Stunting risk factors, food and nutrition consumption pattern of young children 0 23 months

(1)

FAKTOR-FAKTOR RISIKO

STUNTING

,

POLA KONSUMSI PANGAN, ASUPAN ENERGI

DAN ZAT GIZI ANAK 0-23 BULAN

ASLIS WIRDA HAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

FAKTOR-FAKTOR RISIKO

STUNTING

,

POLA KONSUMSI

PANGAN, ASUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI

ANAK 0-23 BULAN

ASLIS WIRDA HAYATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Gizi Manusia

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Faktor-faktor Risiko

Stunting, Pola Konsumsi Pangan, Asupan Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2013

Aslis Wirda Hayati


(4)

Consumption Pattern of Young Children 0-23 Months. Under direction of HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, and DODIK BRIAWAN

The objective of this study was to analyze the risks factors of stunting, food and nutrition consumption pattern in young children of 0-23 months old (YC) using the data from Riskesdas 2010. From 6,634 YC in the data, 3,539 were screened out. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus 2007, while the other data were processed using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Logistic regression was applied to analyze the risk factors; Man-Whitney U test the different of food consumption, energy and nutrients intake patterns. Between the results of this study showed that the risk of stunting in children 6-11 months and 12-23 are 1.59 and 2.18 times respectively compared to children 0-5 months. The risk of stunting in children with low birth-weight (LBW) is 1.81 times higher compared to children born with normal weight. Underweight YC, YC with low density of protein intake, YC with stunted mother, and YC with low income family status have 3.07, 1.32, 1.57, and 1.26 times respectively of stunting risk. Furthermore, the food consumption, and energy and nutrients intake patterns were different between stunting and non-stunting YC according to their age group. There was no difference in food consumption, and energy and nutrients intake patterns between stunting and non-stunting children 0-5 months, but there was difference in children 6-11 and 12-23 months. The implication for Indonesia is the prevention of stunting of the YC should be done by improving the health and nutrition of pregnant mothers, increasing the food quality for YC, and increasing the income of low income families. It is necessary to study the efficacy of nutritional interventions to achieving optimal linear growth in YC.

Key words: birth-weight, family economic, food consumption, protein density, stunting


(5)

RINGKASAN

ASLIS WIRDA HAYATI. Faktor-faktor Risiko Stunting, Pola Konsumsi Pangan, Asupan Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan. Dibimbing oleh HARDINSYAH, FASLI JALAL, SITI MADANIJAH, dan DODIK BRIAWAN

Akhir-akhir ini masalah stunting semakin menjadi perhatian terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena faktor gizi dan faktor non-gizi, yang berisiko meningkatkan kegemukan dan penyakit tidak menular (degeneratif) pada saat dewasa. Beberapa penelitian anak stunting di Indonesia

Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Desain Riskesdas 2010 adalah potong lintang dan merupakan penelitian non-intervensi. Populasi sampel mewakili seluruh rumah tangga di Indonesia. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan (screened out) karena: 1) data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap, 2) nilai z-skor BB/U, TB/U dan IMT/U termasuk pencilan, 3) pengumpulan data konsumsi pangan saat kondisi tidak biasa (perhelatan/hari besar/sakit), dan 4) nilai asupan energi termasuk pencilan sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 3 095 anak. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis faktor-faktor risiko menerapkan regresi logistik, dan uji beda pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi menerapkan Uji Man-Whitney U. menyimpulkan keterkaitan stunting dengan faktor-faktor non-gizi. Upaya mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang faktor-faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak

stunting dari kajian epidemiologi di Indonesia. Oleh karen itu tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan (anak baduta).

Hasil kajian menunjukkan prevalensi stunting anak 0-23 bulan sebanyak 37.4%. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor umur anak, berat lahir anak, berat anak, densitas asupan protein anak, tinggi ibu, dan status ekonomi keluarga berhubungan erat dengan stunting anak baduta (z-skor TB/U). Model ini secara keseluruhan memprediksi dengan benar 66.6% pertumbuhan linier anak 0-23 bulan. Risiko stunting pada anak 6-11 bulan dan anak 12-23 bulan masing-masing adalah 1.59 kali dan 2.18 kali dibanding anak 0-5 bulan. Risiko stunting

anak yang dilahirkan dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) adalah 1.81 kali dibanding anak lahir dengan BB normal. Sejumlah 62.3% anak baduta

underweight mengalami stunting. Anak yang underweight berpeluang stunting

3.07 kali. Risiko stunting anak yang lahir dari ibu yang pendek (<145 cm) 1.68 kali dibanding anak yang lahir dari ibu yang tidak pendek. Risiko stunting anak yang status ekonomi rumah tangganya rendah (kuintil 1 dan 2) 1.26 kali dibanding anak yang status ekonomi rumah tangganya menengah ke atas (kuintil 3, 4 dan 5). Risiko stunting anak 0-23 bulan yang densitas asupan proteinnya kurang dari 20 g per 1 000 kkal 1.32 kali anak yang densitas asupan proteinnya lebih dari 40 g per 1 000 kkal (CI 95%: 1.05-1.67).


(6)

v

Rata-rata asupan protein anak 0-23 bulan yaitu 19.4±12.9 g. Adapun rata-rata tingkat kecukupan proteinnya yaitu 135.1±86.5%; dan rata-rata-rata-rata densitas asupan protein sebanyak 30.0±19.3 per 1 000 kkal (densitas protein standar yakni 20-40 g per 1 000 kkal).

Persen asupan protein hewani terhadap total asupan protein anak 0-23 bulan berkorelasi kuat dengan densitas asupan protein (r=0.685; p<0.01). Persen asupan protein hewani terhadap total asupan protein anak stunting dan anak tidak

stunting 0-23 bulan masing-masing 58.2±34.1% dan 61.5±33.3%.

Jenis pangan hewani yang dikonsumsi anak usia 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 3, 36, dan 57 jenis. Hampir seluruh anak 0-5 bulan hanya mengkonsumsi ASI dan/atau tepung susu. Anak 6-11 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin gabus goreng. Anak 12-23 bulan banyak yang mengkonsumsi ikan asin kering, ikan segar, ikan bandeng, teri goreng, dan lele goreng (n > 20 anak).

Jumlah anak 0-23 bulan yang pernah diberi ASI sebanyak 90.2%, sebanyak 3.05% diantaranya merupakan ASI eksklusif (tidak berbeda antara anak

stunting dan tidak stunting). Rata-rata konsumsi ASI anak 0-5 bulan sebanyak 591.6 g/hari, hal tersebut sudah memenuhi standar konsumsi susu yaitu 500 ml per hari. Namun, rata-rata asupan ASI anak 6-11 bulan sebanyak 498.4 g per hari dan rata-rata asupan ASI anak 12-23 bulan sebanyak 466.2 g per hari, rata-rata konsumsi ASI anak 6-23 bulan tersebut kurang dari standar diet. Oleh karena itu, konsumsi pangan hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan dan disertai dengan pendidikan gizi anak 6-23 bulan. Alternatif lain untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas makanan anak 6-23 bulan yaitu melalui fortifikasi.

Pola konsumsi pangan mencakup jumlah jenis pangan, jumlah kelompok pangan yang dikonsumsi dan frekuensi makan per hari. Rata-rata jumlah jenis konsumsi pangan anak stunting dan tidak stunting 12-23 bulan berbeda masing-masing 4.4±1.9 dan 4.6±2.0 jenis per hari (p<0.05). Adapun jumlah jenis pangan yang dikonsumsi dan frekuensi makan anak stunting dan tidak stunting tidak berbeda.

Pada anak 0-23 bulan, rata-rata tingkat kecukupan dan/atau densitas asupan energi dan protein anak stunting dan tidak stunting tidak berbeda, namun rata-rata tingkat kecukupan dan/atau densitas asupan zat gizi mikro mereka (kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C) berbeda. Pada anak 0-5 bulan, rata-rata tingkat kecukupan dan/atau densitas asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting tidak berbeda; namun pada anak 6-11 bulan berbeda (protein), demikan pula pada anak 12-23 bulan (energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin C).

Pada anak 0-23 bulan, rata-rata densitas asupan kalsium anak stunting dan tidak stunting berturut-turut 435.4±419.1 dan 471.9±433.9 mg per 1 000 kkal (p<0.05); zat besi 4.1±3.2 dan 3.9±3.1 mg per 1 000 kkal per hari (p<0.01); vitamin A 522.3±431.0 dan 556.0±421.3 µg RE per 1 000 kkal per hari (p<0.01); vitamin C 18.0±19.0 dan 18.8.0±19.0 mg per 1 000 kkal per hari (p<0.05); tingkat kecukupan fosor 85.0±66.2 dan 94.2±68.1% (p<0.01); vitamin B1 184.3±157.1 dan 197.6±162.6% (p<0.05); dan mutu gizi konsumsi pangan 58.9±20.9 dan 61.3±20.0% (p<0.01).


(7)

vi

Hasil-hasil analisis tersebut memberikan implikasi bagi Indonesia adalah mencegah stunting perlu meningkatkan gizi dan kesehatan ibu hamil, pemberian ASI eksklusif, meningkatkan kualitas makanan anak 0-23 bulan dan peningkatan pendapatan keluarga berpenghasilan rendah. Alternatif lain untuk meningkatkan kualitas makanan anak yaitu melalui fortifikasi. Terkait dengan fortifikasi, saat ini sudah ada MP-ASI yang difortifikasi dan bubuk tabur gizi (Taburia), namun belum ditujukan untuk mengatasi stunting. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian formulasi dan uji klinis untuk mencegah dan mengurangi prevalensi

stunting. Mengingat data konsumsi pangan banyak yang tidak dapat dipakai dalam analisis, maka disarankan agar data konsumsi pangan dikumpulkan dan dientri oleh ahli gizi dan pengambilan data dilakukan secara sub sampel.

Kata kunci: berat lahir, densitas asupan protein, ekonomi keluarga, konsumsi pangan, stunting


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Judul Disertasi : Faktor-faktor Risiko Stunting, Pola Konsumsi Pangan, Asupan Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan

Nama : Aslis Wirda Hayati

NIM : I162080031

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS

Prof. dr. Fasli Jalal, PhD, SpGK

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS

Anggota

Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Manusia

drh. M. Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc.PhD Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. dr. Kusharisupeni Dr.

Djokosujono, M.Sc. Ir. Hadi Riyadi, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. dr. Trihono, M.Sc.


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Maret 2012 ini ialah stunting.

Disertasi ini memuat dua bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Bab 6 yang berjudul Faktor-faktor Risiko

Stunting Anak 0-23 Bulan sedang menunggu penerbitan di Jurnal Forum Pascasarjana bulan April 2013 volume 36 (2) dan Bab 7 yang berjudul Pola Konsumsi Pangan dan Asupan Energi dan Zat Gizi Anak Stunting dan Tidak

Stunting 0-23 Bulan sedang menunggu penerbitan di Jurnal Gizi dan Pangan bulan Juli 2013 volume 7 (2).

Terimakasih saya sampaikan kepada institusi dan orang yang berkontribusi dalam studi saya. Saya berhutang budi kepada Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) yang memberikan beasiswa untuk studi doktoral saya; dan kepada Dra. Sunarsieh, M.Kes dari Politeknik Kesehatan Pontianak yang telah mengizinkan saya untuk meneruskan studi.

Saya mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, Prof. dr. Fasli Jalal, PhD, SpGK, Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN yang memberikan bimbingan-bimbingan intelektual, dan komentar-komentar kritis yang sangat bermanfaat. Masing-masing dari mereka berkontribusi yang sangat signifikan terhadap disertasi ini. Terimakasih juga saya sampaikan kepada Dr. Minarto, MPS, Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS, Dr. Drajat Martianto, MSi dan Dr. Anis Irawati, MKM yang telah memberikan komentar-komentar dan saran-saran kritis.

Penelitian ini tidak mungkin diwujudkan tanpa kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes yang bersedia memberikan data Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007 dan 2010 yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, saya juga memberikan penghargaan kepada institusi dan orang yang berkontribusi dalam studi pendahuluan yaitu Ir. Itje Aisyah Ranida, M.Kes dari Direktorat Bina Gizi Kemenkes dan Ibu Yuli dari PT Tiga Pilar Sejahtera atas bantuan bubuk multivitaminmineral (Taburia), Yayasan Supersemar yang telah memberi bantuan dana penelitian, Tim Ethical Clearance

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia atas izin etik penelitian, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor atas izin melakukan penelitian di wilayahnya. Kepada Tim Reviewer dari Danone Institut Indonesia (yang terdiri dari 22 orang pakar gizi nasional dan internasional) saya juga menyampaikan perhargaan atas saran-saran kritis selama dua tahun saya mempersiapkan penelitian ini.

Saya juga menyampaikan terimakasih kepada Dr. Abas Basuni Jahari, M.Sc. dari Badan Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Kemenkes yang telah memberikan saran-saran kritis tentang pengukuran antropometri dan statistik. Terimakasih juga saya sampaikan kepada Dr. Sanjdaja, MPH atas kesempatan mengikuti pengambilan data penelitian “National Nutritional Assessment of Children Age 6 Months – 12 Years Old in Indonesia: A Southeast Asia Nutrition (SEANUT)” sehingga saya dapat mengakses densitometer anak. Terimakasih juga saya sampaikan dr. Dhevariza Pra Dhani, Sp.OT dari


(12)

xii

RSIA Hermina Bogor atas bimbingan terkait dengan biomarker pertumbuhan linier (osteocalcin urin). Terimakasih juga saya sampaikan kepada Ibu Amy dari Laboratorium Klinik Prodia Bogor dan Ibu Endah dari Laboratorium Forensik Kepolisian RI atas bimbingan terkait dengan analisis biomarker pertumbuhan linier. Terimakasih juga saya sampaikan kepada Drh. Endi Ridwan, M.Sc -Kepala Laboratorium Percobaan Badan Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan- atas bimbingan terkait dengan uji bioavailabilitas multivitamin mineral pada hewan coba.

Ungkapan terimakasih yang tulus saya sampaikan kepada Ibu Fatimah Hayatun Nufus, SPd.I dan Ayah Wizarni Alwi. Mereka mengilhami di sepanjang hidup saya. Terimakasih juga saya sampaikan kepada kakak-kakak dan adik-adik saya: Drs. Andri Wifa, M.Si, Arius Zarni, Arsyadi Zarni, Budi Mulia, A.Md., dan Fatimah Wiza, A.Md yang mendorong saya untuk mencapai pendidikan tertinggi. Akhirnya, saya mengucapkan terimakasih kepada suami Saikhul Akhyar untuk cinta dan kasih sayang yang diberikan. Juga kepada anak Amany Akhyar dan Alfansuri Akhyar, terimakasih telah menemani dan bersama-sama dalam menempuh pendidikan. Semoga Allah SWT membalasi kebaikan yang telah diberikan kepada saya dengan yang lebih baik.

Bogor, Maret 2013


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten 50 Kota pada tanggal 28 Agustus 1970 dari ayah Wizarni Alwi dan ibu Fatimah Hayatun Nufus, S.Pd.I. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Fakultas Pertanian (Faperta) IPB, lulus 1995. Pada tahun 1999, penulis diterima di program studi yang sama, Program Pascasarajana IPB dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Mayor Ilmu Gizi Manusia pada perguruan tinggi yang sama diperoleh tahun 2008; beasiswa pendidikan diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Pontianak sejak 2001. Sebelumnya, penulis menjadi asisten dosen luar biasa di Jurusan GMSK, Faperta IPB sejak 1995-2001. Tahun 2007, penulis menjadi Penanggung Jawab Operasional Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2007 di Kota Pontianak Propinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2008, penulis menjadi Peneliti Utama Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) Angka Kematian Ibu dan Anak Propinsi Kalimantan Barat. Tahun 2009, ”Buku Saku Gizi Bayi” yang penulis tulis diterbitkan oleh Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sejak mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Himpunan Alumni

The 7th South East Asian Nutrition Leadership Program. Karya ilmiah yang berjudul ”Determinan Stunting Anak Baduta: Analisis Data Riskesdas 2010” telah disajikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X di Jakarta pada bulan Nopember 2012. Selain itu, abstrak karya ilmiah yang berjudul“Protein density, body weight, economic status and mothers height are risk factors of stunting among Indonesian young children” sedang diikutsertakan dalam seleksi presentasi oral pada IUNS 20th International Congress of Nutrition di Granada bulan September 2013. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.


(14)

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR GAMBAR ……….. xx

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xx

1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang ...………. 2

Tujuan ………....……… 5

Manfaat ……….. 5

Ruang Lingkup Penelitian ………. 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Masalah Stunting Global dan Nasional ... 8

Faktor Penyebab Stunting ………. 9

Densitas Asupan Gizi dan Pola Konsumsi Pangan ... 14

Alternatif Program/Intervensi Mengatasi Stunting ... 17

3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 23 Kerangka Pemikiran ... 24

Definisi Operasional ... 28

4 METODE 31 Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

Cara Pemilihan dan Penentuan Sampel ... 32

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 33

Pengolahan dan Analisis Data ... 35

5 KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN ASUPAN ZAT GIZI ANAK 0-23 BULAN 41 Abstrak ... 42

Abstract... 43

Pendahuluan ... 44

Metode ... 46

Hasil ... 49

Pembahasan ... 59

Simpulan ... 68


(15)

xv

6 FAKTOR-FAKTOR RISIKO STUNTING ANAK 0-23 BULAN 73

Abstrak ... 74

Abstract ... 75

Pendahuluan ... 76

Metode ... 77

Hasil dan Pembahasan ... 82

Simpulan ... 93

Daftar Pustaka ... 94

7 POLA KONSUMSI PANGAN, ASUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI ANAK STUNTING DAN TIDAK STUNTING 0-23 BULAN 97 Abstrak ... 98

Abstract ... 99

Pendahuluan ... 100

Metode ... 100

Hasil dan Pembahasan ... 104

Simpulan ... 116

Daftar Pustaka ... 116

8 PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI PENELITIAN 119 Densitas asupan protein... 120

Konsumsi pangan anak dan status ekonomi rumah tangga ... 126

Menu makanan anak 0-23 bulan ... 131

Formula multivitaminmineral untuk mencegah stunting ………….. 135

Waktu yang diperlukan untuk mengatasi stunting ... 138

Karakteristik anak, orang tua, dan rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak yang tidak pernah diberi ASI ... 141 Sanitasi lingkungan rumah tangga anak 0-23 bulan ... 150

Kehamilan, persalinan dan pemeriksaan sesudah melahirkan ibu anak 0-23 bulan ... 152 Karakteristik anak yang dikeluarkan dari sampel dan anak yang terpilih menjadi sampel ... 155 Keterbatasan penelitian ... 159

9 SIMPULAN DAN SARAN 161 Simpulan ... 162

Saran ... 163

DAFTAR PUSTAKA ... 165


(16)

BAB II

1 Prevalensi anak balita stunting di berbagai negara/wilayah ... 8

2 Standar panjang badan menurut umur ... 10

3 Kandungan zat gizi per 100 g ASI ... 15

BAB IV 1 Perhitungan estimasi kebutuhan energi (EER) menurut umur ... 36

2 Klasifikasi status gizi berdasarkan z-skor IMT/U ... 37

3 Perhitungan kebutuhan protein berdasarkan kelompok umur ... 38

4 Kategori tingkat kecukupan zat gizi ... 38

5 Standar densitas asupan zat gizi ... 39

BAB V 1 Standar densitas asupan zat gizi ... 48

2 Sebaran subyek berdasarkan status stunting dan karakteristik anak 0-23 bulan ... 49

3 Sebaran subyek berdasarkan status stunting dan tingkat konsumsi, mutu, dan densitas gizi anak 0-23 bulan ... 51

4 Sebaran subyek berdasarkan status stunting, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan anak 0-23 bulan ... 52

5 Sebaran subyek berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan ... 54

6 Sebaran subyek berdasarkan status stunting dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan ... 56

7 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan kakteristik anak 0-23 bulan ... 57

8 Jumlah penduduk dan jumlah stunting menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2012 ... 57

9 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan tingkat konsumsi, mutu, dan densitas gizi anak 0-23 bulan ... 60

10 Jumlah anak berdasarkan status stunting, kesehatan anak, sanitasi lingkungan anak 0-23 bulan ... 63

11 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan ... 65

12 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan ... 66


(17)

xvii BAB VI

1 Perhitungan estimasi kebutuhan energi (EER) menurut umur ... 79

2 Klasifikasi status gizi berdasarkan z-skor IMT/U ... 80

3 Perhitungan kebutuhan protein berdasarkan kelompok umur ... 80

4 Kategori tingkat kecukupan zat gizi ... 81

5 Standar densitas asupan zat gizi ... 81

6 Sebaran anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting dan karakteristik anak ... 82

7 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan tingkat kecukupan zat gizi, mutu gizi asupan pangan, dan densitas asupan zat gizi anak 83 8 8 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan tingkat kecukupan zatgizi, mutu gizi asupan pangan, dan densitas asupan zat gizi anak 86 9 Rata-rata asupan, tingkat kecukupan, dan densitas asupan gizi anak 0-23 bulan ... 87

10 Densitas asupan protein dari diet anak baduta di Amerika, Peru, Meksiko dan Indonesia ... 88

11 Asupan, protein, dan energi pangan hewani anak 0-23 bulan ... 88

12 Sebaran anak berdasarkan status stunting, kesehatan anak, dan sanitasi lingkungan anak 0-23 ... 89

13 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan ... 91

14 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan karakteristik keluarga anak 0-23 bulan ... 92

BAB VII 1 Perhitungan estimasi kebutuhan energi (EER) menurut umur ... 103

2 Pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi harian anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting ... 105

3 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan jumlah jenis pangan harian yang dikonsumsi anak 0-23 bulan ... 107

4 Jumlah anak berdasarkan status stunting dan kelompok jumlah jenis pangan harian yang dikonsumsi anak 0-23 bulan ... 107

5 Total jenis pangan menurut kelompok konsumsi pangan yang dikonsumsi anak 0-23 bulan ... 108

6 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan frekuensi makan harian anak 0-23 bulan ... 109

7 Sebaran anak berdasarkan status stunting dan frekuensi makan harian anak 0-23 bulan ... 110


(18)

xviii

9 Jumlah konsumsi ASI harian anak 0-23 bulan ... 115 BAB VIII

1 Densitas asupan protein anak 0-23 bulan berdasarkan AKG (2004 .. 120 2 Densitas asupan protein anak 0-23 bulan ... 121 3 Sebaran anak berdasarkan densitas asupan protein anak 0-23 bulan 121 4 Sebaran anak berdasarkan densitas asupan protein anak ... 122 5 Densitas asupan protein berdasarkan status stunting anak 0-23

bulan ... 123 6 Asupan protein dan energi pangan hewani anak 0-23 bulan ... 123 7 Densitas asupan protein dari diet anak baduta di Amerika, Peru,

Meksiko dan Indonesia ... 124 8 Jumlah asupan protein ASI harian anak 0-23 bulan... 124 9 Risiko stunting berdasarkan densitas asupan protein anak 0-23

bulan ... 125 10 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi menurut status

ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan ... 129 11 Rata-rata densitas asupan zat gizi menurut status ekonomi rumah

tangga anak 0-23 bulan ... 130 12 Kandungan gizi menu sehari anak 11 bulan ... 133 13 Jadwal pemberian makanan anak 1-2 tahun ... 134 14 Jumlah susu formula untuk bayi 0-6 bulan yang tidak diberikan

ASI ... 134 15 Konsumsi energi dan energi yang diperlukan dari MP-ASI ... 135 16 Mikronutrien dan Pangan yang Mengeatasi Stunting ... 136 17 Kandungan gizi makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI),

fortifikasi dan suplementasi anak 6-59 bulan ... 137 18 Rancangan formula bubuk tabur baru untuk mencegah stunting

anak 0-23 bulan ... 138 19 Sebaran subyek berdasarkan status stunting dankarakteristik anak

0-23 bulan ... 139 20 Perbedaan rata-rata panjang badan anak stunting dan anak tidak

stunting 0-23 bulan ... 139 21 Peningkatan rata-rata panjang badan anak 4 bulan setelah

intervensi ... 140 22 Rata-rata z-skor PB/U anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif

dan anak yang tidak pernah diberi ASI berdasarkan status stunting . 141


(19)

xix

23 Karakteristik anak 0-23 bulan yang diberi ASI eksklusif dan anak

yang tidak pernah diberi ASIberdasarkan status stunting ... 142 24 Rata-rata umur orang tua yang memberikan ASI eksklusif dan yang

tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan ... 143 25 Pendidikan ibu yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak

pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan ... 144 26 Pendidikan ayah yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak

pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan ... 145 27 Pekerjaan ibu yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak

pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan ... 146 28 Pekerjaan ayah yang memberikan ASI eksklusif dan yang tidak

pernah memberikan ASI kepada anak 0-23 bulan ... 147 29 Jumlah anak balita di rumah tangga yang memberikan ASI

eksklusif dan yang tidak pernah memberikan ASI kepada anak 0-23

bulan ... 148 30 Besar rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberikan ASI eksklusif

dan yang tidak pernah diberikan ASI ... 148 31 Wilayah tempat tinggal anak 0-23 bulan yang diberikan ASI

eksklusif dan yang tidak pernah diberikan ASI ... 149 32 Status ekonomi rumah tangga anak 0-23 bulan yang diberikan ASI

eksklusif dan yang tidak pernah diberikan ASI ... 150 33 Sanitasi lingkungan rumah tangga anak 0-23 bulan berdasarkan

status stunting ... 151 34 Kehamilan, persalinan dan pemeriksaan sesudah melahirkan ibu

anak 0-23 bulan berdasarkan status stunting ... 154 35 Rata-rata z-skor PB/U anak 0-23 bulan yang menjadi sampel dan

anak yang dikeluarkan dari sampel berdasarkan status stunting ... 155 36 Karakteristik anak 0-23 bulan yang dikeluarkan dari sampel dan

anak yang terpilih menjadi sampel berdasarkan status stunting ... 156 37 Persentase sampel yang dikeluarkan dan sampel yang terpilih

menurut propinsi ... 157 38 Persentase sampel yang dikeluarkan menurut status stunting ... 158


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman BAB II

1 Status gizi anak balita Indonesia ………... 8 2 Penyebab masalah gizi ... 9 BAB III

1 Kerangka teoritis penelitian faktor-faktor risiko stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan ... 26 2 Kerangka operasional penelitian faktor-faktor risiko stunting, pola

konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan ... 27 BAB VIII

1 Menu seimbang anak 11 bulan ... 132

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Rencana intervensi spesifik Gerakan 1 000 HPK ... 173 2 Peubah, data, nilai, metode pengambilan data dan analisis data ... 174 3 Korelasi Spearman peubah penelitian ... 181 4 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi

pangan hewani harian anak 0-5 bulan ... 185 5 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi

pangan hewani harian anak 6-11 bulan ... 185 6 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi


(21)

BAB 1


(22)

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan salah satu masalah gizi global, terutama di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Namun, penelitian tentang stunting

masih sedikit. Paling banyak adalah penelitian tentang underweight. WHO (2001) melaporkan bahwa prevalensi stunting global anak balita sekitar 33% di negara-negara berkembang, namun sangat bervariasi diantara mereka. Berdasarkan data tahun 2000, prevalensi anak balita stunting di Afrika Timur (48%)1 adalah yang tertinggi di dunia, urutan berikutnya adalah Asia Tengah bagian Selatan (44%), Afrika Barat (35%), Asia Tenggara (33%), dan Amerika Tengah (24%), Afrika Utara (20%), Karibia (19%), dan Amerika Utara (13%). Lima tahun kemudian, WHO Statistical Information System (2006) melaporkan bahwa berdasarkan data tahun 2002, prevalensi stunting anak balita di Indonesia sebanyak 42.2%. Kemenkes (2008) dan Kemenkes (2010) melaporkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas), prevalensinya berturut-turut 36.8% dan 35.6%2

Prevalensi stunting anak baduta (0-2 tahun) lebih besar dibanding anak balita (0-5 tahun).

. Kemudian, Soekirman (2011) mengungkapkan bahwa dengan jumlah tersebut Indonesia menurut WHO tercatat menduduki peringkat ke-5 terbanyak stunting di dunia (keadaan ini hanya lebih baik dari India, Tiongkok, Nigeria dan Pakistan).

Usia 6-11 bulan adalah waktu yang sangat rentan karena bayi baru belajar makan (Academy for Educational Development of Africa 2004). Prevalensi stunting paling banyak terjadi pada kelompok usia 12-23 bulan (Kemenkes 2010). Bhutta et al. (2008) melaporkan bahwa dari studi review di 36 negara diketahui bahwa prevalensi stunting anak di bawah satu tahun sebanyak 40% dan prevalensi stunting anak di bawah dua tahun mencapai 54%. Kemenkes (2010) melaporkan bahwa prevalensi stunting anak di bawah satu dan dua tahun masing-masing sebanyak 32.1 dan 41.5%. Jalil et al. (1993) menyimpulkan bahwa stunting biasanya mulai terjadi ketika anak berumur 4-6 bulan. Schmidt et al. (2002) menyimpulkan bahwa pertumbuhan linier mulai tersendat-sendat pada

1

Prevalensi stunting > 20% dianggap tinggi dan merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat

(WHO 2006) 2

Total anak balita Indonesia sebanyak 23 juta, 7.6 juta (35.6 %) diantaranya stunting (Kemenkes


(23)

3

anak berumur 6-7 bulan. Waterlow dan Schürch (1994) menyimpulkan bahwa anak umumnya menjadi stunting ketika berumur 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Lebih jauh WHO (2001) melaporkan bahwa semakin awal anak-anak menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka

Stunting pada anak dapat berdampak negatif terhadap perkembangan kognitif, emosi, perilaku, pendidikan, bahkan produktifitas dan penyakit ketika mereka dewasa.

.

Stunting pada anak sering dikaitkan dengan buruknya perkembangan kognitif dan motorik

Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan pada usia dini karena faktor gizi dan faktor non-gizi. Stunting terkait dengan gangguan pada proses pertumbuhan linier (Frongillo 1999). WHO (2010)

(WHO 2001). Stunting pada anak sebelum berusia 2 tahun dapat menimbulkan emosi dan perilaku yang kurang baik (Walker 1991). Stunting berkaitan dengan IQ yang lebih rendah pada anak-anak pra-sekolah dan anak-anak usia pra-sekolah (Alive and Thrive 2010). Selain itu Walker (1991) menyimpulkan pula bahwa stunting pada usia 3 tahun dapat memperpanjang masa studi di sekolah dasar (1.6 tahun pada laki-laki & 1.3 tahun pada perempuan) dibanding anak tidak stunting. Andersen et al. (1993) menyimpulkan bahwa ibu yang stunting cenderung melahirkan anak dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) dan stunting. Bhutta et al. (2008) menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menjadi orang dewasa stunting (termasuk menjadi ibu-ibu yang stunting). Alive and Thrive (2010) menyimpulkan bahwa produktivitas tenaga kerja yang diukur berdasarkan upah berbeda berdasarkan status stunting. WHO (2010) menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menimbulkan berat badan lebih ketika dewasa. Panjang badan menurut umur pada usia anak dua tahun adalah prediktor terbaik kualitas sumberdaya manusia (human capital) (Alive and Thrive 2010).

melaporkan bahwa pertumbuhan terhambat mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai hasil kesehatan tidak optimal dan/atau kondisi gizi. Alive and Thrive (2010) melaporkan bahwa selama tahun pertama setelah lahir, kebutuhan zat gizi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang cepat sangat tinggi. WHO (2001) melaporkan bahwa penyebab stunting di negara


(24)

berkembang meliputi ASI yang tidak cukup, kualitas dan kuantitas MP-ASI yang tidak cukup; gangguan penyerapan zat gizi karena infeksi/parasit di intestinal; atau kombinasi dari faktor-faktor penyebab tersebut. Frongillo (1999) menyimpulkan bahwa faktor penyebab stunting yang penting yaitu: 1) defisiensi zat gizi (energi, makronutrien, dan mikronutrien); 2) infeksi (luka pada gastrointestinal mukosa, efek sistemik, dan immunisasi); dan 3) interaksi ibu-anak (gizi ibu dan cadangan pada waktu lahir, dan perilaku dalam berinteraksi), yang dipengruhi oleh sosial ekonomi/tingkat pendidikan keluarga. WHO (2010) melaporkan bahwa pada populasi, tingginya kejadian stunting berhubungan dengan kondisi sosial-ekonomi yang buruk yang meningkatkan risiko terpapar kondisi buruk seperti sakit dan/atau praktik makan yang tidak tepat.

Pemerintah Indonesia sudah membuat kebijakan untuk menurunkan prevalensi stunting antara lain melalui perbaikan gizi 1 000 hari pertama kehidupan (Gerakan 1 000 HPK) atau Scalling Up Nutrition (SUN) (Bappenas 2012). Upaya mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang faktor-faktor risiko stunting dari kajian epidemiologi di Indonesia. Berbagai penelitian tentang faktor risiko stunting pada umumnya pada anak baduta dilakukan dalam skala kecil. Misalnya p

Yuliana (2007) menyimpulkan bahwa faktor penting dalam keluarga yang turut menentukan pertumbuhan anak yaitu pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, besar keluarga, gaya pengasuhan orang tua, dan pendapatan per kapita.

enelitian Kusharisupeni (2006) di dua kecamatan di Kabupaten Indramayu yang menyimpulkan bahwa berat lahir berhubungan dengan terjadinya stunting pada umur 12 bulan. Penelitian Rahayu (2012) menunjukkan bahwa kejadian stunting pada usia 6-12 bulan di Kota dan Kabupaten Tangerang berhubungan dengan tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, berat lahir, panjang lahir, usia kehamilan ibu, pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Kajian Wahdah (2012) menunjukkan bahwa faktor risiko stunting anak 6-36 bulan di Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan ayah, tinggi ibu dan pemberian ASI eksklusif. Satu-satunya studi skala besar dilakukan Ulfani et al. (2011), menganalisis data anak balita -bukan anak baduta- Riskesdas 2007, menunjukkan


(25)

5

(PDRB)/kapita, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, perilaku higiene, dan pemanfaatan posyandu. Sementara itu, Kemenkes (2010) melaporkan bahwa data konsumsi pangan anak 0-23 bulan Riskesdas 2010 tidak dianalisis karena pada umur tersebut bayi atau anak masih mengonsumsi air susu ibu (ASI) sedangkan konsumsi energi dan zat gizi makro dari ASI sulit diperhitungkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini menganalisis faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan di Indonesia.

1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor risiko

stunting, pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak 0-23 bulan. Tujuan khususnya yaitu: 1) menganalisis faktor-faktor risiko stunting anak usia 0-23 bulan; dan 2) menganalisis pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting dan anak tidak stunting 0-23 bulan.

1.2.2 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan yang dapat menjadi masukan dalam perumusan kebijakan dan program gizi dalam mengatasi stunting anak 0-23 bulan.

1.3 Ruang Lingkup

Penelitian ini termasuk ke dalam ruang lingkup penelitian gizi masyarakat. Substansi penelitian ini mengenai stunting dan pola konsumsi pangan anak 0-23 bulan. Dilakukan analisis terhadap faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Selain itu, diuji beda pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi mereka.

Penyajian disertasi disusun menggunakan pola beberapa judul untuk artikel jurnal ilmiah, dengan maksud agar setiap judul memiliki fokus penelitian yang jelas dan kedalaman pengkajian. Selanjutnya untuk mengintegrasikan semua hasil penelitian tersebut disajikan bab pembahasan umum. Semua bab adalah sebagai berikut: Bab 1 tentang latar belakang, tujuan, manfaat, dan ruang lingkup penelitian. Bab 2 tentang tinjauan pustaka yang meliputi masalah


(26)

pangan, dan alternatif program/intervensi mengatasi stunting. Bab 3 tentang kerangka pemikiran penelitian. Bab 4 tentang lokasi, waktu, disain penelitian, cara pengumpulan dan analisis data. Bab 5 tentang karakteristik anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan. Bab 6 tentang faktor-faktor risiko stunting anak 0-23 bulan. Bab 7 tentang pola konsumsi pangan dan asupan gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan. Bab 8 tentang pembahasan umum dan keterbatasan dalam penelitian. Bab 9 tentang simpulan dan saran, diakhiri dengan daftar pustaka


(27)

BAB 2


(28)

2.1 Masalah Stunting Global dan Nasional

Prevalensi stunting anak balita (0-5 tahun) menjadi masalah di berbagai negara, terutama di negara sedang berkembang (Tabel 1). Berdasarkan laporan Kemenkes (2008) dan Kemenkes (2010) diketahui bahwa prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan 1.2% dari tahun 2007 ke 2010.

Tabel 1 Prevalensi anak balita stunting di berbagai negara/wilayah

Negara/Wilayah Prevalensi Stunting (%) Tahun Sumber

Afrika Timur 48.0 2000 WHO (2001)

Asia Tengah bagian Selatan 44.0 2000 WHO (2001)

Amerika Tengah 24.0 2000 WHO (2001)

Amerika Utara 13.0 2000 WHO (2001)

Belanda 0.8 1980 WHOSIS*

Timur Leste

(2006)

49.4 2003 WHOSIS

Komboja

(2006)

44.6 2000 WHOSIS

Vietnam

(2006)

36.5 2000 WHOSIS

Filipina

(2006)

32.1 1998 WHOSIS

Malaysia

(2006)

15.6 1999 WHOSIS

Tailand

(2006)

13.4 1995 WHOSIS

Singapura

(2006)

2.2 2000 WHOSIS

Indonesia

(2006)

35.6 2010 Kemenkes (2010)

Keterangan: *[WHOSIS] = WHO Statistical Information System

Kemenkes (2008) melaporkan bahwa nilai z-skor TB/U anak balita Indonesia lebih rendah dibanding nilai z-skor BB/U maupun BB/TB (Gambar 1). Hal tersebut antara lain bermakna bahwa stunting anak balita merupakan salah satu prioritas utama dalam upaya memecahkan masalah gizi di Indonesia. Victoria et al. (2010) menyimpulkan bahwa waktu terjadinya gangguan pertumbuhan yaitu 0-24 bulan pertama setelah lahir.

Sumber: Kemenkes (2008)


(29)

9

2.2 Faktor Penyebab Stunting

Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Penyebab masalah gizi pada anak dijelaskan pada Gambar 2. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang tidak memenuhi syarat gizi seimbang. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare dan penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6-23 bulan (MP-ASI), dan pangan yang bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan.

Sumber: Shekar (2011), diadaptasi dari UNICEF (1990) dan Ruel (2008)

Gambar 2 Penyebab masalah gizi

Stunting dapat disebabkan oleh sosial dan ekonomi yang miskin (WHO 2010); interaksi ibu dan anak semenjak kehamilan yang kurang baik (Alive and

Thrive 2010); pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup, gangguan absorpsi, atau kombinasi ketiganya (WHO 2001); praktek pemberian makanan yang tidak tepat, dan penyakit/infeksi (Bhutta et al. 2008); serta gangguan hormon, genetik, dan metabolisme (Cowin & Raton 2001).


(30)

Lebih jauh Specker et al. (1986) menyimpulkan bahwa faktor ras, umur, musim, dan diet memberi efek signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada masa bayi. Infeksi berkontribusi melalui luka pada mukosa gastro-intestinal, menyebabkan malabsorpsi, terutama mikronutrien, dan peningkatan permeabilitas terhadap antigen dan bakteri. Waterlow (1994) menyimpulkan pula bahwa efek sistemik infeksi, dimediasi oleh sitokin, mengakibatkan kehilangan

Pertumbuhan terjadi apabila sel bertambah banyak atau bertambah besar ukurannya.

zat gizi yang berlebihan.

Pertumbuhan merupakan proses perubahan fisik meningkatnya ukuran dan struktur tubuh

Tubuh yang pendek (stunting) terjadi karena kegagalan mencapai

(Satoto 1990). Pertumbuhan terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia (bertambahnya jumlah sel), hiperplasia dan hipertrofi (bertambahnya jumlah dan kematangan sel), dan hipertrofi (bertambahnya ukuran dan kematangan sel) (Anwar 2002).

potensi pertumbuhan linier tulang. Pertumbuhan tulang antara lain dipengaruhi oleh zat gizi. Makanan menyuplai zat gizi untuk pertumbuhan tulang. WHO (2010) melaporkan bahwa pertumbuhan terhambat mencerminkan proses kegagalan untuk mencapai potensi pertumbuhan linier sebagai hasil kesehatan tidak optimal dan/atau kondisi gizi (Tabel 2). Usia 6-11 bulan adalah waktu yang sangat rentan karena bayi baru belajar makan

Tabel 2

(Academy for Educational Development of Africa

2004).

Median panjang badan menurut umu

Umur (bulan)

r Panjang Badan (cm)

Laki-laki Perempuan

6 67.6 65.7

7 69.2 67.3

8 70.6 68.7

9 72.0 70.1

10 73.3 71.5

11 74.5 72.8

Sumber: WHO (2010)

Eastwood (2003) menjelaskan bahwa tulang terdiri dari mineral (35%, terutama Ca and P), materi organik (20%, terutama kolagen), dan air (45%). Broto (2004) mengatakan bahwa kerangka manusia terdiri dari bahan organik (30%) dan mineral (70%). Substansi organik terdiri dari sel-sel tulang (2%,


(31)

11

misalnya osteoblas, osteoklas & osteocyte) dan matriks tulang (98%, misalnya kolagen tipe 1 95% & protein non-kolagen 5% -osteocalcin, osteonictin, proteoglikan, protein proteolipid, morfoegenic dan fosfoprotein). Sebagian besar mineral adalah kristal hidroksiapatit (95%) dan sisanya adalah mineral lain

Specker (2004) menyimpulkan bahwa

(5%: Mg, Na, K, F, Cl, Sr & Pb).

pertambahan tulang tidak dipengaruhi oleh waktu pengenalan makanan sapihan, meskipun konsentrasi hormon serum paratiroid (PTH) lebih tinggi pada bayi yang menerima makanan padat lebih awal. Schmidt et al. (2002) menyimpulkan bahwa pada populasi pedesaan di Jawa Barat, asupan makanan pendamping ASI secara positif berasosiasi dengan peningkatan panjang badan bayi.

Pada masa bayi, pembentukan tulang lebih penting daripada resorpsi tulang. Dua jenis sel utama yang bertanggung jawab untuk pembaharuan tulang adalah osteoblas yang terlibat dalam pembentukan tulang dan osteoklas yang terlibat dalam resorpsi tulang.

Kurangnya vitamin D mengakibatkan osteomalacia (gangguan mineralisasi) dan kelebihan vitamin D menyebabkan tulang keropos. Banyak faktor penting lainnya yang terlibat dalam remodelling tulang seperti estrogen, kalsitonin, glukokortikoid, progesteron, dan androgen, gen dan aktifitas fisik (Medes 2005).

Guyton dan Hall (1997) mengatakan bahwa pembentukan tulang dimulai dengan ekskresi molekul monomer kolagen dan substrat dasar (cairan ekstraselular dan proteoglikan) oleh osteoblas. Molekul kolagen dengan cepat berpolimerisasi untuk membentuk serat kolagen dan osteoid (bahan seperti tulang rawan) yang merupakan jaringan terkahir yang dibentuk. Ketika osteoid dibentuk, beberapa osteoblas terperangkap dalam osteoid (selanjutnya disebut osteocyte). Beberapa hari setelah osteocyte terbentuk, garam kalsium mulai mengendap pada permukaan serat kolagen. Endapan awalnya terbentuk pada interval sepanjang masing-masing serat kolagen. Hal ini membentuk sarang kecil yang dengan cepat berkembang biak dan tumbuh dalam beberapa hari, dan beberapa minggu kemudian membentuk hasil akhir yaitu kristal hidroksiapatit (terdiri dari Ca & P).


(32)

Guyton dan Hall (1997) mengatakan bahwa osteoblas terus menerus melakukan proses deposisi dan juga diserap secara terus-menerus oleh osteoklas (remodelling). Osteoblas ditemukan pada permukaan luar dan di bagian dalam rongga tulang. Sekitar 4% dari permukaan tulang orang dewasa terus-menerus melakukan osteoblastik. Osteoklas terus-menerus menyerap kurang dari 1% dari permukaan tulang orang dewasa. Osteoklas menjadi menonjol seperti villus membentuk batas kusut berdekatan dengan tulang. Villus melepaskan enzim proteolitik dan beberapa jenis asam (asam sitrat dan asam laktat). Enzim melarutkan matriks organik tulang, sedangkan tulang melarutkan garam. Sel-sel osteoclastic juga menangkap partikel dari kristal matriks dan tulang melalui fagositosis. Pada akhirnya, sel osteoclastic juga melarutkan benda-benda ini dan melepaskannya ke dalam darah. Broto (2004) mengatakan bahwa proses remodeling terjadi selama 12 minggu pada usia muda dan 16-20 minggu pada usia pertengahan atau lanjutan. Tingkat remodelling adalah 2-10% massa tulang per tahun.

Dalam keadaan normal, laju deposisi dan resorpsi tulang tidak berbeda dari satu sama lain, sehingga massa tulang tetap konstan. Umumnya, massa osteoklas dalam jumlah kecil namun masih padat. Osteoklas akan menyerap tulang sekitar 3 minggu untuk membentuk terowongan berdiameter 0.2 mm sampai 1 mm dengan panjang beberapa milimeter. Setelah 3 minggu, osteoklas akan menghilang dan kemudian terowongan dipenuhi dengan osteoblast dan pembentukan tulang baru mulai. Bone deposisi berlangsung selama beberapa bulan dan setiap tulang baru ditempatkan pada lapisan berikutnya pada lingkaran konsentris (lamella) di permukaan dalam rongga sampai rongga terisi semua (Guyton & Hall 1997)

Kosnayani (2007) menyimpulkan bahwa ada hubungan indeks massa tubuh dengan kepadatan tulang (r=0.203; ρ=0.046). Groff dan Gropper (2000) menunjukkan bahwa semakin kurus seseorang maka semakin berisiko mengalami keropos tulang. Adapun faktor genetik menentukan sekitar 60% perkembangan massa tulang, selebihnya (40%) ditentukan faktor lingkungan (Anderson 2004). Hoppe, Mølgaard, and Michaelsen (2006) menyimpulkan bahwa susu memberikan efek menstimulasi pertumbuhan pada keadaan intake zat gizi yang


(33)

13

adekuat. Intake susu menstimulasi sirkulasi insulin-like growth factor (IGF)-I. Penambahan susu sapi pada diet anak-anak stunting dapat meningkatkan pertumbuhan linier dan mengurangi morbiditas. Pada anak-anak dengan gizi baik, konsekuensi jangka panjang dari meningkatkan konsumsi susu sapi, dapat meningkatkan tingkat IGF-I dalam sirkulasi atau meningkatkan kecepatan pertumbuhan linier.

Bone mineral density (BMD) yang juga disebut bone mass dipengaruhi oleh massa tubuh dan pertumbuhan linier (Nielsen 2000). Fatmah (2008) menyimpulkan bahwa semakin tinggi badan maka semakin tinggi pula nilai densitas mineral tulangnya. Lebih jauh Fatmah (2008) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara tinggi badan dengan lemak tubuh. Rack et al. (2011) menyimpulkan bahwa nilai quantitative ultrasound (QUS) bayi pada minggu pertama setelah lahir berkorelasi dengan usia kehamilan dan berat lahir (r=0.5 dan r=0.6). Perbandingan kualitas tulang pada usia 40 minggu setelah lahir, nilai QUS bayi prematur (bayi lahir pada minggu ke 24–28 minggu kehamilan) lebih rendah dari bayi cukup bulan (P<0.001). Ada korelasi QUS dengan alkalin pospat serum (P<0.001), suplementasi kalsium, pospat dan vitamin D (masing-masing P<0.001). Tidak ada korelasi antara QUS dengan konsentrasi kalsium dan pospat serum dan urin.

Eastwood (2003) menjelaskan bahwa densitas mineral tergantung pada beban yang diterimanya, makin berat beban yang diterima, makin tinggi densitas mineral tulang. Guyton dan Hall (1997) menerangkan bahwa hubungan beban (stress) yang diterima tulang dengan densitas mineral tulang diduga karena adanya efek piezo-elektrik. Penekanan pada tulang akibat beban yang diterimanya menimbulkan potensial listrik negatif pada daerah yang tertekan dan potensial listrik positif pada bagian tulang lainnya. Apabila sejumlah kecil aliran listrik menjalar sepanjang tulang akan menyebabkan osteoblastik beraktifitas pada ujung negatif dari aliran listrik tersebut, sehingga terjadi peningkatan pengendapan tulang pada bagian yang tertekan yang mengakibatkan tulang menjadi padat. Suryono (2007) menyimpulkan bahwa pada kelompok pemberian susu segar, kepadatan tulang kaki setelah intervensi dipengaruhi oleh lamanya aktifitas


(34)

olahraga (p<0.01). Bonjour (2000) menjelaskan bahwa peningkatan densitas mineral tulang dapat dihasilkan oleh aktivitas fisik yang intensif.

Aktivitas fisik dapat mengurangi kehilangan massa tulang bahkan menambah massa tulang dengan cara meningkatkan pembentukan tulang lebih besar daripada resorpsi tulang (Henrich 2003). Kosnayani (2007) menyimpulkan

bahwa ada hubungan aktivitas fisik sehari-hari dengan kepadatan tulang (r=0.757; p=0.000). Groff dan Groppe (2000) membuktikan pula bahwa aktivitas

fisik berhubungan dengan penambahan kepadatan mineral tulang belakang. Aktivitas fisik seperti berjalan kaki, berenang dan naik sepeda pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur.

2.3 Densitas Asupan Gizi dan Pola Konsumsi Pangan

Drewnoski (2005) menyimpulkan bahwa densitas asupan zat gizi berbeda dengan Dietary Reference Intakes (DRIs). Densitas asupan zat gizi adalah cara untuk mengekspresikan kecukupan zat gizi dari diet yang diberikan; sedangkan DRIs merupakan perkiraan kuantitatif dari asupan zat gizi yang dapat digunakan untuk perencanaan dan penilaian diet dari orang-orang. Persentase niai-nilai harian sering dihitung atas dasar batas atas dari DRIs (Trumbo et al. 2001; Trumbo et al. 2002). Densitas zat gizi didefinisikan sebagai rasio komposisi zat gizi dari suatu pangan terhadap kebutuhan zat gizi manusia. Hansen et al. (1987) menyimpulkan bahwa perbandingan resmi komposisi zat gizi pangan dan nilai referensi harian bermakna hanya jika dibuat pada suatu standar berdasarkan per kalori -biasanya per 1 000 atau 2 000 kkal.

Departemen Kesehatan RI (2001) menjelaskan bahwa ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI dapat dilanjutkan sampai bayi berusia 24 bulan.

Winarno (1990) menyampaikan bahwa seorang ibu pada hari pertama sejak bayi lahir akan dapat menghasilkan 50-100 mL ASI sehari dari jumlah ini akan terus bertambah sehingga mencapai sekitar 400-450 mL pada waktu bayi mencapai usia minggu kedua. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyusui bayinya selama 4-6 bulan pertama. Oleh karena itu, selama kurun waktu tersebut


(35)

15

ASI mampu memenuhi kebutuhan gizi pada bayi. Setelah 6 bulan volume pengeluaran air susu menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak lagi dapat dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan. Neilson (1995) menyimpulkan bahwa konsumsi ASI bayi usia 3 bulan rata-rata 750 mL/hari.

Produksi ASI dalam keadaan normal, volume susu terbanyak yang dapat diperoleh oleh bayi adalah pada 5 menit pertama. Penyedotan/penghisapan oleh bayi biasanya berlangsung selama 15-25 menit (Winarno 1990). Nasution (2003) menyimpulkan bahwa volume ASI dipengaruhi oleh frekuensi bayi menyusu, lama bayi menyusu, dan kekuatan bayi mengisap ASI. Volume ASI paling tinggi adalah pada bulan ke-4 usia menyusu, dan menurun pada bulan ke-5 dan ke-6.

WHO (1998) melaporkan bahwa asupan energi yang berasal dari ASI pada bayi usia 6-8 bulan sebanyak 217 kkal di negara berkembang. Kandungan energi ASI per 100 g sebesar 66 kkal (Tabel 4), dengan demikian konsumsi ASI adalah 328,8 g/hari. Simondon et al. (1996) menyimpulkan bahwa di Brazzaville, bayi yang tidak mengkonsumsi susu formula pada usia 4-5 bulan mengkonsumsi ASI rata-rata 460 ± 191 g/hari. Bhadam dan Sweet (2010) menyimpulkan bahwa walaupun menyusu dengan optimal, bayi akan menjadi stunting jika tidak menerima makanan pendamping ASI dalam jumlah dan kualitas yang cukup setelah berusia enam bulan.

Tabel 3 Kandungan zat gizi per 100 g ASI

Zat Gizi Kandungan Air Susu Ibu (per 100 g) Hardinsyah dan Briawan (1994) WHO (1998)

Energi, kkal 65 66

Protein, g 1.1 1.02

Vitamin B1, mg 70 0.02

Vitamin C, mg 2.7 3.9

Zat besi (Fe), mg 9 0.03

Kalsium, mg 35.5 27.2

Fosfor, mg 12.2 13.6

WHO (2005) melaporkan bahwa jika jumlah pangan hewani lain cukup dikonsumsi secara rutin, jumlah susu yang dibutuhkan anak usia 6-11 bulan adalah ~200-400 mL/hari, jika tidak, jumlah susu yang dibutuhkan adalah ~300-500 mL/hari. Susu yang dapat diterima meliputi susu hewan full-cream (sapi,


(36)

kambing, kerbau, domba, unta), susu ultra high temperature (UHT), susu yang diuapkan kemudian dilarutkan, dan susu fermentasi atau yogurt.

Densitas mineral tulang ditentukan oleh konsumsi kalsium, ketersediaan vitamin D dan faktor genetik (IOM 1977). Rasio Ca dan P untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1 (Khomsan 2002). Attwood (2003) menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik, namun konsumsi protein yang tidak diikuti dengan konsumsi kalsium yang cukup dapat memberikan pengaruh pada menurunnya kepadatan tulang. Hal ini dikarenakan konsumsi protein dapat meningkatkan hilangnya kalsium melalui urin. Kosnayani (2007) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat (r=0.873) antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang (p=0.000). Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal (Shroff & Pai 2000). Sumber kalsium yang bukan berasal dari susu dapat diperoleh dari bahan pangan khususnya dari sayuran hijau, kacang-kacangan, dan ikan laut (Suryono 2007).

WHO (2001) melaporkan bahwa sulit menginterpretasikan hubungan energi dan pertumbuhan anak. Namun demikian, Anton, Castro dan Paramastri (2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan energi dan protein dengan pertumbuhan anak. Waterlow dan Schürch (1994) menyimpulkan bahwa pada anak usia dua tahun asupan kalsium signifikan lebih rendah pada anak stunting. Angeles et al. (1993) menyimpulkan bahwa suplementasi zat besi (Fe) terlihat mengurangi diare pada anak. Broto menjelaskan bahwa 70% kerangka manusia terdiri dari fosfor. Robins (1994) menyimpulkan bahwa copper merupakan enzim dalam proses pembentukan kolagen. WHO (2001) melaporkan bahwa suplemen seng (Zn) pada anak-anak diduga mengurangi durasi dan keparahan diare, disentri dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). The National Academy of Sciences

(2002) menyimpulkan bahwa mangan merupkan zat gizi esensial dalam pembentukan tulang; magnesium berperan metabilisme matrik tulang dan


(37)

17

metabolisme mineral tulang; potasium merupakan enzim penting dalam metabolisme karbohidrat; dan vitamin B7 penting untuk proliferasi sel. Ehrlich (2010) menjelasksan bahwa vitamin D meningkatkan absorpsi kalsium dalam memelihara tulang.

Hardinsyah (2001) menjelaskan bahwa mutu gizi pangan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan dan penggunaan makanan oleh tubuh, sehingga dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan baik individu maupun masyarakat. Mutu gizi pangan atau makanan adalah totalitas kandungan gizi dari makanan yang dibutuhkan oleh manusia. Konsep mutu gizi yang semula diartikan sebagai kandungan zat gizi pangan, berubah menjadi tingkat kecukupan semua zat gizi, yaitu persentase asupan zat gizi terhadap kecukupan. Meningkatkan mutu asupan pangan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pangan yang bergizi, perubahan sikap, serta perubahan perilaku sehari-hari dalam menentukan, memilih, dan mengonsumsi pangan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Vitamin C sebagai kofaktor penting untuk enzim yang memproduksi kolagen (Martini 2006).

2.4 Alternatif Program/Intervensi Mengatasi Stunting

Strategi untuk mencegah stunting meliputi promosi pemberian air susu ibu (ASI), pemberian suplemen vitamin A, seng, zat besi, yodium pada ibu dan/atau anak, pemberian bantuan pangan, pendidikan gizi, bantuan tunai langsung, dan pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak. Pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak dapat membunuh cacing parasit dalam tubuh ibu dan anak sehingga zat gizi yang dikonsumsi ibu dan anak dapat dimanfaatkan tubuh tanpa berbagi dengan cacing parasit tersebut. Bhutta et al. (2008) menyimpulkan bahwa promosi pemberian ASI dapat meningkatkan sedikit pertumbuhan linier. Lebih jauh disimpulkannya bahwa pemberian suplemen vitamin A (pada periode neonatal dan akhir masa bayi), seng (untuk pencegahan), zat besi (pada anak-anak), dan gram beriodium (pada ibu-ibu dan anak-anak) pada anak 36 bulan dapat menurunkan prevalensi stunting dari 54 menjadi 36%.

Pada populasi yang rawan pangan, pemberian suplemen multivitaminmineral pada makanan (dengan atau tanpa penyuluhan) anak 4 bulan selama 3 bulan dapat meningkatkan nilai z-skor TB/U sebanyak 0.41 (p<0.05: 0.05-0.76 cm). Pada populasi yang tidak rawan pangan, penyuluhan makanan


(38)

pendamping ASI dapat meningkatkan nilai z-skor TB/U sebanyak 0.25 cm (p<0.05: 0.01-0.49). Bantuan langsung tunai dapat meningkatkan tinggi badan anak 0-12 bulan sebanyak 0.44 cm. Pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak-anak dapat meningkatkan tinggi badan 0.14 cm (0.04-0.23 cm) (Bhutta et al.

(2008).

UNICEF, WFP and WHO (2010) melaporkan bahwa:

1. Pencegahan stunting harus fokus pada "window of opportunity" dari minus 9 sampai 24 bulan dan juga pada konteks siklus kehidupan dengan mempertimbangkan aspek-aspek masalah antar generasi.

2. Suatu wilayah yang mendesak tetapi terabaikan dari intervensi yaitu pencegahan stunting selama 6-24 bulan sejak penurunan persen terbesar panjang badan menurut umur (PB/U) pada kelompok umur ini, dan tingginya prevalensi stunting yang terjadi pada kuintil pendapatan atas pada negara-negara berkembang menunjukkan bahwa ini utamanya merupakan masalah perilaku. Komunitas dengan ketidaktahanan pangan akan membutuhkan intervensi-intervensi tambahan yang telah terbukti dari praktek-praktek meningkatkan pemberian makanan pendamping air susu ibi (MPASI) atau pencegahan stunting seperti produksi makanan rumahan khususnya untuk pangan yang kaya zat besi, suplementasi dengan MPASI yang difortifikasi dan program-program perlindungan sosial seperti bantuan tunai langsung.

3. Intervensi perubahan perilaku dapat berkontribusi besar untuk mencegah

stunting dengan meningkatkan praktek pemberian MPASI.

4. Karena anemia pada ibu hamil pada trimester pertama merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap berat lahir rendah dan anemia pada bayi 0-5 bulan, dan mempertimbangkan bahwa ibu hamil di negara-negara berkembang paling sering memeriksakan kehamilan ke petugas kesehatan setelah trimester pertama, pencegahan anemia (dan gizi salah pada ibu) sebaiknya dimulai sebelum hamil (semakin awal maka semakin baik) untuk memutus siklus gizi salah antar generasi.

5. Negara-negara diketahui membutuhkan panduan untuk memperkuat kebijakan dan program serta menyertakan bukti intervensi baru yang telah teruji, hemat biaya, dan tingkat peningkatan. Negara-negara juga menggarisbawahi


(39)

19

6. Dukungan terhadap makanan bayi dan anak serta intervensi gizi pada ibu membutuhkan suatu pendekatan rangkaian kepedulian antar sektor yang bertujuan untuk meningkatkan status wanita, higiene dan sanitasi, terutama sekali mencuci tangan yang terkait dengan pemberian makan pada bayi, disertai dengan pesan yang jelas dalam kurikulum pendidikan remaja, pelatihan personel medis dan paramedis, memperkuat aturan-aturan keamanan pangan dan pengurangan kemiskinan.

pentingnya kapasitas membangun, kepemimpinan dan koordinasi yang lebih baik di antara usaha yang sedang dilakukan.

7. Pendekatan dan metode monitoring dan evaluasi perlu mempertimbangkan luasnya program yang sedang dikembangkan dan dimplementasikan. Perbaikan pengetahuan tentang bagaimana mengurangi stunting akan berhasil hanya dengan penyelenggaraan dan evaluasi yang baik serta dokumentasi proses-proses yang dapat menjelaskan hasil tersebut.

Bappenas (2012) menjelaskan bahwa Gerakan 1 000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1 000 HPK) merupakan upaya untuk menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita, termasuk stunting. Maksud 1 000 hari yaitu dari masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun (hamil 9 bulan = 270 hari; 2 tahun = 730 hari). Tujuan Gerakan 1 000 HPK yaitu meningkatkan efektivitas dari inisiatif yang telah ada yaitu meningkatkan koordinasi termasuk dukungan teknis, advokasi tingkat tinggi, dan kemitraan inovatif, dan partisipasi untuk meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, dan pembangunan.

UN (2010) melaporkan bahwa kegiatan intervensi lintas sektor yang terkait dengan faktor penyebab tidak langsung masalah gizi, ternyata sensitif pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada 1 000 HPK. Dokumen Scaling Up Nutrition (SUN) Inggris menyebutkan bahwa intervensi spesifik yang umumnya dilaksanakan oleh sektor kesehatan hanya 30% efektif mengatasi masalah gizi 1000 HPK. Mengingat kompleksnya masalah gizi khususnya masalah beban ganda, yaitu kombinasi masalah anak kurus, pendek, gemuk dan penyakit tidak menular (PTM), yang terjadi pada waktu yang relatif bersamaan di masyarakat yang miskin, penuntasan yang 70% memerlukan keterlibatan banyak sektor pembangunan lain di luar kesehatan.


(40)

Stunting dapat berdampak menimbulkan overweight dan penyakit. WHO (2010) menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menimbulkan berat badan lebih ketika dewasa.

Bappenas (2012) menjelaskan penyebab tidak tuntasnya masalah gizi antara lain disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kebijakan program gizi selama ini masih bersifat umun belum mengacu pada kelompok 1 000 HPK sebagai sasaran utama. Kedua, kegiatan intervensi gizi masih sektoral, khususnya kesehatan. Ketiga, cakupan pelayanan yang masih rendah untuk imunisasi lengkap, suplementasi tablet besi-folat pada ibu hamil, pemanfaatan KMS dan SKDN, promosi ASI eksklusif, cakupan garam beryodium dan sebagainya. Keempat, tindakan hukum terhadap pelanggar WHO Code

tentang Breast Feeding belum dilaksanakan karena Peraturan Pemerintah tentang ASI baru diumumkan awal tahun 2012. Kelima, lemahnya penguasaan substansi masalah gizi oleh para pejabat tertentu, petugas gizi dan kesehatan baik yang di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan lapangan khususnya tentang perkembangan terakhir dan prospeknya dimasa depan, masalah anak stunting, beban ganda, dan kaitan gizi dengan penyakit tidak menular.

Intervensi yang telah dilakukan selama ini meliputi intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Contoh intervensi spesifik yaitu imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu, suplemen tablet besi-folat ibu hamil, promosi ASI Eksklusif, MP-ASI. Adapun conth intervensi sensitif yaitu penyediaan air bersih, sarana sanitasi, berbagai penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, fortifikasi pangan, pendidikan dan KIE Gizi, pendidikan dan KIE Kesehatan, kesetaraan gender, keluarga berencana, jaminan kesehatan masyarakat, jaminan persalinan universal, dan perlindungan terhadap kurang yodium.

Bappenas (2012) melaporkan bahwa suatu penelitian US-AID (2010) di daerah miskin di Jakarta menunjukkan hanya 9.5% mendapat MP-ASI yang benar. Thaha (2012) menjelaskan bahwa di Indonesia pada tahun 2006 dikembangkan MP-ASI lokal tetapi tidak efektif karena kandungan zat gizi mikro yang rendah. Bappenas (2012) menjelaskan bahwa penelitian menemukan bahwa MP-ASI lokal umumnya kurang padat-energi, rendah lemak, kurang zat gizi


(41)

21

mikro, rendah protein dan mengandung zat-zat yang menghambat absorpsi zat gizi di usus. Agar MP ASI lokal efektif mencukupi kebutuhan zat gizi mikro anak, diperkenalkan MP-ASI lokal dengan fortifikasi rumahan (home fortification) dengan menambahkan bubuk zat gizi mikro yang dikenal dengan "Taburia". Di Indonesia, kegiatan pilot fortifikasi zat gizi mikro pada tingkat rumah tangga telah dilaksanakan di 24 kabupaten/kota melalui Proyek NICE dengan label kegiatan Taburia. Fortifikasi pangan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro pada kelompok 1 000 HPK yaitu zat yodium, zat besi, seng, asam folat, dan vitamin A. Ada 12 kegiatan yang akan dilakukan untuk menurunkan prevalensi masalah gizi anak ibu hamil dan anak baduta, termasuk stunting (Lampiran 1).


(42)

BAB 3


(43)

24

3.1 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka pada Bab 2 dirumuskan kerangka teoritis faktor-faktor risiko yang mungkin menyebabkan stunting anak pada penelitian ini. Ada tujuh faktor yang diduga mengarah sebagai penyebab terjadinya stunting

yaitu konsumsi pangan anak, penggunaan makanan oleh tubuh anak, sanitasi lingkungan rumah tangga, karakteristik anak, karakteristik orang tua, karakteristik rumah tangga, sosial-ekonomi rumah tangga dan politik negara.

Konsumsi pangan kemungkinan dipengaruhi konsumsi air susu ibu (ASI) dan/atau makanan pendamping ASI (MP-ASI). Konsumsi ASI dan/atau MP-ASI kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah jenis konsumsi pangan, jumlah kelompok konsumsi pangan, frekuensi makan, dan jumlah konsumsi pangan hewani. Konsumsi pangan kemungkinan dipengaruhi oleh tingkat konsumsi energi, protein, kalsium, fosfor, magnesium, zat besi, seng, cooper, iodium, potasium, mangan, vitamin A, folate, vitamin B1, B2, B3, B5, B6, B7, B12, C, D, E, K. Konsumsi pangan kemungkinan dipengaruhi mutu gizi makanan. Selain itu, konsumsi pangan kemungkinan dipengaruhi densitas asupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin A, vitamin B1, dan vitamin C. Konsumsi pangan kemungkinan dipengaruhi praktek pengasuhan, praktek pemberian makan, pengolahan/persiapan makan, kebiasaan makan, pendistribusian makanan dalam rumah tangga, pemberian ASI, waktu menyapih. Konsumsi pangan kemungkinan dipengaruhi pendidikan gizi, keamanan dan kualitas pangan, dan akses terhadap pangan. Praktek pemberian makan kemungkinan dipengaruhi karakteristik anak, karakteristik orang tua, karakteristik rumah tangga, sosial-ekonomi dan politik negara.

Penggunaan makanan oleh tubuh anak kemungkinan dipengaruhi usia kehamilan ibu ketika bayi lahir (prematur), keadaan kesehatan, tahapan pertumbuhan (masa pertumbuhan intrauterine & masa pertumbuhan cepat setelah lahir), penyakit (terutama ISPA, diare, disentri & demam), serta kejadian infeksi (frekuensi & paparan). Penyakit dan infeksi kemungkinan dipengaruhi status gizi ibu ketika hamil, kualitas air susu ibu (ASI), dan lamanya pemberian ASI pada anak. Penyakit dan infeksi kemungkinan dipengaruhi pula oleh program promosi pemberian air susu ibu (ASI), kepemilikan KMS, immunisasi, fortifikasi MPASI


(44)

dan/atau suplementasi (vitamin A, seng, zat besi, yodium pada ibu dan/atau anak), akses terhadap informasi (terutama tentang gizi & kesehatan), serta pelayanan kesehatan, dan pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak. Adapun sanitasi lingkungan kemungkinan dipengaruhi kualitas air minum dan kebersihan lingkungan (tempat pembuangan limbah di rumah tangga).

Karakteristik anak kemungkinan dipengaruhi jenis kelamin anak, umur anak, berat lahir anak, berat badan anak. Berat lahir anak kemungkinan dipengaruhi karakteristik orang tua. Karakteristik orang tua kemungkinan dipengaruhi pula oleh umur, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, status kesehatan fisik dan dan kesehatan mental. Karakteristik rumah tangga kemungkinan dipengaruhi besar keluarga, komposisi rumah tangga, jumlah anak balita, desa/kota, tempat tinggal, status ekonomi, kepemilikan benda dan uang.

Akhirnya, lingkungan sosial, ekonomi dan politik negara kemungkinan dipengaruhi ras/etnis, musim, jumlah populasi, tingkat pendidikan, perekonomian makro dan mikro (terutama tingkat kemiskinan, ketersediaan lapangan kerja, & kondisi pasar), pembangunan (terutaman pembangunan pertanian), ketersediaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, infrastruktur, dan sosial budaya masyarakat (institusi & sikap sosial), dan program ketahanan pangan (pemanfaatan lahan pekarangan, pemberian bantuan pangan, pendidikan gizi, bantuan tunai langsung).

Kerangka teoritis, sebagaimana terdapat pada Gambar 1, menggambarkan kemungkinan hubungan seluruh faktor-faktor yang diduga sebagai penentu terjadinya stunting dan pola konsumsi pangan anak 0-23 bulan. Pengetahuan dari faktor-faktor risiko stunting dan pola konsumsi pangan, yang dirumuskan dalam Gambar 2, mempermudah perumusan dari kerangka pemikiran untuk menganalisis faktor-faktor risiko stunting dan pola konsumsi pangan pada penelitian ini. Kerangka operasional disusun dengan mempertimbangkan bahwa kajian menggunakan data sekunder, maka ada beberapa peubah yang seharusnya diteliti tetapi tidak tersedia dalam data sekunder sehingga dibuatlah peubah proksi (hampiran) atau peniadaan peubah dari kerangka teoritis.


(45)

26


(46)

(1)

Lampiran 1 Rencana intervensi spesifik Gerakan 1 000 HPK

No. Kegiatan No. Kegiatan

1 Meningkatkan konsumsi pangan sehari-hari melalui perbaikan pendapatan keluarga dan pendidikan gizi seimbang

7 Peningkatan Pemberantasan malaria di daerah endemik harus menjadi prioritas

2 Melanjutkan suplemen tablet besi-folat dengan perencanaan dan pengawasan yang lebih baik

8 Sosialisasi yang luas kepada masyarakat tentang PP 33, 2012 sehingga masyarakat dapat ikut berperan dalam pelaksanaannya 3 Bagi ibu hamil yang kurus (diukur

dengan lingkar lengan) diberikan bantuan suplemen pangan sumber energi, dan protein, yang diusahakan menggunakan bahan pangan yang sudah difortifikasi seperti garam (yodium), tepung terigu (zat besi, seng, asam folat dan vitamin B1 dan B2), dan minyak goreng (vitamin A)

9 Melakukan evaluasi efektivitas atas berbagai MP-ASI yang beredar di masyarakat baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, LSM, maupun oleh industri pangan

4 Intensifkan pendidikan atau KIE gizi sehingga setiap ibu hamil memahami pentingnya tablet besi-folat dan merasa membutuhkan untuk kesehatannya

10 Memberi prioritas pada

pengembangan MP-ASI lokal untuk anak-anak masyarakat miskin

5 Menerbitkan Peraturan Daerah tentang peredaran garam beryodium agar sasaran cakupan rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium yang memenuhi syarat dapat

meningkat

11 Pendidikan gizi tentang ASI Eksklusif perlu disertai pendidikan tentang MP-ASI

6 Pemberian pil besi pada ibu hamil di daerah endemik malaria harus dilakukan secara berhati-hati

12 Melakukan penelitian pengetahuan, sikap dan perilaku (KAP) tentang MP-ASI di berbagai kelompok sosial masyarakat


(2)

Lampiran 4 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 0-5 bulan

Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi (n,%) Jumlah yang dikonsumsi (g per kali makan)* Frekeunsi konsumsi (kali per hari) *

Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total

Susu ibu (ASI) 51 (24.4) 158 (75.6) 209 (100.0) 127.9±157.2 150.5±180.1 144.3±174.3 4.6±3.5 3.9±3.5 4.1±3.5 Tepung susu 7 (35.0) 13 (65.0) 20 (100.0) 17.5±7.5 17.5±9.4 17.5±29.3 1.4±0.5 1.6±0.9 1.6±0.8

Susu kental manis 2 (100.0) 2 (100.0) 45.0±0.0 45.0±0.0 2.0±1.4 2.0±1.4

Keterangan: *

Jenis Pangan

rata-rata ± standar deviasi (SD)

Lampiran 5 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 6-11 bulan

Jumlah anak yang mengkonsumsi (n,%) Jumlah yang dikonsumsi (g per kali makan)* Frekeunsi konsumsi (kali per hari) *

Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total

Susu ibu (ASI) 87 (34.8) 163 (65.2) 250 (100.0) 143.7±148.0 141.7±155.1 142.4±152.6 3.4±2.2 3.5±2.2 3.5±2.2 Tepung susu 70 (31.4) 153 (68.6) 223 (100.0) 18.5±7.6 19.7±8.4 19.3±8.2 2.6±1.0 2.6±1.1 2.6±1.1 Telur ayam 9 (31.0) 20 (69.0) 29 (100.0) 37.3±18.4 50.4±18.6 46.0±19.4 1.6±0.7 1.4±0.6 1.4±0.6 Telur ayam, ceplok 8 (28.6) 20 (71.4) 28 (100.0) 43.9±13.2 44.2±16.9 44.1±25.0 1.1±0.4 1.3±0.6 1.2±0.5 Ikan asin, gabus goreng 4 (16.0) 21 (84.0) 25 (100.0) 29.2±13.1 35.5±16.3 34.6±29.6 1.3±0.5 1.5±0.7 1.4±0.9

Ayam 5 (22.7) 17 (77.3) 22 (100.0) 57.8±15.3 51.5±24.6 52.9±22.8 1.6±0.5 1.6±0.7 1.6±0.7

Bakso 8 (44.4) 10 (55.6) 18 (100.0) 37.8±19.2 40.0±14.1 39.0±16.1 1.1±0.4 1.2±0.4 1.2±0.4

Susu kental manis 7 (41.2) 10 (58.8) 17 (100.0) 45.0±0.0 36.9±12.4 40.9±9.7 2.4±1.3 1.8±1.3 2.1±1.3 Telur ayam, dadar 2 (16.7) 10 (83.3) 12 (100.0) 50.0±0.0 40.5±13.3 42.5±12.4 1.5±0.7 1.1±0.3 1.2±0.4

Ikan segar 1 (12.5) 7 (87.5) 8 (100.0) 25.0±0.0 35.8±18.7 34.0±17.4 3.0±0.0 2.1±0.9 2.3±0.9

Abon 3 (60.0) 2 (40.0) 5 (100.0) 15.0±5.8 20.0±14.1 16.7±8.2 1.3±0.6 1.0±0.0 1.2±0.4

Kembung 2 (40.0) 3 (60.0) 5 (100.0) 31.3±12.5 62.5±22.4 50.0±35.8 2.0±1.4 2.0±0.0 2.0±0.7

Mujair, segar 1 (20.0) 4 (80.0) 5 (100.0) 25.0±0.0 46.5±15.3 44.4±16.0 1.0±0.0 2.3±1.0 2.0±1.0

Susu sapi 2 (40.0) 3 (60.0) 5 (100.0) 150±127.3 52.5±36.9 85±81.2 1.0±0.0 1.3±0.6 1.2±0.4

Ikan asin, kering 3 (100.0) 3 (100.0) 22.0±6.2 22.0±6.2 2.0±1.0 2.0±1.0

Udang, segar 1 933.3) 2 (66.7) 3 (100.0) 14.7±0.0 23.9±3.7 20.0±5.6 3.0±0.0 2.0±1.4 2.3±1.2


(3)

Lampiran 5 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 6-11 bulan (lanjutan)

Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi (n,%) Jumlah yang dikonsumsi (g per kali makan)* Frekeunsi konsumsi (kali per hari) *

Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total

Bandeng 2 (100.0) 2 (100.0) 37.5±0.0 37.5±0.0 1.5±0.7 1.5±0.7

Daging sapi 2 (100.0) 2 (100.0) 27.5±5.0 27.5±5.8 2.0±1.4 2.0±1.4

Layang 2 (100.0) 2 (100.0) 37.5±0.0 37.5±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0

Soto dengan daging 1 (50.0) 1 (50.0) 2 (100.0) 25.0±0.0 150.0±0.0 108.3±72.2 1.0±0.0 2.0±0.0 1.5±0.7 Telur ayam, bagian kuning 1 (50.0) 1 (50.0) 2 (100.0) 25.0±0.0 25.0±0.0 25±0.0 1.0±0.0 2.0±0.0 1.5±0.7

Bawal 1 (100.0) 1 (100.0) 25.0±0.0 25.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Cue selar kuning 1 (100.0) 1 (100.0) 33.3±0.0 33.3±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Daging babi gemuk 1 (100.0) 1 (100.0) 20.0±0.0 20.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0

Daging kerbau 1 (100.0) 1 (100.0) 25.0±0.0 25.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Es cream (coconut milk) 1 (100.0) 1 (100.0) 30.0±0.0 30.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Es mambo 1 (100.0) 1 (100.0) 30.0±0.0 30.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Ikan asin teri goreng 1 (100.0) 1 (100.0) 10.0±0.0 10.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0

Ikan mas 1 (100.0) 1 (100.0) 37.5±0.0 37.5±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Ikan mas, goring 1 (100.0) 1 (100.0) 25.0±0.0 25.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Kakap 1 (100.0) 1 (100.0) 75.0±0.0 75.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0

Mujair, goring 1 (100.0) 1 (100.0) 83.3±0.0 83.3±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Pindang selar kecil 1 (100.0) 1 (100.0) 33.3±0.0 33.3±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Selar, segar 1 (100.0) 1 (100.0) 62.5±0.0 62.5±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Telur bebek (itik) 1 (100.0) 1 (100.0) 27.8±0.0 27.8±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0

Telur bebek, bagian

kuning 1 (100.0) 1 (100.0) 50.0±0.0 50.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0


(4)

Lampiran 6 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani anak 12-23 bulan

Jenis Pangan Persentase anak yang mengkonsumsi (n,%) Jumlah yang dikonsumsi (g per kali makan)* Frekeunsi konsumsi (kali per hari)*

Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total

Tepung susu 280 (36.6) 484 (63.4) 764 (100.0) 23.5±10.8 23.5±10.5 23.5±10.6 2.5±1.2 2.6±1.2 2.5±1.2 Susu ibu (ASI) 178 (44.3) 224 (55.7) 402 (100.0) 142.0±138.1 158.1±152.6 150.4±146.0 3.4±2.1 3.0±1.9 3.1±2.0 Ikan asin, gabus goreng 83 (36.6) 144 (63.4) 227 (100.0) 32.3±15.0 33.2±14.8 32.8±14.9 1.7±0.8 1.7±0.7 1.7±0.8

Ayam 78 (35.8) 140 (64.2) 218 (100.0) 58.5±24.8 54.9±25.2 56.2±25.1 1.6±0.7 1.6±0.8 1.6±0.8

Telur ayam, dadar 88 (39.6) 134 (60.4) 222 (100.0) 42.1±13.1 43.2±12.9 42.7±13.0 1.5±0.7 1.4±0.7 1.5±0.7 Telur ayam, ceplok 90 (40.4) 133 (59.6) 223 (100.0) 45.7±13.0 46.6±14.6 46.2±14.0 1.3±0.6 1.4±0.6 1.4±0.6 Susu kental manis 55 (39.9) 83 (60.1) 138 (100.0) 41.4±11.1 41.9±16.7 41.8±15.1 1.5±1.7 2.1±1.0 1.9±0.9

Bakso 63 (39.4) 97 (60.6) 160 (100.0) 43.1±21.2 40.4±20.2 41.5±20.6 1.1±0.4 1.1±0.2 1.1±0.3

Telur ayam 45 (42.5) 61 (57.5) 106 (100.0) 49.7±15.7 50.7±18.4 50.3±17.2 1.4±0.7 1.4±0.6 1.4±0.6

Kembung 36 (43.4) 47 (56.6) 83 (100.0) 38.3±15.5 46.9±24.8 42.9±21.4 1.9±0.9 1.8±0.8 1.8±0.8

Susu sapi 31 (37.8) 51 (62.2) 82 (100.0) 42.9±55.6 43.5±65.6 43.3±61.8 1.5±0.7 1.5±0.7 1.5±0.7

Ikan asin, kering 20 (35.1) 37 (64.9) 57 (100.0) 27.9±17.0 27.1±15.3 27.3±15.8 1.8±0.9 1.8±0.8 1.8±0.8 Ikan segar 16 (36.4) 28 (63.6) 44 (100.0) 43.8±16.6 39.1±18.2 40.8±17.6 1.9±0.8 1.8±0.7 1.8±0.7

Bandeng 15 (40.5) 22 (59.5) 37 (100.0) 40.3±17.4 42.0±16.5 41.2±16.8 1.8±0.7 1.6±0.7 1.7±0.7

Daging sapi 7 (21.9) 25 (78.1) 32 (100.0) 40.8±14.8 36.5±15.8 37.6±15.8 1.9±0.9 1.6±0.7 1.6±1.0

Teri, kering 9 (37.5) 15 (62.5) 24 (100.0) 12.1±4.7 16.3±9.8 14.7±8.3 1.9±0.9 1.7±0.9 1.8±0.9

Lele, goring 9 (50.0) 9 (50.0) 18 (100.0) 47.9±16.0 44.8±22.0 46.4±19.0 2.0±0.9 2.0±0.9 2.0±0.8 Es cream (coconut milk) 3 (18.8) 13 (81.3) 16 (100.0) 75.0±43.3 64.6±61.9 66.6±57.7 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Layang 5 (33.3) 10 (66.7) 15 (100.0) 28.1±15.7 42.3±19.0 38.3±19.0 1.6±0.9 2.0±0.8 1.9±1.2

Peda banjar 6 (42.9) 8 (57.1) 14 (100.0) 61.1±23.4 27.4±17.5 42.1±26.1 1.7±0.8 1.6±0.7 1.6±0.7

Ikan mas, goreng 4 (30.8) 9 (69.2) 13 (100.0) 39.6±20.0 40.6±20.3 40.3±19.7 1.5±0.6 1.6±0.7 1.5±0.7

Es mambo 5 (41.7) 7 (58.3) 12 (100.0) 33.3±13.7 32.2±23.7 32.7±19.7 1.2±0.4 1.3±0.5 1.3±0.5

Worst (sosis daging) 3 (25.0) 9 (75.0) 12 (100.0) 24.7±17.5 21.3±21.8 21.9±20.4 1.0±0.0 1.3±0.5 1.3±0.5 Ikan asin teri goreng 5 (45.5) 6 (54.5) 11 (100.0) 25.5±10.4 11.8±5.4 18.0±10.5 2.0±1.0 2.0±0.9 2.0±0.9 Soto dengan daging 4 (36.4) 7 (63.6) 11 (100.0) 74.2±55.7 73.3±31.9 73.7±41.1 1.5±0.6 1.3±0.5 1.4±0.5 Mujair, segar 2 (20.0) 8 (80.0) 10 (100.0) 59.4±6.3 59.4±18.3 59.4±16.2 2.0±0.0 1.8±0.7 1.8±0.6 Daging babi gemuk 4 (44.4) 5 (55.6) 9 (100.0) 41.4±11.8 28.8±10.9 34.7±19.8 1.8±1.0 1.6±0.5 1.7±0.8 Keterangan: *rata-rata ± standar deviasi (SD)


(5)

Lampiran 6 Jumlah anak, jumlah pangan hewani, dan frekuensi konsumsi pangan hewani harian anak 12-23 bulan (lanjutan)

Jenis Pangan Jumlah anak yang mengkonsumsi (n,%) Jumlah yang dikonsumsi (g per kali makan)* Frekeunsi konsumsi (kali per hari) *

Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total Stunting Tidak stunting Total

Kakap 3 (37.5) 5 (62.5) 8 (100.0) 45.5±16.0 50.9±16.3 48.2±15.8 2.3±1.2 1.4±0.5 1.8±0.9

Abon 2 (18.2) 9 (81.8) 11 (100.0) 15.0±5.0 17.5±11.6 16.9±10.3 1.5±0.7 1.1±0.3 1.2±0.4

Gabus, segar 0.00 7 (100.0) 7 (100.0) 0.00 57.7±20.3 57.7±34.2 0.00 1.9±0.7 1.9±1.2

Telur bebek, telur asin 4 (40.0) 6 (60.0) 10 (100.0) 72.3±23.1 55.0±24.3 64.3±24.3 1.8±1.0 1.0±0.0 1.3±0.7 Pindang layang 1 (14.3) 6 (85.7) 7 (100.0) 22.2±0.0 31.8±13.4 31.0±21.2 1.0±0.0 1.8±0.8 1.7±1.1

Ikan mas 5 (71.4) 2 (28.6) 7 (100.0) 43.0±16.8 58.3±7.2 47.2±16.1 1.6±0.5 1.5±0.7 1.6±0.5

Telur ayam, bagian kuning 2 (25.0) 6 (75.0) 8 (100.0) 50.0±35.4 18.9±7.0 24.5±18.0 1.0±0.0 1.5±0.8 1.4±0.7

Es cream 1 (16.7) 5 (83.3) 6 (100.0) 50.0±0.0 31.0±26.3 34.2±25.6 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Kerupuk udang, berpati 1 (20.0) 4 (80.0) 5 (100.0) 5.0±0.0 8.5±2.4 7.8±2.6 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±0.0

Selar, segar 2 (50.0) 2 (50.0) 4 (100.0) 45.8±4.8 53.1±6.3 49.5±9.2 2.0±0.0 2.0±1.4 2.0±1.4

Ikan asin, japuh goreng 0.00 4 (100.0) 4 (100.0) 0.00 13.1±9.3 13.1±9.3 0.00 1.8±1.0 1.8±1.0

Udang, segar 1 (25.0) 3 (75.0) 4 (100.0) 44.1±0.0 29.4±17.2 31.9±28.1 1.0±0.0 1.7±1.2 1.5±1.2

Daging kambing 3 (100.0) 0.00 3 (100.0) 45.0±11.2 0.00 45.0±11.2 1.7±1.2 0.00 1.7±1.2

Tembang 2 (66.7) 1 (33.3) 3 (100.0) 40.6±30.9 62.5±0.0 53.8±19.6 1.0±0.0 3.0±0.0 1.7±1.2

Ikan hiu 1 (50.0) 1 (50.1) 2 (100.0) 40.8±0.0 50.0±0.0 44.5±5.0 3.0±0.0 2.0±0.0 2.5±0.7

Cue selar kuning 1 (50.0) 1 (50.0) 2 (100.0) 44.4±15.7 55.6±0.0 50.0±11.1 2.0±0.0 2.0±0.0 2.0±0.0

Cumi-cumi, goreng 2 (100.0) 0.00 2 (100.0) 28.3±2.9 0.00 28.3±2.9 1.5±0.7 0.00 1.5±1.0

Kepiting 0.00 2 (100.0) 2 (100.0) 0.00 81.5±51.3 81.5±51.3 0.00 1.5±0.7 1.5±0.7

Telur bebek, dadar 1 (50.0) 1 (50.0) 2 (100.0) 37.5±17.7 60.0±0.0 45.0±18.0 2.0±0.0 1.0±0.0 1.5±0.7

Bebek (itik) 1 (50.0) 1 (50.0) 2 (100.0) 50.0±0.0 83.3±0.0 66.7±24.3 1.0±0.0 1.0±0.0 1.0±1.4

Bawal 1 (100.0) 0.00 1 (100.0) 62.5±0.0 0.00 62.5±0.0 2.0±0.0 0.00 2.0±0.0

Cumi-cumi, segar 0.00 1 (100.0) 1 (100.0) 0.00 20.0±0.0 20.0±0.0 0.00 2.0±0.0 2.0±0.0

Udang, kering 0.00 1 (100.0) 1 (100.0) 0.00 11.1±0.0 11.1±0.0 0.00 2.0±0.0 2.0±0.0

Daging kerbau 0.00 1 (100.0) 1 (100.0) 0.00 80.0±0.0 80.0±0.0 0.00 1.0±0.0 1.0±0.0

Dendeng daging sapi 1 (100.0) 0.00 1 (100.0) 40.0±0.0 0.00 40.0±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0

Gabus kering 1 (100.0) 0.00 1 (100.0) 31.3±0.0 0.00 31.3±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0

Petis udang 0.00 1 (100.0) 1 (100.0) 0.00 15.0±0.0 15.0±0.0 0.00 1.0±0.0 1.0±0.0

Pindang selar kecil 1 (100.0) 0.00 1 (100.0) 55.6±0.0 0.00 55.6±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0

Telur bebek (itik) 0.00 1 (100.0) 1 (100.0) 0.00 83.3±0.0 83.3±0.0 0.00 1.0±0.0 1.0±0.0

Telur bebek, bagian kuning 1 (100.0) 0.00 1 (100.0) 25.0±0.0 0.00 25.0±0.0 1.0±0.0 0.00 1.0±0.0 Keterangan: *rata-rata ± standar deviasi (SD)


(6)