sedangkan atributing adalah proses memberi atribut atau informasi pada suatu coverage. Biasanya, informasi yang diberikan dapat dilihat dalam bentuk atribut tabel. Tabel dapat berfungsi untuk mengolah data atribut dari suatu coverage untuk keperluan analisis, baik analisis digital maupun tabular diperlukan adanya informasi pada basis data. Data spasial hasil digitasi perlu ditambahkan data atribut deskriptif. Attributing diperlukan bila coverage yang ada sudah dibangun topologi.

4. Map Join

Apabila peta yang akan digabung telah mempunyai koordinat dunia nyata dengan proyeksi yang sama maka dapat dilakukan penggabungan beberapa coverage polygonfeature lainnya dari satu atau lebih coverage. Sebelum dilakukan map join, terlebih dahulu harus dilakukan transformasi pada setiap coverage yang akan digabung. Kegiatan-kegiatan map join dilakukan berdasarkan nilai-nilai sebuah file yang dapat ditemukan baik pada tabel yang ditambahkan maupun pada tabel atribute themenya.

5. Layout Peta

Layout adalah sebuah proses menata dan merancang letak-letak properti peta seperti judul peta, legenda peta, orientasi, label, dan lain-lain. Layout peta dimaksudkan untuk memperjelas dan memberikan keterangan yang benar bagi pengguna peta yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam suatu terapan tertentu sehingga dapat diperoleh informasi yang akurat. Secara rinci bagan proses pengolahan citra disajikan pada Gambar 3. Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi Evaluasi akurasi dilakukan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya persentase besarnya ketelitian pemetaan. Ketelitian tersebut meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian nama kelas secara benar, persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matrik kesalahan confussion matrix atau sering disebut matrik contingency, yang disusun seperti disajikan pada Tabel 7. Akurasi kappa digunakan karena memperhitungkan semua elemen dalam matrik konfusi, akurasi kappa juga 26 digunakan untuk menguji kesignifikanan antara dua matrik kesalahan dari metode yang berbeda atau dari kombinasi band yang berbeda Jaya, 2002. Tabel 7. Contoh bentuk matrik kesalahan Confussion Matrix Data Acuan Training Area Diklasifikasi ke Kelas Data Klasifikasi di Peta Total Baris X k+ Producer’s acc. X kk X k+ A B …. D A X ii B … D X kk Total Kolom X +k N User’s Acc. X kk X +k Sumber : Jaya 2002 Ukuran-ukuran akurasi yang digunakan yaitu: 2 100 r r r kk kk k k k k k k Kappa k N X X X N X X − + ⎡ ⎤ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎢ ⎥ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ = − − − × ⎢ ⎥ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎢ ⎥ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎣ ⎦ ∑ ∑ ∑ . 100 kk Overall Acc X N = × ∑ . 100 kk k User s Acc X X + = × Pr . 100 kk k od s Acc X X + = × Keterangan: N : jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan R : jumlah barislajur pada matrik kesalahan jumlah kelas X I+ : jumlah semua kolom pada baris ke-I ∑X ij X +j : jumlah semua kolom pada lajur ke-I ∑X ij Pengecekan Lapangan Ground Check Kegiatan pengecekan lapangan dilaksanakan dengan maksud untuk memperoleh informasi mengenai kondisi dan keadaan penutupan lahan sebenarnya di lapangan sebagai pelengkap informasi dan pembanding dengan hasil interpretasi citra secara visual analisis lebih lanjut. Penampakan beberapa kelas penutupan lahan pada citra Ikonos dan hasil pengecekan lapangan disajikan pada Gambar 4. 27 Gambar 3. Diagram alir proses pengolahan citra Digitasi Editing LabellingAttributing Map Join Layout Peta Peta Biosfisik Mulai Selesai 28 Gambar 4. Beberapa kelas penutupan lahan 1 pohon; 2 semak belukar; 3 padang rumput; 4 sawah; a penampakan pada citra Ikonos; b penampakan di lapangan 1a 2a 1b 4a 3a 2b 3b 4b 29 Gambar 4. lanjutan Beberapa kelas penutupan lahan 5 tanah kosong; 6 sungai; 7 bangunanpemukiman a penampakan pada citra Ikonos; b penampakan di lapangan 6a 5b 6b 7a 7b 5a 30 Pendekatan Pembangunan Hutan Kota Hutan kota adalah sebuah areal yang ditumbuhi berbagai tegakan vegetasi yang merupakan suatu unit ekosistem yang berfungsi dan berstruktur sebagai hutan dalam wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar- besarnya kepada penduduk kota bagi kegunaan proteksi, esetika, rekreasi serta kegunaan khusus lainnya Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988. Menurut Dahlan 2004 hutan kota dianggap memiliki kelebihan dalam menyerap gas CO 2 dibandingkan dengan tanaman, karena hutan menempati hamparan yang lebih luas daripada taman, selain itu biomassa hutan jauh lebih banyak daripada taman, karena terdiri dari beberapa strata ketinggian dari yang paling rendah sampai yang tinggi pohonnya dapat mencapai 40-60 m juga pepohonan hutan memiliki diameter tajuk dan kerapatan daun yang jauh lebih besar daripada taman. Menurut Dahlan 2004 ada dua pendekatan yang dipakai dalam membangun hutan kota, yaitu: Pendekatan Parsial Pendekatan parsial yakni menyisakan sebagian dari kota untuk kawasan hutan kota. Oleh sebab itu hutan kota sering diartikan sebagai hutan yang ada di dalam kota. Ada beberapa metoda yang dapat dilakukan untuk menetapkan luasannya, yakni berdasarkan perhitungan persentase, luasan per kapita dan berdasarkan issu penting yang muncul di kota tersebut. 1. Berdasarkan persentase luas Menurut Inmendari No. 5 tahun 1988, luasan RTH kota menggunakan perbandingan 40 : 60, yang berarti 60 dari luas wilayah merupakan kawasan terbangun dan lebihnya sebesar 40 harus digunakan sebagai kawasan hijau. Sementara berdasarkan PP No. 63 tahun 2002 tentang hutan kota menyatakan luasan hutan kota sekurang-kurangnya 10 dari luasan kota . 2. Berdasarkan luasan per kapita Luasan hutan kota di DKI Jakarta yang berupa taman untuk bermain dan olah raga 1,5 m 2 per penduduk Rifai, 1989 dalam Dahlan, 2004, sedangkan Soeseno 1993 dalam Dahlan 2004 menetapkan 40 m 2 per penduduk kota. Sementara KepMen PU No. 378 tahun 1987 menetapkan luasan RTH kota untuk fasilitas umum adalah 2,53 m 2 per jiwa dan untuk penyangga lingkungan kota sebesar 1,5 m 2 per jiwa. 31 3. Berdasarkan issu penting Kota dengan penduduk yang padat dan jumlah kendaraan bermotor dan industri yang tinggi, maka luasan hutan kota yang harus dibangun berdasarkan kemampuan hutan kota dalam menjerap dan menyerap polutan. Pendekatan Global Pendekatan global menganggap bahwa semua wilayah administratif kota dan kabupaten ditetapkan sebagai areal wilayah hutan kota. Adapun berbagai penggunaan lahan seperti untuk pemukiman, industri, perdagangan, pendidikan, pemerintahan, olah raga dan kesenian serta keperluan lainnya dianggap sebagai enklave bagian yang harus dihijaukan agar fungsi hutan kota dapat terwujud secara nyata. Suatu hal yang penting bahwa kota harus dihijaukan dengan tanaman secara maksimal, agar lingkungan menjadi bersih terbebas dari pencemaran udara, sejuk, indah, alami dan nyaman. Walaupun mungkin pada lokasi terbuka yang luasnya kurang dari 10 m 2 saja, jika dimungkinkan untuk dapat ditanami, maka akan ditanami dengan tanaman, sehingga akan diperoleh lingkungan yang lebih indah dari segi tata letak, komposisi, aksentuasi, keseimbangan, keserasian dan kealamian, tanpa melupakan persyaratan silvikulturnya Dahlan, 1992. Pendekatan pembangunan hutan kota yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan parsial berdasarkan jumlah karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan bermotor dan kegiatan industri. Pengembangan hutan kota harus bisa mengimbangi tingkat karbondioksida yang dihasilkan, sehingga akan diperoleh kesetimbangan lingkungan secara ekologi. Penentuan Luas Hutan Kota Berdasarkan Karbondioksida yang Dihasilkan 1. Teknik dan Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Data sekunder berupa data jumlah penduduk, data jumlah industri besarsedang dan data jumlah kendaraan bermotor kendaraan penumpang, kendaraan beban, kendaraan bus dan sepeda motor yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik BPS Provinsi DKI Jakarta. Data yang digunakan merupakan data seri, yaitu data tahun 2000 sampai dengan tahun 2003. Penentuan kebutuhan luas hutan kota dilakukan dengan pendekatan jumlah karbondioksida yang merupakan jumlah karbondioksida yang dihasilkan dari aktivitas penduduk, kendaraan bermotor dan industri. Sedangkan untuk 32 mengetahui keseimbangan ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, dilakukan dengan mengetahui selisih antara jumlah total karbondioksida yang dihasilkan dengan daya serap vegetasi pohon, semak belukar, padang rumput dan sawah terhadap karbondioksida yang dihasilkan. Daya serap vegetasi terhadap karbondioksida diperoleh dari pendugaan jumlah karbondioksida per satuan luas pada masing-masing tutupan lahan hijau yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra satelit.

2. Karbondioksida yang Dihasilkan di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur