Study for Development of Conventional Salt Pond Center in the South Coast Region of Sampang Regency, East Java Province

(1)

KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA TAMBAK

GARAM RAKYAT DI KAWASAN PESISIR SELATAN

KABUPATEN SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR

DIDI ACHMADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Didi Achmadi


(4)

RINGKASAN

DIDI ACHMADI. Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SANTUN R. P. SITORUS dan DYAH RETNO PANUJU.

Garam merupakan komoditas vital yang memainkan peranan penting untuk memenuhi kebutuhan konsumsi maupun berbagai kegiatan industri. Kebutuhan garam secara nasional selalu meningkat setiap tahunnya dan tidak dapat dipenuhi dari produksi garam dalam negeri. Sampang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki comparative adventages berupa tambak garam rakyat terluas di Pulau Madura. Pengembangan Sentra Tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kekurangan kebutuhan garam nasional sekaligus untuk meningkatkan perekonomian daerah. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam, (2) menganalisis

land rent berbagai tipe penggunaan lahan serta membandingkannya dengan

tambak garam, (3) menganalisis dan membandingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam, (4) merumuskan arahan strategi untuk pengembangan Sentra Tambak garam rakyat di lokasi penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan yang memiliki potensi untuk ekstensifikasi tambak garam seluas 2 398.55 ha meliputi 2 142.45 ha tutupan lahan eksisting berupa sawah, 152.38 ha berupa tambak budidaya, 54.91 ha ladang/tegalan, 42.36 ha rawa, 5.72 ha semak belukar, dan 0.74 ha berupa kebun campuran. Land rent tipe penggunaan lahan berupa aktivitas perdagangan, jasa, rumah huni, kebun jambu air, kebun jati, sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun pisang, dan kebun mangga lebih tinggi dibandingkan land rent tambak garam yang berkisar antara Rp1 675 dan Rp2 954 per m2/tahun. Sementara ladang, kebun bambu, dan tambak budidaya land rent-nya di bawah tambak garam. Kaitannya dengan arahan pengembangan tambak garam dilihat dari kesesuaian lahan, land rent dan penggunaan lahan eksisting maka lahan yang memungkinkan adalah yang memiliki kelas sesuai untuk tambak garam dengan tipe penggunaan berupa tambak budidaya, sawah tadah hujan, rawa, semak belukar, ladang, kebun pisang, kebun mangga, dan kebun bambu.

Semua metode pemanenan garam secara finansial layak untuk dilanjutkan (NPV > 0, IRR > discount rate). Berdasarkan kriteria Net BCR dan payback

period metode geomembrane lebih menguntungkan dan lebih cepat terjadinya

BEP dibandingkan dengan metode maduris dan portugis. Kombinasi strategi yang dipilih sebagai strategi prioritas untuk pengembangan Sentra Tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang adalah: (1) memperkuat kelembagaan petani garam untuk mengawal pemerintah dalam rangka penegakan regulasi, (2) meningkatkan volume produksi serta mengupayakan peningkatan kualitas garam, dan (3) memperluas dan mengefektifkan jaringan distribusi, disertai intervensi dari pemerintah.

Kata kunci: tambak garam, land rent, analisis finansial, A’WOT, Kabupaten Sampang


(5)

SUMMARY

DIDI ACHMADI. Study for Development of Conventional Salt Pond Center in the South Coast Region of Sampang Regency, East Java Province. Under direction of SANTUN R. P. SITORUS and DYAH RETNO PANUJU.

Salt is a vital commodity that has an important role either for consumption or for various industrial activities. Salt demand has been increasing annually and apparently domestic production has not fulfilled the demand. Sampang is one of regency in Jawa Timur Province which has comparative advantages because of its widest conventional salt pond in Madura island. Development of conventional salt pond center in the south coast region of Sampang Regency is an attempt to address the national shortage of salt and also to increase regional economic. This research aims: (1) to identify potential land for extension of the salt ponds, (2) to analyze land rent of various land use types and compare it with salt ponds, (3) to determine and to compare the financial benefits among harvesting methods in the salt production, and (4) to formulate the strategic direction for development of conventional salt pond center at the study sites.

The results show that there were 2 398.55 hectares of potential land for extending salt ponds consisting of 2 142.45 ha of paddy fields, 152.38 ha of aquaculture ponds, 54.91 ha of field/moor, 42.36 ha of swamp, 5.72 ha of scrub and 0.74 ha of mixed gardens. Land rent of trade and service activity, residential, ”jambu air” orchard, teak garden, irrigated field, rainfed, banana plantation and mango orchard were higher than land rent of salt pond which was ranging from 1 675 to Rp2 954 IDR per m2 peryear. While paddy field, bamboo gardens, and fish ponds were underneath salt pond. Salt ponds regarding its suitability, land rent and type of land use could be extended in these type of land use respectively, i.e: aquaculture ponds, rainfed cropland, swamp, shrub, paddy fields, banana plantation, mango orchards, and bamboo gardens.

All of harvesting methods in salt production are financially feasible to continue (NPV > 0; IRR > discount rate). Payback period and Net BCR show that the geomembrane method was more profitable than the “maduris” and the “portugis” method. Combination of strategic alternatives selected by A’WOT as the primary strategy to develop conventional salt pond center in the south coast region of Sampang Regency are: (1) strengthening the institutions of salt farmers to assist regulations enforcement, (2) increasing volume of production and increasing salt quality, and (3) expanding and streamlining the distribution network by government intervention.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

KAJIAN PENGEMBANGAN SENTRA TAMBAK

GARAM RAKYAT DI KAWASAN PESISIR SELATAN

KABUPATEN SAMPANG PROVINSI JAWA TIMUR

DIDI ACHMADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIANBOGOR

BOGOR

2013


(8)

(9)

Judul Tesis : Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur

Nama : Didi Achmadi

NRP : A156110194

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus Dyah Retno Panuju, SP, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(10)

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Kajian Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat di Kawasan Pesisir Selatan Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur dapat diselesaikan.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus dan Dyah Retno Panuju, SP, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini. 2. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu

Perencanaan Wilayah IPB.

3. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

4. Pemerintah Kabupaten Sampang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini.

5. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun kelas reguler angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih yang istimewa disampaikan kepada isteriku tercinta drh. Ratih Dwi Astuti dan anakku tersayang Muhammad Revah al-Banna beserta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungan yang diberikan selama ini.

Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Februari 2013


(12)

(13)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.5 Kerangka Pemikiran 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia 7

2.2 Kesesuaian Lahan Tambak 9

3 METODE 12

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 12

3.2 Jenis Data dan Alat 12

3.3 Metode Pengumpulan Data 13

3.4 Teknik Analisis Data 14

3.4.1 Operasi Tumpang Susun (Overlay Operation) 16

3.4.2 Penghitungan Land Rent 20

3.4.3 Analisis Finansial 21

3.4.4 Analisis A’WOT 22

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG 28

4.1 Kondisi Geografis dan Administratif 28

4.2 Kondisi Demografi 28

4.3 Kondisi Perekonomian 30

4.4 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 31

4.4.1 Topografi 31

4.4.2 Jenis dan Kedalaman Efektif Tanah 31

4.4.3 Iklim 33

4.4.4 Oseanografi 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 35

5.1 Identifikasi Areal untuk Ekstensifikasi Tambak Garam 35 5.1.1 Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Tambak Garam 37 5.1.2 Potensi Ekstensifikasi Tambak Garam 40 5.2 Land Rent Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Tambak Garam 43


(14)

ii

5.3 Analisis Finansial Pengusahaan Garam 45

5.4 Arahan Pengembangan Tambak Garam 48

5.5 Strategi Pengembangan Sentra Tambak Garam Rakyat 52 5.5.1 Faktor Strategi Internal dan Eksternal 52 5.5.2 Analisis Matriks Internal-Eksternal (Matriks IE) 55

5.5.3 Analisis Matriks Space 57

5.5.4 Analisis SWOT 58

5.5.5 Strategi Pengembangan Tambak Garam 59

6 SIMPULAN DAN SARAN 62

6.1 Simpulan 62

6.2 Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 64


(15)

iii

DAFTAR TABEL

1 Penetapan harga garam oleh pemerintah (2004-2011) 9 2 Jumlah sampel land rent tipe penggunaan lahan 14 3 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan keluaran tahapan penelitian 15

4 Kriteria kesesuaian lahan tambak garam 18

5 InternalStrategic Factor Analysis Summary (IFAS) 23 6 External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) 24 7 Luas wilayah administrasi Kabupaten Sampang 28

8 Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2010 29

9 Jenis tanah lokasi penelitian 32

10 Kondisi iklim di Kabupaten Sampang 33

11 Luas tutupan lahan 36

12 Hasil analisis kesesuaian lahan tambak garam 39 13 Hasil identifikasi potensi ekstensifikasi lahan tambak garam 42 14 Nilai land rent tiap tipe penggunaan lahan dan perbandingannya

dengan land rent tambak garam 44

15 Perbedaan metode maduris, portugis, dan geomembrane 46

16 Hasil analisis finansial pengusahaan garam 47

17 IFAS pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir

selatan Kabupaten Sampang 54

18 EFAS pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir


(16)

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 6

2 Distribusi lahan produksi garam nasional tahun 2009 8

3 Lokasi penelitian 12

4 Bagan alir tahapan penelitian 16

5 Matriks internal-eksternal 25

6 Matriks space 26

7 Matriks SWOT 27

8 Jenis tanah lokasi penelitian 32

9 Tutupan lahan 35

10 Skema proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam 37

11 Kesesuaian lahan tambak garam 38

12 Potensi untuk ekstensifikasi lahan tambak garam 42 13 Kisaran land rent tiap tipe penggunaan lahan 45 14 Produksi dan nilai produksi garam metode pemanenan maduris,

portugis, dan geomembrane 47

15 Hasil analisis matriks internal-eksternal (Matriks IE) 56 16 Posisi sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan

Kabupaten Sampang pada matriks space 57

17 Hasil analisis matriks SWOT pengembangan sentra tambak garam


(17)

v

DAFTAR LAMPIRAN

1 Zonasi karakteristik lokasi penelitian 69

2 Lahan sesuai untuk tambak garam yang masuk dalam kawasan lindung

dan ruang milik jalan (rumija) dan ruang pengawasan jalan (ruwasja) 70

3 Penyusun land rent tambak garam 70

4 Hasil uji t berpasangan land rent tipe penggunaan lahan dibandingkan

dengan land rent tambak garam 71

5 Cash flow analysis untuk analisis finansial metode pemanenan pada

pengusahaan garam 77

6 Kuesioner untuk analisis A’WOT 80

7 Penilaian tingkat konsistensi pembobotan faktor SWOT pada analisis


(18)

(19)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Garam merupakan komoditas vital yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari untuk dikonsumsi maupun untuk kegiatan industri. Permintaan garam terus meningkat seiring pertambahan penduduk dan perkembangan industri di seluruh dunia. Untuk memenuhi permintaan tersebut, tercatat tidak kurang dari 108 negara mengusahakan produksi garam dengan memanfaatkan berbagai sumber dan berbagai cara. Dari jumlah produksi garam dunia sebanyak sekitar 266 juta ton pada tahun 2010, Indonesia hanya mampu menghasilkan sekitar 720 ribu ton. Produsen terbesar garam di dunia adalah China dengan produksi 62.7 juta ton, diikuti Amerika Serikat (45 juta ton), India (18.6 juta ton), Jerman (16.6 juta ton), dan Australia (12 juta ton) (Brown et al. 2012).

Produksi garam di Indonesia pada umumnya dilakukan secara tradisional yaitu dengan memanfaatkan sinar matahari untuk menguapkan air laut di atas tambak garam di wilayah pesisir. Sentra produksi garam di Indonesia tersebar di 9 (sembilan) provinsi dengan jumlah luas lahan tambak produktif 20 089 ha dengan produktivitas rata-rata 60-70 ton/ha/tahun. Lahan tambak produktif tersebut lebih dari 60% atau seluas 12 278 ha berada di Jawa Timur. Di antara seluruh tambak garam produktif di Jawa Timur tersebut 11 551 ha atau 94% berada di Pulau Madura yang tersebar di Kabupaten Sumenep, Pamekasan dan Sampang. Pulau ini menyumbang hampir 60% produksi garam nasional setiap tahunnya (KKP 2010).

Kabupaten Sampang memiliki luas tambak garam rakyat terbesar di Madura. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukkan bahwa dari keseluruhan tambak garam produktif di Madura, 6 435 ha merupakan tambak garam rakyat. Di antara seluruh luas tambak garam rakyat tersebut, 4 246 ha atau hampir 66% berada di Kabupaten Sampang terutama di bagian pesisir selatan. Hal ini merupakan comparative advantage yang dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak perekonomian Kabupaten Sampang. Berdasarkan potensi tersebut, RTRW Kabupaten Sampang 2011-2031 mengarahkan pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang yang tersebar di 6 (enam) kecamatan: Kecamatan Sampang, Camplong, Torjun, Pangarengan, Jrengik dan Sreseh (Bappeda Sampang, 2010).

Besarnya potensi tersebut tidak diikuti dengan baiknya hasil pembangunan di Kabupaten Sampang. Tingkat kemiskinan Kabupaten Sampang tahun 2009 sebesar 31.94%, tergolong tertinggi di Provinsi Jawa Timur yang tingkat kemiskinannya 16.68% (Bappeprov Jatim 2011). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sampang Tahun 2010 terendah (59.58) dan menjadi beban bagi Provinsi Jawa Timur yang sudah mencapai IPM 71.55 (BPS dan Bappeda Sampang 2011; Bappeprov Jatim 2011). Pemprov Jatim (2011) juga menunjukkan bahwa Kabupaten Sampang masuk dalam kelompok daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita rendah di Jawa Timur.

Pengembangan wilayah Kabupaten Sampang seharusnya tidak dipisahkan dari konsep pembangunan berimbang (balanced development). Pembangunan daerah yang berimbang menurut Murty (2000) dalam Rustiadi et al. (2009) adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan


(20)

2

setiap daerah yang jelas-jelas beragam. Potensi Kabupaten Sampang berupa lahan tambak garam rakyat yang luas itu sudah selayaknya dioptimalkan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Apalagi belakangan ini pemerintah memberikan perhatian serius untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat dalam rangka program swasembada garam nasional (KKP 2010a).

Pemerintah mengupayakan pengaturan tata niaga garam melalui kebijakan impor garam dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No.20/M-DAG/PER/9/2005 tentang Ketentuan Impor Garam yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 44/M-DAG/PER/10/2007. Dengan ketentuan tersebut importir garam iodisasi dilarang mengimpor garam dalam masa 1 (satu) bulan sebelum dan 2 (dua) bulan setelah panen raya garam rakyat. Jumlah garam yang dapat diimpor juga diatur secara proporsional berdasarkan jumlah garam rakyat yang dibeli dari petani. Peraturan ini diikuti dengan ketentuan perubahan harga garam rakyat dari harga 145 ribu rupiah per ton garam KP1 (kualitas 1) dan 100 ribu rupiah per ton garam KP2 pada tahun 2004 naik secara bertahap hingga menjadi 750 ribu per ton (KP1) dan 550 ribu per ton (KP2) pada tahun 2011. Dengan peraturan-peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan yang wajar bagi petani garam sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya

Garam merupakan salah satu komoditi unggulan bagi Kabupaten Sampang (Bappeda Sampang 2011a). Adanya perhatian pemerintah dan mulai membaiknya harga dan tata niaga garam merupakan kesempatan bagi kabupaten ini untuk meningkatkan pendapatan wilayah sekaligus mengejar ketertinggalannya dari daerah lainnya di Jawa Timur. Untuk itulah, dengan tetap memperhatikan kearifan lokal yang ada, diperlukan upaya mengoptimalkan pengusahaan garam sebagai salah satu potensi pembangunan. Kajian pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang ini diharapkan bisa memberikan arahan dan bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan dalam rangka meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat dan pendapatan wilayah sekaligus mendukung mewujudkan Provinisi Jawa Timur dan Pulau Madura khususnya sebagai salah satu daerah tumpuan utama keberhasilan pencanangan swasembada garam nasional.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009), sampai dengan tahun 1997 produksi garam Indonesia selalu mampu untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi nasional. Namun, sejak tahun 1998 sampai 2001 produksi garam lokal menurun tajam sebagai akibat musim kering yang sangat pendek karena terjadinya badai la nina yang membawa banyak hujan di Indonesia. Untuk menutupi kekurangan, kebutuhan garam konsumsi nasional dipasok melalui impor dari negara lain, terutama Australia dan India.

Sementara itu, kebutuhan garam nasional terus meningkat dari tahun ke tahun seiring pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan peningkatan kebutuhan garam dari tahun 2007 sebesar 2 619 500 ton terus bertambah hingga 2 985 000 ton pada tahun 2010 (Kemenperin 2010). Kebutuhan garam nasional ini terus meningkat


(21)

3 sampai 3.4 juta pada tahun 2011 (KKP 2011). Padahal produksi garam nasional dalam kondisi normal hanya sekitar 1.2 juta ton setiap tahunnya (KKP 2009, 2010). Dengan demikian, hampir satu setengah dekade sejak tahun 1998 hingga sekarang produksi garam dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan garam nasional.

Kekurangan pemenuhan garam untuk konsumsi beberapa tahun terakhir sekitar 200 ribu ton (KKP 2009, 2010a, 2011), sedangkan untuk kebutuhan industri jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 misalnya, produksi garam dalam negeri sedang tinggi yaitu sekitar 1.4 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan 3.4 juta ton garam yang meliputi garam konsumsi sebesar 1.6 juta ton dan garam industri sebesar 1.8 juta ton harus mengimpor garam sebanyak 2 juta ton meliputi garam konsumsi sebesar 200 ribu ton dan garam industri sebesar 1.8 juta ton (KKP 2011).

Langkah yang paling memungkinkan dilakukan dalam waktu dekat adalah upaya pemenuhan kebutuhan garam konsumsi sebanyak 200 ribu ton tersebut. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan pada dasarnya sudah banyak memberikan intervensi berupa program/kegiatan dan anggaran guna menuju pemenuhan kebutuhan garam nasional. Dalam upaya ini, Madura dengan potensi tambak garam yang besar mendapat perhatian untuk mengoptimalkan potensi lahan tambak yang dimiliki.

Upaya peningkatan produksi garam untuk memenuhi kebutuhan garam tersebut di atas dapat dilakukan secara ekstensifikasi maupun intensifikasi. Upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan ekstensifikasi lahan tambak diperlukan untuk perencanaan jangka panjang dengan memperhatikan ketersediaan dan kesesuaian lahan. Upaya ekstensifikasi ini harus terkendali dan terencana karena perluasan tambak yang tidak terkendali dan terencana akan menimbulkan kerusakan lingkungan terutama ekosistem mangrove (Saru 2007). Ekstensifikasi lahan tambak juga harus memperhatikan land rent dari tipe penggunaan lahan yang akan dikonversi karena dalam mekanisme pasar kegiatan yang mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi mampu menggeser kegiatan dengan land rent

yang lebih rendah (Rustiadi et al. 2009). Hasil perhitungan land rent ini akan menjadi salah satu pertimbangan dalam memberikan arahan konversi lahan.

Upaya intensifikasi untuk peningkatan produktivitas pada dasarnya sudah dilakukan para petani garam dibantu dengan program pemerintah pusat dan pemerintah setempat melalui kegiatan normalisasi saluran air sekunder, perbaikan tambak, dan penggunaan ramsol (garam solusi). Upaya intensifikasi ini secara umum menghasilkan jumlah produksi garam yang lebih baik. Terkait dengan hal ini perlu dicermati dua metode pemanenan garam di Madura yaitu metode

maduris dan metode portugis dengan ciri pembedanya terletak pada perlakuan

pada tambak/petak kristalisasi (Syafii 2006). Metode portugis melengkapi petak kristalisasi dengan pembuatan lantai dari garam sedangkan pada metode maduris

hanya menggunakan tanah tambak yang dikeraskan.

Dengan metode portugis dihasilkan garam berkualitas baik (KP1) tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit, sedangkan dengan metode maduris dihasilkan garam kualitas di bawahnya (KP2) tetapi dengan jumlah yang lebih banyak. Penelitian Amalia (2007) di Desa Pinggir Papas Kabupaten Sumenep menunjukkan metode Portugis lebih layak dan menguntungkan dibandingkan dengan metode maduris. Hasil penelitian tersebut saat ini tidak bisa langsung


(22)

4

digunakan sebagai pertimbangan preferensi petani garam di Kabupaten Sampang karena biaya faktor produksi belum tentu sama, disamping adanya perubahan harga pada tiap-tiap kualitas garam pada tahun 2011. Selain dengan kedua metode tersebut, pada tahun 2011 berkembang penggunaan geomembrane dalam pengusahaan garam. Penggunaan geomembrane di lokasi penelitian sebagai alas petak kristalisasi garam baru diterapkan oleh PT. Garam. Penggunaan metode

geomembrane ini dapat dijadikan pertimbangan untuk digunakan juga oleh

petani garam rakyat. Oleh karena itu, performa penggunaan geomembrane dan kedua metode sebelumnya perlu untuk diketahui serta dianalisis secara finansial sehingga dapat diketahui metode yang dapat memberikan keuntungan lebih baik. Untuk mengembangkan sentra tambak garam rakyat ini pemerintah perlu merumuskan strategi pembangunan yang tepat. Agar lebih tepat, strategi ini perlu memperhatikan masukan dari stakeholders dalam pengusahaan garam. Strategi ini diperlukan dalam kerangka pengembangan wilayah sekaligus membantu pencapaian swasembada garam nasional. Memperhatikan beberapa hal di atas, maka empat pertanyaan penelitian yang dikaji adalah:

1. Berapa luasan lahan yang potensial untuk ekstensifikasi tambak?

2. Bagaimana land rent berbagai tipe penggunaan lahan dibandingkan tambak garam?

3. Diantara metode pemanenan maduris, portugis, dan geomembrane dalam pengusahaan garam, metode apa yang paling menguntungkan secara finansial bagi petani garam?

4. Bagaimana arahan dan strategi pengembangan pengusahaan garam rakyat di lokasi penelitian?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam.

2. Menganalisis land rent berbagai tipe penggunaan lahan serta membandingkannya dengan tambak garam.

3. Menganalisis dan membandingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam.

4. Merumuskan arahan dan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengambil kebijakan terkait pengembangan sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian.

2. Menambah khazanah keilmuan bagi para peneliti yang berminat untuk melakukan kajian lebih mendalam.


(23)

5 1.5 Kerangka Pemikiran

Sebagai bagian dari pengembangan wilayah Gerbang Kertosusila Plus sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Jawa Timur, Madura diharapkan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Timur yang berperan penting dalam mendukung perkembangan kawasan pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, pariwisata, transportasi, dan industri (Bappeprov Jatim 2010). Pertumbuhan ekonomi di Madura perlu diusahakan untuk meningkatkan pendapatan daerah dengan memanfaatkan sumber daya alam berbasis lokal serta memperhatikan nilai sosial-budaya dan lingkungan masyarakat setempat.

Kabupaten Sampang dengan sumber daya alam berupa lahan tambak terluas di antara seluruh kabupaten di Madura serta didukung oleh arahan rencana pola ruang RTRW Kabupaten Sampang Tahun 2011-2031 melalui penetapan sentra tambak garam rakyat di 6 (enam) kecamatan pesisir selatan diharapkan bisa menjadi produsen garam yang bisa diandalkan. Pengembangan tambak garam rakyat di kabupaten ini diharapkan memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus mendukung Pulau Madura sebagai salah satu daerah tumpuan utama keberhasilan pencanangan swasembada garam nasional.

Pengembangan tambak di Kabupaten Sampang pada dasarnya merupakan penerapan konsep pembangunan berimbang (balanced development). Konsep pembangunan berimbang ditandai oleh Murty (2000) dalam Rustiadi et al. (2009) dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap daerah yang jelas-jelas beragam. Potensi Kabupaten Sampang yang berupa lahan tambak garam rakyat yang luas itu sudah selayaknya dioptimalkan untuk meningkatkan perekonomian daerah.

Kekurangan pemenuhan garam untuk konsumsi secara nasional beberapa tahun terakhir sekitar 200 ribu ton (KKP 2009, 2010a, 2011). Peningkatan produksi garam di sentra tambak garam rakyat merupakan salah satu upaya untuk menjawab kekurangan pemenuhan garam konsumsi nasional sekaligus meningkatkan perekonomian Kabupaten Sampang, baik melalui ekstensifikasi maupun evaluasi metode pengusahaannya. Identifikasi potensi ekstensifikasi lahan perlu memperhatikan kelas kesesuaian lahan, penggunaan lahan eksisting, perijinan/hak pengelolaan lahan, dan berbagai regulasi. Metode pengusahaan garam yang dipilih sebaiknya yang menunjukkan performa terbaik. Selain itu, diperlukan perumusan strategi yang tepat untuk pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang.

Kajian pengembangan sentra tambak garam rakyat tersebut perlu memperhatikan sumber daya yang dimiliki disamping tetap memanfaatkan isu-isu strategis yang berkembang baik di tingkat lokal maupun nasional. Aspek formal dan teoritis juga perlu menjadi pertimbangan agar pengembangan bisa berjalan lebih baik. Sementara itu, penyerapan pendapat dari pihak-pihak terkait

(stakeholders) akan sangat membantu guna mempertajam penyusunan rumusan


(24)

6

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Kajian pengusahaan garam

rakyat:

Isu Lokal: Isu strategis:

- Meningkatnya kebutuhan garam nasional & rendahnya produksi garam dalam negeri

- Swasembada garam nasional

- Perbaikan harga garam tahun 2011

1) Tambak: comparative advantage Kabupaten

Sampang 2) Berkembangnya

tiga metode pemanenan garam: maduris, portugis, dan

geomembrane 1) Analisis lahan

potensi untuk ekstensifikasi 2) Analisis land rent

penggunaan lahan tambak garam 3) Penilaian secara

finansial metode pemanenan garam Aspek formal - teoritis:

- Peraturan perundangan - RTRW Provinsi Jawa

Timur

- RTRW Kabupaten Sampang

- Konsep pembangunan berimbang

Potensi tambak garam di Kabupaten Sampang

Arahan pengembangan sentra tambak garam

rakyat

Strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat Penyerapan informasi dari


(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengusahaan Garam di Indonesia

Menurut Raharjo (1984), secara prinsip garam diproduksi dengan tiga cara. Cara pertama yaitu menambang batu garam (shaft mining). Cara ini hampir sama dengan pola yang dipakai untuk menambang batu bara yang dilanjutkan dengan menggiling dan mengayaknya sesuai dengan ukuran kristal garam yang dikehendaki. Cara kedua yaitu membor sumur garam (drilling well). Dengan cara ini garam dalam tanah dieksploitasi dengan membuat sumur bor yang dilanjutkan dengan mengalirkan air ke dalamnya sehingga endapan garam terlarut. Larutan garam ini dipompa keluar untuk diproses lebih lanjut. Cara ketiga yaitu penguapan air laut atau air asin (brine) danau garam dengan bantuan sinar matahari (solar evaporation).

Produksi garam di Indonesia dilakukan melalui proses penguapan air laut menggunakan sinar matahari (solar evaporation). Selama ini garam di Indonesia diproduksi oleh Badan Milik Negara (BUMN) dalam hal ini PT. Garam dan petani-petani garam atau yang dikenal sebagai pegaraman rakyat (Hernanto dan Kwartatmono 2001). Pengusahaan garam dengan solar evaporation dimulai dengan memasukkan air laut ke dalam tambak ketika air laut pasang. Air ini kemudian dialirkan secara bertahap ke dalam beberapa tambak pemekatan dan akhirnya dialirkan ke petak kristalisasi. Prinsipnya, pembuatan garam dari laut terdiri atas langkah proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya (dengan kristalisasi). Kristal garam yang terbentuk dipisahkan dari air induk dengan jalan dikeruk. Garam yang dihasilkan dari cara ini tidak hanya mengandung NaCl tetapi masih terkontaminasi oleh garam-garam lainnya seperti MgCl2, CaCl2, CaSO4 dan lain-lain. Proses kristalisasi yang demikian disebut “kristalisasi total” (Purbani 2001).

Dengan solar evaporation, produksi garam sangat tergantung pada iklim. Hernanto dan Kwartatmono (2001) menggambarkan beberapa faktor iklim di Indonesia dibandingkan dengan di Australia. Secara umum, musim kemarau di Indonesia relatif pendek yaitu hanya 4−6 bulan, sedangkan di Australia sekitar 9−10 bulan kemarau per tahun. Curah hujan daerah pembuatan garam di Indonesia cukup besar yaitu 100−300 mm/musim, sedangkan di Australia 10−100 mm/musim. Total hujan daerah garam di Indonesia (khususnya Madura) yaitu berkisar 1 200−1 400 mm/tahun, sedangkan curah hujan di daerah ladang garam di Australia 200−250 mm/tahun. Kelembaban di Indonesia 60%−80% sedangkan di Australia 30%−40%, berarti kecepatan penguapan air laut di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Australia. Perbedaan faktor iklim tersebut menghasilkan produktifitas yang sangat berbeda yaitu sekitar 60-70 ton/ha/tahun di Indonesia, sedangkan di Australia sangat tinggi yaitu berkisar 200-300 ton/ha/tahun. Sumber daya alam yang sangat mendukung di Australia menghasilkan garam yang sangat melimpah sehingga melampaui kebutuhan dalam negerinya. Dari gambaran sederhana ini maka tidak heran kalau Indonesia menutupi kekurangan pemenuhan garam nasional melalui impor garam dari Australia.


(26)

8

Pengusahaan garam di Indonesia dilakukan di 9 (sembilan) provinsi (Gambar 2). Pusat pembuatan garam di Indonesia terkonsentrasi di Jawa dan Madura. Beberapa sentra andalan produksi garam nasional yaitu Kabupaten Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sumenep, Pamekasan, dan Sampang. Usaha tani garam masih merupakan usaha rakyat dengan sistem penggaraman kristalisasi total yaitu seluruh zat yang terkandung diendapkan tidak hanya natrium klorida tetapi juga beberapa mineral pengotor sehingga produktivitas dan kualitasnya masih rendah.

Gambar 2 Distribusi lahan produksi garam nasional tahun 2009 (Diolah dari KKP 2010)

Sebelum tahun 2011, di Madura dikenal dua metode pemanenan garam yaitu metode maduris dan metode portugis (Syafii 2006). Metode maduris biasa digunakan oleh masyarakat petani garam karena metode ini lebih mudah diterapkan. Dengan metode maduris, proses pemanenan garam sudah dapat dilakukan di awal musim sehingga lebih cepat menghasilkan uang. Berbeda halnya dengan metode maduris, metode portugis biasa digunakan oleh PT Garam. Pada metode portugis pemanenan garam tidak dapat dilakukan di awal musim karena didahului dengan pembuatan lantai garam pada petak kristalisasi. Lantai garam ini merupakan garam hasil penguapan air laut pada petak kristalisasi yang tidak dipanen dalam kurun waktu kurang lebih 30 hari.

Hasil penelitian Amalia (2007) di Desa Pinggir Papas (Sumenep) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan metode maduris, metode portugis

lebih layak dan menguntungkan untuk dijalankan pada usaha tambak garam pada luas lahan satu hektar. Kualitas garam hasil metode portugis secara umum juga lebih bagus daripada garam hasil metode maduris. Tata niaga garam yang buruk di daerah setempat maupun di Madura secara umum dan terbatasnya musim kemarau menyebabkan petani setempat masih menggunakan metode


(27)

9

maduris disamping karena sudah dilakukan secara turun temurun, dan caranya

lebih mudah.

Produksi garam rakyat tersedia dalam bentuk KP1 (kualitas 1), KP2 (kualitas 2), maupun garam dengan kualitas di bawahnya (KP3) (Disperindagtam Sampang 2010). Pemerintah beberapa kali melakukan upaya pengaturan tata niaga garam untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani garam. Selama Periode 2004-2011 sudah digulirkan Harga Penetapan Pemerintah (HPP) sebanyak 5 (lima) kali (Tabel 1). Untuk garam KP1 dan KP2 ditetapkan selalu meningkat setiap kali terbit ketentuan, terakhir masing-masing ditetapkan seharga 750 ribu dan 550 ribu per ton pada tahun 2011, sedangkan untuk KP3 sejak tahun 2007 tidak diatur lagi karena diharapkan agar petani tidak memproduksinya lagi.

Tabel 1 Penetapan harga garam oleh pemerintah (2004-2011)

Jenis garam 2004a 2005Harga pada tahun (Rp/ton) b 2007c 2008d 2011e

KP1 (Nacl > 94.7% 145 000 200 000 250 000 325 000 750 000 KP2 (85% < NaCl < 94.7%) 100 000 150 000 190 000 250 000 550 000

KP3 (NaCl < 85%) 70 000 80 000 - - -

aKepmenperindag No. 376/MPP/Kep/6/2004; bPermendag No.20/M-DAG/PER/9/2005; cPerdirjen

Perdagangan Luar Negeri No.8/DAGLU/TER/10/2007; dKepdirjen Perdagangan Luar Negeri

No:07/DAGLU/PER/7/2008; ePerdirjen Perdagangan Luar Negeri No:02/DAGLU/ PER/5/2011.

2.2 Kesesuaian Lahan Tambak

Evaluasi kesesuaian lahan sangat penting untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mempunyai potensi untuk penggunaan tertentu sehingga dapat dikembangkan secara intensif. Dalam penentuan kesesuaian lahan diperlukan kriteria untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Persyaratan tersebut dapat berhubungan dengan penggunaan lahan itu sendiri (biofisik), kondisi sosial ekonomi, budaya dan lingkungan kelembagaan (Conant et al. 1983). Menurut Poernomo (1988), identifikasi kelayakan sumberdaya lahan untuk pengembangan budidaya penting artinya dalam rangka penataan ruang daerah yang sesuai dengan peruntukannya. Hal ini untuk menghindari konflik kepentingan baik antar sektor kelautan/perikanan maupun dengan sektor lain. Pemilihan lokasi untuk budidaya laut/pantai yang tepat dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan budidaya sesuai dengan jenis komoditas dan teknologi budidaya yang akan diterapkan.

Budidaya tambak di Indonesia sudah mulai dikembangkan semenjak ratusan tahun yang lalu. Sstudi tentang kesesuaian lahan untuk tambak telah banyak dilakukan diantaranya oleh Jamil (2005), Alaudin (2004) dan Mustafa et al. (2008) di Sulawesi Selatan; Pantjara et al. (2008) di Sulawesi Tenggara; Rudiastuti (2011) di Indramayu; dan Yulianto (2011) di Kalimantan Selatan. Studi ini untuk pengembangan budidaya perikanan tambak, tetapi beberapa karakteristik fisiknya masih relevan digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan tambak garam. Pengembangan lahan untuk tambak harus memperhatikan beberapa faktor fisik utama, yaitu: topografi, hidrologi, kondisi tanah, kualitas air, dan iklim (Poernomo 1992; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007; Mustafa et al. 2008).


(28)

10

Selain kelima faktor fisik tersebut, Tarunamulia et al. (2008) dan Pantjara et al.

(2008) mempertimbangkan tipe penutup dan penggunaan lahan sehubungan dengan status kesesuaian pengembangan pertambakan.

Kaitannya dengan topografi, kemiringan lereng dapat mempengaruhi kemampuan suatu lahan dalam pengisian air tambak, terutama tambak yang dikelola secara tradisional. Chanratchakool et al. (1995) menyarankan kemiringan lereng lahan yang baik untuk pertambakan adalah yang relatif datar. Tanah yang relatif datar akan mempermudah pengaturan tata aliran air sekaligus meminimalkan biaya konstruksi (Soegianto dan Suwatmono 2002). Menurut Pantjara et al. (2008) lahan dengan kemiringan lereng di atas 4% sudah tidak sesuai dikembangkan untuk aktivitas pertambakan.

Sehubungan dengan aspek hidrologi, jarak dari sumber air berpengaruh terhadap jumlah air yang bisa dikelola. Jarak tambak dari sungai dan/atau laut sebagai sumber air mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya tambak (Poernomo 1992; Rudiastuti 2011). Hidrologi juga berkenaan dengan amplitudo pasang surut yang dikaitkan dengan elevasi lahan. Kisaran pasang surut perlu diketahui lebih dulu untuk menetapkan apakah suatu daerah berada dalam batas air pasang surut sehingga bisa ditentukan kelayakannya. Menurut Poernomo (1992), pada pertambakan semi intensif dan terutama ekstensif, elevasi lahan harus berada di antara atau sedikit lebih tinggi dari rataan surut rendah/mean low

water level (MLWL) dan lebih rendah dari rataan pasang tinggi/mean high water

level (MHWL). Rentang amplitudo pasang surut yang sesuai untuk

pengembangan lahan tambak tambak berkisar 0.5–3.5 (Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007).

Kondisi tanah yang perlu dievaluasi dalam penentuan kesesuaian untuk aktivitas pertambakan meliputi kedalaman tanah, tekstur tanah, ketebalan gambut, kedalaman pirit serta kualitas tanah (Mustafa et al. 2008). Menurut Purbani (2011) kaitannya dengan karakteristik tanah, dalam pengusahaan tambak garam porositas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan produksi garam. Karena itu dalam memilih lahan untuk tambak, tekstur tanah sangat penting untuk diperhatikan. Makin kasar tanah berarti porositas semakin tinggi sehingga kurang cocok untuk tambak (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut Pantjara et al. (2008) tekstur tanah berupa lempung liat berpasir (sandy clay loam) sangat cocok untuk aktivitas pertambakan. Selain kedap (tidak bocor), tanah bertekstur lempung liat berpasir dapat mendukung konstruksi tambak yang kokoh (Taslihan

et al. 2003).

Kualitas air juga menentukan keberhasilan aktivitas pertambakan. Dalam pengusahaan garam faktor penting yang mempengaruhi produksi garam adalah mutu air laut. (Purbani 2001). Menurut Hernanto dan Kwartatmono (2001) air laut yang baik adalah yang memiliki kandungan garam relatif tinggi dan tidak tercampur aliran muara sungai tawar. Akan lebih baik jika air laut jernih, tidak tercampur dengan lumpur dan limbah buangan. Air laut juga harus diwaspadai dari pencemaran logam berat seperti timbal (Pb), tembaga (Cu), dan raksa (Hg), serta cemaran arsen (As) (DIKA Deperindag 2001). Aspek kualitas air ini harus diketahui kelayakannya sebelum mengarahkan pengembangan pertambakan di suatu kawasan.

Faktor iklim merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan pengusahaan garam. Kondisi cuaca ideal yang diharapkan di wilayah ladang


(29)

11 garam adalah kecepatan angin lebih dari 5 m/detik dan arah angin tidak berubah-ubah, suhu udara lebih dari 32 °C, kelembaban udara kurang dari 50%, curah hujan rendah, hari hujan rendah, serta penyinaran matahari 100% yang memungkinkan untuk tingginya proses evaporasi. Panjang musim kemarau juga berpengaruh langsung kepada kesempatan yang diberikan untuk membuat garam dengan bantuan sinar matahari. Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara mempengaruhi kecepatan penguapan air, makin besar penguapan maka makin besar jumlah kristal garam yang mengendap. Curah hujan (intensitas) dan pola hujan distribusinya dalam setahun rata-rata merupakan indikator yang berkaitan erat dengan panjang kemarau yang kesemuanya mempengaruhi daya penguapan air laut (Purbani 2001).

Mengingat kondisi tambak garam yang dilakukan di sentra-sentra garam yang masih bersifat tradisional, maka menurut BRKP dan BMG (2005) berbagai parameter iklim berikut ini sangat menentukan keberhasilan produksi garam. Secara garis besar kondisi iklim yang menjadi persyaratan agar suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi tambak garam adalah:

1. Curah hujan tahunan yang kecil, curah hujan tahunan daerah garam dibawah 1300 mm/tahun.

2. Mempunyai sifat kemarau panjang yang kering yaitu selama musim kemarau tidak pernah terjadi hujan. Lama kemarau kering ini minimal 4 bulan (120 hari).

3. Mempunyai suhu atau penyinaran matahari yang cukup. Makin panas suatu daerah, penguapan air laut akan semakin cepat.

4. Mempunyai kelembaban rendah/kering. Makin kering udara di daerah tersebut, peguapan akan makin cepat.

Berkaitan dengan tutupan lahan yang juga menjadi pertimbangan dalam kriteria kesesuaian lahan, Giap et al. (2005) menjelaskan bahwa perbedaan tingkat kesesuaian lahan untuk suatu kategori tutupan lahan menunjukkan besarnya waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati tutupan lahan tersebut serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan. Tarunamulia et al. (2008) dan Pantjara

et al. (2008) membagi beberapa jenis penutup lahan menurut tingkat

kesesuaiannya. Berbagai jenis penutupan lahan dikategorikan ke dalam kelas sesuai, dari kesesuaian rendah/sesuai marjinal hingga kesesuaian tinggi/sangat sesuai. Beberapa jenis penutupan lahan lainnya dikategorikan tidak sesuai seperti


(30)

3 METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang meliputi 6 (enam) kecamatan yang daerahnya terdapat area tambak yaitu Kecamatan Sreseh, Jrengik, Torjun, Pangarengan, Sampang, dan Camplong. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah selama 8 bulan, yaitu dari bulan April sampai dengan bulan November 2012. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Lokasi penelitian

3.2 Jenis Data dan Alat

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data langsung dari responden yang ditentukan berdasarkan keterwakilannya, diperoleh melalui metode wawancara dan kuesioner. Data sekunder berupa peta-peta tematik (kelerengan, tekstur tanah, curah hujan, dan rencana kawasan lindung), peta RBI skala 1:25 000 sebagai peta dasar, citra satelit (Ikonos 2010 dan GDEM 30 m), dokumen perencanaan, dan berbagai peraturan perundangan. Alat-alat yang digunakan antara lain receiver GPS, digital camera, dan beberapa perangkat lunak seperti ArcGIS 9.3, Expert Choice 11, SPSS Statistic 17, dan Microsoft Office.


(31)

13 3.3 Metode Pengumpulan Data

Sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan dengan cara menginventarisasi dan menelusuri data melalui buku, internet, peta, paraturan-perundangan, penelitian terdahulu maupun beberapa instansi terkait atau lembaga independen lainnya. Data primer dikumpulkan dengan metode wawancara dan kuesioner.

Data untuk menganalisis luasan lahan yang memungkinkan untuk ekstensifikasi tambak diperoleh melalui pengumpulan data sekunder berupa peta-peta tematik, citra satelit, peraturan perundangan, dan dokumen perencanaan yang diperoleh dari instansi pemerintah maupun instansi independen. Beberapa peta tematik ada yang dibuat sendiri seperti peta kelerengan, peta jarak dari pantai, peta jarak dari sungai, dan peta tutupan lahan. Beberapa peta tematik lainnya diperoleh dengan memanfaatkan peta yang sudah tersedia seperti peta tekstur tanah, peta curah hujan, dan peta rencana kawasan lindung.

Data untuk penghitungan land rent dikumpulkan dengan metode purposive

sampling. Unit sampel yang digunakan adalah pemilik, pengelola, dan/atau pihak

yang bisa memberi informasi terkait obyek sebagai responden. Data yang dikumpulkan adalah input dan output penggunaan lahan yang diatasnya dilakukan aktivitas ekonomi yang menghasilkan manfaat serta dapat dihitung atau dinilai dengan uang (tangible benefit). Komoditi yang dinilai hanya tradeable comodity. Tipe penggunaan lahan ini diturunkan dari kelas penutupan lahan hasil digitasi citra. Jumlah sampel ditentukan sebanyak 124 responden yang diperoleh secara proporsional berdasarkan wilayah sebaran tiap tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian. Tipe penggunaan lahan yang memiliki wilayah sebaran tinggi diambil sampel lebih banyak dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan yang memiliki wilayah sebaran rendah sebagaimana ditunjukkan Tabel 2. Khusus untuk

sampling tipe penggunaan lahan berupa tambak garam, sampel yang diambil

merupakan lahan garam rakyat yang menggunakan metode maduris. Metode

maduris ini biasa diterapkan di pegaraman rakyat yang ada di seluruh kecamatan

lokasi penelitian.

Untuk analisis finansial dari ketiga metode pemanenan garam, data diambil dari tambak PT. Garam yang berada di Desa Pangarengan, Kecamatan Pangarengan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam memperoleh sampel yang memiliki karakteristik edafik dan klimat yang sama atau mendekati sama karena lokasinya yang berdekatan. Tambak yang dijadikan sampel merupakan petak kristalisasi dengan jumlah luasan seragam (7 200 m2). Data dikumpulkan melalui purposive sampling berupa data produksi dari ketiga metode pemanenan garam selama satu musim pada tahun 2011. Jumlah sampel masing-masing sebanyak 4 (empat) unit petak kristalisasi mewakili metode portugis dan

geomembrane, sedangkan untuk metode maduris hanya terdapat 2 (dua) unit

sampel, sehingga jumlah keseluruhan adalah 10 unit sampel. Hasil yang diperoleh dijadikan dasar penghitungan manfaat (benefit) pada analisis finansial tiap-tiap metode pemanenan garam.

Perumusan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di pesisir selatan Kabupaten Sampang ini menggunakan teknik analisis A’WOT. A’WOT merupakan metode hybrid antara AHP (Analytical Hierarcy Process) dan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) (Kangas et al. 2001). Dengan teknik analisis ini, data dikumpulkan dalam dua tahap. Tahap pertama dengan


(32)

14

mengumpulkan faktor SWOT yang meliputi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan tantangan). Data tahap pertama ini diperoleh dari studi literatur dan wawancara dengan stakeholder. Tahap kedua ditujukan untuk memperoleh bobot dan rating dari tiap-tiap faktor internal dan eksternal seperti metode AHP. Responden dipilih sebanyak 8 (delapan) orang yang merupakan tokoh-tokoh kunci (key informan) meliputi petani garam, asosiasi petani garam, instansi pemerintah setempat (Bappeda, Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan, Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pertambangan), PT Garam, anggota legislatif, dan akademisi.

Tabel 2 Jumlah sampel land rent tipe penggunaan lahan Kelas penutupan

lahan Tipe penggunaan lahan

Wilayah sebaran (kecamatan)

Jumlah sampel (responden)

Tambak garam 1. Tambak garam 6 12

Tambak budidaya 2. Tambak budidaya (udang, bandeng) 1 2 Sawah 3. Sawah irigasi (padi - padi - tembakau) 3 6

4. Sawah tadah hujan (padi - jagung -

tembakau) 6 12

Ladang/ tegalan 5. Ladang (jagung - tembakau) 6 12

Kebun campuran 6. Pisang 6 12

7. Mangga 6 12

8. Jambu air 2 4

9. Bambu 6 12

10. Kebun Jati 2 4

Permukiman 11. Rumah huni (sewa) 6 12

12. Perdagangan (toko sembako) 6 12 13. Jasa (bengkel motor) 6 12

Hutan Hutan

Tidak dianalisis

Mangrove Mangrove

Rawa Rawa

Semak belukar Semak belukar

Sungai Sungai

Lainnya -

Jumlah 124

3.4 Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan empat teknik analisis yaitu: operasi tumpang susun (overlay operation), penghitungan land rent, analisis finansial, dan analisis A’WOT. Operasi tumpang susun (overlay operation) digunakan untuk menganalisis lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam. Penghitungan

land rent digunakan untuk menganalisis land rent berbagai tipe penggunaan lahan

serta membandingkannya dengan land rent tambak garam. Analisis finansial dengankriteria yang dievaluasi meliputi Net Present Value (NPV), Internal Rate

of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR), dan payback period

digunakan untuk menganalisis dan membandingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam. Analisis A’WOT digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian. Secara lebih rinci keempat teknik analisis ini ditunjukkan pada Tabel 3. Adapun bagan alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.


(33)

15 Tabel 3 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan keluaran tahapan penelitian Tujuan Jenis data Sumber data Teknik analisis Keluaran 1. Menganalisis

lahan potensial untuk ekstensifikasi tambak garam

-Peta kelerengan

(1:100 000) -Diekstrak dari Global DEM v2 (USGS)

Operasi tumpang susun (overlay operation) -Peta potensi untuk ekstensifik asi lahan tambak garam -Peta tekstur tanah

(1:250 000) -Peta skala 1:250 000 land system (BBSDLP) -Peta curah hujan

(1:200 000) - RTRW -Peta jarak dari

pantai (1:25 000) -Bufferingpantai garis -Peta jarak dari

sungai (1:25 000) Buffering sungai -Peta tutupan lahan

(1:10 000) -Citra 2010 (PT. ikonos Aerovisi Utama) -Peta rencana

kawasan lindung (1:200 000) dan regulasi terkait

-RTRW, Regulasi terkait -Peta RBI Tahun

1999 (1:25 000) -Bakosurtanal 2. Menganalisis

land rent berbagai tipe penggunaan lahan serta membanding-kannya dengan tambak garam.

-Harga dan volume input produksi -Harga dan volume

output produksi -Harga sewa rumah

-Responden (unit rensponden: pemilik, pengelola, dan/ atau pihak yang bisa memberi informasi terkait obyek)

-Penghitungan land rent tiap penggunaan lahan -Land rent

peng-gunaan lahan rumah tinggal menggunakan sewa per tahun -Uji nilai t

Informasi perban-dingan land rent tambak dengan bentuk pengguna-an lainnya

3. Menganalisis dan memban-dingkan keuntungan finansial antar metode pemanenan dalam pengusahaan garam

-Data volume produksi dan biaya operasional tiap bulan selama satu musim (tahun 2011)

-Data primer (purposive sampling)

-NPV -IRR -Net BCR -Payback period Informasi hasil analisis finansial - Harga pasaran

setempat tiap kualitas garam (tahun 2011) 4. Merumuskan

arahan dan strategi pengembanga n sentra tambak garam rakyat di lokasi penelitian Wawancara dengan

kuesioner --Petani garam Asosiasi Petani garam

-Bappeda -DKPP

-Disperindagtam -PT. Garam -Anggota

legislatif -Akademisi

Analisis A’WOT Rumusan strategi


(34)

16

Overlay operation:

Gambar 4 Bagan alir tahapan penelitian

3.4.1 Operasi Tumpang Susun (Overlay Operation)

Proses identifikasi areal untuk ekstensifikasi tambak garam didahului dengan analisis kesesuaian lahan. Pada analisis ini salah satu peubah yang digunakan adalah tutupan lahan yang dibuat dari hasil interpretasi citra ikonos tahun 2010. Citra yang digunakan merupakan citra yang sudah melalui proses koreksi geometrik dan koreksi radiometrik. Dengan kedua proses koreksi tersebut,

Analisis land rent tipe penggunaan

lahan

1. Arahan ekstensifikasi 2. Arahan metode

pengusahaan garam yang dianjurkan 3. Rumusan strategi

Interpretasi citra ikonos tahun 2010 Peta tutupan lahan Tipe penggunaan lahan Penyusunan kriteria

kesesuaian lahan tambak

Area of interest Groundchek

Analisis finansial pengusahaan garam (maduris,

portugis, geomembrane):

NPV, IRR, Net BCR, payback period Analisis A’WOT Survei responden/ data lapangan Peta potensi untuk ekstensifikasi tambak garam - Kelerengan - Tekstur - Curah hujan - Buffer dari

garis pantai - Buffer dari

sungai - Tutupan

lahan

Pertimbangan Regulasi: - Rencana kawasan lindung - Buffer dari garis pantai (100 m) - Buffer dari sungai besar 100 m,

50 m dari sungai kecil di luar pemukiman/perkotaan) - Buffer 200 m dari mata air - Suaka alam (mangrove) - Buffer jalan (arteri primer 20.5

m, kolektor primer 12.5 m, lokal primer (11 m)

Identifikasi lahan sesuai untuk ekstensifikasi tambak garam

Peta kesesuaian

lahan tambak


(35)

17 citra berada pada sistem koordinat yang benar dan memiliki nilai piksel yang sesuai dengan yang sebenarnya (Barus dan Wiradisastra 2000). Pada proses interpretasi, citra didigitasi secara manual dengan skala tampilan 1:10 000 pada peta dasar berupa peta RBI tahun 1999 skala 1:25 000. Proses digitasi ini menghasilkan peta tutupan lahan yang selanjutnya digunakan pada operasi tumpang susun dalam pembuatan peta kesesuaian lahan tambak garam.

Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Sitorus 2004). Untuk menilai tingkat kesesuaian lahan dalam rangka ekstensifikasi tambak digunakan teknik operasi tumpang susun (overlay operation) melalui sistem informasi geografis (SIG). Klasifikasi kesesuaian lahan dalam penelitian ini menggunakan kategori tingkat kelas. Kelas yang digunakan terdiri dari 3 (tiga) kelas dalam ordo S (sesuai) dan 1 (satu) kelas dalam ordo N (tidak sesuai). Menurut Sitorus (2004) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sistem FAO menjabarkan kelas kesesuaian lahan sebagai berikut:

Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable).

Lahan ini tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

Kelas S2 : cukup sesuai (moderately suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan meningkatkan masukan (input) yang diperlukan. Kelas S3 : sesuai marjinal (marginally suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan input yang diperlukan.

Kelas N : tidak sesuai (not suitable)

Lahan ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.

Faktor pembatas dari tiap kelas kesesuaian dalam penelitian ini diulas secara deskriptif untuk menunjukkan sub-kelas kesesuaiannya. Sub-kelas lahan menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan di dalam tiap kelas kesesuaian (Sitorus 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007)

3.4.1.1 Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan Tambak Garam

Sebelum dimulai operasi tumpang susun, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kriteria kesesuaian lahan tambak garam sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Kriteria kesesuaian tambak garam dalam penelitian ini menggunakan 6 (enam) peubah relevan yang diadaptasi dari kriteria kesesuaian lahan tambak budidaya udang yang disusun Pantjara et al. (2008). Peubah-peubah tersebut yaitu: kelerengan lahan (t), tekstur tanah (s), curah hujan (e), jarak dari garis pantai (p), jarak dari sungai (r), dan tutupan lahan (c). Penggunaan kriteria tambak budidaya ini dipandang masih koheren dengan kriteria tambak garam. Di pesisir selatan Kabupaten Sampang, tambak yang digunakan untuk memproduksi garam pada musim kemarau juga dimanfaatkan sebagai untuk budidaya udang/bandeng


(36)

18

pada musim penghujan. Namun demikian, penggunaan peubah pada kriteria kesesuaian lahan tambak garam perlu dilakukan penyesuaian sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan teknis maupun yuridis.

Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan tambak garam

Peubah Kelas Kesesuaian Lahan

S1 S2 S3 N

Kelerengan lahan (t) (%)a 0 – 2 > 2 – 3 > 3 – 4 > 4

Tekstur tanah (s)a lempung liat

berpasir (sandyclay loam)

liat berpasir

(sandy clay) liat berdebu (silty clay) debu, pasir (silt, sand) Curah hujan (e) (mm/thn)b < 1 300 < 1 300 < 1 300 > 1 300

Jarak dari garis pantai (p)(m)a > 100 – 1 000 > 1 000 –

2 000 > 2 000 – 4 000 0 − 100

c,

> 4 000 Jarak dari sungai (r) (m)a 0 − 500 > 500 –

1 000 > 1 000 – 2 000 > 2 000 Tutupan lahan (c)a tambak garam,

tegalan, belukar sawah, kebun tambak rawa, budidaya

permukiman, hutan, mangroved

Sumber: aPantjara et al. (2008).bBRKP dan BMG (2005). cKeputusan Presiden Nomor 32 Tahun

1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang menetapkan sempadan pantai 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat sebagai kawasan lindung. dTarunamulia et al.

(2008).

Peubah curah hujan disesuaikan kembali mengacu pada BRKP dan BMG (2005) yang menyebutkan bahwa curah hujan tahunan yang sesuai untuk tambak garam di bawah 1 300 mm/tahun. Penyesuaian ini perlu dilakukan karena curah hujan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan feseabiltas suatu kawasan untuk pengusahaan garam dengan solar evaporation. Peubah jarak dari garis pantai 0−100 meter dan kelas tutupan lahan berupa mangrove juga disesuaikan berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990.

Menurut Poernomo (1992), dua faktor yang juga mempengaruhi pemasokan air dalam mengoperasikan tambak adalah elevasi lahan dan sifat pasang surut. Kedua faktor tersebut menjadi tolok ukur daya dukung lahan pantai untuk pertambakan yang penilaiannya dilakukan terlebih dahulu untuk menetapkan apakah suatu daerah layak untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dalam penelitian ini, kedua faktor tersebut tidak dimasukkan sebagai peubah dalam kriteria kesesuaian lahan tambak garam karena kondisi eksisting sudah menunjukkan bahwa di lokasi penelitian sudah banyak aktivitas pertambakan yang dikelola secara tradisional-ekstensif. Di lokasi penelitian, air laut bisa masuk ke areal pertambakan pada saat pasang tanpa bantuan pompa air. Hal ini menunjukkan bahwa daya dukung lahan pantai memungkinkan untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dengan demikian kaitannya dengan aspek topografi, penggunaan peubah kelerengan saja sudah bisa digunakan untuk mengidentifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam di lokasi penelitian.


(1)

Faktor

Urutan

A.

Infatruktur yang kurang menunjang kawasan

B.

Pengusahaan tambak garam yang tergantung cuaca

C.

Rendahnya kualitas SDM dan kelembagaan, posisi tawar petambak

garam lemah

D.

Kurangnya akses sumber permodalan, banyak petambak garam

terjerat tengkulak

E.

Masih rendahnya kualitas garam rakyat

F.

Minimnya sentuhan teknologi

Selanjutnya bagaimana pembobotan perbandingan berpasangan dari masing masing

faktor tersebut?

Infrastruktur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ketergantungan cuaca

Infrastruktur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kualitas SDM dan kelembagaan

Infrastruktur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Akses modal

Infrastruktur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kualitas garam

Infrastruktur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sentuhan teknologi

Ketergantungan

cuaca 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kualitas SDM dan kelembagaan

Ketergantungan

cuaca 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Akses modal

Ketergantungan

cuaca 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kualitas garam

Ketergantungan

cuaca 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sentuhan teknologi

Kualitas SDM dan

kelembagaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Akses modal

Kualitas SDM dan

kelembagaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kualitas garam

Kualitas SDM dan

kelembagaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sentuhan teknologi

Akses modal 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kualitas garam

Akses modal 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sentuhan teknologi

Kualitas garam 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sentuhan teknologi

3.

Beberapa faktor eksternal berupa PELUANG (OPPORTUNITY) yang dapat

mempengaruhi pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang

antara lain sebagaimana tersebut di bawah. Menurut Bapak/Ibu, berdasarkan

pertimbangan dan pemahaman selama ini, bila ditinjau dari tingkat kepentingannya

maka urutannya adalah:

Faktor

Urutan

A.

Tingginya permintaan akan garam dan terus meningkat

B.

Mulai ada perhatian serius dari pemerintah, misal melalui

pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) dan berbagai upaya

mengatasi permasalahan garam

C.

Regulasi penetapan harga garam rakyat yang semakin baik

D.

Kebijakan pemerintah pusat memproteksi garam rakyat dari garam

impor

E.

Dukungan RTRW untuk Pengusahaan garam

F.

Introduksi pemanfaatan teknologi geomembrane

Selanjutnya bagaimana pembobotan perbandingan berpasangan dari masing masing

faktor tersebut?


(2)

Tingginya

permintaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Perhatian serius pemerintah

Tingginya

permintaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Regulasi penetapan harga

Tingginya

permintaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Proteksi garam rakyat

Tingginya

permintaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan RTRW

Tingginya

permintaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi geomembrane

Perhatian serius

pemerintah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Regulasi penetapan harga

Perhatian serius

pemerintah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Proteksi garam rakyat

Perhatian serius

pemerintah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan RTRW

Perhatian serius

pemerintah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi geomembrane

Regulasi penetapan

harga 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Proteksi garam rakyat

Regulasi penetapan

harga 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan RTRW

Regulasi penetapan

harga 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi geomembrane

Proteksi garam

rakyat 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dukungan RTRW

Proteksi garam

rakyat 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi geomembrane

Dukungan RTRW 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi geomembrane

4.

Beberapa faktor eksternal berupa ANCAMAN (THREAT) yang dapat mempengaruhi

pengembangan sentra tambak garam rakyat di Kabupaten Sampang antara lain

sebagaimana tersebut di bawah. Menurut Bapak/Ibu, berdasarkan pertimbangan dan

pemahaman selama ini, bila ditinjau dari tingkat kepentingannya maka urutannya

adalah:

Faktor

Urutan

A.

Masuknya garam impor (garam konsumsi) pada masa larangan

impor garam (antara 1 bulan sebelum panen raya dan 2 bulan

sesudah panen raya garam rakyat)

B.

Tidak berfungsinya Harga Penetapan Pemerintah (HPP) secara

efektif, harga di pasaran selalu bergejolak.

C.

Pasar yang hegemonik dan monopolistik, penentuan harga dikuasai

pabrik/pedagang besar

D.

Adanya praktik kartel perdagangan garam di tingkat lokal dan

regional (kartel adalah persetujuan sekelompok perusahaan dengan

maksud mengendalikan harga komoditi tertentu)

E.

Banyak munculnya asosiasi terkait di bidang garam, mengaburkan

keberpihakannya pada petambak garam rakyat

F.

Konversi lahan tambak menjadi area terbangun

Selanjutnya bagaimana pembobotan perbandingan berpasangan dari masing masing

faktor tersebut?


(3)

garam impor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 tidak berfungsinya HPP

garam impor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 pasar yang hegemonistik dan

monopolistik

garam impor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 kartel dagang

garam impor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 asosiasi garam

garam impor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 konversi lahan

tak berfungsinya

HPP 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9

pasar yang hegemonistik dan monopolistik tidak

berfungsinya

HPP 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 kartel dagang

tidak berfungsinya

HPP 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 asosiasi garam

tidak berfungsinya

HPP 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 konversi lahan

pasar yang hegemonistik dan monopolistik

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 kartel dagang pasar yang

hegemonistik dan monopolistik

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 asosiasi garam pasar yang

hegemonistik dan monopolistik

9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 konversi lahan

kartel dagang 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 asosiasi garam

kartel dagang 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 konversi lahan

asosiasi garam 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 konversi lahan

BAGIAN III

PENENTUAN

RATING

Rating

ditentukan terhadap faktor-faktor strategis internal (kekuatan dan

kelemahan) dan faktor-faktor strategis eksternal (peluang dan ancaman) berdasarkan

pengaruhnya terhadap pengembangan sentra tambak garam rakyat di kawasan pesisir

selatan Kabupaten Sampang.

Dalam menentukan

rating

, dilakukan dengan cara memberikan tanda “V” pada

kolom

“Nilai

Rating”

pada tabel yang telah disediakan pada angka yang dianggap paling

sesuai dengan kondisi saat ini. Ketentuan penilaian dalam penentuan rating ini mengacu

pada skala

rating

sebagai berikut:

Nilai

rating

4

: sangat kuat

Nilai

rating

2 : agak lemah

Nilai

rating

3

: agak kuat

Nilai

rating

1 : sangat lemah

1.

Faktor Strategi Internal

Kekuatan

4

Nilai

3

Rating

2

1

A.

Potensi SDA (ketersediaan lahan tambak yang luas

dan air laut, didukung iklim yang sesuai)

B.

Teknik pengusahaan garam yang dikenal secara

turun temurun

C.

Peralatan sederhana dan mudah diperoleh

D.

Tenaga kerja yang selalu tersedia

E.

Sudah ada jaringan pemasaran

F.

Ketersediaan koperasi petani garam


(4)

Kelemahan

4

Nilai

3

Rating

2

1

A.

Infatruktur yang kurang menunjang kawasan

B.

Pengusahaan tambak garam yang tergantung cuaca

C.

Rendahnya kualitas SDM dan kelembagaan, posisi

tawar petambak garam lemah

D.

Kurangnya akses sumber permodalan, banyak

petambak garam terjerat tengkulak

E.

Masih rendahnya kualitas garam rakyat

F.

Minimnya sentuhan teknologi

2.

Faktor Strategi Eksternal

Peluang

4

Nilai

3

Rating

2

1

A.

Tingginya permintaan akan garam dan terus

meningkat

B.

Mulai ada perhatian serius dari pemerintah, misal

melalui pemberdayaan usaha garam rakyat

(PUGAR) dan berbagai upaya mengatasi

permasalahan garam

C.

Regulasi penetapan harga garam rakyat yang

semakin baik

D.

Kebijakan pemerintah pusat memproteksi garam

rakyat dari garam impor

E.

Dukungan RTRW untuk Pengusahaan garam

F.

Introduksi pemanfaatan teknologi geomembrane

Ancaman

4

Nilai

3

Rating

2

1

A.

Masuknya garam impor (garam konsumsi) pada

masa larangan impor garam (antara 1 bulan

sebelum panen raya dan 2 bulan sesudah panen

raya garam rakyat)

B.

Tidak berfungsinya Harga Penetapan Pemerintah

(HPP) secara efektif, harga di pasaran selalu

bergejolak.

C.

Pasar yang hegemonik dan monopolistik,

penentuan harga dikuasai pabrik/pedagang besar

D.

Adanya praktik kartel perdagangan garam di

tingkat lokal dan regional

E.

Banyak munculnya asosiasi terkait di bidang

garam, mengaburkan keberpihakannya pada

petambak garam rakyat

F.

Konversi lahan tambak menjadi area terbangun


(5)

RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR KEKUATAN (STRENGTHS) DINORMALKAN

A B C D E F G A B C D E F G

Potensi SDA

Teknik pengusa-haan garam

Peralatan Tenaga kerja

Jaringan

pema-saran Koperasi

petani garam

Kelompok petani

garam Potensi SDA

Teknik pengusahaan

garam Peralatan

Tenaga

kerja pema-saranJaringan

Koperasi petani garam

Kelompok petani garam A Potensi

SDA 1.000 2.956 3.980 3.922 3.515 6.328 6.510 A Potensi SDA 0.410 0.502 0.389 0.346 0.420 0.329 0.289 0.384 2.795 7.286 B Teknik

pengusahaa n garam

0.338 1.000 2.497 2.462 1.707 3.482 3.960 B Teknik pengusahaan garam

0.139 0.170 0.244 0.217 0.204 0.181 0.176 0.190 1.387 7.297

C Peralatan 0.251 0.400 1.000 0.987 0.985 2.345 3.272 C Peralatan 0.103 0.068 0.098 0.087 0.118 0.122 0.145 0.106 0.755 7.134

D Tenaga

kerja 0.255 0.406 1.013 1.000 0.431 2.662 3.580

D Tenaga kerja 0.104 0.069 0.099 0.088 0.052 0.138 0.159 0.101 0.716 7.068

E Jaringan

pemasaran 0.284 0.586 1.015 2.319 1.000 2.495 3.113 E Jaringan pemasaran 0.117 0.100 0.099 0.204 0.120 0.130 0.138 0.130 0.942 7.268

F Koperasi petani garam

0.158 0.287 0.426 0.376 0.401 1.000 1.057 F Koperasi

petani garam 0.065 0.049 0.042 0.033 0.048 0.052 0.047 0.048 0.342 7.150

G Kelompok petani garam

0.154 0.253 0.306 0.279 0.321 0.946 1.000 G Kelompok

petani garam 0.063 0.043 0.030 0.025 0.038 0.049 0.044 0.042 0.296 7.094

2.441 5.888 10.238 11.345 8.361 19.258 22.492 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Rataan 7.185

Banyaknya Kriteria n = 7 Rataan Consistency Vector (p) = 7.185 Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = 0.023 (CR < 0.1 → konsisten)

Random Indeks (RI)* = 1.32 Consistency Index (CI) = (p−n)/(n−1) = 0.031 Jumlah

Jumlah

Faktor

Faktor Average

(W') A*W'

Consitency vector= A*W'/ W'

RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR KELEMAHAN (WEAKNESSES) DINORMALKAN

A B C D E F A B C D E F

Infra-struktur

Ketergan-tungan cuacaKualitas SDM dan

kelem-bagaan

Akses

modal Kualitas garam Sentuhan teknologi Infra-struktur Ketergan-tungan

cuaca

Kualitas SDM dan kelem-bagaan

Akses

modal Kualitas garam Sentuhan teknologi

A Infrastruktur 1.000 0.595 0.853 1.356 2.282 0.792 A Infrastruktur 0.159 0.130 0.197 0.172 0.167 0.144 0.162 0.977 6.045

B Ketergantungan cuaca

1.682 1.000 0.930 2.013 2.720 0.972 B Ketergantungan cuaca

0.267 0.219 0.215 0.256 0.199 0.176 0.222 1.345 6.055

C Kualitas SDM dan kelembagaan

1.172 1.075 1.000 1.879 2.991 1.481 C Kualitas SDM dan kelembagaan

0.186 0.236 0.231 0.238 0.219 0.269 0.230 1.391 6.051

D Akses modal 0.737 0.497 0.532 1.000 1.914 0.902 D Akses modal 0.117 0.109 0.123 0.127 0.140 0.164 0.130 0.786 6.048

E Kualitas garam 0.438 0.368 0.334 0.523 1.000 0.365 E Kualitas garam 0.070 0.081 0.077 0.066 0.073 0.066 0.072 0.437 6.047

F Sentuhan teknologi 1.263 1.028 0.675 1.109 2.742 1.000 F Sentuhan teknologi 0.201 0.225 0.156 0.141 0.201 0.181 0.184 1.114 6.048

6.292 4.562 4.325 7.880 13.649 5.512 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Rataan 6.049

Banyaknya Kriteria n = 6 Rataan Consistency Vector (p) = 6.049 Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = 0.008 (CR < 0.1 → konsisten)

Random Indeks (RI)* = 1.24 Consistency Index (CI) = (p−n)/(n−1) = 0.010

*Sumber: Tabel Oarkride dalam Marimin (2008)

Jumlah Jumlah

Faktor Faktor Average (W') A*W' Consitency vector=


(6)

89

RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR PELUANG (OPPORTUNITIES) DINORMALKAN

A B C D E F A B C D E F

Tingginya

permintaan Perhatian serius

peme-rintah

Regulasi

penetapan hargaProteksi garam

rakyat

Dukungan

RTRW Teknologi

geomem-brane

Tingginya

permintaan Perhatian serius

peme-rintah

Regulasi

penetapan hargaProteksi garam

rakyat

Dukungan

RTRW Teknologi

geomem-brane

A Tingginya permintaan 1.000 1.596 2.441 2.952 6.318 5.378 A Tingginya permintaan 0.368 0.384 0.372 0.366 0.270 0.358 0.353 2.160 6.125

B Perhatian serius

pemerintah 0.627 1.000 1.846 2.087 5.235 2.837 B Perhatian serius pemerintah 0.230 0.240 0.281 0.258 0.223 0.189 0.237 1.452 6.126

C Regulasi penetapan

harga 0.410 0.542 1.000 1.316 4.758 3.219 C Regulasi penetapan harga 0.151 0.130 0.152 0.163 0.203 0.214 0.169 1.030 6.100

D Proteksi garam rakyat

0.339 0.479 0.760 1.000 3.928 2.146 D Proteksi garam rakyat

0.125 0.115 0.116 0.124 0.168 0.143 0.132 0.800 6.080

E Dukungan RTRW 0.158 0.191 0.210 0.255 1.000 0.455 E Dukungan RTRW 0.058 0.046 0.032 0.032 0.043 0.030 0.040 0.242 6.033

F Teknologi

geomem-brane 0.186 0.352 0.311 0.466 2.196 1.000 F Teknologi brane geomem- 0.068 0.085 0.047 0.058 0.094 0.067 0.070 0.421 6.034 2.719 4.160 6.568 8.075 23.435 15.036 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Rataan 6.083

Banyaknya Kriteria n = 6 Rataan Consistency Vector (p) = 6.083 Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = 0.013 (CR < 0.1 → konsisten)

Random Indeks (RI)* = 1.24 Consistency Index (CI) = (p−n)/(n−1) = 0.017 RATAAN GEOMETRIK PEMBOBOTAN FAKTOR ANCAMAN (THREATS) DINORMALKAN

A B C D E F A B C D E F

Garam impor Tidak berfungsinya HPP

Pasar yang hegemonistik dan monopolistik

Kartel dagang

Asosiasi garam

Konversi lahan

garam impor tidak berfungsinya HPP

pasar yang hegemonistik dan monopolistik

kartel dagang

asosiasi garam

konversi lahan

A Garam impor 1.000 0.872 1.364 1.668 3.784 4.221 A Garam impor 0.251 0.258 0.240 0.270 0.231 0.217 0.245 1.475 6.032

B Tidak berfungsinya

HPP 1.147 1.000 1.871 1.749 4.957 4.919 B Tidak berfungsinya HPP 0.288 0.296 0.330 0.283 0.302 0.253 0.292 1.762 6.035 C Pasar yang

hegemonistik dan monopolistik

0.733 0.535 1.000 1.147 2.995 4.232 C Pasar yang hegemonistik dan monopolistik

0.184 0.158 0.176 0.186 0.183 0.218 0.184 1.109 6.027

D Kartel dagang 0.599 0.572 0.872 1.000 2.837 3.873 D Kartel dagang 0.151 0.169 0.154 0.162 0.173 0.199 0.168 1.011 6.024

E Asosiasi garam 0.264 0.202 0.334 0.352 1.000 1.207 E Asosiasi garam 0.066 0.060 0.059 0.057 0.061 0.062 0.061 0.366 6.022

F Konversi lahan 0.237 0.203 0.236 0.258 0.829 1.000 F Konversi lahan 0.060 0.060 0.042 0.042 0.051 0.051 0.051 0.305 6.007

3.981 3.383 5.677 6.175 16.402 19.452 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Rataan 6.024

Banyaknya Kriteria n = 6 Rataan Consistency Vector (p) = 6.024 Comcistency Ratio (CR) = CI/RI = 0.004 (CR < 0.1 → konsisten)

Random Indeks (RI)* = 1.24 Consistency Index (CI) = (p−n)/(n−1) = 0.005

*Sumber: Tabel Oarkride dalam Marimin (2008)

Jumlah Jumlah

Faktor Faktor

Faktor Faktor

Jumlah Jumlah

Average

(W') A*W'

Consitency vector= A*W'/ W'

Average

(W') A*W'

Consitency vector= A*W'/ W'