Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra IKONOS dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur

(1)

MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur

JUFRI HAMKA LAUHATTA

E14101034

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur

JUFRI HAMKA LAUHATTA

Karya ilmiah

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(3)

JUFRI HAMKA LAUHATTA. ESTIMASI KEBUTUHAN HUTAN KOTA MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, dibawah bimbingan Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

Pembangunan lingkungan perkotaan yang sedang dan atau telah dilakukan saat ini juga menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya masalah lingkungan di perkotaan seperti peningkatan suhu dan tingkat polusi udara yang berakibat kepada semakin berkurangnya produksi oksigen (O2) dan bertambahnya produksi karbondioksida (CO2). Karbondioksida

(CO2) merupakan salah satu unsur gas rumah kaca (GRK) terpenting penyebab

terjadinya pemanasan global (global warming). Dibandingkan dengan gas-gas yang lain, CO2 memberikan kontribusi terbesar terhadap terjadinya efek rumah

kaca yaitu 50%, disusul CFC sebesar 17%, CH4 sebesar 13%, O3 sebesar 7%

dan N2O sebesar 5%. Waktu tinggal CO2 merupakan yang paling lama di

atmosfer dibandingkan dengan gas-gas yang lain yaitu selama 50-200 tahun. Makin panjang waktu tinggal gas di atmosfer, makin efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu (Prihanto et al, 1999). Sumbangan utama manusia terhadap jumlah karbondioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Konsumen paling besar yang menggunakan bahan bakar tersebut yaitu sektor transportasi (kendaraan bermotor), industri dan aktivitas harian penduduk. Menyadari keadaan tersebut penataan lingkungan perkotaan yang berorientasi wawasan lingkungan menjadi sangat penting. kehadiran vegetasi sebagai salah satu perwujudan dari hutan kota sangat diperlukan untuk mengimbangi tingkat polusi yang semakin tinggi. Dalam RTRWP 2010, pemerintah propinsi DKI Jakarta menargetkan memiliki RTH seluas 9.544 ha atau setara dengan 13,94% dari luas total DKI Jakarta. Sampai dengan akhir tahun 2004, RTH yang sudah ada seluas 6.190 ha atau 9% dari luas DKI (Widyastuti, 2005). Satelit ini merupakan satelit sipil pertama yang menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu : 1 m panchromatic (PAN) dan 4 m multispectral (XS). Oleh karena itu, IKONOS dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi tipe-tipe penutupan vegetasi serta penyebarannya secara lebih rinci dan lebih akurat. Jika diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan dipadukan dengan data penunjang lain akan memberikan pengetahuan mengenai luas dan penyebaran hutan kota (ruang terbuka hijau/RTH) serta lokasi-lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan IPB, dimulai dari bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Agustus 2006. Bahan yang digunakan berupa data dijital citra satelit IKONOS liputan tahun 2003, sistem data spasial batas administrasi kelurahan, kecamatan dan kotamadya Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, data jumlah penduduk, kendaraan bermotor dan industri. Perangkat keras yang digunakan berupa komputer pribadi dengan perangkat lunak Arc. View versi 3.2. dan Minitab 13.20. Peralatan tambahan lainnya berupa GPS (Global Position System) tipe Garmin 12-XL, kamera dijital dan alat tulis. Klasifikasi penutupan lahan dilakukan dengan mendeliniasi secara langsung pada layer (on screen digitizing). Kegiatan ini dibantu dengan pengecekan lapangan (ground check) dan diperoleh beberapa kelas penutupan lahan seperti pohon, semak-belukar, padang rumput, sawah, tanah kosong, badan air, non vegetasi (pemukiman, bangunan, jalan) dan non


(4)

menggunakan pendekatan total karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan bermotor dan industri. Daya serap RTH terhadap karbondioksida diestimasi dari beberapa penutupan lahan berdasarkan hasil klasifikasi. Sedangkan kesetimbangan RTH merupakan selisih antara total karbondioksida yang dihasilkan dengan daya serap RTH. Analisis dilakukan untuk tahun 2003, serta perkiraan tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.

Luas kebutuhan hutan kota pada tahun 2003 di Kota Jakarta Selatan seluas 32.348,54 ha dan Jakarta Timur seluas 39.873,29 ha. Tahun 2006 diperkirakan kebutuhan hutan kota di masing-masing kota tersebut secara berturut-turut seluas 45.115,22 ha dan 57.525,95 ha dan sampai dengan tahun 2020 diperkirakan luas kebutuhan hutan kotanya seluas 277.210,76 ha dan 412.374,65 ha. Kelurahan yang memiliki kebutuhan hutan kota paling luas pada tahun 2003 adalah Kelurahan Pondok Pinang (Jakarta Selatan) seluas 1.093,40 ha dan Kelurahan Cibubur (Jakarta Timur) seluas 1.143,68 ha. Tahun 2006 kelurahan yang mempunyai kebutuhan hutan kota paling luas di masing-masing kota secara berturut-turut Kelurahan Pondok Pinang (1.571,47 ha) dan Kelurahan Cibubur (1.650,79 ha). Hingga tahun 2020 di kedua kota tersebut kelurahan dengan kebutuhan hutan kota paling tinggi yaitu Kelurahan Pondok Pinang (10.872,96 ha) dan Kelurahan Pulo Gebang (12.465,35 ha). Kelurahan yang memerlukan tambahan luas hutan kota paling besar di Kota Jakarta Selatan dan Kota Jakarta Timur tahun 2003 secara berturut-turut yaitu Kelurahan Gandaria Utara seluas 1.884,63 ha dan Kelurahan Klender seluas 2.075,05 ha. Tahun 2006 diperkirakan kelurahan yang memerlukan tambahan hutan kota paling besar di kedua kota tersebut secara berturut-turut yaitu Kelurahan Gandaria Utara (Jakarta Selatan) seluas 2.690,38 ha dan Kelurahan Cipinang Muara (Jakarta Timur) seluas 3.060,23 ha. Hingga tahun 2020 di kedua kota tersebut kelurahan yang memerlukan tambahan hutan kota paling besar secara berturut-turut yaitu Kelurahan Pondok Pinang (Jakarta Selatan) seluas 22.194,03 ha dan Kelurahan Pulo Gebang (Jakarta Timur) seluas 25.616,56 ha. Daerah-daerah yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai hutan kota di Kota Jakarta Selatan yaitu Kecamatan Pesanggrahan (71,87 ha), Kebayoran Lama (60,39 ha) dan Jagakarsa (38,49 ha). Sedangkan di Kota Jakarta Timur yaitu Kecamatan Cakung (321,67 ha), Makasar (135,44 ha) dan Duren Sawit (68,37 ha).


(5)

Jakarta Selatan dan Jakarta Timur Nama : JUFRI HAMKA LAUHATTA

NIM : E14101034

Departemen : Manajemen Hutan Program Studi : Manajemen Hutan

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

NIP. 131 578 785

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.

NIP. 131 430 799


(6)

Penulis dilahirkan di Saparua, Maluku Tengah pada tanggal 19 Juli 1983 dari keluarga Bapak Halil Lauhatta dan Ibu Siti Halidjah Lauhatta. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dengan memasuki Sekolah Dasar Negeri 1 Saparua pada tahun 1989 dan lulus pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Saparua dan lulus pada tahun 1998.

Selanjutnya pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Saparua sampai pada tahun 1999 yang kemudian pindah sekolah karena terjadi kerusuhan di Maluku ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Program Studi Manajemen Hutan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menempuh studinya di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Penulis pernah melakukan Praktek Pengenalan Hutan di Baturraden dan Cilacap KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, serta Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Ngawi Perum Perhutani Unit II Jawa Timur pada bulan Juli sampai Agustus 2004. Selain itu, Penulis juga pernah melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada bulan Maret sampai April 2006 di HPHTI PT. Wirakarya Sakti (Sinar Mas Group), Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Penulis menulis skripsi di bidang kajian khusus inventarisasi sumberdaya hutan dengan judul : “Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra IKONOS dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur” dibawah bimbingan Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.


(7)

Penelitian “Estimasi Kebutuhan Hutan Kota Menggunakan Citra IKONOS dan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur” yang disajikan dalam skripsi ini memuat tentang estimasi luas dan distribusi kebutuhan hutan kota serta kesetimbangan ruang terbuka hijau (RTH) tahun 2003 dan prediksi beberapa tahun ke depan di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur menggunakan pendekatan karbondioksida (CO2).

Pencemaran udara di Kota Jakarta telah sangat memprihatinkan dan dikhawatirkan akan mengganggu terhadap kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Perkembangan jumlah penduduk dan kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi, serta pengembangan kawasan industri menjadi faktor utama penyebab terjadinya pencemaran udara di Kota Jakarta. Oleh karena itu, keberadaan hutan kota sebagai paru-paru kota menjadi kebutuhan mutlak.

Di sisi lain, sejarah perkembangan hutan kota di Kota Jakarta tercatat sangat memprihatinkan dan hal ini merupakan buah dari berbagai kepentingan yang terlibat di dalamnya. Hal ini merupakan tantangan besar bagi warga Kota Jakarta dan perlu perhatian yang serius dari semua pihak yang terkait, termasuk tuntutan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan hutan kota.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi RTH dan informasi spasial kebutuhan hutan kota serta lokasi-lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai hutan kota di wilayah Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam perencanaan pengembangan hutan kota di kedua kota tersebut dalam hal ini Kota Jakarta pada umumnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi menjadikan tulisan ini lebih baik dan bermanfaat.

Dramaga, Januari 2007 Penulis


(8)

Puji dan syukur Alhamdulillah Penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya serta rasul tercinta Muhammad SAW, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan akhir ini dengan segala kemudahan dan kelancaran.

Terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis haturkan kepada Bapak dan Ibu, adik-adikku (Fanny Yunita dan Indra Khalid), Dwi Puspitasari serta keluarga di Maluku atas do’a, dorongan semangat dan kasih sayangnya selama ini.

Pada kesempatan ini juga, Penulis haturkan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta nasihat yang sangat membantu Penulis selama melakukan penulisan tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc. perwakilan dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Ir. H. Endes N. Dahlan, MS. perwakilan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama ujian komprehensif.

3. Bapak Uus Saeful M. atas semua bantuan dan pengalamannya di Laboratorium Remote Sensing dan GIS.

4. Saudara/i seperjuangan, senasib dan sependeritaan: Ahmad Jaelani, Edwine S. Purnama, Ani Marianah, dan Hellya Haska. Terimakasih atas bantuan dan dorongan semangat, maaf karena sering menyusahkan.

5. Sahabat-sahabatku di bangku kuliah : Pudy S., Cahyana, Priyo H., M. Sukri, Hendra P., Didi Usmadi, DHMN Abdullah Aziz MK, Muji B., Gunanto E. S., Toni I. S., Dikkie A. S, Lukmanul H., Haris S., Bambang S., M. Dimas A., Kristianasari, Wira F., Nur Maliki A, Vien P., Kania A., Dita M., Dini R., Susan I., Isma C. Hasibuan, Ayurani P., Putri Riandini, R. Sandra Agustin, Aulia Lani P, Silpriana, Yunita A., Dyah N. Isnaini dan “141,38 FM “yang lainnya atas persahabatan dan kerjasamanya.

6. Saudara-saudara seperantauan : Tri Padukan Purba, Pramoe Wibowo, Lucky Wibisno, Rendi, Dedi Kuswara, Reza Noor Utomo, Donatus Bagas P., Ludy H., Billy M., Yames Sumitra, Niko Syahputra, Demitha P., Nila K., Anita, Fitri Yola, Mira Yunilasari, Tyas Palupi, Adiwicaksana, Wempy Endarwin, Frisca


(9)

Frankistoro, Fiki Abubakar, Wiradika, Berry O., Mukhlis N., Januarti S., Ferdian Tezar N., Beni Budiansyah, Andi Risasmoko, Anang Setiawan, Nanda Dwanasuci, Dian Arafah, Edith Juanita Sabara, Sonny Surbekti, Eko Priambodo, Sasikirono Siregar, F. A. Karim, Bachtiar Santri Aji, serta semua teman-teman FAHUTAN 38 atas semua canda-tawa, kekonyolan, petualangan, persaudaraan serta persahabatannya semoga “asik” selalu. 7. Kawan-kawan Pondok Malea Putra, Adhy, Dafy, Imam, Iwan, Gin-gin,

Shandi, terimakasih atas dorongan semangat dan bantuannya.

8. Akang, mas, abang, dan uda Enjoy 36 , Akbar, Bayu, Dedi, Dede, Dery, Donny, Ersa, Fajar, Gato, Haryoso, Pambudi, Rinaldi, Rio, Roby, Rudi, Saepul, Adi Suprabana. Terima kasih untuk bimbingan, wejangan, pengalaman, nyanyian, serta suka dan duka yang dialami dalam suasana kekeluargaan yang hangat.

9. Adik-adik FAHUTAN 39 : Buyung Faiz, Dwi Jatmiko, Getry, Sri Harini, Resman, Maulidian, Acep Komara, Marwan, Yuri, M. Miftahul Ulum, Ali Nico Gerard, Rusan Prahadi, Rezeka Amalia, Memoy Munajah, terima kasih atas semangat kekeluargaannya.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan, bimbingan, dorongan dan perhatiannya (banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata, tulisan dan perbuatan).

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari satu kata yang disebut sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhir kata Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Dramaga, Januari 2007

Penulis


(10)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 6

Sejarah Kota Jakarta ... 6

Pemerintahan Kota Jakarta ... 7

Letak dan Luas Areal ... 8

Kondisi Geologis dan Iklim ... 9

Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi ... 10

Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) ... 12

METODE PENELITIAN ... 21

Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

Data Citra dan Data Pendukung ... 21

Software dan Hardware (Perangkat Lunak dan Keras) ... 22

Tahap-tahap Interpretasi Tutupan Lahan ... 24

Pengolahan Data Citra ... 24

Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi ... 25

Pengecekan Lapangan (Ground Check) ... 26

Pendekatan Pembangunan Hutan Kota ... 30

Penentuan Luas Hutan Kota Berdasarkan Karbondioksida yang Dihasilkan ... 31

Teknik dan Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31

Karbondioksida yang Dihasilkan di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur ... 32

Penentuan Luas Hutan Kota Berdasarkan Karbondioksida yang Dihasilkan ... 35

Pemodelan Spasial Hutan Kota ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

Klasifikasi Tutupan Lahan Citra IKONOS ... 40

Klasifikasi Lahan ... 40

Pengujian Ketelitian Klasifiakasi (Evaluasi Akurasi)... 41

Karbondioksida yang Dihasilkan Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur . 43 Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk Tahun 2003 ... 43

Perkiraan Karbondioksida yang Dihasilkan Penduduk Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 46


(11)

Perkiraan Karbondioksida yang Dihasilkan Kendaraan Bermotor

Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 51

Karbondioksida yang Dihasilkan Industri Tahun 2003 ... 52

Perkiraan Karbondioksida yang Dihasilkan Industri Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 55

Karbondioksida Total yang Dihasilkan Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur Tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 57

Kebutuhan Luas Hutan Kota ... 60

Kebutuhan Hutan Kota Tahun 2003 ... 60

Perkiraan Kebutuhan Hutan Kota Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.. ... 62

Keseimbangan RTH Berdasarkan Pendugaan Daya Serap Karbondioksida ... 63

Keseimbangan RTH dengan Pendekatan Hasil Klasifikasi Tahun 2003 ... 63

Perkiraan Keseimbangan RTH dengan Pendekatan Hasil Klasifikasi Tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 64

Analisa Pengembangan Hutan Kota ... 67

KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

Kesimpulan ... 71

Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

No. Halaman

1. Jumlah curah hujan rata-rata, tekanan udara, kelembaban dan arah

angin kota Jakarta tahun 1994-2004 ... 9

2. Pertumbuhan penduduk kota Jakarta tahun 1999-2003 ... 11

3. Luas tanah dan penggunaannya Kota DKI Jakarta tahun 2004 ... 15

4. Penyebaran ruang terbuka hijau propinsi DKI Jakarta Tahun 2002 ... 16

5. Spesifikasi citra IKONOS ... 22

6. Deskripsi kelas-kelas penutupan lahan hasil klasifikasi citra IKONOS ... 24

7. Contoh bentuk matrik kesalahan (Confussion Matrix) ... 26

8. Klasifikasi kendaraan bermotor berdasarkan penggunaannya ... 33

9. Karbondioksida yang dihasilkan beberapa jenis kendaraan bermotor ... 34

10. Jumlah emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh beberapa bahan bakar ... 35

11. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan penduduk Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 46

12. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 51

13. Perkiraan jumlah dan karbondioksida yang dihasilkan industri di Kota Jakarta Selatan Pusat dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 56

14. Perkiraan total karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan bermotor dan industri di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 58

15. Perkiraan luas kebutuhan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 62

16. Perkiraan luas keseimbangan RTH di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 66


(13)

No. Halaman

1. Perkembangan luas hutan kota DKI Jakarta tahun 1979 - 2003 ... 14 2. Citra IKONOS daerah penelitian (Jakarta Selatan dan Jakarta Timur) ... 23 3. Diagram alir proses pengolahan citra ... 27 4. Beberapa kelas penutupan lahan (1) pohon; (2) semak belukar; (3)

padang rumput; (4) sawah; (5) tanah kosong; (6) sungai; (a)

penampakan pada citra IKONOS; (b) penampakan di lapangan ... 28 5. Diagram alir pemodelan spasial hutan kota ... 38 6. Diagram alir metode penelitian ... 39 7. Peta penyebaran luas beberapa kelas penutupan lahan hasil

klasifikasi citra IKONOS di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur ... 42 8. Peta penyebaran penduduk kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur

tahun 2003 ... 45 9. Peta penyebaran karbondioksida yang dihasilkan penduduk kota

Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003 ... 45 10. Grafik perkiraan jumlah penduduk kota Jakarta Selatan dan Jakarta

Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 47 11. Grafik perkiraan karbondioksida yang dihasilkan penduduk kota Selatan

dan Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 47 12. Peta penyebaran kendaraan bermotor kota Jakarta Selatan dan Jakarta

Timur tahun 2003 ... 50 13. Peta penyebaran karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor

kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003 ... 50 14. Grafik perkiraan jumlah kendaraan bermotor kota Jakarta Selatan dan

Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 52 15. Grafik perkiraan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor

kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 52 16. Peta penyebaran industri kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur tahun

2003 ... 54 17. Peta penyebaran karbondioksida yang dihasilkan industri kota Jakarta

Selatan dan Jakarta Timur tahun 2003 ... 54 18. Grafik perkiraan jumlah industri kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur

tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 56 19. Grafik perkiraan karbondioksida yang dihasilkan industri kota Jakarta

Selatan dan Jakarta Timur tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 56 20. Distribusi karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan

bermotor dan industri terhadap karbondioksida total yang dihasilkan

Kota Jakarta Selatan tahun 2003 ... 59 21. Distribusi karbondioksida yang dihasilkan penduduk, kendaraan

bermotor dan industri terhadap karbondioksida total yang dihasilkan

Kota Jakarta Timur tahun 2003 ... 59 22. Peta penyebaran kebutuhan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan

Jakarta Timur tahun 2003 ... 61 23. Grafik perkiraan kebutuhan luas hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan

Jakarta Timur tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 63 24. Grafik perkiraan keseimbangan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta


(14)

No. Halaman

1. Kebutuhan bahan bakar industri besar sedang DKI Jakarta tahun

1993~2002 ... 77 2. Luas beberapa penutupan lahan hasil klasifikasi citra IKONOS per

kelurahan di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur ... 78 3. Jumlah penduduk Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan

tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 81 4. Perkiraan jumlah penduduk Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per

kelurahan tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 85 5. Perkiraan karbondioksida yang dihasilkan penduduk Kota Jakarta

Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 89 6. Jumlah kendaraan penumpang Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Utara

per kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 93 7. Jumlah kendaraan beban Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per

kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 97 8. Jumlah kendaraan bis Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per

kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 101 9. Jumlah sepeda motor Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per

kelurahan tahun 2000, 2002, 2002 dan 2003 ... 105 10. Perkiraan jumlah total kendaraan bermotor Kota Jakarta Selatan dan

Jakarta Timur per kelurahan tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 109 11. Perkiraan karbondioksida yang dihasilkan kendaraan bermotor Kota

Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan tahun 2003, 2006,

2010, 2015 dan 2020 ... 113 12. Jumlah industri Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per kelurahan

tahun 2000, 2001, 2002 dan 2003 ... 117 13. Perkiraan jumlah industri Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur per

kelurahan tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 121 14. Perkiraan karbondioksida yang dihasilkan industri Kota Jakarta Selatan

dan Jakarta Timur per kelurahan tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan

2020 ... 125 15. Perkiraan kebutuhan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta

Timur per kelurahan tahun 2003, 2006, 2010, 2015 dan 2020 ... 129 16. Daya serap tutupan vegetasi per kelurahan di Kota Jakarta Selatan dan

Jakarta Timur ... 133 17. Perkiraan keseimbangan luas RTH per kelurahan di Kota Jakarta


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota merupakan suatu wilayah pemusatan sejumlah penduduk yang mewadahi tumbuh dan berkembangnya kegiatan sosial, budaya dan ekonomi perkotaan yang tidak berstatus sebagai kota administratif atau kotamadya (Irwan,1997). Perkembangan kota ditandai dengan perkembangan populasi manusia yang semakin pesat serta pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik seperti pembangunan industri, transportasi, perumahan, pusat perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain sebagai penunjang aktivitas penduduk kota dan di sisi lain merupakan simbol kemajuan peradaban manusia terutama penduduk kota yang cenderung mengikuti perkembangan zaman.

Di satu sisi pembangunan lingkungan perkotaan yang telah dan sedang dilakukan saat ini juga menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Lingkungan di perkotaan menjadi hanya maju secara ekonomi namun cenderung mundur secara ekologi. Padahal kestabilan kota secara ekologi sangat penting, sama pentingnya dengan nilai kestabilannya secara ekonomi (Dahlan, 1992). Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya bermunculan masalah lingkungan di perkotaan seperti peningkatan suhu dan tingkat polusi udara yang berakibat kepada semakin berkurangnya produksi oksigen (O2) dan berlimpahnya produksi

karbondioksida (CO2).

Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu unsur gas rumah kaca

(GRK) terpenting penyebab terjadinya pemanasan global (global warming) disamping gas-gas lain seperti metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), nitrogen

oksida (NOX), ozon (O3), chloroflourocarbon (CFC) dan lain-lain. Dibandingkan

dengan gas-gas yang lain, CO2 memberikan kontribusi terbesar terhadap

terjadinya efek rumah kaca yaitu 50%, disusul CFC sebesar 17%, CH4 sebesar

13%, O3 sebesar 7% dan N2O sebesar 5%. Pengaruh masing-masing gas rumah

kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca bergantung pada besarnya kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan kemampuan penyerapan energi. Waktu tinggal gas rumah kaca di atmosfer juga mempengaruhi efektivitasnya dalam menaikkan suhu. Makin panjang waktu tinggal gas di atmosfer, makin efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. Waktu tinggal


(16)

CO2 merupakan yang paling lama di atmosfer dibandingkan dengan gas-gas

yang lain yaitu selama 50-200 tahun (Prihanto et al, 1999).

Sumbangan utama manusia terhadap jumlah karbondioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Konsumen paling besar yang menggunakan bahan bakar tersebut yaitu sektor transportasi (kendaraan bermotor), industri dan aktivitas harian penduduk. Pembakaran bahan bakar fosil bukan hanya untuk kendaraan bermotor. Termasuk di dalamnya, pembakaran untuk menghidupkan generator-generator, yang listriknya kita pakai setiap hari untuk menghidupkan lampu, televisi, radio, AC, kulkas dan lain-lain. Secara keseluruhan, penggunaan bahan bakar fosil akan meningkatkan kadar GRK secara signifikan. Disamping itu, konversi vegetasi dari ekosistem alami menjadi ekosistem binaan yang dikelola secara intensif telah mengubah tataguna lahan dalam skala yang besar dan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan GRK di atmosfer.

Lebih lanjut Prihanto et al (1999) menyatakan bahwa emisi karbondioksida Indonesia saat ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Pada 2010 diperkirakan emisi karbondioksida akan meningkat lima kali dari kadar tahun 1986, yaitu mencapai 469 juta ton. Hal ini terjadi akibat peningkatan tingkat konsumsi listrik rumah tangga dan industri serta penggunaan energi yang tidak efisien. Tanda-tanda pemanasan global mungkin sudah mulai terlihat di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami tiga kali musim kemarau yang sangat panjang, yaitu pada tahun 1982-83, 1987, dan 1991 dan tentunya mengakibatkan dampak sangat merugikan.

Sebagai ibu kota negara, kondisi udara Kota Jakarta saat ini dalam kondisi yang menghawatirkan seiring dengan semakin tingginya tingkat pencemaran udara yang terjadi. Lebih dari 70% (berdasarkan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor) pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia termasuk Jakarta berasal dari buangan kendaraan bermotor, sedangkan sisanya berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, pembakaran sampah, efek tambahan dari turbulensi zat pencemar udara pada lokasi pemusatan bangunan tinggi, dan lain-lain (Widyawati, 2005). Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta mencatat bahwa jumlah kepemilikan kendaraan bermotor di DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 berjumlah sekitar 5,4 juta unit dengan rata-rata laju pertumbuhannya sekitar 7% per tahun. Jumlah ini belum ditambah dengan jumlah kendaraan yang


(17)

masuk ke Jakarta setiap harinya (± 600.000 unit) dari kota-kota satelit di sekitarnya seperti Tanggerang, Bogor, Bekasi dan Depok (Anonim, 2005).

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (2004) salah satu penyebab tingginya tingkat pencemaran dari kendaraan bermotor di Indonesia adalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Kemacetan lalu lintas di jalan raya disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tidak diikuti oleh peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Khusus di Jakarta, penambahan panjang jalan (tol, fly over, underpass) tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Hal ini diperburuk dengan banyaknya kendaraan yang masuk ke Jakarta dan kota sekitarnya.

Selain itu, masalah yang tidak kalah petingnya yaitu masalah penataan ruang kota. Tata ruang Kota Jakarta lebih ditujukan untuk tujuan pembangunan kawasan pemukiman, perkantoran, rekreasi dan juga industri yang berakibat kepada semakin berkurangnya ruang terbuka hijau berpepohonan (bervegetasi hijau).

Dengan menyadari keadaan tersebut penataan lingkungan perkotaan yang berorientasi wawasan lingkungan menjadi sangat penting. Oleh karena itu kehadiran vegetasi hijau sebagai salah satu perwujudan dari hutan kota sangat diperlukan untuk mengimbangi atau menekan tingkat polusi yang semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, kegiatan industri, serta aktivitas pembakaran tidak sempurna yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Dalam RTRW 2010, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan memiliki ruang terbuka hijau (RTH) seluas 9.544 ha (13,94%) yang meliputi berbagai jenis hutan, pemakaman, ruang-ruang yang berfungsi sebagai pengaman serta lahan pertanian. Sampai dengan akhir tahun 2004, RTH yang sudah ada seluas 6.190 ha atau 9% dari luas DKI. Masih ada pekerjaan rumah tangga untuk mencapai target seluas 13,94% (Widyastuti, 2005).

Pengembangan hutan kota memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang baik agar fungsi dan peranan hutan kota itu sendiri dapat terwujud secara optimal. Informasi yang akurat, cepat dan efisien akan sangat membantu dalam perencanaan pembangunan hutan kota. Oleh karena itu, teknologi penginderaan jauh merupakan sarana yang tepat. Menurut Jaya (1997) penginderaan jauh mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat dan relatif akurat serta cakupan wilayah yang sangat luas. Kelebihan lain dari teknik penginderaan jauh satelit yaitu dapat menghasilkan data dijital yang selanjutnya dapat diolah secara


(18)

kuantitatif dengan bantuan komputer sehingga dapat dihasilkan informasi secara cepat dan lebih akurat (Richards, 1986).

Salah satu citra satelit yang dapat digunakan adalah citra satelit IKONOS. Satelit ini merupakan satelit sipil pertama yang menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu : 1 m panchromatic (PAN) dan 4 m multispectral (XS). Oleh karena itu, IKONOS dapat digunakan untuk mengidentifikasi tipe-tipe penutupan vegetasi serta penyebarannya secara lebih detil dan lebih akurat. Jika diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan dipadukan dengan data penunjang lain akan memberikan pengetahuan mengenai luas dan penyebaran hutan kota (ruang terbuka hijau/RTH) serta lokasi-lokasi yang potensial melalui klasifikasi citra satelit untuk dikembangkan sebagai hutan kota.


(19)

Tujuan Penelitian

1. Estimasi luas dan distribusi kebutuhan hutan kota menggunakan citra IKONOS di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur Tahun 2003 serta prediksi tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.

2. Identifikasi lokasi-lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi vegetasi kota (hutan kota) sebagai penunjang dalam perencanaan, pembangunan dan pengembangan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur sebagai bagian ibu kota negara.


(20)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Kota Jakarta

Sejarah Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.

Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribu kota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang sekarang diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lingkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden.

Semangat nasionalisme Indonesia dicanangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20. Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah


(21)

lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah kota metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu kota metropolitan terkemuka pada abad ke-21.

Pemerintahan Kota Jakarta

Berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk, Jakarta berkedudukan sebagai Provinsi, setingkat dengan Provinsi lain yang ada di Indonesia. Sebagai sebuah Provinsi, Jakarta dikepalai oleh seorang Gubernur yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri. Kota Jakarta memiliki posisi ganda sebagai kota Provinsi dan Ibukota negara, maka Jakarta memperoleh status sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI). Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) menetapkan kebijakan yang merupakan petunjuk bagi badan-badan pemerintah daerah serta membantu Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam menetapkan kebijakan-kebijakan mengenai perencanaan strategis, pembangunan, dan keuangan untuk wilayah DKI Jakarta. DKI Jakarta terdiri dari lima kotamadya dan satu kabupaten administratif, yang berkedudukan sebagai daerah swatantra tingkat dua, di bawah pengawasan kantor Gubernur. Kelima kotamadya tersebut adalah Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Kabupaten Kepulauan Seribu. setiap kotamadya dikepalai oleh seorang walikota yang membantu mempersiapkan perencanaan wilayahnya, sedangkan Kepulauan Seribu dikepalai oleh seorang bupati yang bertanggung jawab dalam bidang keuangan. Masing-masing wilayah kota membawahi sejumlah kecamatan dan kelurahan. Di seluruh DKI Jakarta terdapat 43 kecamatan dan 265 kelurahan.


(22)

Letak dan Luas Areal

Jakarta terletak pada lintang 106°22’42" Bujur Timur sampai 106°58’18" Bujur Timur dan 5°10’12" Lintang Selatan sampai 6°23’54" Lintang Selatan. Luas wilayah Jakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 1227 tahun 1989, adalah berupa daratan seluas 661,59 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Wilayah DKI Jakarta memiliki tidak kurang 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 sungai/kanal/saluran yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan dan tentunya sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan kota. Wilayah Kota Jakarta dapat dikategorikan sebagai daerah datar. Ketinggian tanah dari pantai Jakarta sampai ke Banjir Kanal berkisar antara 0-10 m di atas permukaan laut, diukur dari titik 0 Tanjung Priok. Sedangkan dari banjir Kanal sampai batas paling selatan dari wilayah DKI berkisar antara 5-50 m di atas permukaan laut. Perbukitan rendah yang ada pada daerah sebelah Selatan Banjir Kanal dibentuk mengikuti pola daerah aliran sungai-sungai yang ada. Wilayah Utara sampai sekitar 10 km ke arah Selatan maksimal tinggi 7 m di atas titik peil Priok. Pada lokasi tertentu justru letaknya berada di bawah permukaan laut. Bagian Selatan Banjir Kanal relatif lebih berbukit-bukit dibandingkan dengan wilayah Utara (Biro Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 2004).

Di sebelah Utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang ± 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah Utara DKI Jakarta berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Bekasi, sebelah Selatan berbatasan dengan Bogor dan Depok dan sebelah Barat berbatasan dengan Tanggerang. Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terdiri dari lima wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif, yang berkedudukan sebagai daerah swatantra tingkat dua dibawah pengawasan kantor gubernur. Kelima wilayah kota tersebut masing-masing dipimpin oleh walikotamadya, yaitu Kotamadya Jakarta Utara (154,01 km2), Kotamadya Jakarta Barat (126,25 km2), Kotamadya Jakarta Timur (187,73 km2), Kotamadya Jakarta Pusat (47,90 km2) dan Kotamadya Jakarta Selatan (145,73 km2), serta Kabupaten Kepulauan Seribu (11,8 km2).


(23)

Kondisi Geologis dan Iklim Geologis

Seluruh dataran terdiri dari endapan Pleistocene terdapat ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian utara baru terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian kota tertentu terdapat juga lapisan permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m.

Iklim

Suhu rata-rata per tahun sekitar 280C, curah hujan rata-rata sebesar 1.596 mm per tahun dengan curahan tertinggi di bulan Januari 381 mm, terendah pada bulan Agustus 70 mm. Kelembaban nisbi rata-rata berkisar antara 76%-85% dan gerah. Angin yang berhembus di Jakarta adalah angin laut, angin darat dan angin musim (monsoon). Monsoon adalah angin yang terjadi karena adanya perbedaan benua dan samudera. Adanya pemanasan yang cukup tinggi antara daratan dan lautan menyebabkan pola tekanan dari kedua tempat tersebut berbeda. Sehingga pada siang hari bertiup angin laut karena pada siang hari daratan lebih panas daripada lautan. Sebaliknya pada malam hari daratan lebih cepat dingin daripada lautan maka bertiuplah angin darat (Irwan, 1997). Data jumlah curah hujan rata-rata, tekanan udara, kelembaban dan arah angin kota Jakarta tahun 1994 sampai dengan 2004 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah curah hujan rata-rata, tekanan udara, kelembaban dan arah angin Kota Jakarta tahun 1994-2004

Tahun Curah Hujan (mm)

Tekanan (mbs)

Kelembaban (%)

Arah Angin (point)

2004 1.755,00 1.011,30 78,40 -

2003 1.138,00 1.010,80 77,30 -

2002 2.288,90 1.010,50 76,40 107,50 2001 1.599,00 1.009,70 77,10 330,00 2000 1.896,80 1.010,50 78,10 212,10 1999 1.916,80 1.009,60 78,10 212,10

1998 1.913,80 1.010,17 77,00 -

1997 924,50 1.018,53 73,00 -

1996 2.448,00 1.009,62 77,00 -

1995 1.714,20 1.009,99 77,00 -

1994 1.575,00 1.010,40 74,00 -


(24)

Perkembangan kota menyebabkan suhu di kawasan kota naik sekitar 0,4-2,10C. Perbedaan suhu yang sangat nyata pada malam hari dan siang hari. Perbedaan suhu minimum kota lebih tinggi dari 2,90C sedangkan suhu maksimum sekitar 1,40C. Penelitian yang dilakukan oleh Adiyanti (1993) dalam Widyawati et al (2005) menunjukkan bahwa suhu harian Jakarta di daerah pinggiran seperti di Pasar Minggu dan tengah kota atau di sekitar Bandara sangat berbeda. Pada daerah pinggiran kota, perbedaan suhu siang dan malam hari hanya sekitar 4,95°C. Di tengah kota, perbedaan tersebut sangat besar hingga mencapai 7,30°C. Perbedaan suhu juga disebabkan oleh tutupan lahan di sekitarnya. Pada daerah dengan tutupan lahan rumput ataupun pepohonan, suhu udara tidak menunjukkan perubahan yang tajam antara siang dan malam hari. Sementara daerah dengan gedung-gedung tinggi ataupun tutupan aspal yang terbuka menunjukkan perubahan suhu yang tajam.

Pusat Penelitian Geografi Terapan pada tahun 1997 yang melakukan penelitian serupa, menunjukan bahwa dari interpretasi citra Landsat TM bulan September 1997 diketahui bahwa suhu terendah Jakarta pada saat itu adalah antara 20-22°C sedangkan suhu tertinggi > 38°C. Suhu terendah terdapat di daerah-daerah tampungan air. Wilayah sekitar daerah tampungan air memiliki suhu yang tidak berbeda jauh, yakni 24-26°C. Di sebagian pinggiran Jakarta masih ada wilayah dengan suhu antara 24-28°C. Namun demikian, wilayah yang terluas, lebih dari 70%, memiliki suhu 28-30°C. Pada wilayah terluas ini terdapat beberapa lokasi yang menunjukkan suhu yang lebih tinggi, yakni 30-32°C.

Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Kependudukan

Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan hasil registrasi penduduk pertengahan tahun 2003, tercatat sebanyak 7,44 juta jiwa. Jika luas wilayah Jakarta sekitar 661,5 Km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 11,2 ribu per Km2, sehingga menjadikan Provinsi ini sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik tahun 2003, diperoleh bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan, seperti yang tampak dari Sex Ratio yang lebih besar dari 100. Sedangkan status kewarganegaannya terdiri dari WNI sebanyak 7,45 juta jiwa dan WNA sebanyak 4,71 ribu jiwa. Sementara itu pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk usia 10 tahun ke atas pada jenjang SLTP/SLTA


(25)

sekitar 60,01%. Sementara untuk jenjang maksimal tamat SD sekitar 21,36%, sedangkan jenjang Akademik/PT sebanyak 8,43%. Data pertumbuhan penduduk kota Jakarta tahun 1999-2003 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pertumbuhan penduduk Kota Jakarta tahun 1999-2003

No Kotamadya Jumlah Penduduk r (%)

2003-1999 1999 2000 2001 2002 2003

1 Jakarta Selatan 1966113 1733397 1674780 1691320 1701555 -3,41 2 Jakarta Timur 2053141 2051222 2061911 2082920 2094586 0,50 3 Jakarta Pusat 1107606 1056088 929259 922242 897941 -5,01 4 Jakarta Barat 1541004 1558238 1565420 1567522 1567571 0,43 5 Jakarta Utara 1158656 1179756 1192009 1179026 1176355 0,39

Jumlah 7828519 7580701 7425380 7443030 7440011 -1,25

Sumber : Biro Pusat Statistika 2003

Ket : r adalah rata-rata pertumbuhan penduduk

Meskipun tingkat pertumbuhan penduduk mengalami penurunan, berkat program KB yang dinilai berhasil, Jumlah penduduk yang sudah terlampau besar serta pendatang baru yang cenderung terus bertambah, maka pengaruh keberhasilan program KB tersebut tidak terlihat nyata hasilnya. Menurut Soemarwoto (2006), menyatakan bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8 juta orang, tetapi pada hari kerja siang hari penduduknya melonjak menjadi 12 juta. Empat juta orang setiap hari keluar-masuk Jakarta dari kota-kota satelitnya (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).

Selama ini Pemda DKI Jakarta terus melakukan upaya untuk menyusun tata ruang perkotaan yang tepat dan memikirkan bagaimana memberi ruang hidup, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan, obat-obatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan prasarana transportasi serta berbagai kebutuhan lainnya kepada penduduk DKI Jakarta. Sementara upaya transmigrasi penduduk juga terus-menerus dilakukan. Tahun 2003 sebanyak 250 KK atau sekitar 1.021 jiwa diberangkatkan ke Sumatera. Tujuan transmigrasi tersebut adalah wilayah Sumatera Selatan dan Jambi masing-masing sebanyak 60,14% dan 39,86%.

Perekonomian

Di bidang ekonomi, pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta sampai dengan tahun 2007 diharapkan akan tetap positif sebagaimana pertumbuhan yang dicapai pada tahun 2000 dan 2001. Sebelum krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta mencapai rata-rata 7% - 8% per tahun, kemudian selama puncak krisis tahun 1998 dan 1999, pertumbuhan mangalami kontraksi masing-masing sebesar -17,5% dan -0,29%. Kinerja ekonomi mulai menunjukkan


(26)

pertumbuhan positif pada tahun 2000 dan 2001 yaitu mencapai masing-masing 3,98% dan 3,64%. Diharapkan untuk tahun 2002 sampai dengan 2007 tetap akan tercapai pertumbuhan positif antara 4% hingga 6 % per tahun. Hal ini pun masih akan tergantung pada seberapa jauh keseimbangan politik, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat dapat dicapai dan diperlukan untuk mendukung aktivitas ekonomi secara kondusif lima tahun kedepan.

Selanjutnya peningkatan diharapkan dapat ditekan dibawah 2 digit per tahun selama lima tahun kedepan. Seperti telah diketahui, pada tahun 1998 telah terjadi hiper-inflasi yang mencapai 74,4%, walaupun kemudian dapat ditekan menjadi sebesar 1,80% pada tahun 1999. Sedangkan untuk tahun 2000 dan 2001 peningkatan mencapai masing-masing 10,29% dan 11,52%, cukup tinggi namun tidak dapat dihindari karena kebijakan nasional menaikkan harga BBM dan tarif listrik untuk mengurangi subsidi, serta merosotnya nilai tukar rupiah.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, diharapkan angka pengangguran tahun 2002-2007 terus akan menurun dan dapat ditekan tidak lebih besar dari 10% mulai tahun 2003. Seperti diketahui pada tahun 1999 angka pengangguran mencapai angka tertinggi sebesar 13,2% kemudian turun pada tahun 2000 dan 2001 menjadi 12,08% dan 11,32%. Hal ini ditandai pula oleh mulai bergeraknya kembali sektor dunia usaha terutama pada industri, perdagangan dan jasa, sebagai pilar utama perekonomian Provinsi DKI Jakarta.

Kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Menurut Inmendagri No. 5 tahun 1988, luasan RTH yang ideal bagi suatu kota adalah 40%, maka idealnya Kota Jakarta dengan luas 661,59 km2 membutuhkan luas RTH seluas 264,64 km2. Sejarah pembangunan RTH Kota Jakarta sampai sekarang hanya tinggal cerita, penurunan signifikan target luasan RTH merupakan wujud dari ketidakkonsistenan kebijakan Pemprov DKI dalam mengembangkan RTH kota. Walaupun dari dulu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membuat berbagai macam program penghijauan. Diawali Gerakan Penghijauan Kota (1970); Program Hijau Pertamanan Kota (1975); Gerakan Memasyarakatkan Keindahan, Kebersihan, dan Keteduhan Lingkungan Hidup (1980); Program Pembangunan Kota Jakarta Berwawasan Lingkungan dengan Program Pembangunan Hutan Kota (1984); Program Penghijauan Bantaran Sungai (1988); Program Penghijauan Sejuta Pohon dan Program Penghijauan


(27)

Sadpraja (1992); Program Jakarta Teduh, Hijau Royo-royo, dan Berkicau (2000); dan Program Jakarta Hijau (2003).

Jika dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 ditargetkan luas RTH sebesar 37,2% (sangat ideal), maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005 target luas RTH dipangkas menjadi 25,85% (cukup ideal). Belum puas, luasan RTH dipotong lagi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010 dengan target hanya sebesar 13,94% (tidak ideal). Sementara itu, luas RTH di lapangan hanya berkisar 9% (50,53 ha) dari total luas Kota Jakarta yang 66.152 ha (Joga, 2004).

Menurut Basuni dan Dahlan (2003), luas hutan kota di Provinsi DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 baru sekitar 370,26 ha dan diantaranya telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur seluas 140,70 ha yang terdiri dari 10 unit dan tersebar di lima kota. Luas tiap unit berkisar antara 1,75 – 55,40 ha. Hutan kota lainnya, yaitu sebanyak 13 unit yang luasnya secara keseluruhan mencapai 229,52 ha sedang dalam proses penetapan. Luasan hutan kota tersebut tersebar di lima wilayah kota dan meliputi berbagai jenis hutan, pemakaman, ruang-ruang yang berfungsi sebagai pengamanan, serta lahan pertanian. Angka ini setara dengan 13,94% dari luas total DKI Jakarta. Namun demikian, target luas maupun penyebaran hutan kota pada tahun 2010 tersebut belum ditentukan secara eksplisit.

Persentase ini sangat kurang bila dibandingkan dengan kebutuhan. Tak heran jika Jakarta kini terus menuai bencana banjir di musim hujan dan kelangkaan air bersih di musim kemarau, serta kebakaran yang terus merajalela. Jika dihitung berdasarkan penelitian Lembaga Bina Landsekap, Universitas Trisakti (2003) dalam Widyastuti (2005) dengan RTH sebesar 13,94%, Jakarta hanya memiliki kapasitas resapan air sekitar 54% dan kapasitas pengendali udara sebesar 40%. Bunuh diri ekologis yang dikatakan JO Simmonds sejak 1960-an sebenarnya dialami Kota Jakarta.

DKI pernah memilki RTH sekitar 49% pada tahun 1970-an, tetapi pada pertengan tahun 1980-an, RTH sudah menyempit menjadi sekitar 36%. Pada tahun 1999, RTH yang tertinggal sangat sedikit hanya sekitar 7000-an ha atau sekitar 11%. Perkembangan luas hutan kota DKI Jakarta Tahun 1979-2003 disajikan pada Gambar 1.


(28)

32110,30 30990,32

27014,23

23551,35

7246,64 6190,00

0,00 5000,00 10000,00 15000,00 20000,00 25000,00 30000,00 35000,00

1972 1976 1979 1985 1999 2003

Tahun

Lua

s

(

ha

)

Luas hutan kota (ha)

(Sumber : Litbang Kompas, diolah dari Bappeda DKI Jakarta, 2005)

Gambar 1.Perkembangan luas hutan kota DKI Jakarta Tahun 1979 – 2003 Peruntukan RTH sudah banyak mengalami perubahan, Pemprov DKI menggusur Taman Pemakaman Umum Blok P sekitar 4 ha (1997) menjadi Kantor Wali Kota Jakarta Selatan (2003), dan menggusur 1.003 makam di TPU Menteng Pulo di Jakarta Selatan (2001). Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme berhasil menggusur sebagian hutan lindung Muara Angke menjadi perumahan Pantai Indah Kapuk, hutan bakau merosot tajam dari 1.200 ha (1998) menjadi 327 ha (2003). Sebagian Waduk Pluit dibangun Mega Mal Pluit, hutan kota Tomang diganti Mal Taman Anggrek, kawasan Gelora Bung Karno disesaki Plaza Senayan dan Hotel Mulia (Joga, 2004).

Dalam rencana tata ruang tahun 2005, RTH terbagi kepada tiga daerah; Barat laut, Timur laut dan Selatan Jakarta. Dalam rencana periode selanjutnya, rencana tahun 2010 hanya bagian Selatan yang diprioritaskan sebagai kawasan hijau selain sempadan sungai. Bagian Timur laut Jakarta, meliputi Kelapa Gading, Cakung, Marunda, Rorotan, Rawa Terate, Pademangan Timur, dan Sunter Agung tidak lagi diperuntukan sebagai kawasan hijau melainkan direncanakan menjadi daerah pemukiman dan kawasan ekonomi prospektif, yaitu kawasan yang memiliki nilai strategis dalam pengembangan kota. Bagian Barat laut yang meliputi Kapuk, Kapuk Muara, dan Kamal Muara juga bernasib sama karena tingginya kebutuhan perumahan dan perkembangan kegiatan perkotaan. Data luas tanah dan penggunaanya di kota Jakarta tahun 2004 disajikan pada Tabel 3.


(29)

Tabel 3. Luas tanah dan penggunaannya Kota DKI Jakarta Tahun 2004 Kotamadya Perumahan Industri

Perkantoran dan Penggudangan

Taman Lainnya Luas Tanah

Jakarta Selatan 10.428,43 236,08 1.757,50 190,91 1.960,07 14.573 Jakarta Timur 13.542,84 1.130,13 1.798,45 217,77 2.083,80 18.773 Jakarta Pusat 2.968,84 92,93 1.068,65 170,04 489,54 4.790 Jakarta Barat 9.032,34 512,17 1.253,93 209,41 1.607,15 12.615 Jakarta Utara 7.495,36 2.171,39 1.474,61 126,56 2.952,07 14.220 Kep. Seribu 320,76 275,17 92,71 - 491,77 1.181

Jumlah 43.788,57 4.417,87 7.445,85 914,69 9.584,40 66.152

Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2004

Pengembangan RTH merupakan keharusan yang tidak dapat ditoleransi. Pembangunan fisik bangunan diwajibkan vertikal bukan horizontal lagi, yang telah menggusur RTH, baik legal maupun ilegal. Refungsionalisasi dan relokasi pemukiman liar yang berdiri di atas bantaran jalur hijau rel kereta api, kali, tegangan tinggi, atau di bawah jalan layang. Salah satu kelemahan yang sedang dan terus berjalan dalam pembangunan hutan kota di kota Jakarta pada saat ini adalah adanya pemanfaatan terhadap daerah tidak terbangun, dan kelemahan ini diperkuat dengan konsep pembangunannya yang berorientasi dan berbasiskan fungsi ekonomi.

Sampai akhir tahun 2004, RTH yang telah ada seluas 6,19 ha atau 9% dari luas DKI Jakarta. Masih ada pekerjaan rumah untuk mencapai 13,94%. Kepadatan penduduk di daerah Selatan dan juga di daerah lain yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah padat penduduk, seperti Duri Utara, Duri selatan, Kredang dan Kali Anyar di Jakarta Barat serta Galur di Jakarta Pusat bisa menjadikan kondisi yang kondusif bagi Pemprov untuk mensosialisasikan program RTH ataupun pengalihan kepemilikan lahan menjadi aset pemda (Widyastuti, 2005).

Berdasarkan data Dinas Pertamanan, tercatat 37 lokasi RTH dengan luas mencapai 11.928 m2. Lokasi ini digarap Dinas dan Suku Dinas Pertamanan. Dinas Pertamanan sendiri mengelola 14 RTH di DKI dengan luas 3.392 m2, selebihnya digarap oleh Suku Dinas (Afriatni, 2005). Penyebaran ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002 disajikan pada Tabel 4. Sedangkan peta lokasi hutan kota Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 disajikan pada Gambar 3.


(30)

Tabel 4.Penyebaran ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002

No. Lokasi Area Potensi (Ha) Status Pemilikan

A Jakarta Utara

1. Kebun Bibit Kamal Muara 10,51 Dep. Kehutanan

2. Hutan Wisata Kamal Muara 99,82 Dep. Kehutanan

3. Hutan Lindung Angke Timur 44,76 Dep. Kehutanan

4. Cagar Alam Muara Angke 25,02 Dep. Kehutanan

5. HK Waduk Sunter 8,50 BPL Sunter

6. HK Waduk Pluit 13,44 BPL Pluit

7. HK Kemayoran 4,60 DP3 Kemayoran

8. KB Sukapura 65,16 Distanhut

9. KB Kamal 3,69 Distanhut

B Jakarta Selatan

1. HK Kampus UI 54,40 Univ. Indonesia

2. HK KB Ragunan 10,00 KBR Ragunan

3. HK Situ Babakan 5,00 DPU DKI Jakarta

4. HK Situ Mangga Bolong 5,00 DPU DKI Jakarta

5. HK Pondok Indah 1,00 Perum Pondok Indah

6. HK Makam Blok P 1,00 Pemda DKI Jakarta

7. KB Ragunan 14,76 Distanhut

8. KB Cianjur 10,05 Distanhut

9. KB Lebak Bulus 1,43 Distanhut

10. Petukangan Utara 4,15 Distanhut

C Jakarta Barat

1. HK Srengseng 15,00 Distanhut

2. KB Meruya Utara 0,28 Distanhut

3. KB Kembangan 2,24 Distanhut

4. KB Cengkareng 10,13 Distanhut

D Jakarta Timur

1. HK Mabes ABRI Cilangkap 15,00 Mabes ABRI

2. HK Halim PK 3,50 TNI AU

3. HK PT. JIEF 19,50 PT. JIEF

4. HK Arb. Cibubur 25,00 BKSDA DKI

5. HK Komplek Koppasus 10,00 Kopasus

6. HK Gd. Pemuda Cibubur 10,00 Menpora

7. KB Ujung Menteng 3,06 Distanhut

8. KB Cilangkap 19,05 Distanhut

9. KB Agro Wisata Cibubur 11,61 Distanhut

10. KB Cibubur 11,90 Distanhut

11. KB Kelapa Dua Wetan 0,48 Distanhut

12. KB Condet 0,16 Distanhut

E Jakarta Pusat

1. HK Manggala Wanabhakti 4.00 Dept. Kehutanan


(31)

1. Hutan Kota Kemayoran

Kawasan hutan ini merupakan kawasan bekas bandara Kemayoran, dimana penetapan lokasinya didasarkan atas surat Mensesneg No. R/34/M/Sekneg/16/1987, yang merupakan bagian ruang terbuka hijau lingkungan komplek Pekan Raya Jakarta (PRJ). Secara geografis terletak pada 6010'07" LS dan 106038'32" BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan wilayah Kotamadya Jakarta Pusat, Kecamatan Kemayoran. Konfigurasi lapang kawasan ini merupakan hamparan dataran, dengan ketinggian 4 meter dari permukaan laut. Kawasan hutan kota ini dibangun menyusur jalan raya dengan ketebalan rata-rata 30-40 meter. Kawasan ini berfungsi sebagai pengendali polutan,intrusi air laut dan sarana rekreasi dengan luasan ± 4,6 ha.

2. Hutan Lindung Angke Kapuk

Fungsi Hutan Lindung Angke Kapuk antara lain : a). sebagai pengatur tata air, b). pencegah bencana banjir, c). pencegah erosi, d). pemelihara kesuburan tanah, e). sebagai kawasan pelindung sistem penjaga kehidupan. Secara umum jenis tumbuhan/vegetasi yang tumbuh di Hutan Lindung Angke Kapuk sangat homogen, hampir seluruh kawasan ditumbuhi oleh Api-api (Avicennia sp) dan Bakau -bakauan (Rhizophora sp). Ketebalan hutan lindung berkisar 40 - 60 meter dan areal ini menjadi barier (pengaman) kawasan yang baik.

Letak dan luas Hutan Lindung Angke Kapuk sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 67/kpts-II/1995 seluas 44,76 Ha yang terletak memanjang sejajar pantai sepanjang 5 Km dengan lebar 100 meter dari garis pasang surut pantai. Luas hutan lindung terbagi menjadi dua yaitu oleh kali Cengkareng Drain di sebelah timur seluas 16,26 ha dengan panjang 2,1 Km dan sebelah Barat oleh Cengkareng Drain seluas 28,50 ha dengan panjang 2,2 Km. Secara administratif termasuk dalam dua kelurahan yaitu kelurahan Kapuk Muara dan kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara. Batas-batas kawasan Hutan Lindung : Sebelah timur berbatasa dengan Kali Angke/Suaka Marga Satwa Muara Angke, sebelah Selatan berbatasan dengan perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK), sebelah Barat berbatasan dengan Taman Wisata Alam, dan sebelah Utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa.


(32)

3. Hutan Kota Manggala Wana Bhakti

Hutan komplek perkantoran Departemen Kehutana pada hakekatnya telah ditetapkan sebagai wahana penyangga lingkungan fisik perkotaan, dan sebagai koleksi pelestarian plasma nutfah dari berbagai macam jenis pepohanan yang mencerminkan kekayaan jenis hutan tropis Indonesia. Terletak di halaman gedung Departemen Kehutanan, sedangkan secara geografis terletak pada 60103'16" LS dan 106046"11" BT. Secara administratif masuk pada wilayah Jakarta Selatan, Kecamatan Keboyaran Baru, Kelurahan Senayan.

Konfigurasi lapang kawasan ini merupakan hamparan pelataran gedung perkantoran Departemen Kehutanan yang dibentuk berdasarkan kaidah landscap sekitar bentuk dan bangunan. Alokasi penataannya dipaduserasikan dengan area perparkiran tempat istirahat bagi pengemudi dan dilengkapi sarana umum. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan penyangga lingkungan fisik kritis perkotaan khususnya pencemaran udara dan kawasan lindung pelestarian koleksi keanekaragaman jenis dan plasma nutfah juga dimanfaatkan sebagai tempat peristirahatan pengemudi.

4. Hutan Kota Srengseng

Hutan kota Srengseng yang ditetapkan dengan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 202 tahun 1995 membentang dengan luas mencapai 15 ha. Kawasan ini berfungsi sebagai pelestarian sumber plasma nutfah, kawasan resapan air, menekan kadar polusi udara, penelitian ilmu dan teknologi. Hutan kota Srengseng memiliki bentang atau konfigurasi lahan yang beragam; lahan datar, bergelombang hingga danau dan pulau yg berada di tengah-tengah kawasan. Keanekaragaman flora dan faunanya merupakan keunikan tersendiri karena bentuk atau morfologi dan karakteristik masing-masing spesies beragam.

Beberapa jenis tumbuhan (flora) yang dapat dijumpai pada kawasan hutan kota Srengseng adalah ; Matoa/Rambutan Irian (Pometia pinata), Cempaka (Michelia champaka), Kayu Manis (Cinamomun burmanii), Tanjung (Mimusops elengi), Pilang (Acacia vilosa), Buah Nona (Anona squamosa), Sirsak (Anona muricata), Buni (Antidesma bunius), Saga (Denantera sp), Bambu (Bambusa spp), Bacang (Mangifera foetida), bambu Kuning (Bambusa sp), Nyamplung (Calophylium inophylum), Kenari (Canarium comune), Asam Landi (Piteilobium dulce), Beringin (Ficus benjamina), Rukem (Flacaurtia sp), jakaranda (Jacaranda equaisetifolia), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Mangga (Mangifera spp), Bunga Saputangan (Manilota glandifora), Kersen (Mutingia cabora), Cemara


(33)

(Casuarina equisetifolia), (Casuarina sumatrana), Nam-nam (Cinometra cauliflora), Flamboyan (Delonix regia), Sempur (Delinia sp), Sengon (Paraserianthes falcataria), Ketapang (Terminalia catapa), Pong-pongan (Oroxylus indicum), Akasia Mangium (Acacia mangium), Salam (Eugenia sp), Dadap Merah (Eritrea crystagali), Trembesi/Ki Hujan (Samanea saman), Bunga Kupu-kupu (Bauhemia purpurea), Sawo Kecik (Manilkara kauki), Akasia Daun Kecil (Acacia auriculiformis), Jati (Tektona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Bintaro, Damar (Agathis damara), Lamtoro Nipah (Nypa frutikan) serta berbagai macam tumbuhan semak dan tanaman hias. Sedangkan fauna (hewan) yang dapat dijumpai pada kawasan ini berupa satwa liar antara lain adalah Burung Raja Udang, Emprit. Beberapa jenis reptil yaitu Kadal (Mabula sp), Biawak (Varanus salvator), Famili Rodentia dan berbagai macam serangga (kupu-kupu belalang, gasir dan orong-orong).

5. Hutan Kota Komplek Lanud Halim

Hutan kota Lanud Halim Perdana Kusumah, merupakan bagian dari ruang terbuka hijau Komplek Angkatan Udara RI, yang ditetapkan berdasarkan SK. Komandan Lanud No. Shep/14/X/1988, tanggal 21 Oktober 1988. Kawasan ini pada hakekatnya telah ditetapkan sebagai wahana penyangga lingkungan kedirgantaraan dan sebagai wahana koleksi pelestarian plasma nutfah dari berbagai macam jenis pepohonan yang sekaligus bergabung dengan lapangan Golf Halim.

Pada Awalnya kawasan ini direkomendasikan seluas 300 ha, tetapi sekarang tinggal 70 ha, karena keperluan lahan untuk perluasan komplek. Secara geografis terletak pada 60407'11" LS dan 106047’10" BT dan berada pada wilaya kota Jakarta Timur Kecamatan Makasar, Kelurahan Halim Perdana Kusuma. Wujud hutan kota ini tertata berbeda dengan kawasan hijau disekitarnya, yang merupakan hamparan padang Golf. Hal ini dimasudkan sebagai upaya pemanfaatan fungsi dan jasa biologis tumbuhan dalam meredam kebisingan suara kapal terbang yang berjarak 700 meter dari pusat perkantoran Lanud Halim. Kawasan ini diperuntukan sebagai kawasan penyangga lingkungan fisik kritis perkotaan dari gangguan kebisingan juga merupakan wahana koleksi keanekaragaman jenis dan plasma nutfah, dan sebagai sarana rekreasi serta olah raga.


(34)

6. Hutan Kota Kampus Universitas Indonesia

Hutan kota kampus Universitas Indonesia ditetapkan berdasarkan SK. Rektor UI No. 84/SK/12/1988, tanggal 31 Oktober 1988, dengan nama Mahkota Hijau, yang difungsikan sebagai wilayah resapan air, wahana koleksi pelestarian plasma nutfah, wahana penelitian dan sarana rekreasi alam. Hutan kota kampus UI seluas 90 ha yang secara geografis terletak pada 60104'15" LS dan 106048’ 12" BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan 55,4 ha kawasan ini termasuk wilayah kota Jakarta Selatan, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah.

Konfigurasi lapangan merupakan hamparan landai dengan kisaran 3-8% (76,4 ha) dan bergelombang ringan dengan kemiringan lereng 8-25% (13,6 ha) pada ketinggian tempat 74 meter dari permukaaan laut. Dalam alokasinya pembangunan hutan kota di kawasan ini terdiri dari dua kelompok yaitu (a) pembangunan ekosistem perairan seluas 9 ha dan (b) pembangunan hutan kota seluas 45,5 ha.

7. Hutan Kota ABRI Cilangkap

Hutan kota Mabes ABRI Cilangkap, penunjukan lokasinya berdasarkan atas persetujuan Asisten Logistik Mabes ABRI surat No. B/2.2/4-07/03/154/S log, tanggal 19 Oktober 1988, yang merupakan bagian ruang terbuka hijau lingkungan komplek yang telah diupayakan sebelumnya. Luas kawasan kota ini semula direkomendasikan 60 ha dan kini 15 ha . Secara geografis terletak pada 60103'00" LS dan 106037’51" BT. Terletak di wilayah kota Jakarta Timur, Kecamatan Pasar Rebo, Kelurahan Cilangkap dan terletak 3-4 km di sebelah tenggara komplek Taman Mini Indonesia Indah.

Konfigurasi lapang kawasan ini merupakan hamparan dataran, dengan ketinggian 40 meter dari permukaan laut dengan kisaran kemiringan lereng 0-2%. Kawasan ekosisitem tandoon air (situ buatan) di dalam komplek Mabes ABRI Cilangkap. Kawasan ini berfungsi sebagai kawasan penyangga resapan air, wahana koleksi keanekaragaman jenis dan plasma nutfah dan sangtuari satwa, kawasan rekreasi dan olah raga bagi ABRI.


(35)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Agustus 2006. Pengambilan data lapangan dilakukan pada awal bulan Agustus 2006 di sekitar wilayah Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Sedangkan pengolahan data dilaksanakan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Fakultas Kehutanan IPB.

Data Citra dan Data Pendukung

Bahan yang digunakan adalah data dijital citra satelit Ikonos multispektral liputan tahun 2003 yang sudah terkoreksi. Spesifikasi citra Ikonos disajikan pada Tabel 5. Data pendukung lainnya berupa sistem data spasial batas administrasi kelurahan, batas kecamatan dan batas kotamadya Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, data jumlah penduduk, jumlah industri dan jumlah kendaraan bermotor (satuan per kelurahan).

Ikonos merupakan nama satelit sekaligus sensor yang digunakan untuk merekam gambar/obyek permukaan bumi. Satelit ini merupakan satelit sipil pertama yang menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu : 1 m panchromatic (PAN) dan 4 m multispectral (XS), serta mengorbit pada ketinggian 681 km. Selain itu, kemampuannya melakukan perekaman secara “off nadir” sampai dengan 600 di segala azimuth menyebabkan kemampuan ulang (revisit) antara 2 sampai dengan 3 hari dan juga mampu menyediakan citra stereo dari posisi “in-track”.

Satelit Ikonos mengorbit bumi pada orbit Sun-Synchronous. Satelit tersebut mengitari bumi 14 kali per hari, atau setiap 98 menit. Satelit Ikonos yang diluncurkan pada bulan September 1999 mengorbit pada ketinggian 681 km dengan deklinasi 98,10 pada waktu crossing 10.30 a.m. Pita Spektaral 1, 2 dan 3 dari citra Ikonos multispektral secara berurutan mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian biru, hijau dan merah. Pita-pita tersebut untuk mengukur karakteristik spektral yang tampak oleh mata. Pita 4 mengukur reflektansi spektrum elektromagnetik pada bagian inframerah dekat, dan sangat membantu dalam mengklasifikasi vegetasi.


(36)

Dephan (2005) menyatakan bahwa resolusi radiometrik data Ikonos dikumpulkan tiap 11 bit pixel (2048 tone abu-abu). Ini berarti bahwa masih diperlukan ahli perangkat lunak inderaja untuk memperoleh informasi gambar dengan detil. Ikonos dengan kemampuannya sebagai high accuracy remote sensing satellite akan memberikan implikasi terhadap berubahnya konsepsi penyediaan data dan informasi wilayah terutama karena meningkatnya kecepatan & keakuratan datanya.

Tabel 5. Spesifikasi citra Ikonos

Waktu peluncuran 24 September 1999 (11:21:08 a.m. PDT)

Lokasi peluncuran Vandenberg Air Force Base, California

Resolusi Resolusi setiap pita spektral:

• Pankromatik : 1 meter (nominal , 26 derajat off nadir) • Multispektral : 4 meter (nominal , 26 derajat off nadir)

Respon spektral citra • Pankromatik : 0,45 – 0,90 mikron

• Multispektral :

Pita 1 : Biru 0,45 – 0,52 mikron Pita 2 : Hijau 0,52 – 0,60 mikron Pita 3 : Merah 0,63 – 0,69 mikron

Pita 4 : Inframerah dekat 0,79 – 0,90 mikron (sama dengan landsat pita 1 – 4)

Lebar swath dan ukuran scene

• Lebar Swath ; 13 km pada nadir

Areas of interest : Citra tunggal 13 km × 13 km

Ketinggian (Altitude) 423 mil / 681 km

Inklinasi (Iclination) 98,10

Kecepatan 4 mil per detik / 7 km per detik

Descending nodal crossing time

10 : 30 a.m.

Revisit frequency 2,9 hari pada resolusi 1 meter, 1,5 hari pada resolusi 1,5 meter. Nilai-nilai tersebut untuk target pada lintang 40 derajat. Waktu revisit lebih sering untuk lintang lebih tinggi dan jarang untuk lintang dekat khatulistiwa.

Waktu orbit 98 menit

Tipe orbit Sun-Synchronous

Sumber : Pike dan Brown (1999)

Software dan Hardware (Perangkat Lunak dan Keras)

Perangkat keras (hardware) yang digunakan adalah seperangkat komputer pribadi (personal computer) dengan perangkat lunak (software) Arc View Ver. 3.2, 3.3 dan Minitab 13.20. Peralatan tambahan lainnya berupa GPS (Global Position System) tipe Garmin 12-XL, kamera dijital dan alat tulis.


(37)

(38)

Tahap-tahap Interpretasi Tutupan Lahan Pengolahan Data Citra

1. Digitasi

Pada dasarnya digitasi adalah kegiatan pemasukan data dalam arc View yang dilakukan dengan mendeliniasi secara langsung pada layer (on screen digitizing) untuk feature yang yang berbentuk line/arc/polygon, sehingga dihasilkan beberapa coverage untuk setiap informasi tematik yang berbeda (pohon, semak belukar, padang rumput, sawah, tanah kosong, badan air, bangunan, jalan, sungai, dan lain-lain) yang akan digunakan sebagai pangkalan data (data base) yang merupakan sekumpulan logis dari informasi yang saling terkait yang dikelola dan disimpan sebagai satu kesatuan. Deskripsi beberapa kelas penutupan lahan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Deskripsi kelas-kelas penutupan lahan hasil klasifikasi citra Ikonos

No Kelas Penutupan Deskripsi

1. Pohon tumbuhan berkayu dengan diameter ≥ 20 cm 2. Semak belukar lahan yang ditumbuhi oleh semak belukar 3. Padang rumput lahan yang ditumbuhi oleh rumput-rumputan 4. Sawah lahan pertanian padi

5. Tanah Kosong lahan yang ditumbuhi oleh tanaman atau sedikit ditumbuhi dan tidak digunakan untuk

penggunaan lainnya

6. Badan air lahan (permukaan) yang selalu dialiri/digenangi air termasuk sungai

7. Non vegetasi bangunan (kawasan industri, pemukiman), jalan, areal terbangun lainnya

8. No data Awan dan bayangan awan

2. Editing

Editing dilakukan untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan pada saat digitasi seperti undershoot, overshoot, dan slivers.


(39)

3. Labelling/Attributing

Labelling merupakan proses pemberian identitas label setiap polygon, line atau point yang terbentuk dalam coverage, sedangkan atributing adalah proses memberi atribut atau informasi pada suatu coverage. Biasanya, informasi yang diberikan dapat dilihat dalam bentuk atribut tabel. Tabel dapat berfungsi untuk mengolah data atribut dari suatu coverage untuk keperluan analisis, baik analisis digital maupun tabular diperlukan adanya informasi pada basis data. Data spasial hasil digitasi perlu ditambahkan data atribut deskriptif. Attributing diperlukan bila coverage yang ada sudah dibangun topologi.

4. Map Join

Apabila peta yang akan digabung telah mempunyai koordinat dunia nyata dengan proyeksi yang sama maka dapat dilakukan penggabungan beberapa coverage (polygon/feature lainnya) dari satu atau lebih coverage. Sebelum dilakukan map join, terlebih dahulu harus dilakukan transformasi pada setiap coverage yang akan digabung. Kegiatan-kegiatan map join dilakukan berdasarkan nilai-nilai sebuah file yang dapat ditemukan baik pada tabel yang ditambahkan maupun pada tabel atribute themenya.

5. Layout Peta

Layout adalah sebuah proses menata dan merancang letak-letak properti peta seperti judul peta, legenda peta, orientasi, label, dan lain-lain. Layout peta dimaksudkan untuk memperjelas dan memberikan keterangan yang benar bagi pengguna peta yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam suatu terapan tertentu sehingga dapat diperoleh informasi yang akurat. Secara rinci bagan proses pengolahan citra disajikan pada Gambar 3.

Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi

Evaluasi akurasi dilakukan untuk melihat besarnya kesalahan klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya persentase besarnya ketelitian pemetaan. Ketelitian tersebut meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian nama kelas secara benar, persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matrik kesalahan (confussion matrix) atau sering disebut matrik contingency, yang disusun seperti disajikan pada Tabel 7. Akurasi kappa digunakan karena memperhitungkan semua elemen dalam matrik konfusi, akurasi kappa juga


(40)

digunakan untuk menguji kesignifikanan antara dua matrik kesalahan dari metode yang berbeda atau dari kombinasi band yang berbeda (Jaya, 2002). Tabel 7. Contoh bentuk matrik kesalahan (Confussion Matrix)

Data Acuan Training Area

Diklasifikasi ke Kelas (Data Klasifikasi di Peta)

Total Baris Xk+

Producer’s acc. Xkk/Xk+

A B …. D

A Xii

B

D Xkk

Total Kolom X+k N

User’s Acc. Xkk/X+k

Sumber : Jaya (2002)

Ukuran-ukuran akurasi yang digunakan yaitu: 2

( ) / 100%

r r r

kk kk k k k

k k k

Kappa k N X X X N X X+

⎡⎛ ⎞ ⎛ ⎞⎤ ⎢⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎥ =⎟ ⎜ − − × ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎢ ⎠ ⎝ ⎥ ⎣

∑ ∑

(

)

. kk/ 100%

Overall Acc =

X N ×

(

)

'

.

kk

/

k

100%

User s Acc

=

X

X

+

×

(

)

Prod s Acc' .= Xkk/Xk+ ×100% Keterangan:

N : jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan R : jumlah baris/lajur pada matrik kesalahan (jumlah kelas) XI+ : jumlah semua kolom pada baris ke-I (∑Xij)

X+j : jumlah semua kolom pada lajur ke-I (∑Xij)

Pengecekan Lapangan (Ground Check)

Kegiatan pengecekan lapangan dilaksanakan dengan maksud untuk memperoleh informasi mengenai kondisi dan keadaan penutupan lahan sebenarnya di lapangan sebagai pelengkap informasi dan pembanding dengan hasil interpretasi citra secara visual (analisis lebih lanjut). Penampakan beberapa kelas penutupan lahan pada citra Ikonos dan hasil pengecekan lapangan disajikan pada Gambar 4.


(41)

Gambar 3.Diagram alir proses pengolahan citra Digitasi

Editing

Labelling/Attributing

Map Join

Layout Peta

Peta Biosfisik

Mulai


(42)

Gambar 4. Beberapa kelas penutupan lahan (1) pohon; (2) semak belukar; (3) padang rumput; (4) sawah; (a) penampakan pada citra Ikonos; (b) penampakan di lapangan

1a

2a

1b

4a 3a

2b

3b


(43)

Gambar 4. (lanjutan) Beberapa kelas penutupan lahan (5) tanah kosong; (6) sungai; (7) bangunan/pemukiman (a) penampakan pada citra Ikonos; (b) penampakan di lapangan

6a

5b

6b

7a 7b


(44)

Pendekatan Pembangunan Hutan Kota

Hutan kota adalah sebuah areal yang ditumbuhi berbagai tegakan vegetasi yang merupakan suatu unit ekosistem yang berfungsi dan berstruktur sebagai hutan dalam wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesar-besarnya kepada penduduk kota bagi kegunaan proteksi, esetika, rekreasi serta kegunaan khusus lainnya (Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1988). Menurut Dahlan (2004) hutan kota dianggap memiliki kelebihan dalam menyerap gas CO2 dibandingkan dengan tanaman, karena hutan

menempati hamparan yang lebih luas daripada taman, selain itu biomassa hutan jauh lebih banyak daripada taman, karena terdiri dari beberapa strata ketinggian dari yang paling rendah sampai yang tinggi pohonnya dapat mencapai 40-60 m juga pepohonan hutan memiliki diameter tajuk dan kerapatan daun yang jauh lebih besar daripada taman.

Menurut Dahlan (2004) ada dua pendekatan yang dipakai dalam membangun hutan kota, yaitu:

Pendekatan Parsial

Pendekatan parsial yakni menyisakan sebagian dari kota untuk kawasan hutan kota. Oleh sebab itu hutan kota sering diartikan sebagai hutan yang ada di dalam kota. Ada beberapa metoda yang dapat dilakukan untuk menetapkan luasannya, yakni berdasarkan perhitungan persentase, luasan per kapita dan berdasarkan issu penting yang muncul di kota tersebut.

1. Berdasarkan persentase luas

Menurut Inmendari No. 5 tahun 1988, luasan RTH kota menggunakan perbandingan 40 : 60, yang berarti 60% dari luas wilayah merupakan kawasan terbangun dan lebihnya sebesar 40% harus digunakan sebagai kawasan hijau. Sementara berdasarkan PP No. 63 tahun 2002 tentang hutan kota menyatakan luasan hutan kota sekurang-kurangnya 10% dari luasan kota .

2. Berdasarkan luasan per kapita

Luasan hutan kota di DKI Jakarta yang berupa taman untuk bermain dan olah raga 1,5 m2 per penduduk (Rifai, 1989 dalam Dahlan, 2004), sedangkan Soeseno (1993) dalam Dahlan (2004) menetapkan 40 m2 per penduduk kota. Sementara KepMen PU No. 378 tahun 1987 menetapkan luasan RTH kota untuk fasilitas umum adalah 2,53 m2 per jiwa dan untuk penyangga lingkungan kota sebesar 1,5 m2 per jiwa.


(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kota merupakan suatu wilayah pemusatan sejumlah penduduk yang mewadahi tumbuh dan berkembangnya kegiatan sosial, budaya dan ekonomi perkotaan yang tidak berstatus sebagai kota administratif atau kotamadya (Irwan,1997). Perkembangan kota ditandai dengan perkembangan populasi manusia yang semakin pesat serta pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik seperti pembangunan industri, transportasi, perumahan, pusat perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain sebagai penunjang aktivitas penduduk kota dan di sisi lain merupakan simbol kemajuan peradaban manusia terutama penduduk kota yang cenderung mengikuti perkembangan zaman.

Di satu sisi pembangunan lingkungan perkotaan yang telah dan sedang dilakukan saat ini juga menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Lingkungan di perkotaan menjadi hanya maju secara ekonomi namun cenderung mundur secara ekologi. Padahal kestabilan kota secara ekologi sangat penting, sama pentingnya dengan nilai kestabilannya secara ekonomi (Dahlan, 1992). Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya bermunculan masalah lingkungan di perkotaan seperti peningkatan suhu dan tingkat polusi udara yang berakibat kepada semakin berkurangnya produksi oksigen (O2) dan berlimpahnya produksi

karbondioksida (CO2).

Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu unsur gas rumah kaca

(GRK) terpenting penyebab terjadinya pemanasan global (global warming) disamping gas-gas lain seperti metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), nitrogen

oksida (NOX), ozon (O3), chloroflourocarbon (CFC) dan lain-lain. Dibandingkan

dengan gas-gas yang lain, CO2 memberikan kontribusi terbesar terhadap

terjadinya efek rumah kaca yaitu 50%, disusul CFC sebesar 17%, CH4 sebesar

13%, O3 sebesar 7% dan N2O sebesar 5%. Pengaruh masing-masing gas rumah

kaca terhadap terjadinya efek rumah kaca bergantung pada besarnya kadar gas rumah kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer dan kemampuan penyerapan energi. Waktu tinggal gas rumah kaca di atmosfer juga mempengaruhi efektivitasnya dalam menaikkan suhu. Makin panjang waktu tinggal gas di atmosfer, makin efektif pula pengaruhnya terhadap kenaikan suhu. Waktu tinggal


(2)

CO2 merupakan yang paling lama di atmosfer dibandingkan dengan gas-gas

yang lain yaitu selama 50-200 tahun (Prihanto et al, 1999).

Sumbangan utama manusia terhadap jumlah karbondioksida dalam atmosfer berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Konsumen paling besar yang menggunakan bahan bakar tersebut yaitu sektor transportasi (kendaraan bermotor), industri dan aktivitas harian penduduk. Pembakaran bahan bakar fosil bukan hanya untuk kendaraan bermotor. Termasuk di dalamnya, pembakaran untuk menghidupkan generator-generator, yang listriknya kita pakai setiap hari untuk menghidupkan lampu, televisi, radio, AC, kulkas dan lain-lain. Secara keseluruhan, penggunaan bahan bakar fosil akan meningkatkan kadar GRK secara signifikan. Disamping itu, konversi vegetasi dari ekosistem alami menjadi ekosistem binaan yang dikelola secara intensif telah mengubah tataguna lahan dalam skala yang besar dan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan GRK di atmosfer.

Lebih lanjut Prihanto et al (1999) menyatakan bahwa emisi karbondioksida Indonesia saat ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Pada 2010 diperkirakan emisi karbondioksida akan meningkat lima kali dari kadar tahun 1986, yaitu mencapai 469 juta ton. Hal ini terjadi akibat peningkatan tingkat konsumsi listrik rumah tangga dan industri serta penggunaan energi yang tidak efisien. Tanda-tanda pemanasan global mungkin sudah mulai terlihat di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami tiga kali musim kemarau yang sangat panjang, yaitu pada tahun 1982-83, 1987, dan 1991 dan tentunya mengakibatkan dampak sangat merugikan.

Sebagai ibu kota negara, kondisi udara Kota Jakarta saat ini dalam kondisi yang menghawatirkan seiring dengan semakin tingginya tingkat pencemaran udara yang terjadi. Lebih dari 70% (berdasarkan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor) pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia termasuk Jakarta berasal dari buangan kendaraan bermotor, sedangkan sisanya berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, pembakaran sampah, efek tambahan dari turbulensi zat pencemar udara pada lokasi pemusatan bangunan tinggi, dan lain-lain (Widyawati, 2005). Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta mencatat bahwa jumlah kepemilikan kendaraan bermotor di DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003 berjumlah sekitar 5,4 juta unit dengan rata-rata laju pertumbuhannya sekitar 7% per tahun. Jumlah ini belum ditambah dengan jumlah kendaraan yang


(3)

masuk ke Jakarta setiap harinya (± 600.000 unit) dari kota-kota satelit di sekitarnya seperti Tanggerang, Bogor, Bekasi dan Depok (Anonim, 2005).

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (2004) salah satu penyebab tingginya tingkat pencemaran dari kendaraan bermotor di Indonesia adalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Kemacetan lalu lintas di jalan raya disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tidak diikuti oleh peningkatan sarana dan prasarana transportasi. Khusus di Jakarta, penambahan panjang jalan (tol, fly over, underpass) tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Hal ini diperburuk dengan banyaknya kendaraan yang masuk ke Jakarta dan kota sekitarnya.

Selain itu, masalah yang tidak kalah petingnya yaitu masalah penataan ruang kota. Tata ruang Kota Jakarta lebih ditujukan untuk tujuan pembangunan kawasan pemukiman, perkantoran, rekreasi dan juga industri yang berakibat kepada semakin berkurangnya ruang terbuka hijau berpepohonan (bervegetasi hijau).

Dengan menyadari keadaan tersebut penataan lingkungan perkotaan yang berorientasi wawasan lingkungan menjadi sangat penting. Oleh karena itu kehadiran vegetasi hijau sebagai salah satu perwujudan dari hutan kota sangat diperlukan untuk mengimbangi atau menekan tingkat polusi yang semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, kegiatan industri, serta aktivitas pembakaran tidak sempurna yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Dalam RTRW 2010, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan memiliki ruang terbuka hijau (RTH) seluas 9.544 ha (13,94%) yang meliputi berbagai jenis hutan, pemakaman, ruang-ruang yang berfungsi sebagai pengaman serta lahan pertanian. Sampai dengan akhir tahun 2004, RTH yang sudah ada seluas 6.190 ha atau 9% dari luas DKI. Masih ada pekerjaan rumah tangga untuk mencapai target seluas 13,94% (Widyastuti, 2005).

Pengembangan hutan kota memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang baik agar fungsi dan peranan hutan kota itu sendiri dapat terwujud secara optimal. Informasi yang akurat, cepat dan efisien akan sangat membantu dalam perencanaan pembangunan hutan kota. Oleh karena itu, teknologi penginderaan jauh merupakan sarana yang tepat. Menurut Jaya (1997) penginderaan jauh mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat dan relatif akurat serta cakupan wilayah yang sangat luas. Kelebihan lain dari teknik penginderaan jauh satelit yaitu dapat menghasilkan data dijital yang selanjutnya dapat diolah secara


(4)

kuantitatif dengan bantuan komputer sehingga dapat dihasilkan informasi secara cepat dan lebih akurat (Richards, 1986).

Salah satu citra satelit yang dapat digunakan adalah citra satelit IKONOS. Satelit ini merupakan satelit sipil pertama yang menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu : 1 m panchromatic (PAN) dan 4 m multispectral (XS). Oleh karena itu, IKONOS dapat digunakan untuk mengidentifikasi tipe-tipe penutupan vegetasi serta penyebarannya secara lebih detil dan lebih akurat. Jika diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan dipadukan dengan data penunjang lain akan memberikan pengetahuan mengenai luas dan penyebaran hutan kota (ruang terbuka hijau/RTH) serta lokasi-lokasi yang potensial melalui klasifikasi citra satelit untuk dikembangkan sebagai hutan kota.


(5)

Tujuan Penelitian

1. Estimasi luas dan distribusi kebutuhan hutan kota menggunakan citra IKONOS di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur Tahun 2003 serta prediksi tahun 2006, 2010, 2015 dan 2020.

2. Identifikasi lokasi-lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi vegetasi kota (hutan kota) sebagai penunjang dalam perencanaan, pembangunan dan pengembangan hutan kota di Kota Jakarta Selatan dan Jakarta Timur sebagai bagian ibu kota negara.


(6)

MENGGUNAKAN CITRA IKONOS DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur

JUFRI HAMKA LAUHATTA

E14101034

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007