Tingkat Pendapatan Dan Tingkat Kesejahteraan

Bab VI. Hasil dan Pembahasan 86 86 yang ada dalam diri para migran adalah merupakan warisan bakat budaya yang sudah turun-temurun. Masyarakat di dua kecamatan asal diatas secara geografis relatif sama, akan tetapi agak sedikit berbeda jika dilihat dalam segi prilaku ekonominya. Masyarakat di kecamatan Pucuk sebagian besar mengandalkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sedangkan masyarakat di kecamatan Sukodadi selain sektor pertanian masih terdapat sektor perdagangan warung kelontongtoko pertanian sebagai sektor penunjang kebutuhan keluarga di desanya.

6.3. Tingkat Pendapatan Dan Tingkat Kesejahteraan

Tingkat pendapatan yang dijelaskan dalam penelitian ini meliputi pendapatan yang diperoleh rumahtangga perdesaan yang memutuskan untuk menjadi migran sirkuler, yaitu pendapatan yang didapat pada saat sebelum memutuskan menjadi migran sirkuler dan pendapatan pada saat menjadi migran sirkuler di daerah tujuan. 6.3.1. Tingkat Pendapatan Sebelum Menjadi Migran Sirkuler Pelaku migran sirkuler yang terdapat di daerah tujuan pada umumnya adalah masyarakat perdesaan di bagian selatan kabupaten Lamongan. Masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Data Podes propinsi Jawa Timur tahun 2003 mencatat bahwa dari total 423 desa di kabupaten Lamongan terdapat 82 persen 347 desa yang penduduknya sebagian besar bekerja disektor pertanian Statistik potensi desa BPS Propinsi Jawa Timur, 2003. Menurut Sajogyo 2002 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami penurunan nilai tambah lebih dari 26 persen, pada kurun waktu 1973 -1980 sebesar 32 persen. Peneurunan tersebut terkait erat dengan rendahnya tingkat upah disektor pertanian. Teknologi unggul sektor pertanian bias pada pemilik tanah dan penggarap. Sedangkan tehnologi informasi masuk ke desa-desa dan menunjukkan tingginya peluang di luar sektor pertanian yang menjanjikan pendapatan yang tinggi, mendorong penduduk desa keluar dari sektor pertanian. Data PDRB kabupaten Lamongan dalam kurun waktu 1999 – 2003 tanaman bahan makanan mengalami kenaikan sebesar 14,2 persen dari total Bab VI. Hasil dan Pembahasan 87 87 Rp. 1.047.957,45 BAPPEDA kabupaten Lamongan, 2003. Sistem irigasi yang didukung oleh lintasan aliran Bengawan Solo, merupakan potensi sumber daya alam yang mendukung sektor pertanian di pedesaan kabupaten Lamongan. Tanaman pangan yang berupa padi-padian dan umbi-umbian merupakan produk unggulan pertanian sejak jaman dulu, kondisi tersebut karena didukung oleh ekologi Tanah perdesaan yang dimiliki. Kondisi ekologi perdesaan adalah merupakan aset, bentuk sumbangan sumber daya alam yang mendukung sektor pertanian terhadap keperluan hidup penduduk pedesaan pada umumnya. Hal tersebut tidak terlepas dari peran serta masyarakat di pedesaan. Hasil pengamatan dan survei Lapangan menggunakan kuesioner menemukan bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan dikabupaten Lamongan masih jauh dari pemenuhan standart kelayakan sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui upah minimum Regional UMR perdesaan. Hal tersebut terlihat melalui semakin bertambahnya jumlah rumahtangga miskin dipedesaan dan rumahtangga yang diduga miskin di pedesaan, serta banyaknya temuan rumahtangga petani yang melakukan strategi nafkah livelihood Strategies ganda diluar sektor pertanian, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangganya. Dari wawancara dan pengisian kuesioner di lapangan, juga terungkap bahwa upah yang diperoleh buruh tani berkisar antara Rp. 8.000,- sampai Rp. 10.000,- 4-6 jam per hari kerja apabila pemilik lahan menyediakan makanan dan minuman, dan antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 12.000,- per hari apabila pemilik lahan tidak bersedia menyediakan makanan. Dari data kuesioner yang disebar melaui 159 responden berlatar belakang petani, lebih dari 90 persen mengatakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan pekerjaan sebagai buruh tani di desa. Hasil wawancara dengan beberapa pemilik lahan pertanian di desaasal tentang kepantasan pemberian upah buruh tani, diperoleh jawaban bahwa apabila upah bersih buruh tani lebih dari kisaran Rp. 8.000,- sampai Rp. 15.000,- maka pengusahaan pertanian akan rugi, karena ketidak seimbangan antara hasil yang didapat dengan biaya pengusahaan pertanian. Lebih lanjut, pertanyaan kepada responden buruh tani di desa mengapa tidak mengusahakan pekerjaan lain di desa, lebih dari 90 persen responden menjawab akan susah berkembang karena kemampuan membeli daya beli masyarakat rendah. Kendatipun pandangan ekonom membenarkan bahwa tingkat pendapatan akan mempengaruhi daya beli Bab VI. Hasil dan Pembahasan 88 88 masyarakat, nampak terlihat sebagian masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan masih tetap mempertahankan sektor pertanian, kondisi tersebut lebih didasarkan pada faktor kecintaan sebagian masyarakat perdesaan terhadap kampung halaman dan kaum kerabat di desa asal walaupun pada saat tertentu harus keluar desa untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Tabel 33 Pendapatan migran per hari sebelum memutuskan migrasi sirkuler Klasifikasi Pendapatan Migran di Desa Asal Frekuensi Prosentase Rp. 20.000 Rp. 8000,- - Rp.12000,- 94 59,1 Rp. 20.000,- - Rp. 30.000,- 62 38.9 Rp.30.000,- - Rp. 50.000,- 3 1.9 Total 159 100 Sumber: Survei Lapangan, 2005 Namun, kondisi yang berbeda juga terjadi pada sebagian masyarakat perdesaan Pucuk, Kesambi, Siwalanrejo dan Sumberagung pada dua kecamatan di kabupaten Lamongan. Penduduk perdesaan yang awalnya masih konsisten mempertahankan sektor pertanian dan menjadikan pertanian sebagai satu-satunya sumber pendapatan utama rumahtangganya, harus memutuskan untuk menjadikan sector pertanian sebagai pekerjaan sambilan. Profesi sebagai migran sirkuler sektor informal ke daerah-daerah tujuan yang dipilih dipandang sebagai ”pahlawan” untuk permasalah rendahnya upah pekerjaan di sektor pertanian. Melalui keputusan tersebut, sebagian harapan untuk dapat mengatasi masalah kesulitan ekonomi akibat rendahnya pendapatan di desa dan memiliki simpanan di hari tua terwujud. Menjadi migran sirkuler dipilih sebagai solusi yang bijak dalam mengatasi masalah rendahnya upah sektor pertanian dan faktor kecintaan terhadap lahan pertanian yang dimiliki dalam menunjang penghidupan keluarga di desa asal. Berikut kutipan hasil wawancara dengan seorang pedagang Bakso NJ umur 39 tahun asal desa Pucuk yang memilih menjadi migran sirkuler, semula petani kecil dengan lahan sempit dan sudah dua tahun di desa tujuan Brondong bersama istrinya: “kulo awalle puyeng mikir ke pasugatan kebutuhan saben dhinten, kerjaan ngeh mentok ngoten-ngoten mawon, saklintune tani ngeh repot ten dusun niku, nate njajal buka warong ten dusun ngeh malah rugi, malah torok tenogo. Yogo kulo tigo, kebutuhan tambah dhinten tambah katah. Ngandalke tani tok ten dusun, saget ngak karuan yogo kulo. Upah maton niku roto-roto wolong ewu setengah ari, niku diparingi nyamian, kaleh wedang. Nek sedinten tet ngeh saget kaleh Bab VI. Hasil dan Pembahasan 89 89 welas ewu nghantos tigo welas ewu dahar sepindah, niku ngeh mboten mesti wonten setinten-dhinten ne. Dah....yogo kalean estri kulo dhos pundhi.... niku. Akhir e, kulo nemokne dalan ngeh niki dagang Baksoten dhusun lintu, paleng mboten saget damel nyukupi kebutuhan sak dhinten-dhinten e kedik -kedik asal saget nyekolahke anak. Syukur-syukur nek wonten luwehan, saget kangge nabong, mbejeng sepah saget di unduh. Kulo mboten saget netep ten dhuson lintu sakteruse, tendusun woten yogo setunggal dherek mbah e ugi sanak family kolo kathah ten ngriko,sekedik -kedik ngeh kadang kangen kramot saben, meniko pangan mbahe yogo kulo. Ten duson niku nyekel duwek sekedik tapi sayok wargo ne. Tanggi-tanggi engkang kaddos kulo ten riki ngeh suaten kados kulo, kadhose remen ngeten niki, ngak ngoyo tapi sekedik-kedik ngasel , nek kangen ngeh manthok. Kangge dhinten tuwo kulo tetep remen ten dusun asal. saya awalnya sakit kepala memikirkan kebutuhan sehari-hari, melihat pekerjaan hanya begitu saja, selain bertani semuanya repot di desa, pernah mencoba buka warungberdagang tapi terus rugi, capek tenaga. Anak saya tiga, kebutuhan hidup semakin hari semakin bertambah. Mengandalkan bertani saja di desa, bisa tidak terwujud anak saya. Upah buruh taninyabut rumput delapan ribu serenga hari, itu diberi jajanan dan minum. Kalo kerja sehari upah bisa duabelas ribu sampai tiga belas ribu, makan sekali, itu pun belum tentu ada setiap harinya. Dah.... anak dan istri saya gimana... itu. Akhirnya, saya menemukan jalan yaitu berdagang Bakso di desa lain, paling tidak bisa untuk mencukupi kebutuhansehari-harinya, sedikit-sedikit asal bisa menyekolahkan anak. Bersyukur kalau ada lebihnya, ya ditabung, besok hari tua bisa dinikmati. Saya tidak bisa menetap di desa lain untuk seterusnyamigrasi tetap, di desa masih ada satu anak saya ikut orang tua saya dan juga sanak famili saya banyak disana, sedikit-sedikit kadang juga kangen merawat sawah, itu sumber makan untuk nenek anak saya. Di desa asal itu megang uang sedikit tapi kompak masyarakatnya. Para tetangga yang sama sepeti saya disini ya sependapat dengan saya, sepertinya suka seperti ini, ngak terlalu kejar target tetapi sedikit- sedikit dapat hasil , kalau kangen kampung halamankeluarga saya pulang. Untuk hari tua saya tetap suka di desa. Hasil perhitungan distribusi pendapatan menunjukkan bahwa besarnya koefisien Gini pendapatan sebelum migrasi sebesar 0,32 lihat Lampiran 3 Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pendapatan dalam kategori ketimpangan relatif sedang. Sedangkan distribusi pendapatan migran setelah migrasi adalah sebesar 0,15 lihat Lampiran 2. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan rumahtangga migran sirkuler setelah migrasi adalah rendah dan bisa dikatakan distribusi pendapatan migran sangat merata. Distribusi pendapatan migran yang sangat merata tersebut dapat dimengerti mengingat kegigihan dalam bekerja tanpa mengenal lelah mereka. Rumahtangga migran selalu memanfaatkan waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, kreatifitas mereka untuk mendapatkan penghasilan tambahan sangat tinggi walaupun di daerah tujuan yang relatif dekat dengan desa asal. Hal lain yang mendudukung adalah daya beli masyarakat di daerah tujuan yang sangat tinggi Bab VI. Hasil dan Pembahasan 90 90 dengan fasilitas pembangunan yang semakin ramai, sementara pedagang kaki lima relatif belum begitu banyak. Bukan saja data primer yang mampu menjelaskan ke tidak seimbangan beban anggota keluarga dengan pendapatan di perdesaan, BPS 2004 mencatat bahwa rata-rata jumlah anggota keluarga di perdesaan yang berasal dari dua kecamatan Pucuk dan Sukodadi adalah 5 orang BPS kabupaten Lamongan, 2004. Sementara, kebutuhan untuk hidup sehari-hari di perdesaan minimal Rp 7.500,- per hari, tiga kali makan dan minum. Kendatipun semangat kerja masyarakat perdesaan sangat tinggi, tetapi bila tidak diimbangi dengan upah yang layak dan yang sesuai dengan beban hidup keluarga, maka semangat untuk mempertahankan bekerja di sektor pertanian akan memudar dan penduduk perdesaan akan mencari alternatif pemecahan kebutuhan hidup. Dengan demikian disparitas upah sektor pertanian adalah merupakan faktor pendorong terjadinya migrasi sirkuler penduduk perdesaan ke daerah-daerah urban terdekat.

6.3.2. Tingkat Pendapatan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler

Pendapatan sesudah menjadi migran sirkuler dalam penelitian ini mengalami kenaikan rata-rata sebesar 18,4 persen. Dari Tabel 34 diketahui terjadi pergeseran yang sangat tajam. Pendapatan migran sirkuler sebelum memutuskan menjadi migran sirkuler berjumlah 119 orang berpenghasilan kurang dari 20 ribu rupiah Rp.8.000–15.000 bergeser hanya 1 orang yang berpendapatan Rp 19.000 perhari. Pergeseran jumlah responden yang pendapatan tersebut menuju ke penghasilan antara 20 ribu sampai 30 ribu, sebesar 30 orang, menjadi berpenghasilan antara 31 ribu rupiah sampai dengan Rp. 50.000,- sebesar 97 orang responden serta bergeser ke penghasilan lebih dari Rp.50.000,- sebesar 25 orang responden. Tabel 34 menunjukkan pergeseran pendapatan responden sebelum dan sesudah memutuskan menjadi migran sirkuler. Bab VI. Hasil dan Pembahasan 91 91 Tabel 34 Frekuensi responden berdasarkan distribusi pendapatan sesudah dan sebelum memutuskan migrasi sirkuler Sesudah Frekuensi Sebelum Rp.000 Rp.000 20 Rp.000 20 – 30 Rp.000 31 - 50 Rp.000 50 Jumlah Sebelum 20 1 30 69 19 119 20 - 30 6 28 6 40 31 - 50 50 Jumlah Sesudah 1 36 97 25 159 Sumber: Survei Lapangan, 2005 Bagi rumahtangga migran sirkuler peningkatan pendapatan yang diperoleh akan berdampak pada jumlah remittances bagi rumahtangga di desa. Sehingga bagi rumahtangga migran di daerah tujuan akan memunculkan rasa kehati-hatian dalam penggunaannya. Pendapatan uangbarang yang dikirim oleh rumahtangga migran tidak keseluruhan habis untuk dikonsumsi. Pada umumnya anggota rumahtangga di desa asal menginvestasikan sebagian remittances yang dikirim migran selain untuk perbaikan rumah tinggal adalah untuk mewujudkan faktor produksi, baik berupa lahan pertanian, ternak, toko kelontong, maupun perkakas rumahtangga, semisal mesin jahit dan alat-alat pertanian yang dapat di sewakan. Hasil survei di daerah tujuan dari empat desa di Kabuapaten Lamongan menunjukkan bahwa rata-rata migran mengirim hasil kerjanya remittances tidak hanya dalam bentuk uang akan tetapi juga dalam bentuk lainnya yaitu; barang- barang elektronik rumahtangga, pakaian, ikan Laut dan makanan. Dalam kuesioner migran menjawab, antara tiga-enam bulan mereka mengirimkan uang hasil kerjanya ke-desa asal. Hasil survei lapangan menunjukkan terdapat 40 orang responden yang mengirim hasil pendapatannya ke desa sebesar Rp 900.000,-. Sedangkan yang mengirim uang kedesa asal sebesar Rp 1.200.000,- sebesar 29 orang dan sebesar Rp 1.000.000,- sebanyak 27 orang responden. Responden yang mengirim uang kedesa asal sebesar 1.500.000,- rupiah berjumlah 8 orang, sisanya responden mengirim Rp 400.000,- sampai 750.000,- rupiah. Dalam wawancara mendalam dapat diketahui bahwa besaran pendapatan yang kedesa asal tersebut adalah berkisar antara 75 persen ke atas dan sisa pendapatannya Bab VI. Hasil dan Pembahasan 92 92 25 untuk dikonsumsi di daerah tujuanpemondokan. Tabel 35 menunjukkan distribusi besaran remittances migran sirkuler kedesa asal dengan jumlah responden sebesar 159 rumahtangga. Tabel 35 Distribusi besaran remittances migran sirkuler kedesa asal Besar Pendapatan yang di Kirim Rp Frekuensi Persentase 400.000,- 1 0.6 500.000,- 18 11.3 550.000,- 1 0.6 560.000,- 3 1.9 650.000,- 6 3.7 700.000,- 3 1.9 750.000,- 11 6.9 900.000,- 40 25.1 1.000.000,- 27 16.9 1.100.000,- 8 5.0 1.120.000,- 4 2.5 1.200.000,- 29 18.2 1.500.000,- 8 5.0 Total 159 100 Sumber: Survei Lapangan, 2005 Distribusi remittances migran tersebut pada umumnya dibawadikirim sendiri oleh migran ke desa asal, proses menggirim hasil bekerja keluar desa tersebut bagi para migran adalah merupakan usaha untuk tetap menjaga rasa kecintaannya terhadap keluarga dan desa asal. Walaupun rentang waktu saat berada di desa relatif singkat satu minggu-an. 6.3.3. Tingkat Kesejahteraan Migran Sirkuler Secara umum tingkat kesejahteraan di klasifikasikaan kedalam dua kelompok, yaitu tingkat kesejahteraan lahiriyah dan tingkat kesejahteraan bathiniyah. Perbedaan yang nyata dari dua kelompok kesejahteraan adalah pada tingkat kepuasan. Kesejahteraan lahiriyah relatif mudah diukur dari pada tingkat kesejahteraan bathiniyah. Dalam penelitian ini tingkat kesejahteraan rumahtangga dibatasi hanya pada kesejahteraan lahiriyah. Karena dalam mengukur tingkat kesejahteraan lahiriyah relatif mudah diamati. Namun demikian bukan berarti analisa tingkat kesejahteraan bathiniyah seratus persen tidak digunakan. Misalnya data hasil Bab VI. Hasil dan Pembahasan 93 93 wawan cara mengenai responden yang menyatakan bahwa dalam hal pengawasan pendidikan anak-anak di desa tidak bisa maksimal dilakukan sendiri. Seperti penuturan pedagang Bakso NJ umur 35 yang bersirkulasi di daerah kecamatan Brondong yang merasa sedidkit terganggu kesejahteraan bathiniyahnya adalah sebagai berikut: “Yogo kulo kaleh ten dusun, kulo titipke mbah e. Kulo terkadang sekedik mesakke yogo kulo. Sinau lan tilem bhoten wonten tiang sepah e. padahal yogo kulu niku manja sanget kaleh kulo. Kadang-kadang nek kulo bangsol ten dusun stunggal minggu ten dusun ngoten niku, tros kulo pamet bangsol kerjo ten Brondong, yogo kulo nanges. Tapi ngeh ngertos kulo kerjo ngeteniki kangge kiambak e. anak saya dua ada di desa, saya titipkan neneknya. Saya kadang merasa kasihan sama anak saya. Belajar dan tidur tidak ada orang tuanya, pada hal sebenarnya anak saya itu sangat manja sama saya. Terkadang apabila saya pulang kedesa selama seminggu, trus saya balik lagi bekerja di Brondong anak saya menangis, tapi sebenarnya dia mengerti kalau apa yang saya lakukan untuk dia”. Sebenarnya migran secara bathiniyah sedikit merasa terganggu dengan pola migrasi yang mereka pilih. Terutama migran yang mengajak istrinya di daerah tujuan. Kondisi tersebut sebenarnya di sadari oleh migran tetapi pada kenyataannya migran tidak memperdulikannya karena mereka lebih mengutamakan pemenuhan kesejahteraan lahiriyah. Tentang kesejahteraan lahiriyah, salah satu indikator dasar untuk melihat tingkat kesejahteraan lahiriyah masyarakat adalah dengan membandingkan besarnya porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan dengan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk keperluan non pangan. Masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lahiriyah-nya relatif masih rendah akan cenderung membelanjakan sebagaian besar pendapatannya untuk keperluan konsumsi pangan. Sedangkan pada masyarakat yang sudah relatif tinggi tingkat kesejahteraanya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi non-pangan. Perbandingan antara porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan dengan konsumsi non pangan lebih dikenal dengan Indeks Good Service Ratio. Sedangkan yang termasuk jenis konsumsi pangan antara lain terdiri dari: padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, kacang-kacangan, buah- buahan, sayur-sayuran, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbu, makan jadi, makanan dan minuman jadi, minuman beralkohol, tembakau dan sirih. Adapun jenis makanan non pangan terdiri dari: konsumsi untuk keperluan Bab VI. Hasil dan Pembahasan 94 94 fisik rumah, aneka barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang-barang keperluan pesta, pajak dan asuransi serta barang tahan lama. Hasil perhitungan besarnya Indeks Kesejahteraan Masyarakat responden yang ada di dua kecamatan tujuan Paciran dan Brondong yang berasal dari empat desa asal adalah sebesar 2,09. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi angka Indeks tersebut relatif besar, hal itu menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat migran yang ada di daerah tujuan masih relatif rendah, karena sebagian besar pendapatan yang didapatkan dari hasil bekerja di daerah tujuan sebesar 64,28 persen dibelanjakan untuk keperluan konsumsi pangan dan sisanya sebesar 35,7 persen untuk konsumsi non pangan lihat Lampiran 4. Walaupun dalam perhitungan GSR menunjukan tingkat kesejahteraan migran di daerah tujuan relatif rendah, karena di daerah tujuan umumnya migran menahan keinginannya untuk membelanjakan pendapatannya selain kebutuhan non makanan. Akan tetapi indikator kesejahteraan lahiriyah lainnya justru terpenuhi di daerah asal, seperti kepemilikan barangperabot rumahtangga, kondisi bangunan rumah, kepemilikan TV dan VCD dan rata-rata makan telur sehari yang dialami rumahtangga migran di desa asal. Berikut Tabel 35 menunjukkan dengan jelas terjadinya peningkatan kesejahteraan lahiriyah di daerah asal sebelum dan sesudah memutuskan migrasi. Tabel 36 Kesejahteraan lahiriyah rumahtangga migran di daerah asal sebelum dan sesudah memutuskan migrasi, responden 159 orang Sebelum Sesudah No Indikator Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase 1. Berumah Tembok 47 29,6 128 80,5 2. Kepemilikan Barang Elektronik 35 22 135 84,9 3. Kepemilikan Mesin JahitPerontok Padi 15 9,4 34 21 4. Kepemilikan Ternak 31 18,5 51 32 5. Frekuensi Makan Telur lebih dari 30 kalibulan 32 20,1 87 54,7 Sumber: Survei Lapangan, 2005 Bab VI. Hasil dan Pembahasan 95 95 Dalam wawancara, menurut penuturan informan kunci bahwa sebagian besar masyarakat yang memutuskan menjadi migran sirkuler umumnya “berhasil”. Ketika ditanyakan lebih lanjut maksud dari kata”berhasil”, informan kunci menyatakan bahwa sebagian besar migran sirkuler mengalami perbaikan dalam hal kondisi fisik rumah dan kebutuhan sehari-hari dibanding sebelum menjadi migran sirkuler. Terjadi perbaikan kondisi fisik rumah dan terpenuhinya kebutuhan primer sandang, pangan, papan adalah indikator terjadinya keberhasilan dari segi ekonomi rumahtangga.

6.4. Dampak Terhadap Pembangunan Ekonomi Desa Asal