Latar Belakang Development river management model based on ecohydraulic concept. (case Study at Lawo River of Soppeng Regency, Province of South Sulawesi)

I . PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di Indonesia adalah degradasi fungsi ekosistem daerah aliran sungai. Dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air diuraikan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Fungsi ekosistem tersebut sangat penting terhadap ketersediaan sumber daya air. Namun demikian, fungsi ini menurun akibat kegiatan manusia. Peningkatan jumlah DAS kritis yaitu data pada tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, tahun 1992 meningkat menjadi 39, dan tahun 1998 menjadi 59 DAS. Pada 2005, jumlah DAS yang kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis yaitu di Pulau Jawa sebanyak 116 DAS dari 141 DAS, sedang di luar Pulau Jawa terdapat 175 DAS yang rusak dari 326 DAS Murtilaksono, 2009. Kriteria penetapan DAS kritis yaitu rendahnya prosentase penutupan lahan, tingginya laju erosi tahunan, besarnya rasio debit sungai maksimum dan debit minimum, serta kandungan lumpur sediment load yang berlebihan Suripin, 2002. Fenomena DAS kritis menuntut adanya pengelolaan sungai yang tepat sehingga dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia dapat diperkecil. Volume air yang berlebihan atau besarnya debit pada musim hujan menyebabkan banjir atau meluapnya air sungai akibat tingginya curah hujan dan menghasilkan air permukaan run off. Air hujan yang jatuh hanya sebagian kecil yang meresap ke dalam tanah, dan sebagian besar mengalir di permukaan atau menuju sungai. Daya tampung sungai yang semakin kecil menyebabkan terjadinya luapan dan menggenangi wilayah sekitarnya. Daya tampung sungai dipengaruhi oleh terjadinya erosi dan sedimentasi yang berlebihan yang disebabkan oleh kegiatan manusia pada wilayah bantaran sungai serta kemiringan lereng dan kondisi tanah. Aliran air yang berlebihan juga dapat menyebabkan kelongsoran tanah dan memperbesar angkutan sedimen. Banjir menyebabkan kerugian materi bagi manusia sehingga perlu dilakukan tindakan pengelolaan sungai khususnya sebagai upaya pengendalian banjir. Linsley et al. 1996 menguraikan bahwa pengendalian banjir merupakan tindakan pengurangan kerugian banjir flood damage mitigation. Tindakan tersebut dapat berbentuk pengurangan puncak banjir dengan waduk, pengurangan aliran banjir di dalam suatu alur, penurunan permukaan puncak banjir, pengalihan air banjir, usaha membuat kebal banjir, pengurangan limpasan banjir, peringatan banjir dan pengolahan dataran banjir. Secara spesifik, upaya pengendalian banjir dilakukan dengan dua metode yaitu upaya dengan bangunan structural method dan dengan pengaturan yang sifatnya tidak membuat bangunan fisik non structural method. Pengendalian banjir secara struktural pada prinsipnya dilakukan dengan cara membangun struktur atau bangunan air yang dapat meningkatkan kapasitas pengaliran penampang sungai atau mengurangi debit banjir yang mengalir. Pengelolaan sungai secara struktural merupakan konsep yang umum dilakukan di Indonesia dengan tujuan untuk mengalirkan air secepatnya ke hilir, melindungi kawasan sekitar sungai dari banjir serta pemanfaatan air yang optimal. Pembuatan bangunan fisik seperti tanggul atau pembetonan tebing diharapkan dapat melindungi sungai dari kejadian banjir. Dengan demikian, maka terjadi percepatan aliran air menuju ke hilir sehingga bagian hilir akan menanggung volume air yang lebih besar dalam waktu yang lebih cepat. Selain itu, pembetonan atau tanggul pada sisi kiri dan kanan sungai akan meningkatan energi air akibat kecepatannya, dan pada daerah yang tidak mendapat perlindungan tebing, maka terjadi pengikisan atau erosi yang besar. Konsep pengelolaaan sungai yang diuraikan tersebut memberi dampak pada perubahan morfologis sungai yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat. Pembangunan tanggul sungai juga akan menyebabkan hilangnya potensi retensi morfologi dan ekologi di kanan dan kiri sungai serta pengurangan kemampuan penyerapan air pada daerah bantaran sungai. Pengelolaan sungai dengan membangun bendungan akan memutus ekosistem alur sungai secara drastis dari hulu ke hilir, sehingga sungai tidak lagi menjadi satu kesatuan ekosistem. Selain itu, pengendalian banjir secara struktural membutuhkan biaya pembangunan dan pemeliharaan. Dengan kelemahan tersebut, maka dibutuhkan pengelolaan yang dapat mencegah terjadinya banjir serta mempertahankan kondisi ekologis sungai. Pengelolaan sungai dan pencegahan banjir secara non struktural dilakukan dengan penataan bantaran sungai yang dijadikan sebagai daerah genangan. Konsep ini dilakukan dengan mengintegrasikan komponen ekologi dan hidrolik sungai. Komponen ekologi pada bantaran sungai dapat dimanfaatkan sebagai komponen retensi hidrolik yang menahan aliran air sehingga terjadi perendaman banjir pada bantaran sungai. Dengan adanya genangan pada bantaran sungai, maka kualitas ekologi sungai dapat dipertahankan. Konsep ekohidrolik dapat dikembangkan dengan pendekatan eco- engineering atau pemanfaatan komponen ekologi untuk perbaikan struktur fisik wilayah sungai. Maryono 2005 menguraikan bahwa pengelolaan sungai secara ekohidrolik ditujukan untuk melestarikan komponen ekologi di lingkungan sungai dalam rekayasa hidrolik. Penerapan konsep ekohidrolik pada sungai sebagai perlindungan dari erosi tebing sungai yaitu dengan pembuatan riparian buffer strips atau penanaman vegetasi pada bantaran sungai. Dengan adanya vegetasi yang ditanam di tepi sungai juga mendinginkan air sungai yang menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan berbagai jenis binatang air. Landasan teoritis hidrolis dari eco-engineering yaitu vegetasi dengan tajuk tanaman akan memperkecil kecepatan air hingga ke tanah. Dengan memperkecil kecepatan air pada sungai maka masalah banjir pada daerah hilir dapat dikurangi serta kondisi alamiah sungai dapat dipertahankan. Arsyad 2006 menguraikan bahwa tumbuhan berupa pepohonan, rumputan dan semak-semak atau campuran berbagai bentuk dan jenis vegetasi yang ditanam sepanjang tepi kiri dan kanan sungai disebut riparian buffer strips atau filter strips. Penyangga riparian berfungsi untuk menjaga kelestarian fungsi sungai dengan cara menahan atau menangkap tanah lumpur yang tererosi serta unsur – unsur hara dan bahan kimia termasuk pestisida yang terbawa, dari lahan di bagian kiri dan kanan sungai agar tidak sampai masuk ke sungai. Penyangga riparian juga menstabilkan tebing sungai. Daerah bantaran sungai harus dikelola sesuai karakteristiknya sebagai dataran banjir flood plain. Dataran banjir yang sebenarnya merupakan alur sungai yang dilewati air hanya pada saat banjir, pada waktu tidak terjadi banjir dataran ini menjadi bagian sistim daratan. Dataran banjir dapat berwujud lahan yang sangat luas dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, namun mengingat dataran banjir sebenarnya adalah alur sungai, maka peruntukannya perlu diatur hanya untuk kegiatan yang sesuai dengan karakteristik dataran tersebut. Secara spesifik fungsi pengaturan daerah sempadan sungai diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai bahwa sempadan sungai sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Pengertian daerah sempadan sungai menurut kebijakan ini adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai, sedang pengertian bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan kanan palung sungai. Dalam Peraturan Menteri PU No. 63PRT1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai diungkapkan bahwa daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan. Olehnya itu, pengelolaan sungai mensyaratkan adanya penataan bantaran sungai sebagai dataran banjir. Pada pasal 15 kebijakan tersebut diuraikan pula bahwa batas daerah penguasaan sungai yang berupa daerah retensi ditetapkan 100 seratus meter dari elevasi banjir rencana di sekeliling daerah genangan, sedangkan yang berupa daerah banjir ditetapkan berdasarkan debit banjir rencana sekurang- kurangnya periode ulang 50 lima puluh tahunan. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 52 ayat 2 bahwa sempadan sungai merupakan salah satu kawasan perlindungan setempat. Pengertian kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Adapun kriteria daerah sempadan sungai dalam kebijakan tersebut adalah; 1 daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit lima meter dari kaki tanggul sebelah luar; 2 daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 seratus meter dari tepi sungai; dan c daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 lima puluh meter dari tepi sungai. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka daerah bantaran sungai harus dikelola dengan baik untuk melindungi kualitas sungai. Konsep ekohidrolik merupakan konsep holistik yang menganggap bahwa sungai merupakan suatu sistem yang kompleks sehingga pengembangan dan restorasinya memerlukan pendekatan holistik dengan mempertimbangkan seluruh faktor yang berhubungan dengan sungai Maryono, 2007. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa konsep ekohidrolik dalam pengelolaan sungai dipandang mendukung konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu pengelolaan dengan memperhatikan ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan terdapat tiga pilar Munasinghe 1993, dalam Rogers, et al. 2008, yaitu: a. Ekonomi, yaitu memaksimalkan pendapatan dengan mempertahankan atau meningkatkan cadangan kapital. b. Ekologi, yaitu menjaga dan mempetahankan sistim fisik dan biologis. c. Sosial budaya, yaitu menjaga stabilitas dari sistem sosial dan budaya. Konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya pengelolaan sungai yang komprehensif dan terpadu. Wilson 1994 menguraikan bahwa manajemen sungai secara terpadu bertujuan untuk mengurangi bahaya banjir dan erosi, melindungi kualitas air dan habitat sungai, meningkatkan fungsi rekreasi dan manfaat ekonomisnya. Karaktersitik dari manajemen terpadu tersebut mencakup perancanaan tata guna lahan, kontrol kualitas air, manajemen spesies, pemanfaatan sumber daya, kontrol limbah, fasilitas energi, pemanfaatan transportasi dan konservasi lahan pertanian. Pengembangan model pengelolaan sungai juga sebagai bagian dari upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sebagaimana diuraikan dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup bahwa: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

1.2. Kerangka Pemikiran