SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOKATALIS CuOTiO2 YANG DIAPLIKASIKAN PADA PROSES DEGRADASI LIMBAH FENOL (2)
i
SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOKATALIS
CuO/TiO
2YANG DIAPLIKASIKAN PADA PROSES
DEGRADASI LIMBAH FENOL
tugas akhir 2
disusun dalam rangka penyelesaian Studi Strata 1 untuk memperoleh gelas Sarjana Sains
Oleh
Mastuti Widi Lestari 4350407040
Kimia S1
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
(2)
ii
Sidang Panitia Ujian Tugas Akhir II Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
Semarang, November 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Subiyanto H.S., M.Si. Ir. Sri Wahyuni, M.Si.
(3)
iii
berjudul: Sintesis dan Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 yang Diaplikasikan
Pada Proses Degradasi Limbah Fenol di susun oleh:
nama : Mastuti Widi Lestari NIM : 4350407040
Benar-benar hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam Tugas Akhir II ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, November 2012 Penulis
Mastuti Widi Lestari NIM. 4350407040
(4)
iv
Proses Degradasi Limbah Fenol‖di susun oleh: nama : Mastuti Widi Lestari
NIM : 4350407040
telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Tugas Akhir II FMIPA UNNES pada tanggal
Panitia Ujian,
Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Wiyanto, M.Si. Dra. Woro Sumarni, M. Si. NIP. 19631012 198803 1 001 NIP. 19650723 199303 2 001 Ketua Penguji
Harjito, S.Pd, M.Sc.
NIP. 19720623 200501 1 001
Anggota Penguji/ Anggota Penguji/
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Subiyanto H.S., M.Si. Ir. Sri Wahyuni, M.Si.
(5)
v
A warrior of light knows that the ends do not justify the means, because there are no ends, there are only means. (Paulo Coelho)
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini ku persembahkan untuk kedua orang tuaku yang tak hentinya mendoakanku.
(6)
vi
SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir II dengan judul Sintesis dan Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 yang Diaplikasikan Pada Proses Degradasi Limbah
Fenol.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik dalam penelitian maupun penyusunan Tugas Akhir II. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
2. Ketua Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
3. Bapak Drs. Subiyanto H.S., M.Si., dosen pembimbing I yang telah memberikan ilmu, petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga Tugas Akhir II ini dapat terselesaikan.
4. Ibu Ir. Sri Wahyuni, M.Si., dosen pembimbing II yang telah memberikan motivasi, bimbingan, pengarahannya dan bantuan baik materiil maupun spiritual sehingga Tugas Akhir II ini menjadi lebih baik.
5. Bapak Harjito, S.Pd., M.Sc., penguji utama yang telah memberikan pengarahan, motivasi dan bimbingan dalam penyusunan Tugas Akhir II ini.
(7)
vii ini berjalan lancar.
8. Nani Maharani dan Binar Panunggal serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan motivasi .
9. Sahabat-sahabat kimia angkatan 2007 yang sebagai teman bertukar pikiran sekaligus motivator dalam penyelesaian Tugas Akhir II ini.
10. Seluruh teknisi laboratorium kimia UNNES yang dengan kesabaran memberi fasilitas selama penelitian.
11. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penyusunan Tugas Akhir II ini.
Demikian ucapan terima kasih dari penulis, mudah-mudahan Tugas Akhir II ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan konstribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia penelitian.
Semarang, November 2012
(8)
viii
Jurusan Kimia, Program Studi Kimia, Fakultas Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Subiyanto H.S., M.Si., Pembimbing II: Ir. Sri Wahyuni, M.Si.
Kata kunci : CuO/TiO2, degradasi fenol.
Telah dilakukan sintesis katalis berukuran nanometer CuO/TiO2 dengan metode
sol-gel dimodifikasi menggunakan Polietilen Glikol (PEG). CuO/TiO2 yang telah
disintesis dan dikarakterisasi kemudian diaplikasikan untuk degradasi fenol. CuO/TiO2 disintesis dengan variasi temperatur kalsinasi, yaitu 400°C, 500°C dan
600°C, yang kemudian diberi nama K-400, K-500 dan K-600. Data XRD menunjukkan bahwa 400 menunjukkan fasa anatase sedangkan 500 dan K-600 terdapat puncak rutil. Perhitungan ukuran partikel dari data XRD menunjukkan masing-masing ukuran CuO/TiO2, yaitu 6,89 nm, 17,716 nm dan
41,877 nm. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur kalsinasi menyebabkan kenaikan ukuran partikel dan terbentuknya fasa rutil. Karakterisasi menggunakan metode BET menunjukkan masing-masing luas permukaan CuO/TiO2 yaitu, 89,2 m2/g, 76,87 m2/g dan 29,94 m2/g. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi temperatur kalsinasi akan mengurangi luas permukaan CuO/TiO2. Dari hasil karakterisasi menggunakan XRD dan BET maka dipilih
K-400 untuk diaplikasikan sebagai katalis. K-K-400 dikarakterisasi dengan SEM-EDX menunjukkan bahwa morfologi kristal yang terbentuk tidak homogen dan masih terdapat unsur karbon yang berasal dari reaktan pada saat sintesis. Uji aktifitas katalis pada degradasi fenol menunjukkan waktu optimum degradasi pada t=50 menit dengan persentase degradasi 60,625%. Proses degradasi dilakukan menggunakan oksigen sebagai zat pengoksidasi pada reaktor slurry. Hasil analisis
GC-MS menunjukkan terbentuknya senyawa 2-propanon yang diduga merupakan hasil oksidasi dari fenol.
(9)
ix
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Permasalahan... 3
1.3.Tujuan Penelitian ... 4
1.4.Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Fenol ... 5
2.2 Pengolahan Limbah Fenol dengan Degradasi ... 7
2.3 Proses Degradasi Katalitik Limbah Fenol... 10
2.4 Katalis ... 12
2.5 Nanopartikel CuO/TiO2 untuk Proses Degradasi ... 14
2.6 Pengukuran Kadar Fenol Menggunakan Spektrofotometer UV-Visible ... 16
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 18
3.1 Populasi dan Sampel ... 18
3.2 Variabel Penelitian ... 18
(10)
x
3.3.1.1 Bahan ... 19
3.3.1.2 Alat ... 19
3.4 Cara Kerja ... 20
3.4.1 Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 secara Sol-Gel Modifikasi ... 20
3.4.2 Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 ... 21
3.4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2 ... 21
3.4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori CuO/TiO2 ... 21
3.4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2 ... 22
3.4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO2 untuk Degradasi Fenol ... 23
3.4.4 Pengujian Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar .. 23
BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 26
4.1 Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 secara Sol-Gel Modifikasi ... 26
4.2 Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 ... 27
4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2 ... 28
4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari Pori dan Volume Pori CuO/TiO2 ... 30
4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2 ... 31
4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO2 untuk Degradasi Fenol ... 35
4.4 Analisis Senyawa Hasil Degradasi Fenol ... 38
BAB 5. PENUTUP ... 40
5.1 Kesimpulan ... 40
5.2 Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
(11)
xi
2.2 Reaksi oksidasi fenol... 9
2.3 Struktur kristal CuO ... 14
2.4 Struktur fase Kristal TiO ... 15
2.5 Reaksi pengompleksan fenol dan 4-aminoantipirin ... 17
3.1 Rangkaian alat proses oksidasi katalitik ... 20
4.1 Pola difraksi sinar-X CuO/TiO2 ... 28
4.2 Foto SEM K-400 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali ... 32
4.3 Foto SEM CuO/TiO2 dalam Manivel et al.,2010 dengan perbesaran 3000 kali ... 32
4.4 Spektrum EDX K-400 ... 33
4.5 Kurva persentase degradasi berbanding waktu degradasi ... 36
4.6 Kromatogram senyawa hasil degradasi fenol ... 38
(12)
xii
4.1 Perubahan warna dan kenampakan CuO/TiO2 berdasarkan perlakuan
temperatur kalsinasi ... 27
4.2 Komposisi fase kristal TiO2 pada CuO/TiO2 ... 29
4.3 Ukuran partikel kalsinasi CuO/TiO2 dari analisis XRD ... 30
4.4 Hasil karakterisasi luas permukaan spesifik, rerata jari-jari pori dan volume total CuO/TiO2 ... 31
4.5 Komposisi padatan CuO/TiO2... 33
4.4 Analisis kadar fenol sisa degradasi ... 36
(13)
xiii
2. Hasil Karakterisasi Menggunakan XRD ... 55
3. Perhitungan Ukuran Kristal... 58
4. Hasil Karakterisasi Menggunakan BET ... 60
5. Hasil Karakterisasi Menggunakan SEM-EDX... 66
6. Perhitungan Kadar Fenol Sisa Degradasi ... 68
7. Hasil Analisis Fenol Sisa Degradasi Menggunakan GC-MS ... 70
(14)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Aktivitas perindustrian yang semakin pesat menghasilkan berbagai jenis limbah logam berat dan organik yang dapat menjadi permasalahan serius bagi kesehatan dan lingkungan (Slamet et al., 2005). Limbah yang mengandung
senyawa beracun tidak dapat digunakan kembali secara ekonomi dan pada banyak hal, pengolahan secara biologis tidak dapat dilakukan karena limbah tidak
biodegradable (Sadana dan Katzer; dalam Massa et al., 2004).
Komponen-komponen organik yang berbahaya diantaranya adalah fenol yang terdapat dalam limbah cair sebagai hasil buangan dari industri penyulingan minyak bumi, gas, farmasi, tekstil, dan industri rumah tangga. Limbah fenol berbahaya karena merupakan limbah organik yang termasuk dalam kategori Bahan Berbahaya Beracun (B3) (Swantomo et al., 2009). Senyawa ini dapat
dikatakan aman bagi lingkungan jika konsentrasinya berkisar antara 0,5 s.d 1,0 mg/L sesuai dengan KEP No.51/MENLH/10/1995 dan ambang batas fenol dalam air baku air minum adalah 0,002 mg/L seperti dinyatakan oleh BAPEDAL (Slamet et al., 2005).
Beberapa metode telah dilakukan untuk pengolahan limbah; recovery, pengabuan, adsorbsi, pengolahan secara biologis dan oksidasi kimia. Oksidasi senyawa organik dalam katalis padat telah dikembangkan. Senyawa organik dapat diubah menjadi karbondioksida dan air pada temperatur dan tekanan yang relatif
(15)
rendah melalui proses oksidasi katalitik (Stuber et al., 2001). Sebagai oksidator,
digunakan gas seperti oksigen, ozon, H2O2, permanganat, klorin dan hipoklorit
pada tekanan atmosfer dan diatas tekanan atmosfer pada beberapa katalis seperti mangan oksida (Hamilton et al.; dalam Harmankaya dan Gündüz, 1998).
Perkembangan penggunaan katalis untuk proses oksidasi katalitik masih belum memuaskan. Seperti misalnya, katalis yang digunakan untuk mengoksidasi hanya bekerja pada konsentrasi rendah dalam media encer dan tidak dapat dipisahkan pada akhir proses (Sadana dan Katzer; dalam Massa et al., 2004).
Umumnya katalis yang digunakan adalah katalis heterogen. Katalis heterogen yang digunakan biasanya dalam bentuk logam murni atau oksidanya. Kesulitan yang sering dijumpai dalam penggunaan katalis logam murni antara lain memiliki stabilitas termal yang rendah dan mudah mengalami penurunan luas permukaan akibat pemanasan dan sintering. Hal inilah yang mendorong untuk memperbaiki kinerja dan mengatasi kelemahan katalis logam murni dengan mendispersikan komponen logam pada pengemban yang memiliki luas permukaan besar. Pemakaian pengemban dapat memperpanjang waktu pakai katalis dan luas permukaan pengemban yang besar akan meningkatkan dispersi logam. Pengemban yang sering digunakan adalah senyawa logam transisi (Sariman; dalam Wardhani, 2009).
Katalis heterogen berbasis tembaga oksida seperti CuO/Al2O3 mempunyai
kemampuan yang luar biasa dalam proses oksidasi fenol dan beberapa senyawa berbahaya lainnya (Luna et al., 2009). Pada temperatur 160-250oC, tembaga
(16)
dapat bertambah jika dicampur dengan Co, Zn dan Ti (Pintar dan Levec, 1992; dalam Silva et al., 2003). Dari pernyataan tersebut, akan dilakukan penelitian
yang bertujuan mensintesis nanokatalis CuO/TiO2 dengan menambahkan larutan
polimer Polyethylene Glycol (PEG). PEG berfungsi sebagai zat pendispersi.
Katalis yang disintesis diharapkan mampu menghasilkan katalis dengan luas permukaan yang besar dan dapat diaplikasikan untuk degradasi limbah fenol. Kelebihan dari metode ini adalah prosesnya yang tidak rumit, tidak membutuhkan waktu yang lama dan ukuran kristal mencapai nanometer (1-100 nm).
Katalis dengan kristalinitas yang baik dan luas permukaan yang besar diperoleh dengan melakukan variasi terhadap temperatur pemanasan. Variasi temperatur dilakukan untuk mendapatkan karakter kristal terbaik. Apabila temperatur kalsinasi terlalu rendah, maka PEG tidak akan terdekomposisi sempurna sehingga menjadi pengotor bagi kristal yang dihasilkan. Sedangkan temperatur yang terlalu tinggi, menyebabkan hilangnya sebagian komponen penyusun kristal, dalam hal ini CuO dan TiO2. Untuk mengetahui perbandingan
komposisi CuO dan TiO2 pada katalis maka perlu diuji menggunakan SEM-EDX.
Kristalinitas yang baik, luas permukaan yang besar dan komposisi antara CuO dan TiO2 yang sesuai, diharapkan mampu diperoleh hasil degradasi fenol yang baik
pula.
1.2
Perumusan Masalah
Beberapa hal penting yang ingin diketahui dari degradasi dengan katalis CuO/TiO2 adalah :
(17)
1. Bagaimana pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakter kristal yang dihasilkan?
2. Berapa pengaruh variasi waktu degradasi limbah fenol menggunakan katalis CuO/TiO2 terhadap konsentrasi fenol sisa.
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh variasi temperatur kalsinasi CuO/TiO2 terhadap
karakter kristalnya.
2. Mengetahui pengaruh waktu degradasi terhadap konsentrasi fenol tersisa dari proses degradasi menggunakan katalis CuO/TiO2.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi mengenai cara sintesis nanokatalis CuO/TiO2
dengan menggunakan larutan polimer.
2. Memberikan informasi mengenai pengaruh variasi temperatur kalsinasi CuO/TiO2 terhadap karakteristik kristal.
3. Memberikan informasi mengenai proses degradasi katalitik limbah fenol menggunakan katalis padat.
(18)
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fenol
Pencemaran lingkungan karena adanya limbah perlu mendapat perhatian serius, salah satunya pencemaran perairan yang disebabkan oleh limbah cair. Limbah cair mengandung logam berat dan senyawa aromatik. Pada konsentrasi tertentu, limbah ini dapat merusak ekosistem perairan. Industri di bidang farmasi, petrokimia, tekstil, cat dan pestisida menghasilkan limbah yang mengandung senyawa organik, salah satunya adalah fenol (Wardhani, 2009). Dalam industri tekstil, fenol terdapat dalam zat warna sebagai senyawa organik tidak jenuh. Zat warna tekstil merupakan gabungan dari senyawa organik tidak jenuh, kromofor dan auksokrom (Sari, 2011).
Fenol adalah senyawa aromatik yang mengandung gugus hidroksi yang terikat pada cincin benzena. Pada keadaan murni, fenol berbentuk padatan putih. Rumus molekul fenol adalah C6H5OH, mempunyai berat molekul 94,12 g/mol,
densitas 1,0576 g/cm3 pada 20°C dan kelarutannya dalam air 87 g/L pada 25°C (Baron; dalam Sari, 2011). Senyawa fenol mempunyai titik didih yang tinggi karena adanya ikatan hidrogen. Titik leleh fenol sebesar 43°C sedangkan titik didihnya yaitu 182°C. Fenol larut dalam air tetapi sebagian besar turunan fenol tidak larut dalam air (Ruswiyanto; dalam Astutik, 2010). Dalam Prabowo dan Wijayanto (2010), disebutkan bahwa ukuran molekul fenol adalah 6Å.
(19)
memiliki sifat yang cenderung asam artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O
-yang dapat dilarutkan dalam air dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya. Sifat asam fenol dapat dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH. Fenol dapat melepaskan H+ pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak
dapat bereaksi seperti itu (Fessenden dan Fessenden, 1992).
Gambar 2.1. Struktur Fenol (Fessenden dan Fessenden, 1992) Jumlah fenol yang besar dalam air dapat menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut sehingga fenol disebut polutan. Akibat berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam sistem perairan, akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas lagi, misalnya menganggu ekosistem kehidupan hewan dan tumbuhan dalam air, juga dapat mematikan secara langsung bakteri aerob (Baron; dalam Sari, 2011).
Senyawa fenol dapat memberikan efek yang buruk terhadap manusia pada konsentrasi tertentu, antara lain berupa kerusakan hati dan ginjal, penurunan tekanan darah, pelemahan detak jantung, hingga kematian. Senyawa ini dapat dikatakan aman bagi lingkungan jika konsentrasinya berkisar antara 0,5 s.d 1,0 mg/L sesuai dengan KEP No.51/MENLH/ 10/1995 dan ambang batas fenol dalam baku air minum adalah 0,002 mg/L seperti dinyatakan oleh BAPEDAL (Slamet et al., 2005).
(20)
2.2
Pengolahan Limbah Fenol dengan Degradasi
Pada tahun-tahun terakhir, banyak dilakukan solusi pengolahan limbah fenol agar dapat dibuang ke saluran umum dengan aman. Metode pengolahan limbah cair secara umum dibagi menjadi tiga, pengolahan secara biologi, fisika dan secara kimia. Pengolahan limbah secara biologi yang sering digunakan adalah pengolahan limbah dengan lumpur aktif. Pengolahan limbah secara fisik, meliputi flotasi, filtrasi, aerasi, ozonisasi dan membran. Sedangkan pengolahan limbah secara kimia, meliputi penukaran ion, elektrolisis, adsorpsi, UV dan oksidasi (Sari, 2009). Pengolahan limbah fenol secara biologi tidak dapat dilakukan apabila fenol dalam konsentrasi tinggi sedangkan pengolahan limbah secara fisika membutuhkan biaya yang relatif mahal, proses operasi yang sukar dan membutuhkan tenaga yang besar. Maka dari itu, dipilih pengolahan limbah fenol secara kimiawi.
Pengolahan limbah kimiawi secara oksidasi memberikan solusi alternatif saat konsentrasi fenol yang terkandung dalam limbah tinggi dan senyawa harus diolah pada suhu yang tinggi. Proses oksidasi kimiawi dimaksudkan untuk mendegradasi senyawa fenol menjadi CO2 dan H2O yang lebih ramah lingkungan.
Maka dari itu, dapat juga disebut sebagai proses degradasi. Merujuk pada Harmankaya-Gunduz (1998), proses oksidasi dilakukan dengan mereaksikan senyawa organik dengan oksigen sebagai sumber oksidan. Sumber oksidan lain dapat berupa ozon, H2O2, permanganat, klorin dan hipoklorit.
Menurut Devlin dan Harris dalam Luna et al. (2009), degradasi fenol
(21)
ini kemudian teroksidasi selama proses reaksi untuk menghasilkan senyawa organik seperti quinon, aldehida dan keton. Asam-asam organik, CO2 dan produk
polimerisasi biasanya terbentuk pada akhir reaksi. Devlin dan Harris telah melakukan analisis menyeluruh baik untuk mengindentifikasi senyawa intermediet yang terbentuk dan juga untuk mengemukakan jaringan reaksi oksidasi fenol, yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Proses oksidasi senyawa organik membutuhkan waktu yang panjang (sekitar 1 jam), temperatur yang relatif tinggi (200-450°C) dan tekanan yang besar (70-250 atm) (Meytal-Sheintuch, 1998). Dalam studi tentang proses oksidasi fenol, terdapat dua keadaan yang berbeda, yaitu keadaan induksi dan keadaan tetap (steady state). Lamanya keadaan induksi diketahui bergantung pada kondisi
proses, seperti termperatur, tekanan parsial oksigen dan penambahan katalis. Penambahan parameter-parameter tersebut dapat menurunkan lama waktu saat keadaan induksi (Harmankaya-Gunduz, 1998) dan selektivitas dari pembentukan CO2 dapat dipengaruhi oleh tipe katalis dan kondisi operasional (Katzer et al.;
(22)
Gambar.2.2. Reaksi oksidasi fenol (Devlin dan Harris; dalam Eftaxias (2002)
fenol
katekol hidrokuinon
o-benzokuinon
p-benzokuinon asam propanoat
asam suksinat asam mukonat
asam 2,5-diokso-3-heksenadionat
1,4-diokso-2-butena
asam 4-okso-2-butenoat
asam maleat
asam akrilik
asam 3-hidroksi-propanoat
asam 3-okso-propanoat
asam malonat
asam asetat asam oksalat
asam glioksilat glioksal
(23)
Katalis telah diterapkan dalam proses proses oksidasi senyawa organik, namun perkembangannya belum optimal. Laju reaksi relatif lambat karena belum ditemukan katalis padat yang cocok dan mampu beroperasi secara stabil. Selain itu, proses tersebut mahal apabila digunakan untuk mencapai oksidasi sempurna senyawa organik menjadi CO2 dan H2O, maka diperlukan alternatif oksidasi
parsial agar dapat diolah lebih lanjut menggunakan metode lain (misalnya secara biologi) (Hamilton et al.; dalam Harmankaya-Gunduz, 1998). Penambahan katalis
yang cocok sangat membantu untuk memperlunak kondisi operasi selama proses oksidasi limbah fenol.
2.3
Proses Degradasi Katalitik Limbah Fenol
Proses degradasi katalitik sering disebut sebagai proses oksidasi katalitik, atau CWAO (Catalytic Wet Air Oxidation). Oksidasi katalitik membutuhkan
energi yang lebih rendah dan dapat mempercepat laju reaksi dibandingkan oksidasi non-katalitik. Proses oksidasi katalitik juga fleksibel digunakan untuk berbagai pengolahan polutan organik maupun anorganik, seperti nitrogen (N), halogen (X), belerang (S) dan fosfor (P). Selain itu, katalis yang digunakan dapat diregenerasi (Golestani et al., 2011).
Mekanisme reaksi oksidasi katalitik senyawa fenol telah dipelajari dalam bentuk senyawa murni. Fenol dapat didegradasi walaupun prosesnya diikuti pembentukan sejumlah senyawa intermediet. Distribusi senyawa intermediet yang mirip satu sama lain ditunjukkan pada kehadiran katalis padat. Pembentukan katekol, hidrokinon, asam maleat dan asam oksalat terjadi pada proses
(24)
menggunakan katalis tembaga oksida (Eftaxias, 2002).
Katalis yang biasa digunakan dalam proses ini adalah katalis heterogen. Katalis heterogen yang telah digunakan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu logam mulia berpenyokong, oksida logam, dan karbon aktif. Katalis logam mulia meliputi Pt, Pd, Ru dan Ag dengan berpenyangga TiO2, γ-Al2O3, MnO2, CeO2 dan
ZrO2. Sedangkan katalis oksiga logam meliputi CuO, CoO, Cr2O3, MnO2, Fe2O3,
ZnO dan TiO2 (Luna et al., 2009). Pada aplikasinya, katalis logam mulia biasanya
lebih stabil, namun dari segi ekonomi, katalis ini cenderung mahal. Katalis oksida logam cukup efisien dalam proses degradasi katalitik, namun memiliki ketidaksempurnaan yaitu komponen aktif biasanya dapat terlepas dari katalis dikarenakan kondisi pada saat reaksi (Pestunova, 2003). Pada Tabel 2.1, ditunjukkan penelitian mengenai proses degradasi katalitik senyawa fenol dengan menggunakan berbagai katalis.
(25)
Tabel 2.1. Penelitian oksidasi katalitik senyawa fenol
Peneliti Katalis yang Digunakan Hasil Harmankaya
dan Gunduz, 1998
Pestunova et al.,
2003
Wardhani, 2009
Golestani et al.,
2011
Membandingkan keaktifan lima katalis yaitu :
- CuO-ZnO/Al2O3 - CuO/Al2O3 - CuO/Silika gel - MnO2
- V2O5
Membandingkan katalis logam murni Fe, Mn dan Cu masing-masing
berpenyangga α-Al2O3, TiO2 dan CeO2
ZnO/Zeolit Alam
Komposit MnO2/CeO2
Katalis CuO-ZnO/Al2O3 adalah katalis yang paling aktif. Laju reaksi pada periode induksi meningkat seiring dengan bertambahnya waktu.
Sumber oksidan adalah H2O2. Katalis Cu adalah katalis yang paling aktif. Namun katalis Fe
berpenyangga α-Al2O3 cukup aktif, paling selektif pada pembentukan CO2.
Konsentrasi maksimum ZnO yang terdopan pada zeolit adalah 4,67 mmol/gram dengan 36,57 % fenol terdegradasi.
Oksidasi katalitik dalam fixed bed
dengan temperature 80°C dan tekanan 0,5 MPa, mendegradasi fenol sebesar 62,3 %.
2.4
Katalis
Katalis adalah substansi yang dapat meningkatkan laju reaksi pada suatu reaksi kimia yang mendekati kesetimbangan namun tidak terlibat secara permanen dalam reaksi tersebut (Agustine, 1996). Jadi reaksi katalitik adalah reaksi yang mengalami perubahan laju reaksi yang disebabkan oleh keberadaan katalis. Katalis yang memperlambat laju reaksi disebut sebagai inhibitor (Triyono, 2002).
Katalis hanya mempercepat reaksi, tidak memulai reaksi yang secara termodinamika tidak dapat berlangsung. Entalpi reaksi dan juga faktor-faktor termodinamika yang lain hanya merupakan keadaan alami dari reaktan dan produk sehingga tidak dapat berubah oleh adanya katalis. Faktor kinetik yang
(26)
dipengaruhi oleh katalis adalah laju reaksi, tenaga pengaktifan dan keadaan transisi (Triyono, 2002). Katalis juga mampu memperbesar kemungkinan terjadinya tumbukan efektif antara molekul reaktan, karena molekul-molekul reaktan akan teradsorpsi pada permukaan aktif katalis sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan antar molekul-molekul reaktan akan semakin besar (Ulyani, 2008).
Menurut Suwanprasop (2005), proses keseluruhan reaksi katalitik dibagi menjadi tujuh, meliputi : (1) Difusi reaktan melalui batas layer pada permukaan katalis. (2) Difusi reaktan ke dalam pori-pori. (3) Adsorpsi reaktan pada permukaan dalam pori-pori katalis. (4) Reaksi kimia pada permukaan katalis. (5) Desorpsi produk dari permukaan katalis. (6) Difusi produk keluar dari pori-pori. (7) Difusi produk menjauh dari katalis melalui batas layer dari katalis menjadi fase gas.
Komponen aktif merupakan pusat aktif katalis yang berfungsi untuk mempercepat dan mengarahkan reaksi yang berhubungan dengan aktivitas dan selektivitas. Sedangkan pengemban memberikan tiga fungsi yang penting pada sistem katalis. (1) menambah luas permukaan dari logam atau oksida logam dengan menyediakan matriks yang memungkinkan penyebarannya sebagai partikel yang sangat kecil. (2) mencegah sintering pada material katalis aktif, menambah sifat hidrofobik dan kondisi termal, hidrolitis, dan stabilitas kimia. (3) Kestabilan penyangga akan sangat mempengaruhi umur katalis (Meytal dan Sheintuch, 1998).
(27)
proses oksidasi katalitik memiliki sifat sebagai berikut : 1) Menghasilkan tingkat oksidasi yang tinggi,
2) Non-selektif dan menunjukkan oksidasi lengkap,
3) Stabil secara fisik dan kimiawi dalam larutan asam yang panas,
4) Mempertahankan aktivitas yang tinggi untuk penggunaan jangka panjang dan insensitif terhadap racun dalam aliran,
5) Kuat secara mekanik dan tahan erosi.
2.5
Nanopartikel CuO/TiO
2untuk Proses Degradasi
Tembaga mempunyai dua macam oksida yang telah diketahui yaitu tenorite (CuO) dan cuprite (Cu2O). Keduanya termasuk dalam semikonduktor tipe –p (Johan et al., 2011). CuO adalah senyawa semikonduktor dengan struktur
monoklinik. CuO merupakan anggota paling sederhana senyawa tembaga dan menunjukkan berbagai sifat fisik yang berguna seperti superkonduktivitas suhu tinggi, efek korelasi elektron dan dinamika putar. Sebagai semikonduktor tipe-p, CuO telah digunakan dalam banyak aplikasi seperti dalam gas sensor, katalis, baterai, superkonduktor suhu tinggi, konversi energi surya dan bidang emisi (Ghane et al., 2010). Gambar 2.3 menunjukkan struktur kristal CuO.
(28)
Dalam Wang (2006), CuO murni adalah sebuah padatan hitam dengan kepadatan 6,4 g/cm3, mempunyai titik leleh yang tinggi yaitu 1330°C dan tidak larut dalam air.
Titanium dioksida (TiO2) adalah senyawa yang tersusun atas ion Ti4+ dan
O2 dalam konfigurasi oktahedron. Kristal TiO2 mempunyai tiga macam bentuk
yang telah dikenal, yaitu rutil, anatase, dan brukit, tetapi hanya rutil dan anatase yang mudah diamati di alam sedangkan brukit sulit diamati karena tidak stabil (Wijaya et al., 2006). Fase brukit dan anatase berubah menjadi rutil ketika sampel
dikalsinasi pada suhu yang tinggi. Akan tetapi, brukit dan anatase dapat stabil pada temperatur tinggi jika terdapat dopan pada saat sintesisnya, yang juga berguna untuk menghindari berubah menjadi fase rutil (Fransisco dan Mastelaro, 2002). Jenis struktur yang berbeda berpengaruh pada perbedaan massa jenis (3,9 g/cc untuk anatase dan 4,2 g/cc untuk rutil), dan hal ini berpengaruh pada luas permukaan dan sisi aktif dari TiO2 tersebut (Arutanti et al., 2009). Gambar 2.4
menunjukkan struktur kristal fase-fase TiO2.
Gambar 2.4 Struktur Fase Kristal TiO2 (Morales, 2007)
Anatase
(29)
TiO2 dalam bidang industri berperan sebagai pigmen, adsorben,
pendukung katalitik, dan semikonduktor. Senyawa ini mempunyai banyak kelebihan, antara lain nontoksik, stabil, nonkorosif, dan ramah lingkungan (Wijaya et al., 2006).
Nanokatalis CuO/TiO2 telah diaplikasikan dalam beberapa penelitian. Lee et al. (2002) mensintesis tembaga oksida tersupport TiO2 dengan metode sol-gel
kemudian diaplikasikan pada proses pembakaran benzena. CuO yang tersebar pada permukaan TiO2 berperan sebagai situs aktif pada dekomposisi oksidatif
benzena. Aktifitas katalitik meningkat pada katalis yang mengandung TiO2
-anatase. Dalam penelitian Slamet et al. (2007) hasil karakterisasi XRD CuO/TiO2
pada peak2θ=35,6° menunjukkan fase CuO dimana prekursor Cu yang digunakan
adalah Cu-Asetat dan Cu-Nitrat. Secara fotokatalitik, katalis CuO/TiO2
mempunyai kemampuan mendegradasi fenol lebih baik dibandingkan hanya TiO2
yaitusebesar 97,18%, sedangkan pada TiO2 sebesar 93,81%.
2.6 Pengukuran Kadar Fenol Menggunakan Spektrofotometer
UV-
Visible
Pengukuran kadar fenol secara spektrofotometer UV-Vis menggunakan 4-aminoantipirin sebagai zat pengompleks. Prinsip kerjanya adalah semua fenol dalam air akan bereaksi dengan 4-aminoantipirin pada pH 7,9±0,1 dalam suasana larutan kalium ferisianida dan akan membentuk warna kecoklatan dari antipirin (SNI 06-6989.21-2004 Cara Uji Fenol secara spektrofotometri). Menurut Kidak dan Ince; dalam Lestari (2011) reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
(30)
N N CH3
C6H5
O H2N
H3C
OH
OH
-[Fe(AMPH)6] 3-
+ CN -C6H5
CH3 N N O N CH3 O -+
Amino antipirin Phenol [AMPH]
-
(Amino antipirin phenol) [Fe(CN)6]
+ 6[AMPH]
-Amino antipirin Fe3+
Gambar 2.5 Reaksi Pengompleksan fenol dan 4-aminoantipirin
Sebelum pengukuran kadar fenol sisa, kompleks fenol diukur panjang gelombang maksimumnya.
Dalam Ali dan Siew (2006), untuk menghitung persentase degradasi (%D) digunakan persamaan:
% = 0−
0
. 100%
dengan C0 adalah pada saat 0 menit (mula-mula) dan Ct adalah konsentrasi pada
(31)
18
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah larutan fenol yang telah mengalami proses degradasi katalitik. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah cuplikan dari larutan fenol yang telah mengalami proses degradasi katalitik.
3.2
Variabel Penelitian
3.2.1 Variabel BebasSesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka variabel yang akan dipelajari dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Variasi temperatur kalsinasi yaitu 400°C, 500°C dan 600oC.
2) Variasi waktu proses degradasi limbah fenol dengan katalis CuO/TiO2 yaitu 8
menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit. 3.2.2 Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah :
1. Karakter Kristal CuO/TiO2 yang meliputi tipe kristal, ukuran kristal, luas
permukaan dan bentuk morfologi kristal.
2. Konsentrasi limbah fenol yang berkurang setelah proses degradasi. 3.2.3 Variabel Terkendali
Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah : 1. Waktu pengadukan pada saat sintesis katalis.
(32)
2. Temperatur pada saat proses degradasi limbah fenol dan laju alir gas oksigen.
3.3
Rancangan Penelitian
3.3.1 Bahan dan Alat3.3.1.1 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cu(NO3)2.3H2O p.a
(E.Merck), Titanium Isopropoxide (TiIPP) p.a (Sigma Aldrich, 97%), Polyethilene glycol (PEG) (BM 4000), HCl p.a (E.Merck, 37%), Etanol
p.a (E.Merck, 99%), Fenol p.a (E.Merck), NH3 p.a (E.Merck, 25%),
K2HPO4 p.a(E.Merck), KH2PO4 p.a (E.Merck), 4-aminoantipirin p.a
(E.Merck), K3Fe(CN)6 p.a (E.Merck), larutan Ca(OH)2, aquademin, dan
gas oksigen (PT. Samator Gas). 3.3.1.2 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas (Pyrex), magnetik stirrer (IKAMAG), cawan crus, termometer, hot plate,
oven (Memmert), furnace (Barnstead Thermolyne 1400), X-Ray Diffractometer (XRD) (PANalytical PW3373), Gas Sorption Analyzer NOVA 1000 (Quantachrome), Gas Chromatography-Mass Spectrophotometer (GC-MS) (Shimadzu QP-2010s), Scanning Electron Microscope Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (SEM-EDX) (LEO
(33)
proses oksidasi katalitik limbah fenol ditunjukkan seperti pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Rangkaian alat proses oksidasi katalitik
3.4
Cara Kerja
3.4.1 Preparasi Nanokatalis CuO/TiO2 secara Sol – Gel Modifikasi
Metode preparasi nanokatalis CuO/TiO2 diadaptasi dari penelitian Tuan et al. (2009) dan Liherlinah et al. (2009). Pada gelas kimia A, garam
Cu(NO3)2.3H2O sebanyak 0,76 gram dilarutkan dengan 2,2 ml aquademin. Pada
gelas kimia B, campuran 3,6 ml etanol dan 1,2 ml HCl diaduk selama 30 menit. Kemudian ditambahkan 18,4 ml TiIPP. Campuran diaduk sebentar dan ditambahkan dengan 4,5 ml aquademin. Campuran pada gelas B diaduk selama 1 jam. Larutan pada gelas piala A dimasukan kedalam gelas piala B sambil terus diaduk. Campuran ditambahkan dengan larutan PEG (5 gram dalam 50 ml aquademin). Penambahan PEG dilakukan tetes demi tetes sambil terus diaduk. Hasilnya dituang ke cawan porselin untuk diuapkan ke dalam oven. Setelah
O
2 Air masuk Air keluar Pendingin air termometer Labu leher 3 Penangas air Hotplate stirrer Magnet pengaduk Gas keluar Air kapur Hotplate stirrer Penangas airO
2(34)
kering, campuran dipindahkan ke dalam cawan krus untuk dipanaskan pada suhu 400°C, 500°C dan 600°C selama 2 jam. Padatan CuO/TiO2 yang dihasilkan
dibiarkan dingin kemudian digerus menggunakan lumpang alu sampai halus. 3.4.2 Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2
Nanokatalis CuO/TiO2 yang telah disintesis dikarakterisasi menggunakan
XRD untuk mengetahui fase kristal, kristalinitas dan ukuran kristal, Gas Sorption Analyzer NOVA-1000 untuk mengetahui luas permukaan, rerata jari-jari pori dan
volume pori, dan SEM-EDX untuk melihat morfologi permukaan kristal dan komposisinya.
3.4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2
Fase kristal dan ukuran CuO/TiO2 didapat dari analisis
kromatogram XRD. Penentuan ukuran kristal dilakukan dengan metode persamaan Scherrer :
≈ � � �
dengan D adalah ukuran (diameter) kristalin, λ adalah panjang gelombang sinar-x yang digunakan, θB adalah sudut Bragg, B adalah
FWHM satu puncak yang dipilih dan K adalah konstanta material yang nilainya kurang dari satu. Nilai yang umumnya dipakai untuk K≈0,9
(Abdullah dan Khairurrijal, 2010).
3.4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori Penentuan luas permukaan, rerata jari-jari dan volume pori katalis menggunakan instrumen Sorption Analyzer NOVA 1000 dengan metode
(35)
divakumkan agar tidak ada atom-atom gas yang menempel pada permukaan sampel. Gas dalam jumlah tertentu dialirkan dan menghasilkan tekanan awal P0. Suhu diatur serendah mungkin dan tetap
konstan. Sebagian atom gas lalu menempel pada permukaan sampel (teradsorpsi). Semakin lama jumlah molekul gas yang menempel pada permukaan sampel semakin banyak dan hingga akhirnya seluruh permukaan sampel tertutup penuh oleh molekul gas. Tidak ada molekul gas yang teradsorpsi lebih lanjut sehingga tekanan dalam kamar tidak berubah lagi atau disebut dengan tekanan kesetimbangan (P). Perbedaan tekanan awal (P0) dan tekanan kesetimbangan (P) memberikan
informasi jumlah atom gas yang diadsorpsi permukaan sampel (Abdullah dan Khairurrijal, 2010). Alur perolehan data pengukuran sampel dengan metode BET dan perhitungan data BET dicantumkan dalam lampiran.
3.4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2
Analisis morfologi CuO/TiO2 menggunakan instrumen SEM.
Sedangkan EDX digunakan untuk menentukan persen komposisi Cu pada Titania. CuO/TiO2 yang dikarakterisasi menggunakan SEM-EDX
adalah salah satu dari hasil sintesis CuO/TiO2 dengan variasi temperatur
kalsinasi. Hasil analisis SEM adalah gambar foto kenampakan padatan, sedangkan EDX adalah kurva komposisi penyusun sampel.
Foto kenampakan yang didapat, menunjukkan homogenitas morfologi kristal pada sampel dan adanya sintering yang mungkin
(36)
terjadi. Sedangkan pada kurva komposisi, akan ditunjukkan komposisi persen massa dari CuO dan TiO2. Dari data ini, maka dapat dihitung
massa CuO yang teremban pada TiO2. Pada penelitian diharapkan
adanya sejumlah CuO yang teremban pada TiO2, namun tidak
melampaui batas acuan massa CuO dalam sintesis sebesar 5% dari massa nanokatalis CuO/TiO2.
3.4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO2 untuk Degradasi Fenol
Larutan fenol 100 ppm sebanyak 250 ml ditambah dengan 0,5 gram katalis CuO/TiO2 ditempatkan ke dalam labu leher tiga alas bulat. Campuran diaduk
hingga homogen. Botol berisi larutan Ca(OH)2 dihubungkan pada reaktor labu
alas bulat untuk mengetahui adanya gas CO2 yang terbentuk. Campuran fenol dan
katalis dipanaskan hingga temperatur 70°C. Pada saat temperatur mencapai 70°C, gas oksigen dialirkan dengan kecepatan 200 ml/menit. Pemanasan dilanjutkan hingga suhu 90°C. Reaksi dilakukan dengan variasi waktu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit pada suhu 90°C.Setelah reaksi selesai, campuran dibiarkan dingin dan di-sentrifuge, selanjutnya filtrat sebanyak 10 ml
diencerkan dengan aquademin sampai volume 200 ml. Larutan ini digunakan sebagai sampel pada uji fenol terdegradasi menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.Untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam fenol terdegradasi, filtrat diuji menggunakan GC-MS.
3.4.4 Pengujian Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar Metode adisi standar dilakukan dengan menambahkan larutan standar (Vs)
(37)
terdegradasi pada masing-masing variasi waktu (8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit, 155 menit) diambil 10 ml kemudian ditempatkan dalam labu ukur 200 ml. Masing-masing sampel diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Ke dalam labu ukur 500 ml, dimasukkan larutan fenol 100 ppm sebanyak 25 ml kemudian diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Larutan ini disebut larutan standar fenol. Pada sampel 8 menit, diambil sebanyak 25 ml dan ditempatkan ke dalam erlenmeyer A dan 25 ml ke dalam erlenmeyer B. Pada erlenmeyer A ditambahkan aquademin sampai volume total 50 ml. Pada erlenmeyer B ditambahkan 25 ml larutan standar fenol. Masing-masing larutan ditambahkan 1,25 ml NH4OH 0,5 N dan pH diatur menjadi 7,9±0,1 dengan
larutan penyangga fosfat. Larutan dikomplekskan dengan 0,5 ml 4-aminoantipirin 2% dan ditambah dengan 0,5 ml larutan kalium ferisianida 8% sambil terus diaduk sampai timbul warna merah. Untuk pengujian sampel 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit dilakukan hal yang sama seperti pada sampel 8 menit. Masing masing larutan diukur absorbansinya menggunakan UV-Vis.
Perhitungan konsentrasi fenol sisa menggunakan persamaan sebagai berikut:
1 = � �
� 2 =
� �
� +
� �
�
dimana A1 dan A2 adalah absorbansi cuplikan encer dan cuplikan plus standar
encer, ε adalah absorbtivitas molar, b adalah tebal kuvet, Vx adalah volume
(38)
adalah konsentrasi sampel. Perhitungan Cx dilakukan dengan membagi persamaan
kedua dengan pertama menghasilkan:
= 1�
(39)
26
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Preparasi Nanokatalis CuO/TiO
2secara Sol-Gel
Modifikasi
Sintesis nanokatalis CuO/TiO2 dilakukan dengan metode sol gel
dimodifikasi menggunakan PEG sebagai zat pendispersi. Prekusor yang digunakan adalah TiIPP dan garam Cu(NO3)2.3H2O. Pada sintesis ini juga
menggunakan etanol, HCl dan air. Etanol berfungsi sebagai agen pembentuk sol, HCl sebagai pencegah terbentuknya agregat dan air sebagai zat penghidrolisis. Pada saat HCl dan etanol diaduk, didapat campuran tak berwarna. Sol berwarna putih didapat ketika TiIPP ditambahkan pada campuran HCl dan etanol. Sol putih memadat ketika ditambahkan air. Hal ini dikarenakan terjadinya hidolisis TiIPP oleh air. Padatan putih menjadi biru ketika ditambahkan larutan Cu(NO3)2.
Pembentukan gel oleh PEG tidak berhasil. Hal ini mungkin dikarenakan oleh kurangnya jumlah PEG yang ditambahkan dan pengadukan yang relatif singkat. Tahapan reaksi sintesis TiO2 secara sol-gel menurut Sanchez et al., (2011) adalah
sebagai berikut:
Ti(C3H7O)4 + 2HO(CH2CH2O)nH Ti[O(CH2CH2O)n]2 + 4C3H7OH (4.1)
TiIPP PEG Ti-polimer Isopropanol
Ti[O(CH2CH2O)n]2 + 4H2O Ti(OH)4 + 2OH(CH2CH2O)nH (4.2)
Ti-polimer Air Ti(IV)hidroksida PEG
Cu(NO3)2.3H2O + H2O Cu(NO3)2 + 4H2O (4.3)
Tembaga (II) nitrat Air Tembaga (II) nitrat Air trihidrat
(40)
Cu(NO3)2 + HO(CH2CH2O)nH CuO(CH2CH2O)n + 2HNO3 (4.4)
Tembaga (II) nitrat PEG Cu-polimer Asam nitrat
CuO(CH2CH2O)n + 2H2O Cu(OH)2 + HO(CH2CH2O)nH (4.5)
Cu-polimer Air Cu(II)hidroksida PEG
Ti(OH)4 + Cu(OH)2 TiCu(OH)6 kalsinasi CuO/TiO2(anatase) (4.6)
Ti(IV)hidroksida Cu(II)hidroksida
Hasil kenampakan padatan CuO/TiO2 dapat dilihat di Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Perubahan warna dan kenampakan CuO/TiO2 berdasarkan perlakuan
temperatur kalsinasi
Sampel Kalsinasi (°C) Temperatur Sampel Kode Warna Kenampakan
CuO/TiO2 400 K-400 Hitam Halus
CuO/TiO2 500 K-500 Hitam Halus
CuO/TiO2 600 K-600 Abu-abu Halus
K-400 berwarna hitam, hal ini menunjukkan adanya Cu, demikian juga pada K-500. Warna hitam K-400 lebih pekat dibandingkan dengan K-500. Sedangkan K-600 sampel yang dihasilkan berwarna abu-abu. Pemanasan dengan suhu semakin tinggi menyebabkan warna nanokatalis CuO/TiO2 semakin muda.
Menurut Yang (2008:35), warna abu-abu disebabkan karena auto-reduksi Cu(II) menjadi Cu(I). Kristal yang terbentuk kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD dan BET. Kristal yang memenuhi kriteria sebagai katalis yang baik, diuji menggunakan SEM-EDX untuk mendapatkan informasi bentuk morfologi dan komposisi kristalnya.
4.2
Hasil Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO
2Karakterisasi nanokatalis CuO/TiO2 dilakukan untuk mengetahui karakter
(41)
antara lain untuk mengetahui hasil pola difraksi; luas permukaan, rerata jari-jari dan volume pori; dan analisis morfologi dan komposisi nanokatalis CuO/TiO2.
4.2.1 Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuO/TiO2
Sampel yang telah disintesis diamati pola difraksi untuk selanjutnya dianalisis fasa kristalnya dalam sampel. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh temperatur kalsinasi terhadap fasa kristal dari katalis CuO/TiO2 yang disintesis
dengan metode sol gel modifikasi.
20 40 60 80
0 400
800 20 40 60 80
0 400
800 20 40 60 80
400
800 20 40 60 80
400
800 20 40 60 80
400 800
TiO
2 anatase #751537
2
CuO #800076 A
A
CuO/TiO
2 400
o C R R A A CuO/TiO
2 500
o C R R A CuO A CuO/TiO
2 600
o
C
Gambar 4.1. Pola difraksi sinar-X CuO/TiO2
Pada Gambar 4.1 puncak yang ditandai ―A‖ dan ―R‖ menerangkan fasa anatase
dan rutil TiO2. Berdasarkan data Powder Diffraction File (PDF) #751537, TiO2
anatase mempunyai struktur kristal yang berbentuk tetragonal dengan panjang sumbu a=b=3730 Å, c=9370 Å. Pada K-400, K-500 dan K-600 muncul puncak
difraktogram pada 2θ = 25,6° yang menunjukkan kecocokan difraktogram PDF standar TiO2 anatase yaitu pada 2θ = 25,69°. Selain itu pada K-400, 2θ = 54,72°
i n t e n s i t a s K-400 K-500 K-600
(42)
menunjukkan kecocokkan terhadap difraktogram standar yaitu pada 2θ = 54,775°.
Pada K-500 dan K-600, 2θ = 54,72° mengalami pergeseran ke 2θ = 54,48° dan 54,59°. Namun pada K-500 dan K-600 terbentuk fase TiO2 rutil yang ditunjukkan
pada masing-masing 2θ = 27,56°; 36,16° dan 27,46°; 36,34° yang mirip dengan PDF standar TiO2 rutil #781510. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan terlalu
tinggi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO2. Tabel 4.2 menunjukkan
perbandingan komposisi fase anatase dan rutil kristal TiO2 pada masing-masing
sampel.
Tabel 4.2 Komposisi fase kristal TiO2 pada CuO/TiO2
Kode Sampel Anatase Rutil
K-400 K-500 K-600 16,27% 11,322% 8,964% - 6,104% 8,167%
Berdasarkan data difraktogram standar CuO PDF #800076 puncak khas
CuO terlihat pada 2θ = 35,54°, 38,97° dan 48,85°. Difraktogram pada K-500 dan K-600 menunjukkan kecocokan dengan difragtogram standar CuO pada masing-masing 2θ = 38,94° dan 38,95°. Pada K-400, terdapat pergeseran difraktogram
pada 2θ = 38,18° dan 48,47.
Kenaikan temperatur kalsinasi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO2. Dalam Zhu et al. (2011), TiO2 rutil lebih stabil pada suhu tinggi, namun
mempunyai luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan TiO2 anatase. Hal ini
menyebabkan TiO2 rutil kurang baik untuk diaplikasikan sebagai support. Dari
hasil analisis fasa kristal TiO2, K-400 memiliki kriteria untuk diaplikasikan
sebagai support karena mempunyai fasa anatase lebih banyak dibandingkan
(43)
pada 2θ = 38,9° disebabkan CuO terdispersi pada permukaan TiO2. Hal ini mirip
dengan penelitian Ding et al. (2005) yang menyatakan bahwa puncak CuO tidak
terlihat pada pola difraksi CuO/Ti0.5Zr0.5O2 karena luas permukaan Ti0.5Zr0.5O2
yang besar, sehingga partikel CuO terdispersi pada permukaan Ti0.5Zr0.5O2. Maka
pada K-400 mempunyai situs aktif CuO yang menempel pada permukaan TiO2.
Tabel 4.3 menunjukkan hasil analisis ukuran kristal CuO/TiO2 melalui
metode Debye-Scherer.
Tabel 4.3 Ukuran partikel katalis CuO/TiO2 dari analisis XRD
Kode Sampel Ukuran Partikel (nm) K-400
K-500 K-600
6,890 17,716 41,877
Pada Tabel 4.3, ukuran kristal menunjukkan kenaikan seiring dengan penambahan temperatur kalsinasi. Hal ini disebabkan pemanasan pada suhu terlalu tinggi menyebabkan terjadinya sintering. K-400 menunjukkan ukuran kristal yang paling kecil. Ukuran kristal yang semakin kecil akan meningkatkan luas permukaan nanokatalis CuO/TiO2 sehingga aktifitas katalitiknya akan semakin baik.
4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori CuO/TiO2
Luas permukaan katalis yang semakin besar menyebabkan kontak yang terjadi antara reaktan dan permukaan katalis juga semakin besar sehingga fenol yang terdegradasi lebih banyak. Selain luas permukaan katalis, ukuran jari-jari pori yang besar dapat membantu molekul fenol untuk dapat masuk ke dalam pori katalis. Data hasil karakterisasi kristal CuO/TiO2 menggunakan metode BET
(44)
Tabel 4.4 Hasil karakterisasi luas permukaan spesifik, rerata jari-jari pori dan volume total CuO/TiO2
Kode Sampel Luas Permukaan Spesifik (m2/g) Rerata Jari-jari Pori (Å) Volume Pori (cc/g)
K-400 K-500 K-600 89,2 76,87 29,94 36,53 52,91 102,5 0,1667 0,2033 0,1505 Luas permukaan nanokatalis CuO/TiO2 semakin rendah pada kenaikan
suhu pemanasan. Hal ini disebabkan terjadinya sintering pada pemanasan yang terlalu tinggi. Menurut Wardhani (2009), sintering merupakan suatu proses berkumpulnya partikel-partikel logam secara kompak yang membentuk gumpalan-gumpalan pada permukaan pori pengemban sehingga menutup sebagaian pori dan sisi aktif katalis. Data tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ukuran kristal dan luas permukaan nanokatalis CuO/TiO2.
Kenaikan suhu pemanasan menyebabkan ukuran kristal nanokatalis CuO/TiO2
semakin besar dan memiliki luas permukaan yang semakin kecil. Ukuran rerata jari-jari pori semakin besar pada kenaikan suhu pemanasan. Namun pada volume pori tidak menunjukkan suatu keteraturan berdasarkan kenaikan suhu pemanasan. 4.2.3 Analisis Morfologi dan Komposisi CuO/TiO2
SEM digunakan untuk mengetahui bentuk morfologi padatan yang telah dipreparasi. Analisis menggunakan SEM-EDX dilakukan setelah memilih nanokatalis CuO/TiO2 yang paling memenuhi syarat sebagai katalis diantara tiga
katalis yang disintesis dengan variasi temperatur kalsinasi. Hasil pengujian XRD dan BET, padatan yang mempunyai ukuran partikel paling kecil dan luas permukaan paling besar ditunjukkan pada K-400. Padatan tersebut kemudian dianalisis menggunakan SEM-EDX. Hasil analisis SEM yang berupa foto
(45)
kenampakan padatan, ditunjukkan pada Gambar 4.2 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali. Foto SEM tersebut kemudian dibandingkan dengan foto SEM CuO/TiO2 dalam penelitian Manivel et al.(2010), yang ditunjukkan pada Gambar
4.3.
Menurut Manivel et al.(2010), warna putih dalam gambar menunjukkan
partikel TiO2 dan dopan CuO adalah bidang-bidang kecil berwarna abu-abu.
Dopan CuO menempati bagian dalam pori TiO2.
Gambar 4.2. Foto SEM K-400 dengan perbesaran 500 kali dan 20.000 kali
Gambar 4.3 Foto SEM CuO/TiO2 dalam Manivel et al., 2010
dengan perbesaran 3000 kali
TiO2
(46)
Pada Gambar 4.2, warna abu-abu menyebar hampir pada seluruh permukaan partikel. Hal ini menunjukkan bahwa partikel CuO hanya tersebar pada permukaan TiO2, tidak sampai terdopan pada pori TiO2. Kristal yang
dihasilkan memiliki bentuk yang tidak homogen dan masih terdapat agregat. Hal ini disebabkan oleh pengadukan yang kurang lama dan penambahan PEG yang belum optimal. Gambar 4.4 menunjukkan hasil analisis EDX komposisi kristal CuO/TiO2 dan Tabel 4.5 menunjukkan komposisi CuO dan TiO2 pada padatan
CuO/TiO2.
Gambar 4.4 Spektrum EDX K-400 Tabel 4.5 Komposisi padatan CuO/TiO2
Senyawa % Massa
C Cl TiO2
CuO
7,75 2,33 85,64
4,29
Spektrum EDX memperlihatkan munculnya puncak Ti dan Cu pada kristal CuO/TiO2. Puncak Ti ditunjukkan dengan warna hijau, sedangkan puncak Cu
(47)
massa CuO yang terdapat pada kristal CuO/TiO2 adalah 4,29%. Hal ini berbeda
dengan massa CuO acuan pada saat sintesis kristal CuO/TiO2. Massa CuO yang
ditambahkan sebesar 5% dari berat keseluruhan. Terdapatnya perbedaan % massa dikarenakan sebagian kecil logam Cu berkurang pada saat proses sintesis. Dari data EDX juga menunjukkan bahwa masih adanya unsur karbon dalam kristal CuO/TiO2. Hal ini disebabkan pada saat akan dilakukan kalsinasi padatan belum
kering. Maka senyawa organik dari reaktan pada saat sintesis tidak terdekomposisi sempurna.
Berdasarkan hasil karakterisasi nanokatalis CuO/TiO2 didapatkan
informasi bahwa kristalinitas CuO/TiO2 tidak semakin baik pada penambahan
suhu pemanasan. Semakin tinggi suhu menyebabkan fase TiO2 berubah menjadi
rutil dan ukuran kristal yang semakin besar karena terjadinya sintering. Hasil analisis data XRD ditunjukkan terbentuknya fasa rutile pada K-500 dan K-600. Luas permukaan yang semakin besar berbanding terbalik dengan penambahan suhu pemanasan, namun ukuran pori semakin besar seiring dengan semakin tinggi suhu pemanasan. K-400 menunjukkan luas permukaan yang paling besar, namun memiliki rerata jari-jari pori paling kecil, yaitu 36,53 Å. Katalis dengan ukuran pori tersebut dianggap cocok untuk diaplikasikan pada proses oksidasi fenol karena tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil untuk menyerap molekul fenol yang berukuran 6 Å. Analisis menggunakan SEM-EDX menunjukkan bahwa morfologi kristal K-400 masih belum homogen.
(48)
4.3 Uji Aktifitas Nanokatalis CuO/TiO
2untuk Degradasi Fenol
Limbah fenol yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah fenol sintetis dengan konsentrasi fenol 100 ppm. Kandungan fenol tersisa diketahui dengan uji spektrofotometer menggunakan metode adisi standar. Proses degradasi limbah fenol dengan nanokatalis CuO/TiO2 menggunakan gas oksigen sebagai zat
pengoksidasi. Katalis yang digunakan dalam proses ini adalah K-400. Pengambilan sampel dilakukan pada saat proses proses degradasi dengan waktu yang bervariasi. Sebelum pengukuran kadar fenol sisa, kompleks fenol diukur panjang gelombang maksimumnya. Berdasarkan data penelitian diperoleh absorbansi maksimum kompleks fenol pada panjang gelombang maksimum 507 nm. Hasil analisis kadar fenol tersisa bergantung waktu disajikan dalam Tabel 4.6 dan Gambar 4.5.
Tabel 4.6 Analisis kadar fenol sisa degradasi menggunakan katalis CuO/TiO2
Sampel Absorbansi Kadar fenol sisa (ppm) %D
8 menit A1 0.034 10.625 36.25
A2 0.05
15 menit A1 0.03 7.895 52.632
A2 0.049
30 menit A1 0.029 7.25 56.5
A2 0.049
50 menit A1 0.021 6.563 60.625
A2 0.037
110 menit A1 0.032 9.412 43.529
A2 0.049
155 menit A1 0.033 9.706 41.765
A2 0.05
Sebelum A1 0.04 16.667
A2 0.052
Keterangan :
(49)
A2 = Absorbansi cuplikan sampel+standar
%D = % fenol terdegradasi
Gambar 4.5 Kurva persentase degradasi berbanding waktu degradasi Hasil pengukuran kadar fenol tersisa dalam proses degradasi fenol menggunakan nanokatalis CuO/TiO2 menunjukkan waktu optimum pada saat t=50
menit yaitu sebanyak 60,625%. Gambar 4.4 menunjukkan penurunan persentase degradasi pada t=110 menit. Hal ini kurang sesuai dengan teori bahwa semakin lama waktu degradasi, maka semakin banyak persentase degradasi yang diperoleh. Waktu optimum proses degradasi didapat dari data persentase degradasi yang tidak mengalami perubahan signifikan dengan bertambahnya waktu proses. Ketidaksesuaian ini diakibatkan oleh fenol yang telah jenuh oleh CuO/TiO2, maka
pemisahan fenol dengan CuO/TiO2 menjadi lebih sukar. Larutan yang jenuh
mempengaruhi proses pembacaan absorbansi pada sampel. Pada saat pengukuran sampel juga dijumpai kesulitan yaitu pengaturan pH agar homogen pada setiap
0 10 20 30 40 50 60 70
0 50 100 150
% D e g rad asi
(50)
OO H O
C6H4 C6H4 H
OH +
OH
C6H4 OOH +
O
H C6H4
OH
C
6H
4H + CuO/TiO
2C
6H
4H
O
+ H
CuO/TiO
2sampel. Hal ini juga mempengaruhi kelinieran absorbansi fenol sisa bergantung waktu.
Pada proses oksidasi katalitik telah diketahui bahwa terjadi reaksi radikal bebas di permukaan katalis (Eftaxias, 2002). Menurut Wu et al. (2003),
mekanisme radikal pada proses oksidasi katalitik fenol adalah sebagai berikut:
Pada mekanisme tersebut, C6H4•H=O adalah radikal penoksi dan C6H4HO—OO•
adalah radikal peroksi. Aktivasi kedua radikal diinisiasi dari reaksi antara fenol, oksigen dan katalis. Menurut Gates (1991) dalam Wu et al. (2003), pada proses
dimana logam transisi memudahkan radikal bebas pada reaksi, kemungkinan logam bereaksi secara cepat dengan polutan organik.
4.4 Analisis Senyawa Hasil Degradasi Fenol
Analisis senyawa hasil degradasi fenol dilakukan dengan menggunakan instrumen Gas Chromatography-Mass Spectrophotometer (GC-MS). Hasil yang
dipilih untuk dianalisis menggunakan GC-MS adalah hasil degradasi dengan waktu reaksi 50 menit. Kromatogram GC hasil degradasi fenol dengan waktu
O
H
C
6H
4+ O
2C
6H
4O
H
OO
(51)
reaksi 50 menit disajikan pada Gambar 4.6, sedangkan analisis kromatogram GC senyawa hasil degradasi fenol disajikan pada Tabel 4.7.
Gambar 4.6 Kromatogram senyawa hasil degradasi fenol Tabel 4.7 Analisis kromatogram senyawa hasil degradasi fenol
Dari keterangan pada Tabel 4.7, kromatogram GC hasil degradasi fenol memunculkan 2 puncak dengan puncak paling dominan yaitu nomor 2 dengan kelimpahan 63,47% dan waktu retensi 2,319 menit. Puncak nomor 1 dengan kelimpahan 36,53% diduga adalah pengotor dari sampel fenol sisa degradasi.
Analisis MS menunjukkan puncak nomor 2 adalah 2-propanon. Spektrum massa puncak nomor 2 disajikan pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Spektrum massa senyawa hasil degradasi fenol
Munculnya puncak ion molekul pada m/z=58 menyatakan bahwa massa molekul senyawa tersebut sama dengan massa molekul 2-propanon. Ion molekul dengan
Puncak Waktu Retensi (menit) Kelimpahan (%) Kemungkinan Senyawa 1
2
2,152 2,319
36,53 63,47
3-nonuna-2-ol 2-propanon
(52)
CH3 C CH3 O
CH3
CH3 C+
O
m/z=58 melepas –CH3 membentuk pecahan molekul dengan m/z=43. Berikut
fragmentasi yang terjadi :
Hasil analisis menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa waktu retensi 2,319 menit merupakan puncak dominan dengan persentase 63,47%. Puncak tersebut diduga sebagai senyawa hasil degradasi fenol. Senyawa hasil degradasi fenol berupa 2-propanon diduga diperoleh dari oksidasi fenol menjadi alkohol sekunder yang teroksidasi lebih lanjut menjadi 2-propanon.
(53)
40
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka simpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakter kristal CuO/TiO2
yang dihasilkan adalah:
a. Kristal CuO/TiO2 yang disintesis dengan metode sol-gel modifikasi
larutan polimer PEG, mempunyai fase TiO2 anatase pada temperatur
kalsinasi 400°C dan pada kenaikan temperatur kristal akan berubah fase menjadi TiO2 rutil.
b. Kenaikan temperatur kalsinasi mengakibatkan kenaikan ukuran kristal CuO/TiO2 karena terjadi sintering.
c. Pada pengukuran menggunakan metode BET, luas permukaan nanokatalis CuO/TiO2 mengalami penurunan pada kenaikan
temperatur kalsinasi.
Analisis menggunakan SEM-EDX menunjukkan bahwa nanokatalis CuO/TiO2 yang disintesis menggunakan metode sol-gel modifikasi
mempunyai bentuk yang belum homogen dan pendistribusian CuO pada TiO2 juga belum homogen.
2. Nanokatalis CuO/TiO2 dapat diaplikasikan sebagai katalis degradasi fenol
(54)
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan optimalisasi lebih lanjut terhadap metode sintesis nanokatalis CuO/TiO2 yaitu dari segi waktu reaksi, waktu kalsinasi,
jumlah CuO yang ditambahkan, dan lain-lain.
2. Perlu dilakukan optimasi lebih lanjut mengenai konsentrasi katalis dan tekanan pada proses oksidasi katalitik fenol.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan ulang katalis yang telah digunakan untuk proses degradasi.
(55)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M. & Khairurrijal, 2010. Karakterisasi Nanomaterial; Teori, Penerapan, dan Pengolahan Data. Bandung: CV. Rezeki Putera.
Agustine, R. L. 1996. Heterogeneous Catalyst for the Synthetic Chemist. New
York: Marcel Dekker Inc.
Ali, R. & O.B. Siew. 2006. Photodegradation of New Methylene Blue N in Aqueous Solution Using Zinc Oxide and Titanium Oxide as Catalyst.
Jurnal Teknolog 45(F): 31-42.
Arutanti, O., dkk. 2009. Penjernihan Air Dari Pencemar Organik dengan Proses Fotokatalis pada Permukaan Titanium Dioksida (TiO2). Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. ISSN 1979-0880.
Astutik, P. 2010. Efektivitas Degradasi Fenol Secara Fotokatalitik Menggunakan Padatan ZnTiO3 yang Dipreparasi Dengan Metode Sol-Gel. Tugas
Akhir 2. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang.
Ding, G. H., X. Y. Jiang & X. M. Zheng. 2005. Effect of Carrrier on CuO/TiO2
and CuO/Ti0.5Zr0.5O2 Catalysts in the NO+CO Reaction. Chinese Chemical Letters Vol.16, No.2: 275-278.
Eftaxias, A. 2002. Catalytic Wet Air Oxidation of Phenol in a Trickle Bed Reactor: Kinetics and Reactor Modelling. Dissertation. Taragona:
Rovira Virgili University.
Fessenden, R. J. & J. S. Fessenden. 1992. Kimia Organik. Jilid II. Jakarta :
Erlangga.
Fransisco, M. S. P. & V. R. Mastelaro. 2002. Inhibition of the Anatase-Rutile with Addition of CeO2 to CuO-TiO2 System: Raman Spectroscopy, X-ray
Diffraction, and Textural Studies. Chem Mater,14: 2514-2518.
Ghane, M., et al. 2010. Synthesis and Characterization of a Bi-Oxide nanoparticle
ZnO/CuO by Thermal Decomposition of Oxalate Precursor Method.
International Journal of Nano Dimension. ISSN : 2008-8868.
Golestani, A., et al. 2011. Modeling of Catalyst Deactivation in Catalytic Wet Air
Oxidation of Phenol in Fixed Bed Three-Phase Reactor. Worls Academy of Science and Technology 73.
Harmankaya, M. & G. Gündüz. 1995. Catalytic of Phenol in Aqueous Solution.
(56)
Hendayana, S., dkk. 1994.Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP Semarang
Press
Johan, M. R., et al. 2011. Annealing Effect on the Properties of Copper Oxide
Thin Films Prepared by Chemical Deposition. Int. J. Electrochem., 6(2011): 6094-6104.
Lee, G. H., et al. 2002. Catalytic Combustion of Benzene Over Copper Oxide
Supported on TiO2 Prepared by Sol-Gel Method. J. Ind. Eng. Chem., Vol.8, No. 6: 572-577.
Lestari, D. S. 2011. Preparasi Nanokomposit Zno/Tio2 Dengan Metode Sonokimia Serta Uji Aktivitasnya Untuk Fotodegradasi Fenol. Tugas
Akhir 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Liherlinah et al. 2009. Sintesis Nanokatalis CuO/ZnO/Al2O3 untuk Mengubah
Metanol Menjadi Hidrogen untuk Bahan Bakar Kendaraan Fuel Cell.
Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. ISSN 1979-0880
Luna, A. J., et al. 2009. Total Catalytic Wet Oxidation Of Phenol and Its
Chlorinated Derivates With MnO2/CeO2 Catalyst In A Slurry Reactor. Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 26 No.03: 493-502.
Meytal, Y. I. M. & M. Sheintuch. 1998. Catalytic Abatement of Water Pollutants.
Ind. Eng. Chem. Res., 37: 309-326.
Massa, P. A., et al. 2004. Catalyst System For The Oxidation of Phenol In Water. Latin American Applied Research, 34: 133-140.
Manivel, A., et al. 2010. CuO-TiO2 Nanocatalyst for Photodegradation of Acid
Red 88 in Aqueous Solution. Science of Advanced Materials Vol.2, 51-57.
Pestunova, O. P. , O. L. Ogorodnikova & V. N. Parmon. 2003. Studies on the Phenol Wet Peroxide Oxidation in the Presence of Solid Catalysts.
Chemistry for Sustainable Development 11: 227-232.
Prabowo, A. R. & Wijayanto, H. 2010. Penurunan Kadar Fenol dengan Memanfaatkan Baggase Fly Ash dan Chitin sebagai Adsorben.
Surabaya: Institut Teknologi Surabaya
Sanchez, K. D. A, et al. 2011. Preparation, Characterization and Photocatalytic
Properties of TiO2 Nanostructured Speres Synthesized by Sol-Gel
Method Modified with Ethylene Glycol. J. Sol-Gel Technol. 58:360-365.
(57)
Sari, A. P. 2011. Penurunan Kadar Fenol Secara Fotokatalitik Menggunakan SrTiO3 Dalam Limbah Industri Tekstil di Sungai Jenggot Kota Pekalongan. Tugas Akhir 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Silva, A. M. T., et al. 2003. Catalytic Studies in Wet Oxidation of Effuents From
Formaldehyde Industry. Chemical Engineering Science: 963-970.
Slamet, R. Arbianti & Daryanto. 2005. Pengolahan Limbah Organik (Fenol) dan Logam (Cr6+ atau Pt4+) Secara Simultan Dengan Fotokatalis TiO
2,
ZnO-TiO2 dan CdS-ZnO-TiO2. Makara Teknologi, Vol. 9 No. 2.
Slamet, R. Arbianti & E. Marliana. 2007. Pengolahan Limbah Cr(VI) dan Fenol dengan Fotokatalis Serbuk TiO2 dan CuO/TiO2.Reaktor, Vol. 11 No.2, Desember 2007, Hal. : 78-85.
Stuber, F. et al. 2001. Catalytic Wet Air Oxidation of Phenol Using Active
Carbon: Performance of Discontinuous and Continuous Reactors.
Jurnal of Chemical Technology and Biotechnology, 76:743-751.
Suwanprasop, S. 2005. Oxidation of Phenol on Fixed Bed of Active Carbon.
Thesis. Toulouse: INP Toulouse France.
Swantomo, D., N. A. Kundari & S. L. Pambudi. 2009. Adsorpsi Fenol Dalam Limbah Dengan Zeolit Alam Terkalsinasi. Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir. ISSN 1978-0176.
Tuan, N. M. et al. 2009. Low Temperature Synthesis of Nano-TiO2 anatase on
Nafion Membrane for Using on DMFC. Journal of Physics: Conference Series 187.
Triyono. 2002. Kimia Katalis. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam: Universitas Gadjah Mada.
Ulyani, V. 2008. Reaksi Katalisis Oksidasi Vanili Menjadi Asam Vanilat Menggunakan Katalis TiO2-Al2O3 (1:1) Yang Dibuat Dengan PEG 6000. Skripsi. Depok: FMIPA Universitas Indonesia.
Wardhani, S. 2009. Studi Pengaruh Konsentrasi Zn(II) Pada Preparasi Katalis Zeolit-Zno Terhadap Oksidasi Fenol. Malang : Universitas Brawijaya.
Wang, L. 2006. Preparation and Characterization of Properties of Electrodeposited Copper Oxide Films. Disertation. Texas: The
(58)
Wijaya, K., et al. 2005. Synthesis of Fe2O3- montmorillonite and its application as
a photocatalyst for degradation of congo Red Dye. Indonesian Journal of Chemistry, 5 (1) 41-47.
Wu, Q., X. Hu & P. L. Yue. 2003. Kinetic Study on Catalytic Wet Air Oxidation of Phenol. Chemical Engineering Science 58: 923-928.
Yang, X. 2008. Sol-Gel Synthesized Nanomaterials for Environmental Applications. Dissertation. Manhattan: Kansas State University.
Zhu, H., L. Dong & Y. Chen. 2011. Effect of Titania structure on the Properties of
It’s Supported Copper Oxide Catalysts. Journal of Colloid and Interface Science 357: 497-503.
(59)
LAMPIRAN
Lampiran 1 Skema Cara Kerja
A. Preparasi Nanokatalis CuO/TiO25 gram PEG dalam 50 ml H2O ditambah
Campuran CuO/TiO2 dan PEG
diaduk 1,5 jam
Nanokatalis CuO/TiO2
Furnace pada suhu 400°C, 500°C dan 600°C
0,76 gram Cu(NO3)2.3H2O + 2,2 ml H2O
18,4 ml TiPP + 4,5 ml H2O diaduk 30 menit
3,6 ml etanol 1,2 ml HCl
ditambah
dicampur sambil diaduk
Campuran TiO2 TiO
(60)
B. Karakterisasi Nanokatalis CuO/TiO2 CuO/TiO2
CuO/TiO2 400°C CuO/TiO2 500°C CuO/TiO2 600°C
XRD dan BET
(61)
C. Proses Degradasi Senyawa Fenol
Sampel
Diencerkan dengan H2O
Filtrat
Residu Diuji IR dan GC-MS dengan
Diuji dengan spektro UV-Vis
Dibiarkan sampai dingin kemudian disaring
Dialiri oksigen 200 ml/menit
Campuran Fenol teroksidasi
Dipanaskan hingga suhu 70°C
Campuran fenol dan katalis
0,5 gram katalis CuO/TiO2
Diaduk hingga homogen dalam labu alas bulat leher tiga
Pemanasan hingga suhu 90°C dan dilanjutkan bereaksi selama (8, 15, 30, 50, 110, 155) menit
CO2(g)
Fenol teroksidasi 100 ppm Fenol 250 ml
(62)
D. Uji Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar
masing-masing diencerkan 20 kali
diencerkan
masing-masing 25 ml ditempatkan
diambil 25 ml sebanyak 6 kali dan masing-masing ditempatkan
ditambah ditambah
Erlenmeyer A Erlenmeyer B
+ H2O 25 ml
Fenol terdegradasi 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit,
110 menit, 155 menit
Sampel fenol terdegradasi 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110
menit, 155 menit
Fenol 100 ppm
Fenol 5 ppm = Larutan standar
1,25 ml NH4OH dan pH
diatur menjadi 7,9±0,1 dengan larutan penyangga
fosfat
1,25 ml NH4OH dan pH
diatur menjadi 7,9±0,1 dengan larutan penyangga
fosfat
Dikomplekskan dengan 0,5 ml larutan 4-aminoantipirin 2%, dan ditambah larutan kalium ferisianida 8% 0,5 ml
Dikomplekskan dengan 0,5 ml larutan 4-aminoantipirin 2%, dan ditambah larutan kalium ferisianida 8% 0,5 ml
Diaduk dan didiamkan 15 menit
Diaduk dan didiamkan 15 menit
(63)
Lampiran 2 Hasil Karakterisasi Menggunakan XRD
A. Hasil XRD K-400(64)
C. Hasil XRD K-600
D. Difraktogram standar TiO2 anatase sebagai pembanding hasil analisis
(65)
E. Difraktogram standar TiO2 rutile sebagai pembanding hasil analisis
XRD
(66)
Lampiran 3 Perhitungan Ukuran Kristal
a. K-4002θ = 25,57°; 23,1733°; 48,4716° 2θ = 25,57°
= �
�
= 0,9 . 0,154
0,02065 . cos 12,785
= 7,1895
2θ = 23,1733°
= �
�
= 0,9 . 0,154
0,0190 . cos 11,5867
= 7,7679
2θ = 48,4716°
= �
�
= 0,9 . 0,154
0,0278 . cos 24,2358
= 5,7141
Ukuran kristal rata-rata = 7,1895+7,7679+5,7141
3
= 6.8905 nm
Keterangan :
D = ukuran (diameter) kristalin (nm)
λ = panjang gelombang sinar-x yang digunakan. Dalam data XRD tercantum 1,54 Å atau sama dengan 0,154 nm
θ = sudut Bragg (2θ/2)
(67)
K = konstanta material yang nilainya kurang dari satu. Nilai yang
umumnya dipakai untuk K≈0,9
Dilanjutkan pengukuran untuk K-500 dan K-600 dengan cara yang sama.
Keterangan : 1 rad = 57,324 deg 1 deg = 0,0174 rad Kode
Sampel
FWHM (rad)
FWHM
(deg) (B) K (nm) λ Θ Cos θ
Ukuran Kristal (nm)
Rata-rata (nm) K-400
1.1866 0.02064684 0.94 0.154 12.785 0.9752 7.189543066
6.89049872 1.0933 0.01902342 0.94 0.154 11.58665 0.97962 7.767876906
1.5967 0.02778258 0.94 0.154 24.2358 0.9118638 5.714076177 K-500
0.3653 0.00635622 0.94 0.154 13.78265 0.9712 23.4498992
17.7159281 0.8934 0.01554516 0.94 0.154 12.78 0.97523 9.548745656
0.4644 0.00808056 0.94 0.154 27.23945 0.8891 20.14913955 K-600
0.23 0.004002 0.94 0.154 13.8467 0.97094 37.25453071
41.8774825 0.1992 0.00346608 0.94 0.154 27.29425 0.888663 46.9972984
(68)
Lampiran 4 Perhitungan Komposisi Fase Kristal TiO
2pada
CuO/TiO
2Perhitungan komposisi fase kristal TiO2 pada CuO/TiO2 dilakukan dengan
menimbang berat kurva hasil analisis XRD. 1. K-400
Berat kertas kurva = 0,236 gram Berat kurva anatase = 0,0384 gram
% � = � �
� � . 100%
% � = 0,0384
0,236 . 100%
= 16,27%
2. K-500
Berat kertas kurva = 0,4063 gram Berat kurva anatase = 0,046 gram Berat kurva rutil = 0,0248 gram
% � = � �
� � . 100%
% � = 0,046
0,4063. 100%
= 11,3217%
% � = � �
� � . 100%
% � = 0,0248
0,4063. 100%
(69)
3. K-600
Berat kertas kurva = 0,2008 gram Berat kurva anatase = 0,018 gram Berat kurva rutil = 0,0164 gram
% � = � �
� � . 100%
% � = 0,018
0,2008. 100%
= 8,964%
% � = � �
� � . 100%
% � = 0,0164
0,2008. 100%
(70)
Lampiran 5 Hasil Karakterisasi Menggunakan BET
A. K-400(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
Lampiran 6Alur Perolehan Data BET
Keterangan :
meliputi alur kerja
instrumen yang digunakan
n = jumlah atom gas yang diadsorpsi (mol/gram)
nm = jumlah atom gas yang menempel pada permukaan
sampel untuk membentuk satu lapisan penuh (mol/gram)
c = konstanta BET dalam adsorbs monolayer
Data tekanan relatif (P/P0)
dan jumlah gas yang diadsorbsi (n)
Ukuran Pori Volume Pori
BET
Luas Permukaan Spesifik
Nanokatalis CuO/TiO2
�
(� − �0)
= 1 + −1.�
�0
= +
(77)
Lampiran 7 Alur Perhitungan Data BET
Keterangan :
NA = bilangan Avogadro (6,625x1023) σ = luas satu atom gas N2 (16,2x10-20 m2) ρ = massa jenis sampel (gram/m3)
S1 = luas permukaan satu partikel (m2/gram)
Sp = luas permukaan pori (m2/gram)
Sp1 = luas permukaan satu pori (m2/gram)
Dp = rata-rata jari pori (m3)
Vp1 = volume satu pori (m3)
m1 = massa satu partikel sampel (gram)
jumlah total atom gas yang menempel
Didapat nilai c dan nm
�
(� − �0)
= 1 + −1.�
�0
= +
Kurva
konstanta
∅= �
∅=� 1
massa pori total
�1=
3
6
1= �1 �=�
=� =�
= 6
�1= 3
6
�1= 2
luas permukaan spesifik
diameter rata-rata partikel
�=��1
=�+�
� =�� 1
(78)
Lampiran 8 Hasil Karakterisasi Menggunakan SEM-EDX
A. Foto morfologi K-400 perbesaran 500x(79)
C. Foto morfologi nanokatalis K-400 perbesaran 40000x
(80)
Sampel Absorbansi Vs (ml) Vx (ml)
Cs
(ppm) A1.Vs.Cs A2-A1
Kadar fenol
sisa %D
8 menit A1 0.034 25 25 5 4.25 0.016 10.625 36.25
A2 0.05 25 25 5
15 menit A1 0.03 25 25 5 3.75 0.019 7.894736842 52.63158
A2 0.049 25 25 5
30 menit A1 0.029 25 25 5 3.625 0.02 7.25 56.5
A2 0.049 25 25 5
50 menit A1 0.021 25 25 5 2.625 0.016 6.5625 60.625
A2 0.037 25 25 5
110 menit A1 0.032 25 25 5 4 0.017 9.411764706 43.52941
A2 0.049 25 25 5
155 menit A1 0.033 25 25 5 4.125 0.017 9.705882353 41.76471
A2 0.05 25 25 5
Sebelum A1 0.04 25 25 5 5 0.012 16.66666667
(81)
Perhitungan kadar fenol sisa
= 1�
( 1− 2)�
= 0,034 . 25 . 5
0,05−0,034 25
= 10,625
Perhitungan % degradasi
% = 0−
0
100%
% = 16,667−10,625
16,667 100%
% = 36,25%
Kemudian dilanjutkan untuk variasi waktu degradasi fenol menggunakan cara yang sama.
(82)
Lampiran 10 Hasil Analisis Fenol Sisa Degradasi Menggunakan
GC-MS
(83)
(84)
(85)
Lampiran 11 Dokumentasi Penelitian
Katalis setelah dioven
Sintesis Nanokatalis CuO/TiO2
(86)
Reaktor degradasi fenol
Gelembung CO2
(87)
Pengaturan pH sampel
(1)
Lampiran 10 Hasil Analisis Fenol Sisa Degradasi Menggunakan
(2)
(3)
(4)
Katalis setelah dioven
Sintesis Nanokatalis CuO/TiO2
(5)
Reaktor degradasi fenol
Gelembung CO2
(6)
Pengaturan pH sampel