terjadi. Sedangkan pada kurva komposisi, akan ditunjukkan komposisi persen massa dari CuO dan TiO
2
. Dari data ini, maka dapat dihitung massa CuO yang teremban pada TiO
2
. Pada penelitian diharapkan adanya sejumlah CuO yang teremban pada TiO
2
, namun tidak melampaui batas acuan massa CuO dalam sintesis sebesar 5 dari
massa nanokatalis CuOTiO
2
. 3.4.3
Uji Aktifitas Nanokatalis CuOTiO
2
untuk Degradasi Fenol
Larutan fenol 100 ppm sebanyak 250 ml ditambah dengan 0,5 gram katalis CuOTiO
2
ditempatkan ke dalam labu leher tiga alas bulat. Campuran diaduk hingga homogen. Botol berisi larutan CaOH
2
dihubungkan pada reaktor labu alas bulat untuk mengetahui adanya gas CO
2
yang terbentuk. Campuran fenol dan
katalis dipanaskan hingga temperatur 70°C. Pada saat temperatur mencapai 70°C,
gas oksigen dialirkan dengan kecepatan 200 mlmenit. Pemanasan dilanjutkan
hingga suhu 90°C. Reaksi dilakukan dengan variasi waktu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit dan 155 menit pada suhu 90°C. Setelah reaksi selesai,
campuran dibiarkan dingin dan di-sentrifuge, selanjutnya filtrat sebanyak 10 ml diencerkan dengan aquademin sampai volume 200 ml. Larutan ini digunakan
sebagai sampel pada uji fenol terdegradasi menggunakan Spektrofotometer UV-
Vis. Untuk mengetahui senyawa yang terkandung dalam fenol terdegradasi, filtrat diuji menggunakan GC-MS.
3.4.4 Pengujian Fenol Sisa Degradasi Menggunakan Metode Adisi Standar
Metode adisi standar dilakukan dengan menambahkan larutan standar V
s
pada salah satu dari dua cuplikan sampel Hendayana, 1994. Sampel fenol
terdegradasi pada masing-masing variasi waktu 8 menit, 15 menit, 30 menit, 50 menit, 110 menit, 155 menit diambil 10 ml kemudian ditempatkan dalam labu
ukur 200 ml. Masing-masing sampel diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Ke dalam labu ukur 500 ml, dimasukkan larutan fenol 100 ppm sebanyak
25 ml kemudian diencerkan dengan aquademin sampai tanda batas. Larutan ini disebut larutan standar fenol. Pada sampel 8 menit, diambil sebanyak 25 ml dan
ditempatkan ke dalam erlenmeyer A dan 25 ml ke dalam erlenmeyer B. Pada erlenmeyer A ditambahkan aquademin sampai volume total 50 ml. Pada
erlenmeyer B ditambahkan 25 ml larutan standar fenol. Masing-masing larutan ditambahkan 1,25 ml NH
4
OH 0,5 N dan pH diatur menjadi 7,9±0,1 dengan larutan penyangga fosfat. Larutan dikomplekskan dengan 0,5 ml 4-aminoantipirin
2 dan ditambah dengan 0,5 ml larutan kalium ferisianida 8 sambil terus diaduk sampai timbul warna merah. Untuk pengujian sampel 15 menit, 30 menit,
50 menit, 110 menit dan 155 menit dilakukan hal yang sama seperti pada sampel 8 menit. Masing masing larutan diukur absorbansinya menggunakan UV-Vis.
Perhitungan konsentrasi fenol sisa menggunakan persamaan sebagai berikut:
1
= � �
�
2
= � �
� +
� � �
dimana A
1
dan A
2
adalah absorbansi cuplikan encer dan cuplikan plus standar encer,
ε adalah absorbtivitas molar, b adalah tebal kuvet, Vx adalah volume sampel, Vt adalah volume total, Cs adalah konsentrasi larutan standar dan Cx
adalah konsentrasi sampel. Perhitungan Cx dilakukan dengan membagi persamaan kedua dengan pertama menghasilkan:
=
1
�
2
−
1
�
26
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Preparasi Nanokatalis CuOTiO
2
secara Sol-Gel Modifikasi
Sintesis nanokatalis CuOTiO
2
dilakukan dengan metode sol gel dimodifikasi menggunakan PEG sebagai zat pendispersi. Prekusor yang
digunakan adalah TiIPP dan garam CuNO
3 2
.3H
2
O. Pada sintesis ini juga menggunakan etanol, HCl dan air. Etanol berfungsi sebagai agen pembentuk sol,
HCl sebagai pencegah terbentuknya agregat dan air sebagai zat penghidrolisis. Pada saat HCl dan etanol diaduk, didapat campuran tak berwarna. Sol berwarna
putih didapat ketika TiIPP ditambahkan pada campuran HCl dan etanol. Sol putih memadat ketika ditambahkan air. Hal ini dikarenakan terjadinya hidolisis TiIPP
oleh air. Padatan putih menjadi biru ketika ditambahkan larutan CuNO
3 2
. Pembentukan gel oleh PEG tidak berhasil. Hal ini mungkin dikarenakan oleh
kurangnya jumlah PEG yang ditambahkan dan pengadukan yang relatif singkat. Tahapan reaksi sintesis TiO
2
secara sol-gel menurut Sanchez et al., 2011 adalah sebagai berikut:
TiC
3
H
7
O
4
+ 2HOCH
2
CH
2
O
n
H Ti[OCH
2
CH
2
O
n
]
2
+ 4C
3
H
7
OH 4.1
TiIPP PEG
Ti-polimer Isopropanol
Ti[OCH
2
CH
2
O
n
]
2
+ 4H
2
O TiOH
4
+ 2OHCH
2
CH
2
O
n
H 4.2
Ti-polimer Air
TiIVhidroksida PEG
CuNO
3 2
.3H
2
O + H
2
O CuNO
3 2
+ 4H
2
O 4.3
Tembaga II nitrat Air
Tembaga II nitrat Air
trihidrat
CuNO
3 2
+ HOCH
2
CH
2
O
n
H CuOCH
2
CH
2
O
n
+ 2HNO
3
4.4
Tembaga II nitrat PEG
Cu-polimer Asam nitrat
CuOCH
2
CH
2
O
n
+ 2H
2
O CuOH
2
+ HOCH
2
CH
2
O
n
H 4.5
Cu-polimer Air
CuIIhidroksida PEG
TiOH
4
+ CuOH
2
TiCuOH
6 kalsinasi
CuOTiO
2 anatase
4.6
TiIVhidroksida CuIIhidroksida
Hasil kenampakan padatan CuOTiO
2
dapat dilihat di Tabel 4.1. Tabel 4.1. Perubahan warna dan kenampakan CuOTiO
2
berdasarkan perlakuan temperatur kalsinasi
Sampel Temperatur
Kalsinasi °C Kode
Sampel Warna
Kenampakan CuOTiO
2
400 K-400
Hitam Halus
CuOTiO
2
500 K-500
Hitam Halus
CuOTiO
2
600 K-600
Abu-abu Halus
K-400 berwarna hitam, hal ini menunjukkan adanya Cu, demikian juga pada K-500. Warna hitam K-400 lebih pekat dibandingkan dengan K-500.
Sedangkan K-600 sampel yang dihasilkan berwarna abu-abu. Pemanasan dengan suhu semakin tinggi menyebabkan warna nanokatalis CuOTiO
2
semakin muda. Menurut Yang 2008:35, warna abu-abu disebabkan karena auto-reduksi CuII
menjadi CuI. Kristal yang terbentuk kemudian dikarakterisasi menggunakan XRD dan BET. Kristal yang memenuhi kriteria sebagai katalis yang baik, diuji
menggunakan SEM-EDX untuk mendapatkan informasi bentuk morfologi dan komposisi kristalnya.
4.2
Hasil Karakterisasi Nanokatalis CuOTiO
2
Karakterisasi nanokatalis CuOTiO
2
dilakukan untuk mengetahui karakter senyawa yang telah disintesis. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini
antara lain untuk mengetahui hasil pola difraksi; luas permukaan, rerata jari-jari dan volume pori; dan analisis morfologi dan komposisi nanokatalis CuOTiO
2
. 4.2.1
Penentuan Fase dan Ukuran Kristal CuOTiO
2
Sampel yang telah disintesis diamati pola difraksi untuk selanjutnya dianalisis fasa kristalnya dalam sampel. Gambar 4.1 menunjukkan pengaruh
temperatur kalsinasi terhadap fasa kristal dari katalis CuOTiO
2
yang disintesis dengan metode sol gel modifikasi.
20 40
60 80
400 800
20 40
60 80
400 800
20 40
60 80
400 800
20 40
60 80
400 800
20 40
60 80
400 800
TiO
2
anatase 751537 2
CuO 800076 A
A CuOTiO
2
400
o
C R
R A
A CuOTiO
2
500
o
C R
R A
CuO A
CuOTiO
2
600
o
C
Gambar 4.1. Pola difraksi sinar-X CuOTiO
2
Pada Gambar 4.1 puncak yang ditandai ―A‖ dan ―R‖ menerangkan fasa anatase dan rutil TiO
2
. Berdasarkan data Powder Diffraction File PDF 751537, TiO
2
anatase mempunyai struktur kristal yang berbentuk tetragonal dengan panjang sumbu a=b=3730 Å, c=9370 Å. Pada K-400, K-500 dan K-600 muncul puncak
difraktogram pada 2θ = 25,6° yang menunjukkan kecocokan difraktogram PDF standar TiO
2
anatase yaitu pada 2θ = 25,69°. Selain itu pada K-400, 2θ = 54,72°
i n
t e
n s
i t
a s
K-400 K-500
K-600
menunjukkan kecocokkan terhadap difraktogram standar yaitu pada 2θ = 54,775°.
Pada K-500 dan K-600, 2θ = 54,72° mengalami pergeseran ke 2θ = 54,48° dan
54,59°. Namun pada K-500 dan K-600 terbentuk fase TiO
2
rutil yang ditunjukkan pada masing-masing
2θ = 27,56°; 36,16° dan 27,46°; 36,34° yang mirip dengan PDF standar TiO
2
rutil 781510. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan terlalu tinggi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO
2
. Tabel 4.2 menunjukkan perbandingan komposisi fase anatase dan rutil kristal TiO
2
pada masing-masing sampel.
Tabel 4.2 Komposisi fase kristal TiO
2
pada CuOTiO
2
Kode Sampel Anatase
Rutil K-400
K-500 K-600
16,27 11,322
8,964 -
6,104 8,167
Berdasarkan data difraktogram standar CuO PDF 800076 puncak khas CuO terlihat pada 2θ = 35,54°, 38,97° dan 48,85°. Difraktogram pada K-500 dan
K-600 menunjukkan kecocokan dengan difragtogram standar CuO pada masing- masing
2θ = 38,94° dan 38,95°. Pada K-400, terdapat pergeseran difraktogram pada 2θ = 38,18° dan 48,47.
Kenaikan temperatur kalsinasi menyebabkan terbentuknya fase rutil pada TiO
2
. Dalam Zhu et al. 2011, TiO
2
rutil lebih stabil pada suhu tinggi, namun mempunyai luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan TiO
2
anatase. Hal ini menyebabkan TiO
2
rutil kurang baik untuk diaplikasikan sebagai support. Dari hasil analisis fasa kristal TiO
2
, K-400 memiliki kriteria untuk diaplikasikan sebagai support karena mempunyai fasa anatase lebih banyak dibandingkan
dengan K-500 dan K-600. Puncak CuO pola difraksi K-400 yang tidak terlihat
pada 2θ = 38,9° disebabkan CuO terdispersi pada permukaan TiO
2
. Hal ini mirip dengan penelitian Ding et al. 2005 yang menyatakan bahwa puncak CuO tidak
terlihat pada pola difraksi CuOTi
0.5
Zr
0.5
O
2
karena luas permukaan Ti
0.5
Zr
0.5
O
2
yang besar, sehingga partikel CuO terdispersi pada permukaan Ti
0.5
Zr
0.5
O
2
. Maka pada K-400 mempunyai situs aktif CuO yang menempel pada permukaan TiO
2
. Tabel 4.3 menunjukkan hasil analisis ukuran kristal CuOTiO
2
melalui metode Debye-Scherer.
Tabel 4.3 Ukuran partikel katalis CuOTiO
2
dari analisis XRD Kode Sampel
Ukuran Partikel nm
K-400 K-500
K-600 6,890
17,716 41,877
Pada Tabel 4.3, ukuran kristal menunjukkan kenaikan seiring dengan penambahan temperatur kalsinasi. Hal ini disebabkan pemanasan pada suhu terlalu tinggi
menyebabkan terjadinya sintering. K-400 menunjukkan ukuran kristal yang paling kecil. Ukuran kristal yang semakin kecil akan meningkatkan luas permukaan
nanokatalis CuOTiO
2
sehingga aktifitas katalitiknya akan semakin baik.
4.2.2 Penentuan Luas Permukaan, Rerata Jari-jari dan Volume Pori CuOTiO