Persamaan debit:
VxA Q
=
……………………………………..………..32 Keterangan:
Q = debit aliran m
3
A = luas penampang basah m s
2
2.4. Pengelolaan Sungai
Pengelolaan sungai merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air.
Dalam Undang Undang No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 1 diuraikan bahwa pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Selanjutnya dalam Pasal 25 diuraikan bahwa konservasi sumber daya air dilaksanakan pada
sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan
pantai. Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai Pasal 18
diuraikan bahwa pengelolaan sungai meliputi konservasi sungai, pengembangan sungai, dan pengendalian daya rusak air sungai. Tahapan kegiatan dalam
pengelolaan sungai adalah penyusunan program dan kegiatan, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan dan evaluasi.
Salah satu bagian pengelolaan sungai adalah upaya pengendalian banjir atau pengendalian daya rusak air. Pengendalian banjir dapat dilaksanakan dengan dua
metode yaitu metode struktur dan metode non struktur. Metode struktur dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: a perbaikan dan pengaturan sistem sungai
berupa sistem jaringan sungai, normalisasi sungai, perlindungan tanggul, tanggul banjir, sudetan, dan floodway dan b bangunan pengendali banjir berupa
bendungan, kolam retensi, pembuatan check dam, bangunan penguras, kemiringan sungai, groundsill, retarding basin dan polder. Sedang metode non strukutural
antara lain adalah pengelolaan DAS, pengaturan tataguna lahan, pengendalian erosi. Pengembangan daerah banjir, pengaturan daerah banjir, penanganan kondisi
darurat, peramalan banjir, peringatan bahaya banjir, asuransi dan penegakan
hukun. Kodoatie dan Sugianto, 2002. Sedang dalam Undang Undang No.7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 21 diuraikan bahwa upaya
perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif danatau sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi dan budaya. Upaya tersebut
merupakan dasar dalam penatagunaan lahan. Uraian ini menunjukkan bahwa upaya perlindungan sungai dapat dilakukan secara struktural sipil teknis dan non
struktural vegetatif. Namun demikian, secara umum upaya pengelolaan sungai dilakukan secara sturktural.
Pengembangan sungai-sungai di Indonesia dalam 30 tahun terakhir ini mengalami peningkatan pembangunan fisik yang realatif cepat. Pembangunan
fisik tersebut misalnya pembuatan sudetan, pelurusan, pembuatan tanggul sisi dan pembetonan tebing, baik pada sungai kecil maupun pada sungai besar. Hal ini
menyebabkan terjadinya percepatan aliran menuju hilir dan sungai bagian hilir akan menanggung volume aliran air yang lebih besar dalam waktu yang lebih
cepat dibandingkan sebelumnya. Maryono, 2005 Sudetan merupakan pengelolaan sungai yang bertujuan untuk
menghilangkan aliran sungai pada meandering dengan cara menyudet sungai di tempat-tempat tertentu sehingga air tidak melewati meander lagi. Pada
pengelolaan tersebut, maka secara ekologi pada daerah meander tidak lagi merupakan suatu ekosistem sungai. Demikian pula pada kegiatan normalisasi
sungai yang menyebabkan adanya anak-anak sungai yang tidak lagi berfungsi karena ditutup pengalirannya. Normalisasi sungai merupakan upaya untuk
mengubah tampang alur memanjang sungai yang semula bermeandering menjadi relatif lurus. Selain itu, pada tampang melintang sungai yang semula tidak teratur
diubah menjadi teratur tampang segiempat atau trapesium. Pengelolaan sungai yang umum dilakukan adalah pembuatan tanggul di kiri
dan kanan sungai. Pembuatan tanggul memanjang sungai damming adalah rekayasa teknik hidro dengan tujuan membatasi limpasan atau luapan air sungai
sehingga banjir di kawasan tersebut dapat dihindari Maryono, 2007. Konstruksi ini dinilai dapat melindungi kawasan sekitar sungai dari banjir. Tanggul dapat
dibuat memanjang pada satu sisi sungai atau kedua sisinya. Tanggul satu sisi biasanya dibangun pada kondisi sungai berbatasan dengan tebing di sisi lainnya.
Namun demikian kegagalan struktur sering dialami berupa jebolnya tanggul akibat daya kinetis air yang besar. Akibat adanya tanggul, maka kecepatan air
pada sungai menjadi lebih cepat. Pembangunan tanggul secara parsial akan menyebabkan terjadinya banjir di hilir, hilangnya vegetasi tebing sungai serta
adanya habitat yang hilang pada daerah genangan. Uraian di atas mengindikasikan bahwa pengelolaan sungai secara struktural
yang masih merupakan pilihan yang utama walaupun berdampak pada kondisi lingkungan biotik dan abiotik. Hal ini terjadi karena pengelolaan tersebut hanya
memperhitungkan karakteristik hidrolika tanpa memperhitungkan karakteristik ekologi dan sosial.
2.5 Konsep Ekohidrolik