Pengukuran Kadar Fenol Menggunakan Spektrofotometer UV-Visible Populasi dan Sampel Uji Aktifitas Nanokatalis CuOTiO

TiO 2 dalam bidang industri berperan sebagai pigmen, adsorben, pendukung katalitik, dan semikonduktor. Senyawa ini mempunyai banyak kelebihan, antara lain nontoksik, stabil, nonkorosif, dan ramah lingkungan Wijaya et al., 2006. Nanokatalis CuOTiO 2 telah diaplikasikan dalam beberapa penelitian. Lee et al. 2002 mensintesis tembaga oksida tersupport TiO 2 dengan metode sol-gel kemudian diaplikasikan pada proses pembakaran benzena. CuO yang tersebar pada permukaan TiO 2 berperan sebagai situs aktif pada dekomposisi oksidatif benzena. Aktifitas katalitik meningkat pada katalis yang mengandung TiO 2 - anatase. Dalam penelitian Slamet et al. 2007 hasil karakterisasi XRD CuOTiO 2 pada peak 2θ=35,6° menunjukkan fase CuO dimana prekursor Cu yang digunakan adalah Cu-Asetat dan Cu-Nitrat. Secara fotokatalitik, katalis CuOTiO 2 mempunyai kemampuan mendegradasi fenol lebih baik dibandingkan hanya TiO 2 yaitu sebesar 97,18, sedangkan pada TiO 2 sebesar 93,81.

2.6 Pengukuran Kadar Fenol Menggunakan Spektrofotometer UV-Visible

Pengukuran kadar fenol secara spektrofotometer UV-Vis menggunakan 4- aminoantipirin sebagai zat pengompleks. Prinsip kerjanya adalah semua fenol dalam air akan bereaksi dengan 4-aminoantipirin pada pH 7,9±0,1 dalam suasana larutan kalium ferisianida dan akan membentuk warna kecoklatan dari antipirin SNI 06-6989.21-2004 Cara Uji Fenol secara spektrofotometri. Menurut Kidak dan Ince; dalam Lestari 2011 reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: N N CH 3 C 6 H 5 O H 2 N H 3 C OH OH - [FeAMPH 6 ] 3- + CN - C 6 H 5 CH 3 N N O N CH 3 O - + Amino antipirin Phenol [AMPH] - Amino antipirin phenol [FeCN 6 ] 3- + 6[AMPH] - Amino antipirin Fe 3+ Gambar 2.5 Reaksi Pengompleksan fenol dan 4-aminoantipirin Sebelum pengukuran kadar fenol sisa, kompleks fenol diukur panjang gelombang maksimumnya. Dalam Ali dan Siew 2006, untuk menghitung persentase degradasi D digunakan persamaan: = − . 100 dengan C adalah pada saat 0 menit mula-mula dan C t adalah konsentrasi pada saat t menit. 18 BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah larutan fenol yang telah mengalami proses degradasi katalitik. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah cuplikan dari larutan fenol yang telah mengalami proses degradasi katalitik.

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Variabel Bebas

Sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka variabel yang akan dipelajari dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Variasi temperatur kalsinasi yaitu 400°C, 500°C dan 600 o C. 2 Variasi waktu proses degradasi limbah fenol dengan katalis CuOTiO 2 yaitu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit.

3.2.2 Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah : 1. Karakter Kristal CuOTiO 2 yang meliputi tipe kristal, ukuran kristal, luas permukaan dan bentuk morfologi kristal. 2. Konsentrasi limbah fenol yang berkurang setelah proses degradasi.

3.2.3 Variabel Terkendali

Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah : 1. Waktu pengadukan pada saat sintesis katalis. 2. Temperatur pada saat proses degradasi limbah fenol dan laju alir gas oksigen.

3.3 Rancangan Penelitian

3.3.1 Bahan dan Alat

3.3.1.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah CuNO 3 2 .3H 2 O p.a E.Merck, Titanium Isopropoxide TiIPP p.a Sigma Aldrich, 97, Polyethilene glycol PEG BM 4000, HCl p.a E.Merck, 37, Etanol p.a E.Merck, 99, Fenol p.a E.Merck, NH 3 p.a E.Merck, 25, K 2 HPO 4 p.aE.Merck, KH 2 PO 4 p.a E.Merck , 4-aminoantipirin p.a E.Merck, K 3 FeCN 6 p.a E.Merck, larutan CaOH 2 , aquademin, dan gas oksigen PT. Samator Gas. 3.3.1.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas Pyrex, magnetik stirrer IKAMAG, cawan crus, termometer, hot plate, oven Memmert, furnace Barnstead Thermolyne 1400, X-Ray Diffractometer XRD PANalytical PW3373, Gas Sorption Analyzer NOVA 1000 Quantachrome, Gas Chromatography-Mass Spectrophotometer GC-MS Shimadzu QP-2010s, Scanning Electron Microscope Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy SEM-EDX LEO 1530VP dan Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu. Rangkaian alat proses oksidasi katalitik limbah fenol ditunjukkan seperti pada Gambar 3.1. Gambar 3.1. Rangkaian alat proses oksidasi katalitik

3.4 Cara Kerja

3.4.1 Preparasi Nanokatalis CuOTiO

2 secara Sol – Gel Modifikasi Metode preparasi nanokatalis CuOTiO 2 diadaptasi dari penelitian Tuan et al. 2009 dan Liherlinah et al. 2009. Pada gelas kimia A, garam CuNO 3 2 .3H 2 O sebanyak 0,76 gram dilarutkan dengan 2,2 ml aquademin. Pada gelas kimia B, campuran 3,6 ml etanol dan 1,2 ml HCl diaduk selama 30 menit. Kemudian ditambahkan 18,4 ml TiIPP. Campuran diaduk sebentar dan ditambahkan dengan 4,5 ml aquademin. Campuran pada gelas B diaduk selama 1 jam. Larutan pada gelas piala A dimasukan kedalam gelas piala B sambil terus diaduk. Campuran ditambahkan dengan larutan PEG 5 gram dalam 50 ml aquademin. Penambahan PEG dilakukan tetes demi tetes sambil terus diaduk. Hasilnya dituang ke cawan porselin untuk diuapkan ke dalam oven. Setelah O 2 Air masuk Air keluar Pendingin air termometer Labu leher 3 Penangas air Hotplate stirrer Magnet pengaduk Gas keluar Air kapur Hotplate stirrer Penangas air O 2 kering, campuran dipindahkan ke dalam cawan krus untuk dipanaskan pada suhu 400°C, 500°C dan 600°C selama 2 jam. Padatan CuOTiO 2 yang dihasilkan dibiarkan dingin kemudian digerus menggunakan lumpang alu sampai halus. 3.4.2 Karakterisasi Nanokatalis CuOTiO 2 Nanokatalis CuOTiO 2 yang telah disintesis dikarakterisasi menggunakan XRD untuk mengetahui fase kristal, kristalinitas dan ukuran kristal, Gas Sorption Analyzer NOVA-1000 untuk mengetahui luas permukaan, rerata jari-jari pori dan volume pori, dan SEM-EDX untuk melihat morfologi permukaan kristal dan komposisinya. 3.4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuOTiO 2 Fase kristal dan ukuran CuOTiO 2 didapat dari analisis kromatogram XRD. Penentuan ukuran kristal dilakukan dengan metode persamaan Scherrer : ≈ � � � dengan D adalah ukuran diameter kristalin, λ adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan, θ B adalah sudut Bragg, B adalah FWHM satu puncak yang dipilih dan K adalah konstanta material yang nilainya kurang dari satu. Nilai yang umumnya dipakai untuk K≈0,9 Abdullah dan Khairurrijal, 2010.

3.4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori

Penentuan luas permukaan, rerata jari-jari dan volume pori katalis menggunakan instrumen Sorption Analyzer NOVA 1000 dengan metode BET Brunauer-Emmet-Teller. Pada pengukuran BET, sampel divakumkan agar tidak ada atom-atom gas yang menempel pada permukaan sampel. Gas dalam jumlah tertentu dialirkan dan menghasilkan tekanan awal P . Suhu diatur serendah mungkin dan tetap konstan. Sebagian atom gas lalu menempel pada permukaan sampel teradsorpsi. Semakin lama jumlah molekul gas yang menempel pada permukaan sampel semakin banyak dan hingga akhirnya seluruh permukaan sampel tertutup penuh oleh molekul gas. Tidak ada molekul gas yang teradsorpsi lebih lanjut sehingga tekanan dalam kamar tidak berubah lagi atau disebut dengan tekanan kesetimbangan P. Perbedaan tekanan awal P dan tekanan kesetimbangan P memberikan informasi jumlah atom gas yang diadsorpsi permukaan sampel Abdullah dan Khairurrijal, 2010. Alur perolehan data pengukuran sampel dengan metode BET dan perhitungan data BET dicantumkan dalam lampiran.

3.4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuOTiO

2 Analisis morfologi CuOTiO 2 menggunakan instrumen SEM. Sedangkan EDX digunakan untuk menentukan persen komposisi Cu pada Titania. CuOTiO 2 yang dikarakterisasi menggunakan SEM-EDX adalah salah satu dari hasil sintesis CuOTiO 2 dengan variasi temperatur kalsinasi. Hasil analisis SEM adalah gambar foto kenampakan padatan, sedangkan EDX adalah kurva komposisi penyusun sampel. Foto kenampakan yang didapat, menunjukkan homogenitas morfologi kristal pada sampel dan adanya sintering yang mungkin terjadi. Sedangkan pada kurva komposisi, akan ditunjukkan komposisi persen massa dari CuO dan TiO 2 . Dari data ini, maka dapat dihitung massa CuO yang teremban pada TiO 2 . Pada penelitian diharapkan adanya sejumlah CuO yang teremban pada TiO 2 , namun tidak melampaui batas acuan massa CuO dalam sintesis sebesar 5 dari massa nanokatalis CuOTiO 2 . 3.4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuOTiO 2 untuk Degradasi Fenol Larutan fenol 100 ppm sebanyak 250 ml ditambah dengan 0,5 gram katalis CuOTiO 2 ditempatkan ke dalam labu leher tiga alas bulat. Campuran diaduk hingga homogen. Botol berisi larutan CaOH 2 dihubungkan pada reaktor labu alas bulat untuk mengetahui adanya gas CO 2 yang terbentuk. Campuran fenol dan katalis dipanaskan hingga temperatur 70°C. Pada saat temperatur mencapai 70°C, gas oksigen dialirkan dengan kecepatan 200 mlmenit. Pemanasan dilanjutkan hingga suhu 90°C. Reaksi dilakukan dengan variasi waktu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit pada suhu 90°C. Setelah reaksi selesai, campuran dibiarkan dingin dan di-sentrifuge, selanjutnya filtrat sebanyak 10 ml diencerkan dengan aquademin sampai volume 200 ml. Larutan ini digunakan sebagai sampel pada uji fenol terdegradasi menggunakan Spektrofotometer UV- Vis. Untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam fenol terdegradasi, filtrat diuji menggunakan GC-MS.

3.4.4 Pengujian Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar

Metode adisi standar dilakukan dengan menambahkan larutan standar V s pada salah satu dari dua cuplikan sampel Hendayana, 1994. Sampel fenol terdegradasi pada masing-masing variasi waktu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit, 155 menit diambil 10 ml kemudian ditempatkan dalam labu ukur 200 ml. Masing-masing sampel diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Ke dalam labu ukur 500 ml, dimasukkan larutan fenol 100 ppm sebanyak 25 ml kemudian diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Larutan ini disebut larutan standar fenol. Pada sampel 8 menit, diambil sebanyak 25 ml dan ditempatkan ke dalam erlenmeyer A dan 25 ml ke dalam erlenmeyer B. Pada erlenmeyer A ditambahkan aquademin sampai volume total 50 ml. Pada erlenmeyer B ditambahkan 25 ml larutan standar fenol. Masing-masing larutan ditambahkan 1,25 ml NH 4 OH 0,5 N dan pH diatur menjadi 7,9±0,1 dengan larutan penyangga fosfat. Larutan dikomplekskan dengan 0,5 ml 4-aminoantipirin 2 dan ditambah dengan 0,5 ml larutan kalium ferisianida 8 sambil terus diaduk sampai timbul warna merah. Untuk pengujian sampel 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit dilakukan hal yang sama seperti pada sampel 8 menit. Masing masing larutan diukur absorbansinya menggunakan UV-Vis. Perhitungan konsentrasi fenol sisa menggunakan persamaan sebagai berikut: 1 = � � � 2 = � � � + � � � dimana A 1 dan A 2 adalah absorbansi cuplikan encer dan cuplikan plus standar encer, ε adalah absorbtivitas molar, b adalah tebal kuvet, Vx adalah volume sampel, Vt adalah volume total, Cs adalah konsentrasi larutan standar dan Cx adalah konsentrasi sampel. Perhitungan Cx dilakukan dengan membagi persamaan kedua dengan pertama menghasilkan: = 1 � 2 − 1 � 26 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi Nanokatalis CuOTiO 2 secara Sol-Gel Modifikasi Sintesis nanokatalis CuOTiO 2 dilakukan dengan metode sol gel dimodifikasi menggunakan PEG sebagai zat pendispersi. Prekusor yang digunakan adalah TiIPP dan garam CuNO 3 2 .3H 2 O. Pada sintesis ini juga menggunakan etanol, HCl dan air. Etanol berfungsi sebagai agen pembentuk sol, HCl sebagai pencegah terbentuknya agregat dan air sebagai zat penghidrolisis. Pada saat HCl dan etanol diaduk, didapat campuran tak berwarna. Sol berwarna putih didapat ketika TiIPP ditambahkan pada campuran HCl dan etanol. Sol putih memadat ketika ditambahkan air. Hal ini dikarenakan terjadinya hidolisis TiIPP oleh air. Padatan putih menjadi biru ketika ditambahkan larutan CuNO 3 2 . Pembentukan gel oleh PEG tidak berhasil. Hal ini mungkin dikarenakan oleh kurangnya jumlah PEG yang ditambahkan dan pengadukan yang relatif singkat. Tahapan reaksi sintesis TiO 2 secara sol-gel menurut Sanchez et al., 2011 adalah sebagai berikut: TiC 3 H 7 O 4 + 2HOCH 2 CH 2 O n H Ti[OCH 2 CH 2 O n ] 2 + 4C 3 H 7 OH 4.1 TiIPP PEG Ti-polimer Isopropanol Ti[OCH 2 CH 2 O n ] 2 + 4H 2 O TiOH 4 + 2OHCH 2 CH 2 O n H 4.2 Ti-polimer Air TiIVhidroksida PEG CuNO 3 2 .3H 2 O + H 2 O CuNO 3 2 + 4H 2 O 4.3 Tembaga II nitrat Air Tembaga II nitrat Air trihidrat CuNO 3 2 + HOCH 2 CH 2 O n H CuOCH 2 CH 2 O n + 2HNO 3 4.4 Tembaga II nitrat PEG Cu-polimer Asam nitrat CuOCH 2 CH 2 O n + 2H 2 O CuOH 2 + HOCH 2 CH 2 O n H 4.5 Cu-polimer Air CuIIhidroksida PEG TiOH 4 + CuOH 2 TiCuOH 6 kalsinasi CuOTiO 2 anatase 4.6 TiIVhidroksida CuIIhidroksida Hasil kenampakan padatan CuOTiO 2 dapat dilihat di Tabel 4.1. Tabel 4.1. Perubahan warna dan kenampakan CuOTiO 2 berdasarkan perlakuan temperatur kalsinasi Sampel Temperatur Kalsinasi °C Kode Sampel Warna Kenampakan CuOTiO 2 400 K-400 Hitam Halus CuOTiO 2 500 K-500 Hitam Halus CuOTiO 2 600 K-600 Abu-abu Halus K-400 berwarna hitam, hal ini menunjukkan adanya Cu, demikian juga pada K-500. Warna hitam K-400 lebih pekat dibandingkan dengan K-500. Sedangkan K-600 sampel yang dihasilkan berwarna abu-abu. Pemanasan dengan suhu semakin tinggi menyebabkan warna nanokatalis CuOTiO 2 semakin muda. Menurut Yang 2008:35, warna abu-abu disebabkan karena auto-reduksi CuII menjadi CuI. Kristal yang terbentuk kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD dan BET. Kristal yang memenuhi kriteria sebagai katalis yang baik, diuji menggunakan SEM-EDX untuk mendapatkan informasi bentuk morfologi dan komposisi kristalnya. 4.2 Hasil Karakterisasi Nanokatalis CuOTiO 2 Karakterisasi nanokatalis CuOTiO 2 dilakukan untuk mengetahui karakter senyawa yang telah disintesis. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini antara lain untuk mengetahui hasil pola difraksi; luas permukaan, rerata jari-jari dan volume pori; dan analisis morfologi dan komposisi nanokatalis CuOTiO 2 . 4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuOTiO 2 Sampel yang telah disintesis diamati pola difraksi untuk selanjutnya dianalisis fasa kristalnya dalam sampel. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh temperatur kalsinasi terhadap fasa kristal dari katalis CuOTiO 2 yang disintesis dengan metode sol gel modifikasi. 20 40 60 80 400 800 20 40 60 80 400 800 20 40 60 80 400 800 20 40 60 80 400 800 20 40 60 80 400 800 TiO 2 anatase 751537 2  CuO 800076 A A CuOTiO 2 400 o C R R A A CuOTiO 2 500 o C R R A CuO A CuOTiO 2 600 o C Gambar 4.1. Pola difraksi sinar-X CuOTiO 2 Pada Gambar 4.1 puncak yang ditandai ―A‖ dan ―R‖ menerangkan fasa anatase dan rutil TiO 2 . Berdasarkan data Powder Diffraction File PDF 751537, TiO 2 anatase mempunyai struktur kristal yang berbentuk tetragonal dengan panjang sumbu a=b=3730 Å, c=9370 Å. Pada K-400, K-500 dan K-600 muncul puncak difraktogram pada 2θ = 25,6° yang menunjukkan kecocokan difraktogram PDF standar TiO 2 anatase yaitu pada 2θ = 25,69°. Selain itu pada K-400, 2θ = 54,72° i n t e n s i t a s K-400 K-500 K-600 menunjukkan kecocokkan terhadap difraktogram standar yaitu pada 2θ = 54,775°. Pada K-500 dan K-600, 2θ = 54,72° mengalami pergeseran ke 2θ = 54,48° dan 54,59°. Namun pada K-500 dan K-600 terbentuk fase TiO 2 rutil yang ditunjukkan pada masing-masing 2θ = 27,56°; 36,16° dan 27,46°; 36,34° yang mirip dengan PDF standar TiO 2 rutil 781510. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan terlalu tinggi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO 2 . Tabel 4.2 menunjukkan perbandingan komposisi fase anatase dan rutil kristal TiO 2 pada masing-masing sampel. Tabel 4.2 Komposisi fase kristal TiO 2 pada CuOTiO 2 Kode Sampel Anatase Rutil K-400 K-500 K-600 16,27 11,322 8,964 - 6,104 8,167 Berdasarkan data difraktogram standar CuO PDF 800076 puncak khas CuO terlihat pada 2θ = 35,54°, 38,97° dan 48,85°. Difraktogram pada K-500 dan K-600 menunjukkan kecocokan dengan difragtogram standar CuO pada masing- masing 2θ = 38,94° dan 38,95°. Pada K-400, terdapat pergeseran difraktogram pada 2θ = 38,18° dan 48,47. Kenaikan temperatur kalsinasi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO 2 . Dalam Zhu et al. 2011, TiO 2 rutil lebih stabil pada suhu tinggi, namun mempunyai luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan TiO 2 anatase. Hal ini menyebabkan TiO 2 rutil kurang baik untuk diaplikasikan sebagai support. Dari hasil analisis fasa kristal TiO 2 , K-400 memiliki kriteria untuk diaplikasikan sebagai support karena mempunyai fasa anatase lebih banyak dibandingkan dengan K-500 dan K-600. Puncak CuO pola difraksi K-400 yang tidak terlihat pada 2θ = 38,9° disebabkan CuO terdispersi pada permukaan TiO 2 . Hal ini mirip dengan penelitian Ding et al. 2005 yang menyatakan bahwa puncak CuO tidak terlihat pada pola difraksi CuOTi 0.5 Zr 0.5 O 2 karena luas permukaan Ti 0.5 Zr 0.5 O 2 yang besar, sehingga partikel CuO terdispersi pada permukaan Ti 0.5 Zr 0.5 O 2 . Maka pada K-400 mempunyai situs aktif CuO yang menempel pada permukaan TiO 2 . Tabel 4.3 menunjukkan hasil analisis ukuran kristal CuOTiO 2 melalui metode Debye-Scherer. Tabel 4.3 Ukuran partikel katalis CuOTiO 2 dari analisis XRD Kode Sampel Ukuran Partikel nm K-400 K-500 K-600 6,890 17,716 41,877 Pada Tabel 4.3, ukuran kristal menunjukkan kenaikan seiring dengan penambahan temperatur kalsinasi. Hal ini disebabkan pemanasan pada suhu terlalu tinggi menyebabkan terjadinya sintering. K-400 menunjukkan ukuran kristal yang paling kecil. Ukuran kristal yang semakin kecil akan meningkatkan luas permukaan nanokatalis CuOTiO 2 sehingga aktifitas katalitiknya akan semakin baik.

4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori CuOTiO

2 Luas permukaan katalis yang semakin besar menyebabkan kontak yang terjadi antara reaktan dan permukaan katalis juga semakin besar sehingga fenol yang terdegradasi lebih banyak. Selain luas permukaan katalis, ukuran jari-jari pori yang besar dapat membantu molekul fenol untuk dapat masuk ke dalam pori katalis. Data hasil karakterisasi kristal CuOTiO 2 menggunakan metode BET ditunjukkan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Hasil karakterisasi luas permukaan spesifik, rerata jari-jari pori dan volume total CuOTiO 2 Kode Sampel Luas Permukaan Spesifik m 2 g Rerata Jari-jari Pori Å Volume Pori ccg K-400 K-500 K-600 89,2 76,87 29,94 36,53 52,91 102,5 0,1667 0,2033 0,1505 Luas permukaan nanokatalis CuOTiO 2 semakin rendah pada kenaikan suhu pemanasan. Hal ini disebabkan terjadinya sintering pada pemanasan yang terlalu tinggi. Menurut Wardhani 2009, sintering merupakan suatu proses berkumpulnya partikel-partikel logam secara kompak yang membentuk gumpalan-gumpalan pada permukaan pori pengemban sehingga menutup sebagaian pori dan sisi aktif katalis. Data tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ukuran kristal dan luas permukaan nanokatalis CuOTiO 2 . Kenaikan suhu pemanasan menyebabkan ukuran kristal nanokatalis CuOTiO 2 semakin besar dan memiliki luas permukaan yang semakin kecil. Ukuran rerata jari-jari pori semakin besar pada kenaikan suhu pemanasan. Namun pada volume pori tidak menunjukkan suatu keteraturan berdasarkan kenaikan suhu pemanasan.

4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuOTiO

2 SEM digunakan untuk mengetahui bentuk morfologi padatan yang telah dipreparasi. Analisis menggunakan SEM-EDX dilakukan setelah memilih nanokatalis CuOTiO 2 yang paling memenuhi syarat sebagai katalis diantara tiga katalis yang disintesis dengan variasi temperatur kalsinasi. Hasil pengujian XRD dan BET, padatan yang mempunyai ukuran partikel paling kecil dan luas permukaan paling besar ditunjukkan pada K-400. Padatan tersebut kemudian dianalisis menggunakan SEM-EDX. Hasil analisis SEM yang berupa foto kenampakan padatan, ditunjukkan pada Gambar 4.2 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali. Foto SEM tersebut kemudian dibandingkan dengan foto SEM CuOTiO 2 dalam penelitian Manivel et al.2010, yang ditunjukkan pada Gambar 4.3. Menurut Manivel et al.2010, warna putih dalam gambar menunjukkan partikel TiO 2 dan dopan CuO adalah bidang-bidang kecil berwarna abu-abu. Dopan CuO menempati bagian dalam pori TiO 2 . Gambar 4.2. Foto SEM K-400 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali Gambar 4.3 Foto SEM CuOTiO 2 dalam Manivel et al., 2010 dengan perbesaran 3000 kali TiO 2 CuO Pada Gambar 4.2, warna abu-abu menyebar hampir pada seluruh permukaan partikel. Hal ini menunjukkan bahwa partikel CuO hanya tersebar pada permukaan TiO 2 , tidak sampai terdopan pada pori TiO 2 . Kristal yang dihasilkan memiliki bentuk yang tidak homogen dan masih terdapat agregat. Hal ini disebabkan oleh pengadukan yang kurang lama dan penambahan PEG yang belum optimal. Gambar 4.4 menunjukkan hasil analisis EDX komposisi kristal CuOTiO 2 dan Tabel 4.5 menunjukkan komposisi CuO dan TiO 2 pada padatan CuOTiO 2 . Gambar 4.4 Spektrum EDX K-400 Tabel 4.5 Komposisi padatan CuOTiO 2 Senyawa Massa C Cl TiO 2 CuO 7,75 2,33 85,64 4,29 Spektrum EDX memperlihatkan munculnya puncak Ti dan Cu pada kristal CuOTiO 2 . Puncak Ti ditunjukkan dengan warna hijau, sedangkan puncak Cu ditunjukkan dengan warna merah. Hasil analisis berdasarkan EDX, diketahui massa CuO yang terdapat pada kristal CuOTiO 2 adalah 4,29. Hal ini berbeda dengan massa CuO acuan pada saat sintesis kristal CuOTiO 2 . Massa CuO yang ditambahkan sebesar 5 dari berat keseluruhan. Terdapatnya perbedaan massa dikarenakan sebagian kecil logam Cu berkurang pada saat proses sintesis. Dari data EDX juga menunjukkan bahwa masih adanya unsur karbon dalam kristal CuOTiO 2 . Hal ini disebabkan pada saat akan dilakukan kalsinasi padatan belum kering. Maka senyawa organik dari reaktan pada saat sintesis tidak terdekomposisi sempurna. Berdasarkan hasil karakterisasi nanokatalis CuOTiO 2 didapatkan informasi bahwa kristalinitas CuOTiO 2 tidak semakin baik pada penambahan suhu pemanasan. Semakin tinggi suhu menyebabkan fase TiO 2 berubah menjadi rutil dan ukuran kristal yang semakin besar karena terjadinya sintering. Hasil analisis data XRD ditunjukkan terbentuknya fasa rutile pada K-500 dan K-600. Luas permukaan yang semakin besar berbanding terbalik dengan penambahan suhu pemanasan, namun ukuran pori semakin besar seiring dengan semakin tinggi suhu pemanasan. K-400 menunjukkan luas permukaan yang paling besar, namun memiliki rerata jari-jari pori paling kecil, yaitu 36,53 Å. Katalis dengan ukuran pori tersebut dianggap cocok untuk diaplikasikan pada proses oksidasi fenol karena tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil untuk menyerap molekul fenol yang berukuran 6 Å. Analisis menggunakan SEM-EDX menunjukkan bahwa morfologi kristal K-400 masih belum homogen.

4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuOTiO

2 untuk Degradasi Fenol Limbah fenol yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah fenol sintetis dengan konsentrasi fenol 100 ppm. Kandungan fenol tersisa diketahui dengan uji spektrofotometer menggunakan metode adisi standar. Proses degradasi limbah fenol dengan nanokatalis CuOTiO 2 menggunakan gas oksigen sebagai zat pengoksidasi. Katalis yang digunakan dalam proses ini adalah K-400. Pengambilan sampel dilakukan pada saat proses proses degradasi dengan waktu yang bervariasi. Sebelum pengukuran kadar fenol sisa, kompleks fenol diukur panjang gelombang maksimumnya. Berdasarkan data penelitian diperoleh absorbansi maksimum kompleks fenol pada panjang gelombang maksimum 507 nm. Hasil analisis kadar fenol tersisa bergantung waktu disajikan dalam Tabel 4.6 dan Gambar 4.5. Tabel 4.6 Analisis kadar fenol sisa degradasi menggunakan katalis CuOTiO 2 Sampel Absorbansi Kadar fenol sisa ppm D 8 menit A 1 0.034 10.625 36.25 A 2 0.05 15 menit A 1 0.03 7.895 52.632 A 2 0.049 30 menit A 1 0.029 7.25 56.5 A 2 0.049 50 menit A 1 0.021 6.563 60.625 A 2 0.037 110 menit A 1 0.032 9.412 43.529 A 2 0.049 155 menit A 1 0.033 9.706 41.765 A 2 0.05 Sebelum A 1 0.04 16.667 A 2 0.052 Keterangan : A 1 = Absorbansi cuplikan sampel A 2 = Absorbansi cuplikan sampel+standar D = fenol terdegradasi Gambar 4.5 Kurva persentase degradasi berbanding waktu degradasi Hasil pengukuran kadar fenol tersisa dalam proses degradasi fenol menggunakan nanokatalis CuOTiO 2 menunjukkan waktu optimum pada saat t=50 menit yaitu sebanyak 60,625. Gambar 4.4 menunjukkan penurunan persentase degradasi pada t=110 menit. Hal ini kurang sesuai dengan teori bahwa semakin lama waktu degradasi, maka semakin banyak persentase degradasi yang diperoleh. Waktu optimum proses degradasi didapat dari data persentase degradasi yang tidak mengalami perubahan signifikan dengan bertambahnya waktu proses. Ketidaksesuaian ini diakibatkan oleh fenol yang telah jenuh oleh CuOTiO 2 , maka pemisahan fenol dengan CuOTiO 2 menjadi lebih sukar. Larutan yang jenuh mempengaruhi proses pembacaan absorbansi pada sampel. Pada saat pengukuran sampel juga dijumpai kesulitan yaitu pengaturan pH agar homogen pada setiap 10 20 30 40 50 60 70 50 100 150 D e g rad asi waktu degradasi menit OO H O C 6 H 4 H C 6 H 4 OH + OH C 6 H 4 OOH + O H C 6 H 4 OH C 6 H 4 H + CuOTiO 2 C 6 H 4 H O + H CuOTiO 2 sampel. Hal ini juga mempengaruhi kelinieran absorbansi fenol sisa bergantung waktu. Pada proses oksidasi katalitik telah diketahui bahwa terjadi reaksi radikal bebas di permukaan katalis Eftaxias, 2002. Menurut Wu et al. 2003, mekanisme radikal pada proses oksidasi katalitik fenol adalah sebagai berikut: Pada mekanisme tersebut, C 6 H 4 •H=O adalah radikal penoksi dan C 6 H 4 HO —OO• adalah radikal peroksi. Aktivasi kedua radikal diinisiasi dari reaksi antara fenol, oksigen dan katalis. Menurut Gates 1991 dalam Wu et al. 2003, pada proses dimana logam transisi memudahkan radikal bebas pada reaksi, kemungkinan logam bereaksi secara cepat dengan polutan organik.

4.4 Analisis Senyawa Hasil Degradasi Fenol