Masalah Stunting Global dan Nasional Faktor Penyebab Stunting

2.1 Masalah Stunting Global dan Nasional

Prevalensi stunting anak balita 0-5 tahun menjadi masalah di berbagai negara, terutama di negara sedang berkembang Tabel 1. Berdasarkan laporan Kemenkes 2008 dan Kemenkes 2010 diketahui bahwa prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan 1.2 dari tahun 2007 ke 2010. Tabel 1 Prevalensi anak balita stunting di berbagai negarawilayah NegaraWilayah Prevalensi Stunting Tahun Sumber Afrika Timur 48.0 2000 WHO 2001 Asia Tengah bagian Selatan 44.0 2000 WHO 2001 Amerika Tengah 24.0 2000 WHO 2001 Amerika Utara 13.0 2000 WHO 2001 Belanda 0.8 1980 WHOSIS Timur Leste 2006 49.4 2003 WHOSIS Komboja 2006 44.6 2000 WHOSIS Vietnam 2006 36.5 2000 WHOSIS Filipina 2006 32.1 1998 WHOSIS Malaysia 2006 15.6 1999 WHOSIS Tailand 2006 13.4 1995 WHOSIS Singapura 2006 2.2 2000 WHOSIS Indonesia 2006 35.6 2010 Kemenkes 2010 Keterangan: [WHOSIS] = WHO Statistical Information System Kemenkes 2008 melaporkan bahwa nilai z-skor TBU anak balita Indonesia lebih rendah dibanding nilai z-skor BBU maupun BBTB Gambar 1. Hal tersebut antara lain bermakna bahwa stunting anak balita merupakan salah satu prioritas utama dalam upaya memecahkan masalah gizi di Indonesia. Victoria et al. 2010 menyimpulkan bahwa waktu terjadinya gangguan pertumbuhan yaitu 0-24 bulan pertama setelah lahir. Sumber: Kemenkes 2008 Gambar 1 Status gizi anak balita Indonesia

2.2 Faktor Penyebab Stunting

Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Penyebab masalah gizi pada anak dijelaskan pada Gambar 2. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang tidak memenuhi syarat gizi seimbang. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare dan penyakit pernapasan akut ISPA. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan ASI Eksklusif dan 6-23 bulan MP-ASI, dan pangan yang bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan . Sumber: Shekar 2011, diadaptasi dari UNICEF 1990 dan Ruel 2008 Gambar 2 Penyebab masalah gizi Stunting dapat disebabkan oleh sosial dan ekonomi yang miskin WHO 2010; interaksi ibu dan anak semenjak kehamilan yang kurang baik Alive and Thrive 2010; pemberian air susu ibu ASI dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup, gangguan absorpsi, atau kombinasi ketiganya WHO 2001; praktek pemberian makanan yang tidak tepat, dan penyakitinfeksi Bhutta et al. 2008; serta gangguan hormon, genetik, dan metabolisme Cowin Raton 2001. Lebih jauh Specker et al. 1986 menyimpulkan bahwa faktor ras, umur, musim, dan diet memberi efek signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada masa bayi. Infeksi berkontribusi melalui luka pada mukosa gastro-intestinal, menyebabkan malabsorpsi, terutama mikronutrien, dan peningkatan permeabilitas terhadap antigen dan bakteri. Waterlow 1994 menyimpulkan pula bahwa efek sistemik infeksi, dimediasi oleh sitokin, mengakibatkan kehilangan Pertumbuhan terjadi apabila sel bertambah banyak atau bertambah besar ukurannya. zat gizi yang berlebihan. Pertumbuhan merupakan proses perubahan fisik meningkatnya ukuran dan struktur tubuh Tubuh yang pendek stunting terjadi karena kegagalan mencapai Satoto 1990. Pertumbuhan terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia bertambahnya jumlah sel, hiperplasia dan hipertrofi bertambahnya jumlah dan kematangan sel, dan hipertrofi bertambahnya ukuran dan kematangan sel Anwar 2002. potensi pertumbuhan linier tulang. Pertumbuhan tulang antara lain dipengaruhi oleh zat gizi. Makanan menyuplai zat gizi untuk pertumbuhan tulang. WHO 2010 melaporkan bahwa pertumbuhan terhambat mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai hasil kesehatan tidak optimal danatau kondisi gizi Tabel 2. Usia 6-11 bulan adalah waktu yang sangat rentan karena bayi baru belajar makan Tabel 2 Academy for Educational Development of Africa 2004. Median panjang badan menurut umu Umur bulan r Panjang Badan cm Laki-laki Perempuan 6 67.6 65.7 7 69.2 67.3 8 70.6 68.7 9 72.0 70.1 10 73.3 71.5 11 74.5 72.8 Sumber: WHO 2010 Eastwood 2003 menjelaskan bahwa tulang terdiri dari mineral 35, terutama Ca and P, materi organik 20, terutama kolagen, dan air 45. Broto 2004 mengatakan bahwa kerangka manusia terdiri dari bahan organik 30 dan mineral 70. Substansi organik terdiri dari sel-sel tulang 2, misalnya osteoblas, osteoklas osteocyte dan matriks tulang 98, misalnya kolagen tipe 1 95 protein non-kolagen 5 -osteocalcin, osteonictin, proteoglikan, protein proteolipid, morfoegenic dan fosfoprotein. Sebagian besar mineral adalah kristal hidroksiapatit 95 dan sisanya adalah mineral lain Specker 2004 menyimpulkan bahwa 5: Mg, Na, K, F, Cl, Sr Pb. pertambahan tulang tidak dipengaruhi oleh waktu pengenalan makanan sapihan, meskipun konsentrasi hormon serum paratiroid PTH lebih tinggi pada bayi yang menerima makanan padat lebih awal. Schmidt et al. 2002 menyimpulkan bahwa pada populasi pedesaan di Jawa Barat, asupan makanan pendamping ASI secara positif berasosiasi dengan peningkatan panjang badan bayi. Pada masa bayi, pembentukan tulang lebih penting daripada resorpsi tulang. Dua jenis sel utama yang bertanggung jawab untuk pembaharuan tulang adalah osteoblas yang terlibat dalam pembentukan tulang dan osteoklas yang terlibat dalam resorpsi tulang. Kurangnya vitamin D mengakibatkan osteomalacia gangguan mineralisasi dan kelebihan vitamin D menyebabkan tulang keropos. Banyak faktor penting lainnya yang terlibat dalam remodelling tulang seperti estrogen, kalsitonin, glukokortikoid, progesteron, dan androgen, gen dan aktifitas fisik Medes 2005. Guyton dan Hall 1997 mengatakan bahwa pembentukan tulang dimulai dengan ekskresi molekul monomer kolagen dan substrat dasar cairan ekstraselular dan proteoglikan oleh osteoblas. Molekul kolagen dengan cepat berpolimerisasi untuk membentuk serat kolagen dan osteoid bahan seperti tulang rawan yang merupakan jaringan terkahir yang dibentuk. Ketika osteoid dibentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid selanjutnya disebut osteocyte. Beberapa hari setelah osteocyte terbentuk, garam kalsium mulai mengendap pada permukaan serat kolagen. Endapan awalnya terbentuk pada interval sepanjang masing-masing serat kolagen. Hal ini membentuk sarang kecil yang dengan cepat berkembang biak dan tumbuh dalam beberapa hari, dan beberapa minggu kemudian membentuk hasil akhir yaitu kristal hidroksiapatit terdiri dari Ca P. Guyton dan Hall 1997 mengatakan bahwa osteoblas terus menerus melakukan proses deposisi dan juga diserap secara terus-menerus oleh osteoklas remodelling. Osteoblas ditemukan pada permukaan luar dan di bagian dalam rongga tulang. Sekitar 4 dari permukaan tulang orang dewasa terus-menerus melakukan osteoblastik. Osteoklas terus-menerus menyerap kurang dari 1 dari permukaan tulang orang dewasa. Osteoklas menjadi menonjol seperti villus membentuk batas kusut berdekatan dengan tulang. Villus melepaskan enzim proteolitik dan beberapa jenis asam asam sitrat dan asam laktat. Enzim melarutkan matriks organik tulang, sedangkan tulang melarutkan garam. Sel-sel osteoclastic juga menangkap partikel dari kristal matriks dan tulang melalui fagositosis. Pada akhirnya, sel osteoclastic juga melarutkan benda-benda ini dan melepaskannya ke dalam darah. Broto 2004 mengatakan bahwa proses remodeling terjadi selama 12 minggu pada usia muda dan 16-20 minggu pada usia pertengahan atau lanjutan. Tingkat remodelling adalah 2-10 massa tulang per tahun. Dalam keadaan normal, laju deposisi dan resorpsi tulang tidak berbeda dari satu sama lain, sehingga massa tulang tetap konstan. Umumnya, massa osteoklas dalam jumlah kecil namun masih padat. Osteoklas akan menyerap tulang sekitar 3 minggu untuk membentuk terowongan berdiameter 0.2 mm sampai 1 mm dengan panjang beberapa milimeter. Setelah 3 minggu, osteoklas akan menghilang dan kemudian terowongan dipenuhi dengan osteoblast dan pembentukan tulang baru mulai. Bone deposisi berlangsung selama beberapa bulan dan setiap tulang baru ditempatkan pada lapisan berikutnya pada lingkaran konsentris lamella di permukaan dalam rongga sampai rongga terisi semua Guyton Hall 1997 Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa ada hubungan indeks massa tubuh dengan kepadatan tulang r=0.203; ρ=0.046. Groff dan Gropper 2000 menunjukkan bahwa semakin kurus seseorang maka semakin berisiko mengalami keropos tulang. Adapun faktor genetik menentukan sekitar 60 perkembangan massa tulang, selebihnya 40 ditentukan faktor lingkungan Anderson 2004. Hoppe, Mølgaard, and Michaelsen 2006 menyimpulkan bahwa susu memberikan efek menstimulasi pertumbuhan pada keadaan intake zat gizi yang . adekuat. Intake susu menstimulasi sirkulasi insulin-like growth factor IGF-I. Penambahan susu sapi pada diet anak-anak stunting dapat meningkatkan pertumbuhan linier dan mengurangi morbiditas. Pada anak-anak dengan gizi baik, konsekuensi jangka panjang dari meningkatkan konsumsi susu sapi, dapat meningkatkan tingkat IGF-I dalam sirkulasi atau meningkatkan kecepatan pertumbuhan linier. Bone mineral density BMD yang juga disebut bone mass dipengaruhi oleh massa tubuh dan pertumbuhan linier Nielsen 2000. Fatmah 2008 menyimpulkan bahwa semakin tinggi badan maka semakin tinggi pula nilai densitas mineral tulangnya. Lebih jauh Fatmah 2008 menyimpulkan bahwa ada hubungan antara tinggi badan dengan lemak tubuh. Rack et al. 2011 menyimpulkan bahwa nilai quantitative ultrasound QUS bayi pada minggu pertama setelah lahir berkorelasi dengan usia kehamilan dan berat lahir r=0.5 dan r=0.6. Perbandingan kualitas tulang pada usia 40 minggu setelah lahir, nilai QUS bayi prematur bayi lahir pada minggu ke 24–28 minggu kehamilan lebih rendah dari bayi cukup bulan P0.001. Ada korelasi QUS dengan alkalin pospat serum P0.001, suplementasi kalsium, pospat dan vitamin D masing-masing P0.001. Tidak ada korelasi antara QUS dengan konsentrasi kalsium dan pospat serum dan urin. Eastwood 2003 menjelaskan bahwa densitas mineral tergantung pada beban yang diterimanya, makin berat beban yang diterima, makin tinggi densitas mineral tulang. Guyton dan Hall 1997 menerangkan bahwa hubungan beban stress yang diterima tulang dengan densitas mineral tulang diduga karena adanya efek piezo-elektrik. Penekanan pada tulang akibat beban yang diterimanya menimbulkan potensial listrik negatif pada daerah yang tertekan dan potensial listrik positif pada bagian tulang lainnya. Apabila sejumlah kecil aliran listrik menjalar sepanjang tulang akan menyebabkan osteoblastik beraktifitas pada ujung negatif dari aliran listrik tersebut, sehingga terjadi peningkatan pengendapan tulang pada bagian yang tertekan yang mengakibatkan tulang menjadi padat. Suryono 2007 menyimpulkan bahwa pada kelompok pemberian susu segar, kepadatan tulang kaki setelah intervensi dipengaruhi oleh lamanya aktifitas olahraga p0.01. Bonjour 2000 menjelaskan bahwa peningkatan densitas mineral tulang dapat dihasilkan oleh aktivitas fisik yang intensif. Aktivitas fisik dapat mengurangi kehilangan massa tulang bahkan menambah massa tulang dengan cara meningkatkan pembentukan tulang lebih besar daripada resorpsi tulang Henrich 2003. Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa ada hubungan aktivitas fisik sehari-hari dengan kepadatan tulang r=0.757; p=0.000. Groff dan Groppe 2000 membuktikan pula bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan penambahan kepadatan mineral tulang belakang. Aktivitas fisik seperti berjalan kaki, berenang dan naik sepeda pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. 2.3 Densitas Asupan Gizi dan Pola Konsumsi Pangan Drewnoski 2005 menyimpulkan bahwa densitas asupan zat gizi berbeda dengan Dietary Reference Intakes DRIs. Densitas asupan zat gizi adalah cara untuk mengekspresikan kecukupan zat gizi dari diet yang diberikan; sedangkan DRIs merupakan perkiraan kuantitatif dari asupan zat gizi yang dapat digunakan untuk perencanaan dan penilaian diet dari orang-orang. Persentase niai-nilai harian sering dihitung atas dasar batas atas dari DRIs Trumbo et al. 2001; Trumbo et al. 2002. Densitas zat gizi didefinisikan sebagai rasio komposisi zat gizi dari suatu pangan terhadap kebutuhan zat gizi manusia. Hansen et al. 1987 menyimpulkan bahwa perbandingan resmi komposisi zat gizi pangan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika dibuat pada suatu standar berdasarkan per kalori -biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal. Departemen Kesehatan RI 2001 menjelaskan bahwa ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI dapat dilanjutkan sampai bayi berusia 24 bulan. Winarno 1990 menyampaikan bahwa seorang ibu pada hari pertama sejak bayi lahir akan dapat menghasilkan 50-100 mL ASI sehari dari jumlah ini akan terus bertambah sehingga mencapai sekitar 400-450 mL pada waktu bayi mencapai usia minggu kedua. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyusui bayinya selama 4-6 bulan pertama. Oleh karena itu, selama kurun waktu tersebut ASI mampu memenuhi kebutuhan gizi pada bayi. Setelah 6 bulan volume pengeluaran air susu menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan. Neilson 1995 menyimpulkan bahwa konsumsi ASI bayi usia 3 bulan rata-rata 750 mLhari. Produksi ASI dalam keadaan normal, volume susu terbanyak yang dapat diperoleh oleh bayi adalah pada 5 menit pertama. Penyedotanpenghisapan oleh bayi biasanya berlangsung selama 15-25 menit Winarno 1990. Nasution 2003 menyimpulkan bahwa volume ASI dipengaruhi oleh frekuensi bayi menyusu, lama bayi menyusu, dan kekuatan bayi mengisap ASI. Volume ASI paling tinggi adalah pada bulan ke-4 usia menyusu, dan menurun pada bulan ke-5 dan ke-6. WHO 1998 melaporkan bahwa asupan energi yang berasal dari ASI pada bayi usia 6-8 bulan sebanyak 217 kkal di negara berkembang. Kandungan energi ASI per 100 g sebesar 66 kkal Tabel 4, dengan demikian konsumsi ASI adalah 328,8 ghari. Simondon et al. 1996 menyimpulkan bahwa di Brazzaville, bayi yang tidak mengkonsumsi susu formula pada usia 4-5 bulan mengkonsumsi ASI rata-rata 460 ± 191 ghari. Bhadam dan Sweet 2010 menyimpulkan bahwa walaupun menyusu dengan optimal, bayi akan menjadi stunting jika tidak menerima makanan pendamping ASI dalam jumlah dan kualitas yang cukup setelah berusia enam bulan. Tabel 3 Kandungan zat gizi per 100 g ASI Zat Gizi Kandungan Air Susu Ibu per 100 g Hardinsyah dan Briawan 1994 WHO 1998 Energi, kkal 65 66 Protein, g 1.1 1.02 Vitamin B1, mg 70 0.02 Vitamin C, mg 2.7 3.9 Zat besi Fe, mg 9 0.03 Kalsium, mg 35.5 27.2 Fosfor, mg 12.2 13.6 WHO 2005 melaporkan bahwa j ika jumlah pangan hewani lain cukup dikonsumsi secara rutin, jumlah susu yang dibutuhkan anak usia 6-11 bulan adalah ~200-400 mLhari, jika tidak, jumlah susu yang dibutuhkan adalah ~300- 500 mLhari. Susu yang dapat diterima meliputi susu hewan full-cream sapi, kambing, kerbau, domba, unta, susu ultra high temperature UHT, susu yang diuapkan kemudian dilarutkan, dan susu fermentasi atau yogurt. Densitas mineral tulang ditentukan oleh konsumsi kalsium, ketersediaan vitamin D dan faktor genetik IOM 1977. Rasio Ca dan P untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1 Khomsan 2002. Attwood 2003 menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik, namun konsumsi protein yang tidak diikuti dengan konsumsi kalsium yang cukup dapat memberikan pengaruh pada menurunnya kepadatan tulang. Hal ini dikarenakan konsumsi protein dapat meningkatkan hilangnya kalsium melalui urin. Kosnayani 2007 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat r=0.873 antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang p=0.000. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal Shroff Pai 2000. Sumber kalsium yang bukan berasal dari susu dapat diperoleh dari bahan pangan khususnya dari sayuran hijau, kacang-kacangan, dan ikan laut Suryono 2007. WHO 2001 melaporkan bahwa sulit menginterpretasikan hubungan energi dan pertumbuhan anak. Namun demikian, Anton, Castro dan Paramastri 2005 menyimpulkan bahwa ada hubungan energi dan protein dengan pertumbuhan anak. Waterlow dan Schürch 1994 menyimpulkan bahwa pada anak usia dua tahun asupan kalsium signifikan lebih rendah pada anak stunting. Angeles et al. 1993 menyimpulkan bahwa suplementasi zat besi Fe terlihat mengurangi diare pada anak. Broto menjelaskan bahwa 70 kerangka manusia terdiri dari fosfor. Robins 1994 menyimpulkan bahwa copper merupakan enzim dalam proses pembentukan kolagen. WHO 2001 melaporkan bahwa suplemen seng Zn pada anak-anak diduga mengurangi durasi dan keparahan diare, disentri dan infeksi saluran pernafasan akut ISPA. The National Academy of Sciences 2002 menyimpulkan bahwa mangan merupkan zat gizi esensial dalam pembentukan tulang; magnesium berperan metabilisme matrik tulang dan metabolisme mineral tulang; potasium merupakan enzim penting dalam metabolisme karbohidrat; dan vitamin B7 penting untuk proliferasi sel. Ehrlich 2010 menjelasksan bahwa v itamin D meningkatkan absorpsi kalsium dalam memelihara tulang. Hardinsyah 2001 menjelaskan bahwa mutu gizi pangan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan dan penggunaan makanan oleh tubuh, sehingga dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan baik individu maupun masyarakat. Mutu gizi pangan atau makanan adalah totalitas kandungan gizi dari makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Konsep mutu gizi yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan semua zat gizi, yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan. Meningkatkan mutu asupan pangan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pangan yang bergizi, perubahan sikap, serta perubahan perilaku sehari-hari dalam menentukan, memilih, dan mengonsumsi pangan Hardinsyah Martianto 1992. Vitamin C sebagai kofaktor penting untuk enzim yang memproduksi kolagen Martini 2006.

2.4 Alternatif ProgramIntervensi Mengatasi Stunting