a Development river management model based on ecohydraulic concept. (case Study at Lawo River of Soppeng Regency, Province of South Sulawesi)

Pada Gambar 50 nampak bahwa selisih tertinggi antara muka air banjir dan ketinggian tanggul adalah pada 6 800 yaitu sebesar 2.5 meter dan selisih terendah sebesar 1.0 meter pada stasiun 7 200. Data menunjukkan bahwa ketinggian tanggul kanan pada statiun 6 800 dan 7 200 lebih tinggi dibandingkan dengan muka air banjir yang mengindikasikan bahwa pada kedua titik tersebut banjir hanya terjadi pada sisi kiri. Pada daerah Paowe banjir terjadi di sepanjang sungai. Muka air banjir tertinggi pada daerah ini untuk periode ulang 50 tahunan sebesar 4.864 meter. Perbandingan antara tinggi muka air dan tinggi tanggul dapat dilihat pada Gambar 51. - 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 14.000 8000 8400 8800 9200 9600 10000

m. a

.b me te r Sta Tinggi tanggul m.a.b 50 Gambar 51. Kondisi banjir di Daerah Paowe Gambar 51 menunjukkan bahwa di sepanjang dua kilometer dengan analisis muka air banjir pada enam titik memberikan hasil bahwa muka air banjir lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian tanggul. Selisih tertinggi antara muka air banjir dan tinggi tanggul diperoleh pada sta 9 800 sebesar 4.7 meter dan selisih terendah pada sta 9 000 sebesar 1.2 meter. Kondisi serupa juga nampak pada wilayah Talumae. Muka air banjir maksimum periode 2 tahun bahkan mencapai 4.3 meter sedang pada periode 50 tahun diperoleh nilai maksimum sebesar 5.8 meter. Ketinggian muka air banjir dibandingkan dengan tinggi tanggul pada analisis enam stasiun disajikan pada Gambar 52. Gambar 52. Kondisi banjir pada Daerah Talumae Gambar 52 menunjukkan bahwa sta 10 200 hingga sta 11 200 terjadi ancaman banjir yang relatif tinggi dimana selisih tinggi muka air banjir dengan tinggi tanggul melebihi 2 meter. Pada wilayah Ganra banjir juga terjadi di sepanjang sungai namun dengan pola ancaman yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 53. Gambar 53. Kondisi banjir di Daerah Ganra Gambar 53 menunjukkan bahwa di wilayah Ganra mengalami ancaman banjir yang besar di sepanjang sungai. Tinggi muka air banjir yang melebihi 11 meter sedang tinggi tanggul hanya berkisar 4 meter. Bahkan untuk banjir dengan periode ulang 2 tahun, ketinggian muka air banjir di sembilan stasiun melebihi tiga meter. Hasil wawancara dengan masyarakat di lokasi ini menguraikan bahwa di Ganra sering terjadi banjir bahkan pada kondisi tidak ada hujan di Ganra. Pada tahun 2010 antara bulan Januari hingga Juli telah terjadi banjir besar selama 3 kali dan menggenangi pemukiman setinggi hampir 1 meter. Hal ini menggambarkan bahwa kapasitas sungai di Ganra yang sangat kecil akibat sedimentasi serta tingginya kecepatan air dari hulu. Daerah Bakke memberikan gambaran banjir yang hampir sama dengan Ganra. Kejadian banjir di daerah Bakke juga terjadi di sepanjang sungai sebagaimana diuraikan pada Gambar 54. Gambar 54. Kondisi banjir di Daerah Bakke Gambar 54 menunjukkan bahwa wilayah Bakke mengalami ancaman banjir yang cukup tinggi dimana selisih muka air banjir dengan tinggi tanggul berkisar antara 2 meter hingga 12 meter. Hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa banjir terjadi setiap tahun dan bahkan terjadi berkali-kali dalam setahun. Banjir menggenangi pemukiman, sawah dan infrastruktur sehingga menimbulkan kerugian masyarakat. Uraian kejadian banjir pada setiap lokasi menunjukkan bahwa Sungai Lawo mengalami ancaman banjir yang cukup besar terutama pada daerah hilir sungai. Ancaman tersebut bahkan tidak dapat direduksi dengan adanya upaya normalisasi sungai serta pembuatan tanggul secara parsial. Analisa beban banjir yang dilakukan untuk melihat besarnya ancaman banjir di setiap lokasi menunjukkan bahwa daerah Seppang, Lawo, Cenrana dan Paowe mengalami ancaman banjir yang lebih kecil dari 2 meter, sedang Talumae mengalami ancaman banjir yang lebih besar dari 2 meter. Nilai beban banjir yang dihitung berdasarkan rata-rata selisih muka air banjir dan tinggi tanggul Lampiran 5 untuk setiap wilayah di Sungai Lawo dapat dilihat pada Gambar 55. Gambar 55 Beban Banjir di Sungai Lawo Hasil analisis pada Gambar 55 juga menunjukkan bahwa Ganra mengalami ancaman dua kali lipat dibandingkan dengan Talumae. Dearah Bakke mengalami ancaman banjir yang sangat besar yaitu sebesar 7.85 meter. Pada daerah Ganra dan Bakke mengalami ancaman banjir yang besar akibat terjadinya pendangkalan dan sedimentasi. Kemiringan memanjang sungai yang juga semakin kecil menyebabkan aliran air semakin lambat. Hal ini juga diperburuk dengan meningkatnya muka air banjir di Danau Tempe sehingga terjadi aliran balik ke sungai.

5.3.5. Analisis Ekohidrolik

Kondisi banjir pada sepanjang Sungai Lawo menuntut adanya tindakan pengelolaan. Pengelolaan sungai yang umum dilakukan yaitu secara struktural telah dilakukan pada beberapa titik namun dinilai belum mampu mengendalikan banjir dan bahkan menyebabkan peningkatan energi kinetik pada tebing sungai. Konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai yang dapat memperkecil kecepatan air. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis hidrolika maka dibuat disain pengelolaan sungai pada setiap lokasi. Disain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidrolik adalah mendisain vegetasi tanaman pada bantaran sungai, dan menjadikan bantaran sungai sebagai areal banjir. Adapun pengaruh vegetasi pada bantaran sungai tergantung pada tingkat kekasarannya. Tingkat kekasaran daerah bantaran dipengaruhi oleh diameter vegetasi, jarak tanaman dan lebar bantaran sungai. Pada kajian ini dibuat disain tanaman tinggi atau tanaman yang lebih tinggi daripada muka air banjir. Jarak tanaman dalam arah melintang dan memanjang sepanjang 100 cm dengan lebar bantaran sepanjang 100 meter, 120 meter dan 150 meter. Hasil perhitungan kekasaran daerah bantaran disajikan pada Gambar 56. Gambar 56. Nilai kekasaran pada bantaran sungai pada tiga alternatif panjang bantaran. Gambar 56 menunjukkan bahwa untuk vegetasi dengan diameter 5 cm memberikan nilai kekasaran yang lebih kecil dari 50. Nilai ini meningkat seiring dengan peningkatan diameter vegetasi hingga ukuran vegetasi sebesar 25 cm. Pada vegetasi dengan diameter 50 cm dan 100 cm, nilai kekasaran ekivalen ini tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dengan peningkatan kekasaran bantaran, maka kecepatan air juga dapat direduksi. Hal ini sesuai dengan uraian Maryono 2005 bahwa pada sungai alamiah berbentuk mendekati trapesium, dimana bagian bantarannya bervegetasi lebat, akan terjadi interaksi yang lebar dan proses kehilangan energi akibat gesekan kecepatan dari antar tampang. Di sini aliran yang relatif cepat pada sungai utama mendesak ke daerah bantaran dan keluar lagi dengan kecepatan yang lebih rendah. Dengan adanya daerah interaksi ini maka akan terjadi reduksi kecepatan secara keseluruhan. Seppang Panjang sungai yang diamati pada penelitian di daerah Seppang adalah 2 400 m. Adapun muka air banjir maksimum pada debit 50 tahunan di daerah ini adalah 4.803 m. Pada daerah Seppang dilakukan analisis ekohidrolik di Sta 000. Hasil analisis ekohidrolik dengan tinggi genangan 2.00 meter di sisi kiri sungai dan 0.75 meter di sisi kanan sungai dinilai dapat mereduksi banjir periode 50 tahunan adalah dengan lebar bantaran 150 m. Hal ini didasarkan pada nilai debit total yang dihasilkan lebih besar dibandingkan debit rencana 50 tahunan 425.43 m 3 Selanjutnya dilakukan perhitungan tinggi muka air pada berbagai diameter vegetasi untuk memperoleh seberapa besar tinggi genangan dan kecepatan air yang bersesuaian dengan debit rencana. Berdasarkan analisis ekohidrolik diperoleh tinggi genangan pada sisi kiri yang disajikan pada Gambar 57. s. Gambar 57. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di Sta 000 Pada Gambar 57 nampak bahwa dengan diameter vegetasi 0.1 meter terjadi penurunan tinggi genangan setinggi 1 meter, yaitu dari 2.885 meter menjadi 1.821 meter. Pada diameter vegetasi yang melebihi 0.2 meter nampak bahwa tinggi genangan relatif sama yaitu setinggi 1.746 meter hingga 1.756 meter. Dengan demikian penambahan diameter vegetasi tidak berpengaruh terhadap tinggi genangan. Disain ekohidrolik ini juga memberikan gambaran penurunan kecepatan air, namun dengan variasi yang berbeda untuk setiap diameter vegetasi. Gambaran hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 58. Gambar 58. Kecepatan air pada bantaran sungai di Sta 000 Gambar 58 menunjukkan bahwa kecepatan air awal sebelum adanya penataan bantaran adalah 2.885 ms sedang dengan adanya vegetasi 0.1 meter maka kecepatan air di bantaran menurun menjadi 0.897 ms atau kecepatan air dapat direduksi sebesar 60. Kecepatan pada diameter vegetasi yang lebih besar menghasilkan kecepatan yang lebih besar pula namun dengan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi tanpa vegetasi. Reduksi kecepatan terkecil dengan adanya penataan bantaran adalah sebesar 57.9 pada diameter vegetasi 1 meter. Lawo Daerah Lawo yang memiliki panjang sungai sepanjang 4 km dan lebar dasar rata-rata sungai sebesar 18 meter dengan kedalaman rata-rata 60 cm. Ketinggian muka air banjir maksimum pada daerah ini adalah setinggi 4.4 meter untuk periode ulang 50 tahun. Sebagai upaya pengendalian sungai di Lawo, maka dilakukan analisis ekohidrolik pada sta 3 200. Pada titik ini diperoleh tinggi tanggul kanan sebesar 1.41 meter dan tanggul kiri setinggi 1.08 meter. Debit maksimal yang dapat ditampung sungai pada penampang ini sebesar 4.558 m 3 s atau hanya berkisar 1 dibandingkan dengan debit banjir 50 tahunan 425.43 m 3 s. Hasil analisis ekohidrolik untuk panampang tersebut memberikan hasil yang sangat kecil, yaitu dengan lebar bantaran 150 meter penggenangan setinggi 1.08 meter di sisi kiri sungai hanya memberikan debit sebesar 197.32 m 3 s atau masih sangat kecil dibandingkan dengan debit 50 tahunan. Dengan pertimbangan analasis awal tersebut, maka dilakukan disain ekohidrolik dengan melakukan pengerukan sungai sedalam 1 meter sehingga kapasitas sungai menjadi 18.37 m 3 Hasil perhitungan debit dengan penggenangan 1.58 meter di sisi kiri sungai dan 0.5 meter di sisi kanan menunjukkan disain ini layak untuk mereduksi banjir. Disain ini menunjukkan bahwa penataan bantaran sungai dengan penanaman tanaman tinggi akan dapat menurunkan muka air banjir. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 59. s. Gambar 59. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 3 200 Gambar 59 menunjukkan bahwa konsep ekohidrolik dapat mereduksi muka air banjir setinggi 2.7 meter yaitu dari 4.0 meter menjadi 1.3 meter. Hal ini dapat diperoleh dengan menata bantaran selebar 150 meter dengan vegetasi berdiameter lebih besar dari 20 cm. Dengan konsep ini pula, maka kecepatan air dapat direduksi sebesar 37.7 yaitu kecepatan 1.6 ms menjadi 1 ms. Gambaran penurunan kecepatan pada Sta 3 200 disajikan pada Gambar 60. Gambar 60. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 3 200 Berdasarkan Gambar 58 diperoleh informasi bahwa kecepatan air terendah diperoleh dengan diameter vegetasi 10 cm yaitu sebesar 0.703 mdetik, sedang diameter 20 cm hingga 100 cm memberikan tingkat kecepatan yang hampir sama yaitu antara 0.96 ms – 0.97 ms. Kecepatan air awal tanpa penerapan konsep ekohidrolik dengan debit sebesar 425.5 m 3 Cenrana s adalah sebesar 1.55 ms. Pada daerah Cenrana pemanfaatan bantaran sungai oleh masyarakat pada umumnya adalah berupa tanah kosongsemak sehingga potensinya tinggi untuk pemanfaatan bantaran dalam pengelolaan sungai secara ekohidrolik Tanah kosong tersebut merupakan lahan bekas areal pengelolaan tambang sungai yang tidak dimanfaatkan lagi. Panjang sungai pada daerah ini adalah 1 400 meter yaitu pada sta 6 600 hingga sta 8 000. Tinggi muka air banjir tertinggi pada areal ini adalah 2.95 meter dengan rata-rata kedalaman sungai 0.931 meter. Sesuai dengan analisis hidrologi diperoleh bahwa debit banjir 50 tahunan pada titik ini adalah 433.705 m 3 s. Disain ekohidrolik pada daerah ini dilakukan pada sta 6800 dengan lebar bantaran 150 meter dan tinggi genangan 2 meter di sisi kiri. Tanggul di sisi kanan sungai cukup aman dari ancaman banjir. Pada diameter vegetasi 10 cm debit yang dapat ditampung oleh penampang adalah 641.2 m 3 s dan nilainya meningkat hingga 669.205 m 3 s pada diameter 100 cm. Tinggi muka air banjir yang diperoleh pada titik ini dengan penanganan bantaran 150 m dapat direduksi sebesar 1.2 meter sebagaimana disajikan pada Gambar 61. Gambar 61. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 6 800 Berdasarkan Gambar 61 dapat diuraikan bahwa vegetasi dengan diameter 10 cm pada bantaran selebar 150 m dapat menampung debit sebesar 433.705 m 3 Kecepatan air yang diperoleh dengan analisis ekohidrolik juga menunjukkan penurunan yang cukup tinggi. Kecepatan air tanpa pengelolaan bantaran sebesar 3.75 ms. Nilai ini menurun hingga berkisar 0.9 ms hingga 1 ms dengan adanya vegetasi di bantaran sungai. Analisis ekohidrolik ini menunjukkan bahwa kecepatan air dapat direduksi sebesar 76 pada titik ini. Hasil analisis tersebut disajikan pada Gambar 62. s dengan ketinggian air hanya 1.7 m. Tinggi muka air akan menurun sebesar 26 cm jika diameter vegetasi 20 cm. Penurunan muka air banjir secara signifikan tidak nampak pada diameter yang lebih besar dari 20 cm. Gambar 62. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 6 800 Paowe Kondisi ekologis daerah bantaran sungai di Paowe adalah didominasi oleh pemukiman dan sawah. Nilai ekonomis kedua jenis tataguna lahan ini cukup tinggi sehingga penataan bantaran sungai di wilayah ini terkendala dengan kondisi ekologis. Namun demikian, kajian ekohidrolik dilakukan sebagai bahan pertimbangan pengelolaan sungai di masa mendatang. Kajian pada wilayah ini dilakukan pada sta 9 800 dengan ketinggian tanggul terendah setinggi 14 cm di sisi kiri sungai. Di sisi kanan ketinggian tanggul setinggi 1.74 meter. Analisis hidrolika memberikan hasil debit sebesar 1.078 m 3 s atau nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan debit 50 tahunan 433.795m 3 Hasil analisis ekohidrolik menunjukkan bahwa penataan lebar bantaran 120 meter layak untuk menampung debit rencana 50 tahunan. Pengelolaan sungai dengan lebar bantaran 120 meter dan tinggi genangan setinggi 2 meter di sisi kiri dan setinggi 0.9 meter di sisi kanan dinilai dapat mereduksi bahaya banjir dengan menurunkan tinggi genangan banjir. Muka air banjir pada titik ini tanpa adanya pengelolan adalah 4.86 meter atau genangan setinggi 4.72 meter. Sedang setelah adanya pengelolaan maka genangan banjir pada bantaran setinggi 2.5 meter. Secara detail hasil analisis ekohidrolik tentang penurunan tinggi genangan di bantaran sungai disajikan pada Gambar 63. s. Dengan demikian, maka disain ekohidrolik pada titik ini adalah dengan memperbesar kapasitas sungai yaitu dengan mengadakan pengerukan pada sisi kanan sungai. Gambar 63. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 9 800 Penurunan kecepatan air pada titik ini dengan adanya pengelolaan bantaran memberikan hasil yang cukup baik. Hasil perhitungan kecepatan tersebut disajikan pada Gambar 64. Gambar 64. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 9 800 Pada Gambar 64 nampak bahwa dengan penanaman vegetasi pada bantaran selebar 120 meter, maka kecepatan air yang terjadi pada debit 50 tahunan dapat direduksi sebesar 1 mdetik atau kecepatan tersebut dapat direduksi hingga 50. Dengan pengelolaan tersebut, maka pengaliran air ke wilayah selanjutnya dapat lebih lambat sehingga banjir yang terjadi dapat direduksi. Talumae Wilayah Talumae dilintasi Sungai Lawo sepanjang 1 000 meter dengan pemanfaatan bantaran sungai pada umumnya adalah pemukiman dan kebun. Ancaman banjir sungai ini dalam kategori sedang atau sama dengan wilayah Seppang. Pada wilayah ini analisis ekohidrolik dilakukan pada sta 10 400 dengan debit yang dapat ditampung sebesar 57.786 m 3 Disain ekohidrolik pada penampang ini adalah dengan tinggi genangan banjir pada sisi kiri bantaran 2 meter dan di sisi kanan setinggi 1.91 meter. Tinggi genangan yang bersesuaian dengan debit rencana sebesar 433.705 m s. 3 s untuk berbagai diameter vegetasi disajikan pada Gambar 65. Gambar 65 . Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 10 400 Pada Gambar 65 nampak bahwa disain ekohidrolik dapat menurunkan genangan pada bantaran dari 3.6 meter menjadi 1.9 meter pada lebar bantaran 100 meter dan diameter vegetasi 10 mm. Diameter vegetasi 20 cm, 25 cm, 50 cm dan 100 cm dapat menghasilkan tinggi genangan 1.5 meter. Hasil analisis ekohidrolik pada sta 10 400 disajikan pada Gambar 66. Gambar 66. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 10 400 Berdasarkan analisis ekohidrolik dapat diperoleh gambaran bahwa diameter vegetasi sebesar 10 cm dapat memberikan kecepatan air sebesar 0.7 msk. Nilai ini hanya berkisar 30 dari kecepatan tanpa pengelolaan bantaran. Dengan demikian reduksi kecepatan pada saat banjir adalah sebesar 70. Kecepatan air yang lebih tinggi diperoleh dengan diameter vegetasi yang lebih besar. Ganr a Daerah Ganra memiliki potensi yang relatif baik untuk dilakukan pengelolaan sungai dengan konsep ekohidrolik. Hal ini didukung oleh tata guna lahan pada bantaran sungai didominasi dengan kebun coklat. Sta 13 200 merupakan titik yang dipilih dalam analisis ekohidrolik dengan karakteristik hidrolika adalah lebar dasar 16.2 meter dan luas penampang 48.2 m 2 . Debit yang dapat ditampung pada stasiun adalah 42.317 m 3 Disain ekohidrolik pada titik ini adalah dengan melakukan pengerukan pada dasar saluran sedalam 0.82 meter sehingga kedalaman sungai menjadi 3.5 meter. Bantaran sisi kanan sungai yang terjadi erosi tebing juga dikeruk selebar 2 meter sehingga kemiringan tebing dapat diperkecil. Analisis trial and error memberikan hasil bahwa tinggi genangan 1 meter pada sisi kanan sungai dengan lebar bantaran 120 meter dapat menampung debit 50 tahunan. Dengan diameter vegetasi 10 cm, debit yang dapat ditampung adalah 508.12 m3s. Debit ini meningkat 1.7 hingga 2 pada diameter vegetasi 20 cm hingga 100 cm. s. Perhitungan tinggi genangan yang tepat sesuai dengan debit 50 tahunan. pada berbagai diameter vegetasi diuraikan pada Gambar 67. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan dengan penataan bantaran sungai, maka tinggi genangan di bantaran hanya mencapai 0.73 meter pada diameter vegetasi 10 mm. Jika diameter vegetasi 20 mm atau lebih besar, maka tinggi genangan hanya mencapai 0.7 meter. Dengan demikian terjadi penurunan tinggi genangan setinggi 7.4 meter. Gambar 67. Tinggi genangan pada sisi kanan sungai di sta 13 200 Manfaat lain dari penerapan ekohidrolik ini adalah penurunan kecepatan air. Berdasarkan analisis ekohidrolik di titik ini, maka kecepatan air dapat diturunkan dari 1.7 ms menjadi 1.5 ms. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 68. Gambar 68. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 13 200 Hasil analisis pada Gambar 68 menunjukkan bahwa kecepatan air dapat direduksi sebesar 10 pada titik ini. Tanpa disain ekohidrolik di bantaran sungai serta perbesaran kapasitas sungai, maka kecapatan aliran pada saat banjir sebesar 1.7 msk. Dengan adanya pengelolaan tersebut, maka kecapatan aliran dapat direduksi hingga 1.5 ms. Bakke Wilayah Bakke merupakan wilayah yang mengalami ancaman banjir yang sangat besar. Masyarakat di wilayah ini sering mengalami banjir sehingga mengalami kerugian yang cukup besar baik dalam hal kerusakan infrastruktur, hasil panen padi maupun dengan kualitas hasil kebun. Debit banjir untuk periode ulang 50 tahunan pada wilayah ini adalah 441.691 m 3 Pada penelitian ini analisis ekohidrolik dilakukan pada sta 16 400 yaitu dengan muka air banjir setinggi 13.2 meter tanpa adanya pengelolaan sungai. Disain pengelolaan sungai secara ekohidrolik dilakukan dengan memperbesar kapasitas sungai yaitu dengan melakukan penggalian pada sisi kiri dan kanan sungai. . s. Pada disain ini pula dilakukan analisis ekohidrolik dengan tinggi genangan 2 meter di sisi kanan dan 2.28 meter di sisi kiri sungai. Debit maksimum yang dapat ditampung dengan penggenangan 100 meter di sisi kiri dan kanan sungai adalah sebesar 285 m 3 s. Nilai ini masih lebih kecil dibandingkan dengan debit 50 tahunan sebesar 441.7 m 3 s. Dengan demikian, maka lebar bantaran 100 meter dinilai tidak layak dalam disain ekohidrolik utnuk titik ini. Disain ekohidrolik yang tepat yaitu dengan lebar bantaran 150 meter. Dengan penanganan tersebut maka debit yang diperoleh pada diameter vegetasi 10 cm adalah 452.771 m 3 s. Nilai ini lebih besar dari debit rencana 441.091 m 3 s. Adapun perhitungan tinggi genangan yang tepat sesuai dengan debit 50 tahunan disajikan pada Gambar 69. Gambar 69. Tinggi genangan pada sisi kiri sungai di sta 16400 Pada Gambar 69 menunjukkan bahwa tinggi genangan yang terjadi pada banjir dengan debit sebesar 441.691 m 3 Kecepatan air yang diperoleh pada analisis ekohidrolik adalah dengan penanganan bantaran 150 meter maka kecepatan air dapat dikurangi sebesar 0.9 ms. Nilai ini berkisar 40 dari kecepatan sebelum adanya pengelolaan bantaran. Dengan demikian, maka reduksi kecepatan pada stasiun ini adalah sebesar 60 sebagaimana digambarkan pada Gambar 70. s adalah 2.221 meter disisi kiri sungai sedang di sisi kanannya setinggi 1.94 meter dengan diameter vegetasi 10 meter. Tinggi genangan dengan diameter vegetasi 20 cm hingga 100 cm memberikan hasil sebesar 2 meter. Gambar 70. Kecepatan air pada bantaran sungai di sta 16 400 Gambaran hasil analisis ekohidrolik di sepanjang sungai Lawo menunjukkan bahwa diameter vegetasi 10 cm – 20 cm dapat menurunkan tinggi genangan di bantaran sungai. Lebar bantaran bervariasi antara 100 meter hingga 150 meter. Disain lebar bantaran sungai serta diameter vegetasi yang minimal dan dapat menampung debit rencana 50 tahunan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Disain ekohidrolik pada Sungai Lawo Lokasi Sta Lebar bantaran meter Diameter vegetasi cm kiri kanan Seppang 000 150 150 10 Lawo 3 200 150 150 10 Cenrana 6 800 150 10 Paowe 9 800 120 120 20 Talumae 10 400 100 100 10 Ganra 13 200 120 10 Bakke 16 400 150 150 10 Hasil analisis ekohidrolik menunjukkan bahwa genangan air pada berbagai titik terjadi penurunan yang signifikan, sehingga kerusakan akibat banjir dapat dikurangi. Ekohidrolik merupakan salah satu tindakan pengurangan akibat kerugian banjir melalui usaha membuat kebal banjir floodproofing bagi harta milik tertentu dan pengolahan dataran banjir Linsley et al, 1996. Hasil analisis disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Reduksi tinggi genangan akibat konsep ekohidrolik di Sungai Lawo Lokasi sta Tinggi genangan meter Reduksi Tinggi genangan meter Tanpa Ekohidrolik Dengan Ekohidrolik kiri kanan kiri kanan Seppang 2.885 1.635 1.821 0,571 1.064 Lawo 3 200 3.975 2.895 1.456 0,376 2.519 Cenrana 6 800 2.626 0.000 1.689 0.000 0.937 Paowe 9 800 4.724 3.124 2.491 0.891 2.233 Talumae 10 400 3.595 3.505 1.901 1.811 1.694 Ganra 13 200 6.555 8.975 0.000 0.734 8.241 Bakke 16 400 11.251 10.971 2.221 1.941 9.030 Dengan adanya vegetasi tanaman diameter antara 10 cm – 20 cm pada bantaran sungai, maka tinggi genangan dapat direduksi sebesar 0.9 meter hingga 9 meter. Penurunan muka air ini disebabkan adanya perbesaran penampang sungai, yaitu bantaran sungai dijadikan daerah yang dapat digenangi. Hal ini didasarkan dengan teori bahwa lebar bantaran sungai menyebabkan peningkatan kapasitas sungai sehingga muka air yang terjadi menjadi lebih rendah. Dengan penataan bantaran sungai, maka aliran air dapat tertahan pada bantaran sungai pada lokasi yang telah direncanakan sehingga aliran air sungai tidak mengalir dengan cepat ke hilir yang menyebabkan banjir besar di hilir. Dengan konsep ekohidrolik maka distribusi banjir dapat dicapai yaitu banjir besar yang terjadi di daerah hilir dapat dibagi menjadi banjir kecil di beberapa tempat. Genangan di bantaran sungai tersebut selain menjadi retensi banjir tetapi juga memiliki fungsi ekologis. Maryono 2005 menguraikan bahwa genangan di pinggir sungai dapat berupa danau, rawa dan pelebaran bantaran banjir. Fungsi ekologinya adalah sebagai habitat akuatik, amphibi dan habitat darat. Genangan dapat terhubungkan dengan sungai utamanya dan dapat juga tidak terhubung. Dengan demikian semakin lama suatu volume banjir tersimpan pada suatu titik maka ekologi sungai semakin terjaga. Namun demikian hal ini bertentangan dengan konsep konservasi air yang konvensional. Schwab et al 1981 menguraikan bahwa peningkatan kualitas sungai dapat dilakukan dengan menaikkan luas penampang melintang serta peningkatan kecepatan air. Dimana peningkatan luas penampang melintang dapat dicapai dengan penggalian atau pelebaran saluran. Sedang peningkatan kecepatan aliran dicapai melalui pembersihan tanaman atau vegetasi di tepi sungai serta dengan pembuatan tanggul leeves. Secara struktural tanggul yang biasanya dari beton atau pasangan batu tidak sesuai dengan upaya konservasi air karena akan menutup mata air atau memperkecil debit mata air. Penggenangan pada bantaran sungai merupakan salah satu upaya konservasi air dimana mata air sungai biasanya terasosiasi dengan berbagai komponen ekologi disekitar sungai. Terdapat kaitan yang signifikan antara komponen ekologi dengan mata air sungai. Zona perakaran pohon-pohon besar memungkinkan terjadinya tegangan tarik zona perakaran terhadap air Maryono, 2005. Pada kajian ini, analisis ekohidrolik membuktikan bahwa penanaman vegetasi di bantaran sungai dapat memperkecil kecepatan air. Penurunan kecepatan air pada setiap lokasi akibat adanya pengelolaan sungai dengan konsep ekohidrolik bervariasi antara 10 hingga 76 yang diuraikan pada Tabel 27. Tabel 27. Kecepatan air pada bantaran sungai di sepanjang Sungai Lawo Lokasi Sta Lebar bantaran meter Diameter vegetasi cm V ms Reduksi Kec kiri kanan sebelum sesudah Seppang 150 150 10 2.344 0.897 62 Lawo 3 200 150 150 10 1.550 0.703 55 Cenrana 6 800 150 10 3.751 0.899 76 Paowe 9 800 120 120 20 1.901 0.845 56 Talumae 10 400 100 100 10 2.448 0.699 71 Ganra 13 200 120 10 1.707 1.542 10 Bakke 16 400 150 150 10 1.602 0.621 61 Penurunan kecepatan air akibat adanya vegetasi di bantaran disebabkan oleh akibat meningkatnya daerah interaksi lebar bantaran serta proses kehilangan energi kinetik akibat gesekan kecepatan antar tampang. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian Sadeghi et al 2010 bahwa dengan adanya vegetasi pada bantaran sungai dapat menyebabkan terjadinya perbedaan kecepatan air pada badan sungai dan pada bantaran sungai. Dengan adanya vegetasi pada bantaran sungai, maka kecepatan air pada bantaran sungai jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kecepatan air di sungai. Dengan adanya vegetasi, maka terjadi transfer momentum lateral, gaya geser dan kehilangan energi serta meningkatnya tahanan aliran. Demikian pula pada hasil kajian Sun et al. 2010 bahwa vegetasi di bantaran sungai sangat berpengaruh terhadap pola aliran sungai, penurunan kecepatan dan peningkatan gaya gesek antara aliran dan dasar saluran peningkatan nilai drag koefisien. Vegetasi yang dimanfaatkan dalam penataan bantaran sungai harus memiliki ketahanan terhadap arus akibat tingginya kecepatan pada saat erjadi banjir. Vegetasi tersebut harus ditunjang dengan kekuatan perakaran dan diameter batang yang cukup sehingga mampu bertahan hidup dalam kondisi tergenang banjir. Uraian hasil analisis ekohidrolik pada berbagai lokasi di Sungai Lawo dapat membuktikan bahwa penataan bantaran sungai dapat memperkecil bahaya banjir. Tata guna lahan pada bantaran sungai dapat disesuaikan dengan vegetasi yang sesuai sehingga muka air banjir dapat direduksi. Selain itu, erosi tebing yang terjadi akibat tingginya kecepatan dapat dikurangi dengan berkurangnya kecepatan air. Analisis ekohidrolik yang menghasilkan lebar bantaran optimal juga merupakan suatu dasar atau rujukan dalam penentuan garis sempadan sungai. Dengan demikian, maka pada wilayah Seppang, Lawo dan Bakke diperoleh lebar sempadan sungai yang layak adalah 150 meter di sisi kiri dan kanan sungai. Pada wilayah Cenrana, daerah sempadan sungai yang diperlukan adalah selebar 120 meter di sisi kiri sungai. Pada sisi kanannya terdapat tanggul sungai yang cukup tinggi dan relatif aman dari bahaya banjir. Di daerah Paowe dibutuhkan lebar sempadan sungai 120 meter di sisi kiri dan kanan sungai namun harus disertai pula dengan upaya pengerukan sungai sehingga kedalamannya dapat tetap terjaga. Garis sempadan sungai di Talumae minimal selebar 100 meter di sisi kiri dan kanannya. Pada daerah Ganra, garis sempadan sungai minimal selebar 120 meter di sisi kanan sungai dan di sisi kanan terdapat tanggul yang relatif aman. Pada daerah Ganra dan Bakke, diperlukan upaya pengerukan dasar sungai dan perlindungan tanggul kiri dan kanannya dari erosi. Hal ini dapat dilakukan dengan pengaturan kemiringan tanggul dan penanaman tanaman pelindung erosi. Garis sempadan sungai yang diperoleh berdasarkan dengan kosnep ekohidrolik hendaknya disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tentang Sungai bahwa garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.

5.3.6. Manfaat Konsep Ekohidrolik Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat

dan Ekologi Sungai. Penataan bantaran sungai dengan konsep ekohidrolik yaitu dengan menanam tanaman yang sesuai dengan vegetasi yang bernilai ekonomi bagi masyarakat. Vegetasi yang tepat adalah vegetasi berdiameter 10 cm hingga 50 cm dan memiliki ketinggian yang melebihi dari tinggi genangan yang direncanakan. Manfaat ekonomi konsep ekohidrolik dapat dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat baik akibat berkurangnya bahaya banjir maupun dengan pemanfaatan lahan di bantaran sungai dengan tepat. Tata guna lahan perkebunan di sekitar Sungai Lawo pada umumnya membudidayakan tanaman kakao Theobroma cacao. Tanaman ini layak untuk dijadikan sebagai salah satu penerapan konsep ekohidrolik yaitu dengan diameter batang 10 cm – 20 cm dan dengan nilai ekonomi yang tinggi. Jarak tanam kakao yang lebih besar dari satu meter dapat diantisipasi dengan menanam tanaman pelindung. Kabapaten Soppeng merupakan salah satu kabupaten penghasil kakao di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 2007 menghasilkan 6 877 ton dan pada tahun 2008 menghasilkan produksi sebesar 8 156 ton BPS, 2010. Sulawesi Selatan merupakan salah satu produsen utama kakao Indonesia. Pada tahun 2007 produksi kakao Sulawesi Selatan berkonstribusi sekitar 15 dari 779 186 ton atau sebesar 117 118 ton Yulismulianti dan Roy, 2008. Manfaat ekologi budidaya kakao dapat mencegah erosi di bantaran yaitu dengan perbaikan struktur tanah. Pada budidaya tanaman kakao dibutuhkan adanya tanaman tinggi untuk naungan sejak ditanam sampai umur 2 - 3 tahun. Tanaman muda yang kurang naungan pertumbuhannya akan terlambat. Tanaman ini juga tidak tahan angin kencang sehingga tanaman pelindung penaung dapat berfungsi sebagai penahan angin. Penaung kakao sangat diperlukan dalam mengatur intensitas penyinaran sinar matahari, tinggi suhu, kelembaban udara, menahan angin, menambah unsur hara dan organik, menekan tumbuhan gulma, dan memperbaiki struktur tanah Susanto, 1994. Tanaman lain yang juga banyak tumbuh di bantaran sungai adalah bambu. Tanaman bambu yang merumpun dengan diameter 50 cm hingga 100 cm yang dibudidayakan dengan tepat dapat dijadikan sebagai aplikasi ekohidrolik. Tanaman ini juga bernilai ekonomis yang tinggi. Dalam kehidupan masyarakat di Kabupaten Soppeng, bambu dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan keperluan industri kecil kerajinan. Selain itu, pohonnya yang baru tumbuh rebung dibuat sayur. Bambu juga dimanfaatkan dalam kehidupan sosial masyarakat, misalnya dalam upacara adat, upacara perkawinan dan upacara pemakaman. Dalam perlindungan ekologis sungai, bambu juga dapat berfungsi sebagai perlindungan erosi tebing. Budinetro dalam Maryono 2005 menguraikan bahwa tanaman yang diusulkan untuk perlindungan tebing adalah Vetivera Zizanioides rumput vetiver, Ipomoea Carnea karangkungan dan bambu. Tanaman bambu banyak ditemui tumbuh pada bantaran sungai dan tidak dibudidayakan sehingga rumpun dan jarak tanamnya tidak menunjukkan keteraturan. Dalam konsep ekohidrolik, untuk memperoleh hasil reduksi banjir yang optimal, maka pemeliharaan diameter vegetasi hendaknya dipertahankan. Berbagai tanaman buah-buahan yang dapat dibudidayakan di bantaran sungai dan memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat adalah nangka Artocarpus heterophyllus, sukun Artocarpus altilis, mangga mangifera.sp, dan kelapa Cocos nucifera. Tanaman ini memiliki diameter antara 10 cm hingga 25 cm, dan tingginya dapat mencapai 2 meter hingga 3 meter. Selain itu, pada bantaran sungai terdapat beberapa jenis tanaman yang memiliki fungsi untuk penyediaan bahan bangunan seperti pohon jati dan kayu bitti Vitex cofassus, Reinw. Ex Blume. Konsep ekohidrolik juga dapat berfungsi sebagai pengembangan keanekaragaman hayati dan penyediaan ruang terbuka hijau pada suatu kawasan. Dengan konsep ini maka bantaran sungai dapat mempertahankan habitat yang bagi fauna ikan, reptilian air dan burung. Selain itu ekohidrolik juga dapat mempertahankan vegetasi yang menurut sejarah banyak terdapat di wilayah kajian seperti pohon Secang atau Sepang Caesalpinia sappan L. . Menurut infromasi dari penduduk di Seppang, bahwa nama daerah ini disesuaikan dengan pohon spesifik yang banyak tumbuh di daerah tersebut. Kata Seppang bermakna nama kayu disebut sebagai aju seppang dalam bahasa Bugis yang sering dijadikan pewarna pada air dan dipercaya dapat mencegah berbagai penyakit. Salah satu vegetasi langka yang dapat dibudidayakan oleh masyarakat adalah pangi. Pangi Pangium Edula merupakan tanaman langka walaupun memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Salah satu plasma nutfah flora yang termasuk langka dan berpotensi sebagai tanaman obat adalah tanaman kluwakpakem Pangium edule Reinw.. Pohon kluwakpakem tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian antara 10-1 000 meter dari permukaan air laut pada tanah Aluvial, Podsolik, tanah berbatu atau tanah liat yang miskin unsur hara. Tumbuhan ini umumnya tumbuh di tepi sungai, daerah yang berair, hutan primer, hutan sekunder, dan kebun masyarakat Heriyanto dan Subiandono, 2008. Dengan adanya budidaya yang sesuai dengan tujuan perlindungan sungai, maka ekologi sungai dapat dipertahankan. Hal ini sesuai dengan ungkapan Swol 1986 dalam Waryono 2008 bahwa penutupan vegetasi yang spesifik pada riparian membentuk satuan ekologi terkecil. Penataan bantaran sungai memiliki peran dalam upaya konservasi tanah dan air. Perlindungan tanah dari erosi dan longsor dapat dilakukan dengan tataguna lahan yang sesuai. Sedang upaya konservasi air dilakukan dengan mencipatakan kawasan resapan air hujan.

5.4. Penerapan Kebijakan Pengelolaan Sungai Berbasis Pada Konsep