Anatomi lapisan meningens TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.5. Gambaran inferior tulang tengkorak Strandring, 2008.

2.4. Anatomi lapisan meningens

Otak dikelilingi oleh lapisan mesodermal yang disebut dengan meningens. Lapisan terluar disebut dura mater, lapisan tengah disebut arachnoid, dan lapisan terdalam disebut pia mater Kahle, 2003. Lapisan dura mater merupakan lapisan yang terkuat dan melekat ke tengkorak. Lapisan tengah, arachnoid, penting untuk aliran normal dari cairan Universitas Sumatera Utara serebrospinal CSS. Bagian terdalam, piamater, penting untuk mengarahkan pembuluh darah di otak Narins, 2003. Lapisan diantara arachnoid dan piamater diisi oleh cairan serebrospinal CSS, yang melindungi otak dari trauma Narins, 2003. Gambar 2.6. Gambaran lapisan meningens Strandring, 2008. Gambar 2.7. Aliran cairan serebrospinal dari pembentukan sampai penyerapan di sinus dura Saladin, 2003.

2. 5. Anatomi telinga tengah

Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan pengatur keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga Universitas Sumatera Utara tengah, dan telinga dalam Soetirto, 2004 dalam Irwan, 2009. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosessus mastoideus Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009.

2. 5. 1. Membran timpani

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertkal rata-rata 9-10 mm dan diameter anteroposterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. membran ini tipis, licin, dan berwarna putih mutiara Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Membran timpani terdiri dari tiga lapisan: lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa, bagian dalam merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah yang dilapisi epitel kuboidal. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler sikumferensial Yates, 2008 dalam Irwan, 2009. Secara anatomis, membran timpani dibagi dalam dua bagian: 1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani, merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di annulus timpanikus pada tulang temporal. 2. Pars flaksida atau membran sharpnell. Letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh dua lipatan yaitu plika maleolaris anterior lipatan muka dan plika maleolaris posterior. lipatan belakang Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8. Gambaran membran timpani Strandring, 2008. 2. 5. 2. Kavum timpani Kavum timpani mempunyai bentuk irregular, antara dinding lateral dan dinding medial kavum timpani berisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga bagian yaitu bagian superior yang berhubungan dengan membran timpani disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipingir atas dari membran timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani disebut hipotimpani Colman, 1993 dalam Irwan, 2009; Yates, 2008 dalam Irwan, 2009. Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding posterior Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial media Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadang- kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Universitas Sumatera Utara Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telnga dalam. Dinding ini pada mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium. Tonjolan ini karena didalamnya terdapat koklea Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Dinding posterior kavum timpani ke arah superior, terdapat sebuah saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat eminentia pyramidalis yang terletak di bagian supero-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia pyramidalis dengan tempat keluarnya khorda timpani. Terdapat juga fosa inkudis yang terletak persis diatas sinus lateral Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Di bagian atas dinding anterior terdapat semikanal otot tensor timpani yang terletak persis diantara muara tuba eustachius Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal Helmi, 2005; Dhingra, 2007 dalam Irwan, 2009. Ada 5 faktor yang mengatur tekanan pada kavum timpani, yaitu Ahmed, 2004 dalam Irwan, 2009: 1. Fungsi ventilasi tuba eustachius, 2. Proses keluar masuknya gas dari sirkulasi melalui difusi, 3. Ketebalan mukosa telinga tengah, 4. Elastistas membran timpani, dan 5. Ukuran pneumatisasi mastoid.

2. 5. 3. Tuba eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditoria atau tuba faringotimpani, bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan Universitas Sumatera Utara antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek sepertiga bagian dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang duapertiga bagian Helmi, 2005. Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga tengah yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret ke nasofaring menuju ke kavum timpani Healy, 2003 dalam Irwan, 2009; Helmi, 2005. Lumen tuba eustachius menghubungkan antara nasofaring proksimal dengan telinga tengah distal. Pada pertengahan terdapat penyempitan yang disebut isthmus. Penelitian yang terbaru dengan menggunakan pencitraan tiga dimensi pada 9 sampel tulang temporal manusia oleh Sudo menunjukkan bahwa isthmus berada pada ujung distal bagian tulang rawan dan bukan pada pertemuan bagian tulang rawan dengan bagian tulang tuba eustachius. Pertemuan antara bagian tulang rawan dan bagian tulang tuba eustachius ini dinamakan junctional portion, pada setiap orang dewasa panjangnya 3 mm. pada dinding lateral nasofaring terdapat penonjolan disebut torus tubarius, yang menonjol ke nasofaring. Penonjolan ini dibentuk oleh sekumpulan jaringan lunak yang melapisi tulang rawan tuba eustachius Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009. Pada orang dewasa, tuba eustachius lebih panjang dibandingkan dengan bayi dan anak-anak. Panjang tuba eustachius yang terpendek 30 mm dan yang terpanjang 40 mm, tetapi berdasarkan literatur rata-rata panjang tuba eustachius adalah 31-38 mm. pada sepertiga posterior tuba eustachius orang dewasa merupakan bagian tulang yang panjangnya 11-14 mm, dan duapertiga anterior merupakan bagian tulang rawan yang panjangnya 20-25 mm. pada orang dewasa tuba eustachius membentuk sudut 45 o terhadap bidang horizontal dan pada anak- anak hanya 10 o . Anatomi basis kranial sangat berhubungan dengan panjang tuba eustachius, yang juga berhubungan dengan faktor predisposisi terjadinya penyakit telinga tengah Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009. Universitas Sumatera Utara Bagian tulang tuba eustachius protympanum seluruhnya berada pada bagian petrosus tulang temporal dan dilanjutkan dengan dinding anterior dari bagian superior telinga tengah. Pertemuan antara bagian tulang dan epitimpanum kira-kira 4 mm di atas kavum timpani. Hubungan antara tuba eustachius dan telinga tengah ini sangat penting pada fungsi pembersihan cairan telinga tengah Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009; Yoshida, 2007 dalam Irwan, 2009. Bagian tulang tuba eustachius mempunyai arah anteromedial, mengikuti apex petrosus dan sedikit menyimpang dari bidang horizontal. Bentuk lumen kira- kira seperti segitiga, ukuran diameter vertikal 2-3 mm dan horizontal 3-4 mm. Pada keadaan normal bagian tulang tuba eustachius tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan tertutup pada waktu istirahat dan terbuka pada waktu menelan atau dipaksa membuka seperti pada waktu valsava maneuver. Bagian tulang dan tulang rawan tuba eustachius bertemu pada permukaan tulang yang tidak rata dan membentuk sudut 160 o Bagian tulang rawan tuba eustachius mempunyai arah anteromedial dan inferior, membentuk sudut 30 . Dinding medial bagian tulang tuba eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu posterolateral labyrinthine dan aterolateral karotis, dimana ukuran dan bentuknya tergantung pada posisi arteri karotis interna. Ukuran rata-rata ketebalan bagian anteromedial adalah 1,5-3 mm dan pada 2 populasi tidak terbentuk dinding dan terpapar dengan ateri karotis interna Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009. o -40 o terhadap bidang transversal dan membentuk sudut 45 o terhadap bidang sagital. Bagian ini melekat dengan kuat ke orifisium bagian tuba eustachius dengan jaringan ikat fibrous dan meluas ke bagian tulang tuba eustachius kira-kira 3 mm. pada ujung onferomedial melekat ke tuberkulum pada pinggir posterior lamina pterygoideus medial. Lumen tuba berbentuk seperti dua buah kerucut yang saling berhubungan pada ujung-ujungnya. Pada lumen ini terdapat titik yang paling sempit disebut isthmus. Posisi isthmus bisanya pada atau sekitar pertemuan bagian tulang dan bagian tulang rawan tuba eustachius. Diameter lumen isthmus tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Dari sejak lahir sampai pubertas panjang bagian tulang rawan tuba eustachius semakin bertambah, Universitas Sumatera Utara perkembangan ini mempunyai implikasi fisiologik Bluestone, 2006 dalam Irwan, 2009.

2. 5. 4. Prosesus mastoideus

Bagian terbesar tulang temporal dibentuk oleh bagian mastoid di sebelah posterior dan inferior. Namun demikian, karena bagian ini mengalami pneumatisasi yang luas, massanya tidak melebihi bagian-bagian tulang temporal lainnya. Prosesus mastoid menonjol ke arah inferior dibelakang meatus acusticus externus. Bagian ini berperan sebagai tempat perlekatan otot-otot sternokleidomastoide, splenius capitis, dan longisimus capitis. Pada bagian inferior terdapat suatu lekukan yang dalam yaitu fossa digastricus, tempat melekatnya otot digastricus. Pada bagian dalam prosesus mastoideus, lekukan ini membentuk meinentia digastricus yang merupakan suatu patokan penting pada saat operasi mastoidektomi, karena foramen stilomastoid merupakan tempat lewatnya nervus fasialis terletak pada ujung anterior eminentia digastricus tersebut. Permukaan superior mastoid merupakan suatu lempengan tipis terletak di atas antrum timpanika yang dikenal dengan tegmen mastoid. Di posterior, bersama-sama dengan permukaan posterior tulang membentuk batas anterior fosa cranial posterior. Di sini terdapat suatu lekukan dalam yang dibentuk oleh sinus lateral atau sinus sigmoid. Dua buah saluran lain yang lebih kecil menuju ke medial, berisi sinus petrosa inferior dan superior Austin, 1994 dalam Irwan, 2009. Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum mastoideum adalah ruangan pertama dan terbesar yang terdiri dari sel udara mastoid. Sel udara ini berhubungan satu dengan yang lain dan pertumbuhan dari sel udara mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik, dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang Helmi, 2005. Luasnya pneumatisasi tulang temporal bervariasi untuk masing-masing individu. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor herediter dan faktor Universitas Sumatera Utara lingkungan. Terjadinya otitis media pada masa bayi dan anak-anak dapat menghambat pneumatisasi dan mengakibatkan sklerosis. Di lain pihak terdapat bukti bahwa pneumatisasi yang terbatas merupakan faktor predisposisi untuk infeksi telinga tengah Austin, 1994 dalam Irwan, 2009. Sel udara mastoid mempunyai peranan penting terhadap fungsi fisiologis telinga tengah. Tumarkin dan Holmquist menyatakan bahwa sel udara mastoid berperan sebagai rongga udara pada telinga tengah dan bertanggungjawab terhadap pengaturan tekanan telinga tengah. Menurut Wittmaack’s teori endodermal, terjadinya pneumatisasi normal sel udara mastoid, tetapi proses tersebut dapat dihambat oleh inflamasi atau kelainan fungsi tuba eustachius Virapongse, 1985 dalam Irwan, 2009; Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009. Berdasarkan ukuran sistem sel udara mastoid, telinga dibagi atas 2 kelompok, telinga dengan pneumatisasi rendah low-pneumatized ears dan telinga dengan pneumatisasi baik well pneumatized ears. Low-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid 8 cm 2 dan well pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid 8 cm 2 Faktor predisposisi terjadinya otitis media supuratif adalah telinga dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah 8 cm Seth, 2006 dalam Irwan, 2009. 2 Sade melaporkan pada 72 penderita OMSK dewasa didapatkan 52,2 dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah 8 cm . Menjadi kroniknya otitit media supuratif menunjukkan tidak berfungsinya struktur sel udara mastoid dalam mengatur dan mempertahankan fluktuasi tekanan telinga tengah. Pada berbagai bentuk otitis media, terjadinya tekanan negatif di telinga tengah dan pengaturan tekanan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009. 2 dan 20 dengan pneumatisasi sel udara mastoid baik 8 cm 2 . Pada 150 telinga normal mendapatkan rata-rata volume pneumatisasi sel udara mastoid 12,9±4 cm 2 . Sade berpendapat bahwa otitis media supuratif dan komplikasinya terjadi setelah perkembangan dan maturasi sistem sel udara mastoid. Dia juga berpendapat bahwa proses inflamasi seperti pada otitis media supuratif menyebabkan Universitas Sumatera Utara terjadinya keseimbangan negatif gas-gas di telinga tengah. Menurut Sade dan Hadas, prognosis otitis media sangat tergantung pada volume sel udara mastoid. Semua penelitian menunjukkan bahwa tingkat pneumatisasi sel udara mastoid merupakan faktor penting dalam prognosis otitis media Ahmet, 2004 dalam Irwan, 2009.

2. 6. Klasifikasi meningitis

2. 6. 1. Meningitis bakterial

Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan kematian, dan kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri Pradana, 2009. Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta Mardjono, 1981. Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodomnya ialah infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut Mardjono, 1981. Etiologi dari meningitis bakterial antara lain Roos, 2005: 1. S. pneumonie 2. N. meningitis 3. Group B streptococcus atau S. agalactiae 4. L. monocytogenes 5. H. influenza 6. Staphylococcus aureus 2. 6. 2. Meningitis tuberkulosa Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer, biasanya di Universitas Sumatera Utara paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid Pradana, 2009. Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis Pradana, 2009. Etiologi dari meningitis tuberkulosa adalah Mycobacterium tuberculosis Pradana, 2009

2. 6. 3. Meningitis viral

Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir sequel dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps, herpes simpleks, dan herpes zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada pemeriksaan cairan serebrospinal CSS tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri, white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis Pradana, 2009. Etiologi dari meningitis viral antara lain : Tabel 2.1. Virus yang dapat menyebabkan meningitis Swartz , 2007. COMMON NONARTHROPOD VIRUSES Picornavirus RNA Enterovirus Echovirus Coxsackie A Coxsackie B Universitas Sumatera Utara Enterovirus 70, 71 Poliovirus Herpes simplex type 2 HSV-2 DNA ARTHROPOD-BORNE VIRUSES ARBOVIRUSES Togavirus Alphavirus, RNA Eastern equine encephalitis EEE Western equine encephalitis WEE Venezuelan equine encephalitis VEE Flavivirus RNA St. Louis encephalitis SLE West Nile virus WNV Bunyavirus RNA California encephalitis UNCOMMON Arenavirus RNA Lymphocytic choriomeningitis LCM Paramyxovirus RNA Mumps Retrovirus RNA Human Immunodeficiency virus HIV-1 RARE Herpes virus DNA Herpes simplex type 1 HSV-1 Epstein-Barr virus EBV Cytomegalovirus CMV Varicella-Zoster virus VZV Human herpes virus type 6 HHV-6 Adenovirus DNA Coltivirus RNA Colorado tick fever Bunyavirus RNA Toscana virus a Phlebovirus Universitas Sumatera Utara

2. 6. 4. Meningitis jamur

Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas, angka kejadian meningitis jamur semakin meningkat. Problem yang dihadapi oleh para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit infeksi dan jamur tidak sering ditemukan dalam cairan serebrospinal CSS pasien yang terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu pertumbuhannya Pradana, 2009. Etilogi dari meningitis jamur antara lain: 1. Cryptococcus neoformans 2. Coccidioides immitris

2. 7. Patofisiologi

Secara umum patofisiologi dari meningitis adalah sebagai berikut Agen penyebab ↓ Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah ↓ Bermigrasi ke lapisan subarakhnoid ↓ Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan ventrikuler ↓ Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal ↓ Kerusakan neurologis Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point d’entry masuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses otak yang pecah. Penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea, otorhea pada Universitas Sumatera Utara basis kranial yang memungkinkan kontaknya CSS dengan lingkungan luar Pradana, 2009.

2. 7. 1. Meningitis bakterial

Bacterial meningitis merupakan tipe meningitis yang paling sering terjadi. Tetapi tidak setiap bakteri mempunyai cara yang sama dalam menyebabkan meningitis. H. influenza dan N. meningitidis biasanya menginvasi dan membentuk koloni di sel-sel epitel faring. Demikian pula S. pneumonie, hanya saja S. pneumonie dapat menghasilkan immunoglobulin A protease yang mennonaktifkan antibodi lokal Swartz, 2007. Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah S. pneumonie dan N. meningitis. Bakteri tersebut menginisiasi kolonisasi di nasofaring dengan menempel di sel epitel nasofaring. Bakteri tersebut berpindah menyeberangi sel epitel tersebut menuju ke ruang intravaskular atau menginvasi ruang intravaskular dengan menciptakan ruang di tight junction dari sel epitel kolumnar. Sekali masuk aliran darah, bakteri dapat menghindari fagositosis dari neutrofil dan komplemen dengan adanya kapsul polisakarida yang melindungi tubuh mereka. Bloodborne bacteria dapat mencapai fleksus koroideus intraventrikular, menginfeksi langsung sel epitel fleksus koroideus, dan mencapai akses ke cairan serebrospinal. Beberapa bakteri seperti S. pneumonie dapat menempel di sel endotelial kapiler serebral dan bermigrasi melewati sel tersebut langsung menuju cairan serebrospinal. Bakteri dapat bermultiplikasi dengan cepat di cairan serebrospinal karena kurang efektifnya sistem imun di cairan serebrospinal CSS. Cairan serebrospinal CSS normal mengandung sedikit sel darah putih, sedikit protein komplemen, dan immunoglobulin. Kekurangan komplemen dan immunoglobulin mencegah opsonisasi dari bakteri oleh neutropil. Fagositosis bakteri juga diganggu oleh bentuk cair dari cairan cerebrospinal itu sendiri Roos, 2005. Peristiwa yang penting dalam patogenesis meningitis bacterial adalah reaksi inflamasi diinduksi oleh bakteri. Manifestasi-manifestasi neurologis yang terjadi dan komplikasi akibat meningitis bacterial merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap zat patogen yang masuk dibandingkan dengan kerusakan Universitas Sumatera Utara jaringan langsung oleh bakteri. Sehingga cedera neurologis dapat terus terjadi meskipun bakteri telah ditangani dengan antibiotik Roos, 2005. Lisis dari bakteri dan dilepaskannya komponen-komponen dinding sel di ruang subaraknoid merupakan langkah awal dari induksi respon inflamasi dan pembentukan eksudat di ruang subarakhnoid. Komponen dinding sel bakteri, seperti molekul lipopolisakarida LPS bakteri gram negatif dan asam teikhoic dan peptidoglikan S. pneumonie, menginduksi inflamasi selaput meningens dengan menstimulasi produksi sitokin-sitokin inflamasi dan kemokin-kemokin oleh mikroglia, astrosit, monosit, dan sel leuko sit CSS. Kemudian, setelah 1-2 jam LPS dilepaskan di cairan serebrospinal CSS, sel sel endotelial dan meningeal, makrofag, dan mikroglia akan mengeluarkan Tumor Necrosis Factor TNF dan Interleukin-1 IL-1 Swartz, 2007. Lalu kemudian setelah dilepaskannya sitokin tersebut, akan terjadi peningkatan kandungan protein CSS dan leukositosis. Kemokin yang turut menginduksi migrasi leukosit dan berbagai sitokin inflamasi lainnya juga diproduksi dan diskresi oleh leukosit dan jaringan yang diinduksi oleh IL-1 dan TNF Roos, 2005. Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitis merupakan akibat dari meningkatnya sitokin CSS dan kemokin. TNF dan IL-1 bekerja sinergis meningkatkan permeabilitas Blood-Brain Barrier BBB, yang mengakibatkan edema vasogenik, bocornya protein serum ke ruang subarakhnoid. Eksudat di ruang subarakhnoid mengganggu aliran CSS di sistem ventrikular dan mengurangi reabsorbsi dari CSS di sinus dura, sehingga dapat menyebabkan communicating edema dan concomitant interstitial edema Roos, 2005. 2. 7. 2. Meningitis tuberkulosa BTA masuk tubuh ↓ Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna ↓ Multiplikasi ↓ Universitas Sumatera Utara Infeksi parufocus infeksi lain ↓ Penyebaran homogen ↓ Meningens ↓ Membentuk tuberkel ↓ BTA tidak aktifdorman Bila daya tahan tubuh lemah ↓ Ruptur tuberkel meningen ↓ Pelepasan BTA ke ruang subarakhnoid ↓ Meningitis Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen piamater dan arakhnoid dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak Pradana, 2009.

2. 7. 3. Meningitis viral

Ada 2 rute virus menyerang sistem saraf pusat manusia, yaitu hematogenus infeksi enterovirus dan limfogenus infeksi Herpes Simpleks Virus HSV. Enterovirus pertama kali menuju ke lambung, bertahan dari keasaman asam lambung, dan berlanjut ke saluran pencernaan di bawahnya lagi. Beberapa virus bereplikasi di nasofaring dan menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah virus menempel ke reseptor di enterosit, virus menembus lapisan epitelialnya dan melakukan replikasi di sel enterosit tersebut. Dari situ, virus menuju peyer Universitas Sumatera Utara patches, dimana replikasi yang lebih lanjut terjadi. Kemudian dari situ viremia enterovirus berkembang ke sistem saraf pusat SSP, hati, jantung, dan sistem retikuloendotelial. Dan kemudian virus bereplikasi dengan cepat di tempat-tempat tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki SSP diduga dengan cara menembus BBB tight junction dan memasuki cairan serebrospinal CSS Swartz, 2007. Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai SSP dengan jalur neuronal. Pada HSV-1 ensepalitis, virus masuk lewat jalur oral menuju nervus trigeminal dan olfaktori, sedangkan di HSV-2 aseptic meningitis, virus menyebar dari lesi genital menuju sacral nerve roots menuju meninges. Dari situ, HSV-2 menjadi fase laten dan menunggu untuk reaktivasi menjadi episode aseptik meningitis Swartz, 2007.

2. 7. 4. Meningitis jamur

Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu, meningitis kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi Cryptococcal jaringan menunjukkan adanya meningitis kronis pada leptomeningen basal yang dapat menebal dan mengeras oleh reaksi jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi aliran likuor dari foramen luschka dan magendi sehingga terjadi hidrosepalus. Pada jaringan otak terdapat substansia gelatinosa pada ruang subarakhnoid dan kista kecil di dalam parenkim yang terletak terutama pada ganglia basalis pada distribusi arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari agregasi atau gliosis. Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast yang bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering ditemukan, pada beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi granulomatosa sama dengan yang terlihat pada Mycobacterium tuberculosa dengan segala bentuk komplikasinya Pradana, 2009. Universitas Sumatera Utara

2. 8. Klasifikasi otitis media

Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media nonsupuratif = otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusiOME Soepardi, 2007. Skema pembagian otitis media: Gambar 2.9. Skema pembagian otitis media Soepardi, 2007

2. 8. 1. Otitis media akut

Otitis medis akut OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan Soepardi, 2007. Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran napas atas Soepardi, 2007. Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemolitikus, Staphilococcus aureus, pnemokokus. Selain itu kadang kadang ditemukan juga Hemophilus influenza, Eschericia coli, Streptococcus anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aurugenosa Soepardi, 2007. Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5 stadium: Universitas Sumatera Utara 1. Stadium oklusi tuba eustachius Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorbsi udara Soepardi, 2007. 2. Stadium hiperemis Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat Soepardi, 2007. 3. Stadium supurasi Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol bulging ke arah liang telinga luar Soepardi, 2007. Pada keadaan ini pasein tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat Soepardi, 2007. 4. Stadium perforasi Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar Soepardi, 2007. 5. Stadium resolusi Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan- lahan akan normal kembali Soepardi, 2007. OMA berubah menjadi otitis media supuratif kronik OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul Soepardi, 2007. Universitas Sumatera Utara 2. 8. 2. Otitis media supuratif kronik Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media supuratif kronik apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut Soepardi, 2007. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang tidak adekuat, terapi yang terlambat diberikan, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah Soepardi, 2007. 2. 8. 2. 1. Klasifikasi otitis media supuratif kronik Otitis media supuratif kronik OMSK dibagi menjadi 2 tipe, tipe jinak dan tipe bahaya. Nama lain dari tipe jinak benigna adalah tipe tubotimpanik karena biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani; disebut juga tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah, disebut juga tipe aman karena jarang menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Nama lain dari tipe bahaya adalah tipe atiko-antral karena proses biasanya dimulai di daerah itu; disebut juga tipe tulang karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di indonesia tipe bahaya lebih dikenal dengan tipe maligna Helmi, 2005. 2. 8. 2. 2. Patogenesis otitis media supuratif kronik Terjadinya otitis media supuratif kronik hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai pada dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain inveksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkingan, dan sosial ekonomi Helmi, 2005. Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis, mencapai telinga tengah melalui tuba eusatachius. Kadang- kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani. Maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap di dalam kantong mukosa di telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, Universitas Sumatera Utara biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal Helmi, 2005. Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang setiap waktu. Hanya saja pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Bila tidak terjadi infeksi maka mukosa telinga tengah tampak tipis dan pucat Helmi, 2005. Episode berulang otorea dan perubahan mukosa menetap ditandai juga dengan osreogenesis, erosi tulang, dan osteitis yang mengenai tulang mastoid dan osikel Helmi, 2005. OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma. Disebut bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya. Kolesteatoma adalah epitel gepeng dan debris tumpukan pengelupasan keratin yang terjebak di dalam rongga timpanomastoid. Bila telah terbentuk akan terus meluas. Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh tumpukan debris keratin, maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Resorpsi tulang dapat menyebabkan destruksi trabekula mastoid, erosi osikel, fistula labirin, pemaparan nervus fasialis, dura serta sinus lateralis Helmi, 2005. Job dkk 1998 melaporkan bahwa komplikasi intrakranial dapat terjadi pada kejadian OMSK baik itu yang tipe aman tipe rinogen tanpa kolestetoma 42 maupun yang tipe tidak aman ganas tipe atikoanteral dengan kolesteatoma 58 Universitas Sumatera Utara

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL