Prevalensi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe Bahaya dengan Komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2013

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : M. Auzan Hindami

Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 18 Oktober 1993

Agama : Islam

Alamat : Jalan Suka Suar no.3 – STM Medan

Riwayat Pendidikan : 1. SD Negeri 002 Sukajadi Pekanbaru (1999-2005) 2.MTS Al-Ittihadiyah Pekanbaru (2005-2008)

3. SMA Negeri 8 Pekanbaru (2008-2011) Riwayat Organisasi : 1. SCOPH PEMA FK USU (2012-Sekarang)

Prestasi : 1. Juara 1 PEMA Medical Olympiad 2014 cabang urogenitoreproduksi

2. Juara 1 Regional Medical Olympiad 2014 cabang urogenitoreproduksi

3. Juara 1 Indonesian Medical Olympiad 2014 cabang urogenitoreproduksi


(2)

No RM JK Usia OMSKBK MT Mastoidis Labirinitis Petrositis N.VII Abs. Bezold abs.otak T.S.L S.E H.O meningitis

00.42.32.10 1 26 ada ada ada - - -

-00.50.51.01 2 3 ada ada ada - - -

-00.58.33.02 2 11 ada ada - - -

-00.09.48.11 2 34 ada ada ada ada - - ada - - - -

-00.48.72.44 1 34 ada ada ada - - -

-00.57.33.46 1 30 ada ada ada - - -

-00.46.84.48 2 32 ada ada ada - - -

-00.49.66.39 2 26 ada ada ada - - -

-00.38.60.32 1 24 ada ada ada - - -

-00.33.90.35 1 25 ada ada ada - - -

-00.39.03.37 1 59 ada ada ada ada - - -

-00.54.41.38 2 13 ada ada ada - - -

-00.52.21.24 2 21 ada ada ada - - -

-00.50.88.15 2 18 ada ada ada ada - - - ada

00.51.93.40 1 20 ada ada ada - - ada - - - ada - ada

00.46.82.18 2 31 ada ada ada - - -

-00.47.64.23 1 16 ada ada ada - - -

-00.51.10.24 1 25 ada ada ada - - -

-00.41.96.24 2 21 ada ada ada ada - - -

-00.50.25.13 1 39 ada ada ada - - -

-00.46.41.09 1 32 ada ada ada - - ada - - -

-00.56.76.06 1 17 ada ada ada ada - - - ada

00.52.70.07 1 18 ada ada ada ada - - -


(3)

-00.51.00.72 1 22 ada ada ada - - -

-00.54.43.71 2 23 ada ada ada ada - - -

-00.52.21.61 2 21 ada ada ada - - -

-00.54.54.62 2 8 ada ada ada - - -

-00.58.29.92 1 16 ada ada ada - - -

-00.47.68.94 1 41 ada ada ada ada - - -

-00.55.98.95 1 8 ada ada ada - - -

-00.50.28.82 1 12 ada ada ada - - - ada - -

-00.54.34.88 1 68 ada ada ada - - -

-00.55.01.85 1 19 ada ada ada - - -

-00.47.39.75 2 18 ada ada ada - - ada - - -

-00.45.57.73 2 31 ada ada ada - - -

-00.53.42.87 1 30 ada ada ada ada - - -


(4)

-jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

laki laki 24 61.5 61,5 61.5

perempuan 15 38.5 38.5 100.0

Total 39 100.0 100.0

OMSK bahaya dengan komplikasi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Berkomplikasi 39 100.0 100.0 100.0

irisan intratemporal

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

mastoiditis 26 66.7 66.7 66,7

mastoiditis+labirinitis 10 25.6 25.6 92.3

mastoiditis+paresis fasialis 3 7.7 7.7 100.0

Total 39 100.0 100.0

irisan intrakranial

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

tidak ada 35 89.7 89.7 89.7

meningitis 2 5.0 5.0 94.7

meningitis + subdural

empiema 1 2.6 2.6 97.3

tromboflebitis 1 2.6 2.6 100.0

Total 39 100.0 100.0


(5)

Valid

1 jenis komplikasi 34 87.2 87.2 87.2

2 jenis komplikasi 5 12.8 12.8 100.0

Total 39 100.0 100.0

campuran IT,ET dan IK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Intratemporal 34 87.2 87.2 87.2

IT+ET 1 2.6 2.6 89.8

IT+IK 4 10.2 10.2 100.0


(6)

(7)

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Aboet,A., 2007, Radang Telinga Menahun. USU e-Repository.Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara .Medan. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/727 [Accessed 25 April 2014]. Alatas,H., Karyomanggolo,W.T., Musa,D.A., Boediarso,A., Oesman,I.N., dan Idris,

N.S., 2013.Desain penelitian. Dalam : Sastroasmoro,S., dan Ismael,S.,(eds). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi keempat, Jakarta : Sagung Seto, h 112-3.

Arts,H.A., and Adam,M.E., 2013. Intratemporal and Intracranial Complications of Otitis Media. In: Johnson,J.T., and Rosen,C.A.,(eds). Bailey’s Head & Neck Surgery.Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, p.2399-408.

Bhargava,K.B.,1999. Chronic Otitis Media Suppurative Chronic, In: Bhargava, K.B., Bhargava,S.,and Shan, T.M., (eds) A short Text Book of Ear, Nose, and Throat, Mumbai: Usha Publications.p.98-110.

Bashiruddin,J.E.,2010. Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan dan Harapan dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030. Lontar UI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Available from:

http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/132385-P2010.016-Pencegahan%20gangguan.pdf [Accessed 12 Juni 2014].

Child and Adolescent Health and Development Prevention of Blindness and Deafness,2004. Chronic Otitis Supurative Media Burden of Illness and

Management Option. WHO.Geneva,Switzerland. Available from :

http://www.who.int/pbd/publications/Chronicsuppurativeotitis_media.pdf [Accessed 26 April 2014].

Djaafar, Z.A, Helmi, Restuti R.D,2007. Kelainan Telinga Tengah . Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashruddin, J., dan Restuti, R.D.,(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam.Cetakan keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,h. 64-77.

Doan, N.M., Levy, C., Deeb, Z., dan Lucy, D.R., 2003. Bezold Abscess : A

Complication of Mastoiditis from :

http://www.medscape.com/viewarticle/463782_2 [Acessed 10 November 2014].

Dubey, S.P., Larawin, V.,2009. Complications of Chronic Suppurative Otitis Media

and Their Management.Available from:

http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1097/01.mlg.0000249728.48588.22/abstrac t [Accessed 15 April 2014].

Edward,Y., Mulyani,S.,2011, Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Bahaya.UNAND e-Repository. Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.Padang. Available from :

http://repository.unand.ac.id/17259/1/Diagnosis_dan_Penatalaksanaan_Otitis_m edia .pdf [Accessed 20 April 2014].


(9)

Gacek,R.R., Gacek,M.R., 2003.Anatomy of Auditory and Vestibular Canal. In: Snow Jr,J.B., and Ballenger,J.J.,(eds). Sixteenth Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Hamilton, Ontario, Canada: BC Decker,p.1-3.

Ghorayeb,B.Y.,2014. Mastoid – Cutaneus Post – Auricular Fistula. Available From: http://www.ghorayeb.com/PostAuricularfistula.html [Acessed 8 Mei 2014]. Gross,N.D., and McMenomey,S.O., 2010. Aural Complication of Otitis Media.

Available from:

http://books.google.co.id/books?id=IvYbOyS6_i0C&pg=PA435&hl=id&source =gbs_toc_r&cad=4#v=onepage&q&f=true [Acessed 1 Mei 2014].

Harker,L., 2003. Cranial and Intracranial Complication of Acute and Chronic Otitis Media. In: Snow Jr,J.B., and Ballenger,J.J., (eds). Sixteenth Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Hamilton, Ontario, Canada: BC Decker, p.294-315.

Helmi., Djaafar, Z.A, Restuti, R.D,2007.Komplikasi Otitis Media Supuratif.Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashruddin, J., dan Restuti, R.D.,(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam.Cetakan keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,h. 78-85.

Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran,2013, Otitis Media Supuratif Kronik. Available from : http://www.telingakusehat.com/omsk/ [ Acessed 20 April 2014].

Kotb,M.M., 2011. Middle Ear Disease (Inflammatory : Chronic), Available from : http://www.drmkotb.com/EN/index.php?page=students&case=&A=1&B=3&C= 4 [Acessed 8 Mei 2014].

Maranhão, A.S.A., Andrande, J.S.C., Godofredo, V.R., Matos, R.C., dan Penido, N.O.,2013, Intratemporal Complications of Otitis Media. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology.79(2):141-9.

Nora,B., 2011. Gambaran Otitis Media Supuratif Kronik di RSUP. H. Adam Malik tahun 2008. USU e-Repository.Tesis.Program Pendidikan Dokter Spesialis IK

THT-KL. FK USU, Medan. Available from:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/27175 [Acessed 28 April 2014]. Pallegrini, S., Machi,M.E.G., Sommerfleck, P.A., Bernáldez, P.C.,2012.

Intratemporal Complications From Acute Otitis Media in Children:17 Cases in two Years.Elsevier,63(1):21-25.

Roland,P.S., 2013. Chronic Suppurative Otitis Media. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview#a0104 [Acessed : 1 Mei 2014].

Snell,R.S.,2006.Anatomi Telinga Tengah. Dalam: Hartanto,H., Listiawati,E., Suyono,Y.J., Susilawati,. Nisa, T.M., Prawira,J., dkk (eds). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Edisi keenam cetakan pertama, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, h. 782-90.


(10)

Telian,A.S., and Scmalbach C.E., 2003. Chronic Otitis Media. In : Snow Jr,J.B., and Ballenger,J.J., (eds). Sixteenth Ed. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Hamilton, Ontario, Canada: BC Decker, p. 261-290.

Turner.L., 1982, Complication of Chronic Otitis Media, In : Hussain,M., (ed.) Logan’s Turner Disease of Ear, Nose, and Throat.Bristol : John Wright & Sons, p. 315- 20

Verhoeff, M., Veen, E.L., Rovers, M.M., Sanders, E.A.M., Schilder, A.G.M.,2006. Chronic Suppurative Otitis Media : A review. Elsevier.70, 1—12.

Yantes,P.D.,and Anari,S., 2008.Otitis Media. In :Lalwani A.K.,(ed.). Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head and Neck Surgery.New York : McGraw-Hill Medical,p. 655-665.

Zhang,Y., Xu,M., Zhang,J., Zeng,L., Wang,Y., dan Zheng,Q.Y.,2014. Risk Factor for Chronic and Recurrent Otitis Media – A Meta-Analysis,Plos ONE 9(1): e86397 doi:10.1371/journal.pone.0086397.


(11)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi adalah (gambar 3),

Gambar 3.1 Kerangka konsep prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi 3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional dari penelitian perlu dijabarkan untuk menghindari perbedaan persepsi dalam menginterpretasikan masing-masing variabel penelitian. Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

A. OMSK Tipe Bahaya

OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang didapatkan kolesteatoma dan perforasi membran timpani di bagian attic dan antral pada pemeriksaan yang telah dilakukan oleh dokter ahli THT serta tertulis di rekam medis.

Cara Ukur : Observasi rekam medis dari RSUP H. Adam Malik Alat Ukur : Data sekunder dari rekam medis

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : 0 = tidak ada komplikasi Komplikasi

intratemporal

OMSK tipe bahaya dengan komplikasi Komplikasi

ekstratemporal Komplikasi intrakranial


(12)

1 = ada komplikasi

B. Prevalensi OMSK Tipe Bahaya dengan Komplikasi

Prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi adalah jumlah total kasus penyakit OMSK tipe bahaya dengan komplikasi yang terjadi pada tahun 2011-2013 dibagi dengan jumlah populasi penyakit OMSK tipe bahaya pada tahun 2011-2013 di wilayah SMF THT-KL RSUP H. Adam Malik.

Cara Ukur : Observasi rekam medis dari RSUP H. Adam Malik Alat Ukur : Data sekunder dari rekam medis

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Jumlah penderita OMSK tipe bahaya dengan komplikasi.

C. Komplikasi Intratemporal

Komplikasi intratemporal OMSK tipe bahaya adalah penyakit yang terjadi bersamaan atau penyakit ikutan disebabkan OMSK yang berada di dalam tulang temporal dan telah didiagnosa oleh dokter ahli THT serta tertulis di rekam medis. Cara Ukur : Observasi rekam medis dari RSUP H. Adam Malik Alat Ukur : Data sekunder dari rekam medis

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Jumlah penderita OMSK tipe bahaya dengan komplikasi intratemporal, yang terdiri dari :

a) Mastoiditis b) Labirinitis c) Petrositis


(13)

D. Komplikasi Ekstratemporal

Komplikasi ekstratemporal OMSK tipe bahaya adalah penyakit yang terjadi bersamaan atau penyakit ikutan disebabkan OMSK yang berada di luar tulang temporal dan telah didiagnosa oleh dokter ahli THT serta tertulis di rekam medis. Cara Ukur : Observasi rekam medis dari RSUP H. Adam Malik Alat Ukur : Data sekunder dari rekam medis.

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Jumlah penderita OMSK tipe bahaya dengan komplikasi ekstratemporal, yaitu abses

subperiosteal/Bezold.

E. Komplikasi Intrakranial

Komplikasi intrakranial OMSK tipe bahaya adalah penyakit yang timbul bersamaan atau penyakit ikutan disebabkan OMSK yang berada di dalam tulang tengkorak dan telah didiagnosa oleh dokter ahli THT serta tertulis di rekam medis. Cara Ukur : Observasi rekam medis dari RSUP H. Adam Malik Alat Ukur : Data sekunder dari rekam medis

Skala Pengukuran : Nominal

Hasil Ukur : Jumlah penderita komplikasi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi intrakranial, yang terdiri dari :

a) abses otak

b) tromboflebitis sinus lateralis c) subdural empiema (abses subdural) d) hidrosefalus otitis


(14)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain potong lintang (cross sectional) karena data penelitian diambil dalam satu saat tertentu (Sastroasmoro,2013) , untuk mengetahui prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada Januari 2011 sampai dengan Desember 2013.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSUP H. Adam Malik yang merupakan rumah sakit rujukan di Propinsi Sumatera Utara sehingga memiliki data yang dibutuhkan untuk penelitian ini.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 – November 2014. 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh penyakit OMSK tipe bahaya yang tercatat di rekam medis. Populasi terjangkau penelitian ini adalah penyakit OMSK tipe bahaya yang tercatat di rekam medis RSUP H. Adam Malik dari Januari 2011 sampai dengan Desember 2013.


(15)

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dengan metode total population sampling dimana keseluruhan dari populasi diambil dari seluruh data rekam medis penyakit OMSK tipe bahaya yang ada di RSUP H. Adam Malik.

Sampel penelitian adalah subjek yang diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi berikut :

Kriteria inklusi :

- Seluruh penyakit OMSK tipe bahaya dengan komplikasi.

- OMSK tipe bahaya dengan komplikasi tersebut tercatat di rekam medis dimulai dari tahun 2011 sampai dengan 2013.

Kriteria Eksklusi :

- Data rekam medis yang tidak lengkap dalam hal anamnesa, pemeriksaan fisik, penunjang, dan juga apabila terdapat perbedaan diagnosa.

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1 Data Sekunder

Data yang diambil adalah merupakan data sekunder rekam medis OMSK tipe bahaya (atticoantral type chronic suppurative otitis media)

4.4.2 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi check list. Lembar observasi check list berisi tentang data penyakit OMSK tipe bahaya yang mengandung pertanyaan yaitu : komplikasi intratemporal, ekstratemporal dan intrakranial.

4.5. Metode Analisis Data

Proses pengolahan data penelitian dilakukan dengan menganalisa rekam medis pasien yang diambil dari Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik. Kemudian menganalisa data dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistic Package for Sosial Science), yakni statistik deskriptif untuk mengetahui prevalensi kejadian OMSK tipe bahaya yang berkomplikasi, dan frekuensi dari masing–masing


(16)

komplikasi OMSK tersebut yaitu, komplikasi intratemporal, ekstratemporal dan intrakranial.


(17)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini di ambil dari observasi rekam medis yang terdapat di Instalasi Rekam Medis RSUP H.Adam Malik Medan .

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan yang merupakan rumah sakit pusat rujukan untuk wilayah Sumatera bagian utara, yaitu meliputi daerah Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Rumah Sakit ini juga menjadi Rumah Sakit Pendidikan sesuai yang tercantum dalam SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991. Rumah sakit ini terletak di Jalan Bunga Lau No.17 Km.12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2. Karakteristik Sampel Penelitian

Jumlah populasi yang tercatat di RSUP H. Adam Malik sepanjang Januari 2011 sampai dengan Desember 2013 adalah berjumlah 53 orang, kemudian 13 orang memenuhi kriteria eksklusi karena data rekam medis yang tidak lengkap dan 1 orang tidak memenuhi kriteria inklusi karena pasien OMSK tipe bahaya tidak berkomplikasi, sehingga jumlah sampel menjadi 39 orang.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien OMSK Tipe Bahaya dengan Komplikasi

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 24 61,5%

Perempuan 15 38,5%


(18)

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa jenis kelamin penderita OMSK tipe bahaya dengan komplikasi di RSUP H. Adam Malik paling sering pada laki-laki yaitu sebanyak 24 orang (61,5%) dan perempuan sebanyak 15 orang (38,5%).

5.1.3. Deskripsi Komplikasi OMSK Tipe Bahaya

Diperoleh komplikasi OMSK tipe bahaya yang terdiri dari komplikasi intratemporal, ekstratemporal dan intrakranial. Data lengkap mengenai komplikasi OMSK tipe bahaya tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasar Jumlah Jenis Komplikasi Jenis Komplikasi

OMSK Bahaya

Frekuensi Persentase

1 jenis komplikasi 34 87,2%

2 jenis komplikasi 5 12,8%

3 jenis komplikasi 0 0%

Total 39 100%

Penderita komplikasi OMSK tipe bahaya pada penelitian ini tidak hanya menderita 1 komplikasi saja tetapi juga dapat menderita multi komplikasi pada satu individu. Berikut adalah tabel distribusi frekuensi penderita komplikasi OMSK tipe bahaya yang hanya menderita 1 jenis komplikasi saja dan multi komplikasi (lebih dari 1 jenis komplikasi).

Tabel 5.2 memperlihatkan distribusi frekuensi dari penderita yang menderita 1 jenis komplikasi OMSK bahaya yaitu berjumlah 34 orang (87,2%), dan penderita yang memiliki 2 jenis komplikasi sekaligus berjumlah 5 orang (12,8%), dan tidak ada yang menderita 3 jenis komplikasi sekaligus. Untuk mengetahui jenis komplikasi tersebut, dapat dilihat pada tabel dibawah ini.


(19)

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jenis Komplikasi OMSK Tipe Bahaya Jenis Komplikasi OMSK

Bahaya

Frekuensi Persentase

Intratemporal 34 87,2%

Intratemporal+Ekstratemporal 1 2,6%

Intratemporal+Intrakranial 4 10,2%

Total 39 100%

Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa pasien yang menderita 1 jenis komplikasi OMSK bahaya tersebut semuanya merupakan penderita komplikasi intratemporal yaitu sebanyak 34 orang (87,2%) dan tidak ada pasien yang hanya menderita komplikasi tunggal ekstratemporal saja ataupun intrakranial saja, sedangkan untuk pasien yang menderita 2 jenis komplikasi OMSK bahaya sekaligus ditemukan campuran antara komplikasi intratemporal dengan intrakranial dan campuran intratemporal dengan ekstratemporal. Data dari tabel di atas yang terbanyak adalah campuran antara komplikasi intratemporal dengan intrakranial, yaitu sebanyak 4 orang (10,2%) dan diikuti dengan campuran komplikasi intratemporal dengab ekstratemporal yaitu 1 orang (2,6%). Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa semua pasien OMSK tipe bahaya menderita komplikasi intratemporal.

Komplikasi intratemporal OMSK tipe bahaya berupa mastoiditis, labirinitis, petrositis, dan paresis nervus fasialis. Berikut adalah tabel distribusi frekuensi untuk komplikasi intratemporal.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Komplikasi Intratemporal

Jenis Komplikasi Intratemporal Frekuensi Persentase


(20)

Mastoiditis + Labirinitis 10 25,6%

Mastoiditis + Paresis N. VII 3 7,7%

Total 39 100%

Pada tabel 5.4 dapat dilihat bahwa komplikasi intratemporal yang paling sering dijumpai pada pasien OMSK tipe bahaya adalah mastoiditis, yaitu sebanyak 26 orang (66,7%), diikuti dengan Mastoiditis + Labirinitis yaitu sebanyak 10 orang (25,6%), kemudian Mastoiditis + Paresis N.VII sebanyak 3 orang (7,7%). Jadi tidak ada pasien OMSK tipe bahaya yang tidak menderita komplikasi intratemporal dan komplikasi lainnya seperti petrositis tidak ditemukan pada penelitian ini.

Selain komplikasi intratemporal, OMSK tipe bahaya dapat berkomplikasi ke ekstratemporal yaitu abses subperiosteal/Bezold. Penderita OMSK tipe bahaya dengan komplikasi ke ekstratemporal yaitu abses subperiosteal/Bezold hanya ada 1 orang dari 40 orang (2,6%).

Setelah komplikasi intratemporal dan ekstratemporal, komplikasi OMSK bahaya juga dapat menyebar ke intrakranial. Komplikasi intrakranial OMSK tipe bahaya berupa abses otak, tromboflebitis sinus lateralis, subdural empiema, hidrosefalus otitis, dan meningitis. Tabel distribusi frekuensi komplikasi intrakranial dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Komplikasi Intrakranial

Jenis Komplikasi Intrakranial Frekuensi Persentase

Meningitis 2 5%

Meningitis + Subdural empiema 1 2,6%

Tromboflebitis sinus lateralis 1 2,6%

Total 4 10,2%

Dari tabel 5.5 ditunjukkan bahwa komplikasi intrakranial yang paling sering muncul pada OMSK tipe bahaya adalah meningitis yaitu berjumlah 2 orang (5%),


(21)

komplikasi lainnya yang muncul adalah tromboflebitis sinus lateralis sebanyak 1 orang (2,6%) dan meningitis+subdural empiema 1 orang (2,6%). Komplikasi intrakranial lainnya seperti abses otak dan hidrosefalus otitis tidak ditemukan pada penelitian ini.

5.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan diperoleh data dengan cara observasi rekam medis menggunakan tabel checklist mengenai prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi. Data tersebut dijadikan dasar dalam melakukan pembahasan dan dijabarkan sebagai berikut.

5.2.1. Prevalensi OMSK Tipe Bahaya

Sebanyak 39 dari 53 pasien OMSK tipe bahaya pada penelitian ini menderita komplikasi, yaitu 34 orang (87,2%) yang menderita komplikasi tunggal, yaitu komplikasi intratemporal, dan yang menderita 2 komplikasi sekaligus (majemuk) sebanyak 5 orang (12,8%), yaitu intratemporal + ekstratemporal 1 orang (2,6%) dan intratemporal + intrakranial 4 orang (10,2%). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dubey pada tahun 2009 di RS. Port Moresby Papua, didapatkan 70 kasus OMSK tipe bahaya, 47 orang (67%) menderita komplikasi tunggal, yaitu dengan rinician 8 orang (11%) yang menderita komplikasi intrakranial dan 39 orang (56%) yang menderita komplikasi ekstrakranial. Jumlah penderita yang mengalami 2 komplikasi sekaligus (majemuk) adalah 23 orang (33%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Dubey pembagian komplikasinya adalah intrakranial dan ekstrakranial, yang mana ekstrakranial sama dengan intretemporal dan ekstratemporal.

Dari data diatas, dapat dilihat penderita OMSK tipe bahaya di Papua, New Guinea lebih banyak yaitu 70 orang, sedangkan di RSUP H. Adam Malik berjumlah 39 orang. Komplikasi tunggal lebih sering dijumpai pada kedua penelitian, 67% pada penelitian Dubey dan 87,2% pada penelitian ini. Komplikasi majemuk lebih jarang dijumpai pada penelitian ini, yaitu hanya 12,8% sedangkan pada penelitian Dubey sebanyak 33%. Terdapatnya kasus OMSK tipe bahaya dengan komplikasi yang lebih


(22)

tinggi di RS. Port Moresby Papua, New Guinea dibandingkan penelitian ini kemungkinan dikarenakan kurangnya fasilitas kesehatan di Papua yang menyebabkan kasus OMSK tipe bahaya sulit ditangani dengan cepat sehingga menyebabkan timbulnya komplikasi atau dikarenakan pendataan (surveilans) yang lebih baik di RS. Port Moresby daripada di RSUP H. Adam Malik Medan sehingga lebih banyak kasus yang tercatat. Dari hasil penelitian dapat dihitung prevalensi OMSK tipe bahaya berkomplikasi terhadap populasi OMSK tipe bahaya di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011 sampai dengan 2013 dengan rumus berikut

5.2.2. Distribusi Frekuensi Komplikasi OMSK Tipe Bahaya

Dari hasil penelitian didapatkan komplikasi yang paling sering muncul adalah komplikasi intratemporal. Komplikasi intratemporal yang paling sering diderita adalah mastoiditis sebanyak 26 orang (66,7%), kemudian mastoiditis + labirinitis sebanyak 10 orang (25,6%), dan mastoiditis + paresis nervus fasialis sebanyak 3 orang (7,7%).

Dari data diatas, dapat dilihat komplikasi intratemporal yang paling sering dijumpai pada pasien OMSK tipe bahaya adalah mastoiditis, karena semua pasien OMSK tipe bahaya berkomplikasi yang sebanyak 39 orang (9100%) menderita mastoiditis, kemudian diikuti labirinitis 10 orang (25,6%) dan, paresis nervus fasialis 3 orang (7,7%). Sangat jarang dijumpai komplikasi intratemporal yang hanya 1 jenis saja dalam penelitian ini, hampir semua pasien OMSK tipe bahaya ini memiliki komplikasi intratemporal yang majemuk (multikomplikasi).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pallegrini (2011) di Argentina dengan 17 orang sampel, didapatkan komplikasi intratemporal yang paling sering dijumpai adalah mastoiditis yaitu sebanyak 9 orang (52,9%), kemudian komplikasi labirinitis sebanyak 7 orang (41,2%) dan paresis nervus fasialis sebanyak 1 orang

Prevalensi OMSK tipe bahaya berkomplikasi :

Sampel yang berkomplikasi = 39 = 0,735 x 100% = 73,5% Populasi total OMSK tipe bahaya 53


(23)

(5,9%). Petrositis yang juga merupakan salah satu komplikasi intratemporal OMSK tipe bahaya juga, tetapi tidak ditemukan di penelitian tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Pallegrini menyimpulkan mastoiditis sebagai komplikasi intratemporal yang tersering, sejalan dengan penelitian ini, dimana komplikasi intratemporal tersering juga mastoiditis. Kasus mastoiditis pada penelitian ini lebih sering dijumpai dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pallegrini, kemungkinan dikarenakan sudah lebih baiknya kesadaran penderita OMSK tipe bahaya di Argentina, untuk segera memeriksakan dirinya saat tanda – tanda awal OMSK sudah muncul sehingga komplikasi mastoiditis tidak banyak ditemukan, begitu pula dengan labirinitis dan paresis nervus fasialis yang juga lebih sering dijumpai pada penelitian ini.

Adanya kejadian komplikasi intratemporal majemuk pada penelitian ini dikarenakan sawar perlindungan dari setiap struktur yang ada di telinga tengah telah terlampaui sehingga sangat mungkin untuk terjadi komplikasi yang banyak pada satu orang. Pada penderita OMSK tipe bahaya saat belum terjadi komplikasi berarti sawar perlindungan masih utuh dan belum rusak. Menurut Helmi (2007) sawar perlindungan pada telinga tengah yang pertama adalah mukosa kavum timpani, apabila sawar perlindungan ini rusak maka akan ada perlindungan selanjutnya yaitu tulang kavum timpani dan tulang mastoid, apabila sawar ini juga rusak maka akan menyebabkan seluruh struktur telinga di intretamporal seperti labirin, tulang mastoid, nervus fasialis, dan tulang petrous akan terkena penyebaran penyakit sehingga muncul komplikasi intratemporal.

Pada komplikasi ekstratemporal dapat terjadi abses subperiosteal/ Bezold, di penelitian ini terdapat 1 orang (2,6%) yang menderita abses Bezold, pasien tersebut juga menderita komplikasi intratemporal. Menurut Doan (2003), tidak banyak lagi kasus abses Bezold ini ditemukan karena penggunaan antibiotik yang sudah luas pada saat ini, laporan kasus abses Bezold di Inggris dari tahun 1966 sampai 2001 hanya mencapai 27 kasus, karena itu sangat jarang ditemukannya kasus abses Bezold pada penelitian ini.


(24)

Penelitian ini mendapatkan komplikasi ekstratemporal yang bersamaan dengan komplikasi intrakranial, hal tersebut terjadi dikarenakan telah rusaknya pembatas subperisoteal dengan struktur di telinga tengah, pada saat pus hasil infeksi OMSK sudah menyebar ke tulang mastoid, dan menembus ujung prosesus mastoideus maka pus akan mempunyai jalan untuk menyebar ke struktur leher dan akhirnya akan menyebabkan pus ini terkumpul dan membentuk abses subperioteal/Bezold (Gross,2010), karena itu sesuai dengan penelitian ini pada penderita komplikasi ekstratemporal juga terdapat komplikasi intratemporal.

Komplikasi intrakranial meliputi meningitis, subdural empiema, tromboflebitis sinus lateralis, hidrosefalus otitis, dan abses otak. Pada penelitian ini ditemukan 4 pasien dengan komplikasi intrakranial, yaitu 2 orang (5%) yang menderita meningitis, 1 orang (2,6%) dengan tromboflebitis sinus lateralis dan 1 orang (2,6%) dengan meningitis + subdural empiema, sedangkan untuk komplikasi intrakranial lainnya seperti hidrosefalus otitis dan abses otak tidak dijumpai. Semua pasien yang menderita komplikasi intrakranial juga menderita komplikasi intratemporal. Penelitian yang dilakukan oleh Dubey (2009), ditemukan komplikasi intrakranial yang paling sering dijumpai adalah meningitis yaitu sebanyak 13 orang (19%), kemudian tromboflebitis sinus lateralis 10 orang (14%) dan abses otak 6 orang (9%) dan sisanya menderita komplikasi ekstrakranial (intratemporal/ekstratemporal). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dubey tersebut, komplikasi intrakranial yang paling sering dijumpai pada penelitian ini adalah meningitis, lebih tingginya kasus komplikasi intrakranial pada penelitian yang dilakukan oleh Dubey, kemungkinan dikarenakan penanganan OMSK tipe bahaya yang terlambat sehingga terjadi penyebaran penyakit ke dalam struktur intrakranial.

Munculnya komplikasi intrakranial yang bersamaan dengan intratemporal pada penelitian ini dikarenakan setelah infeksi menembus beberapa sawar perlindungan pada telinga tengah, maka infeksi dapat menyebar ke arah kranial sehingga menyebabkan munculnya komplikasi intrakranial (Helmi,2007) , karena itu


(25)

pada penelitian ini seluruh pasien yang menderita komplikasi intrakranial juga menderita komplikasi intratemporal.

Secara keseluruhan dari penelitian ini, didapatkan angka frekuensi yang bervariasi dari setiap penelitian, perbedaan angka frekuensi pada setiap komplikasi OMSK tipe bahaya tersebut kemungkinan dikarenakan kurangnya kesadaran pasien untuk segera memeriksakan dirinya saat tanda-tanda OMSK mulai muncul dan beberapa dari mereka melakukan pengobatan sendiri dengan obat – obatan tradisional selama bertahun – tahun, sehingga komplikasi OMSK tipe bahaya tidak dapat dicegah dari awal. Hal tersebut terdapat di riwayat anamnesa dan pengobatan yang tercatat di rekam medis pasien.


(26)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian, maka kesimpulan yang diperoleh adalah :

a. Prevalensi OMSK tipe bahaya berkomplikasi terhadap OMSK tipe bahaya di RSUP H. Adam Malik periode Januari 2011 sampai Desember 2013 adalah 73,5%.

b. Distribusi frekuensi komplikasi intratemporal di RSUP H. Adam Malik periode Januari 2011 sampai Desember 2013 adalah 100% .

c. Distribusi frekuensi komplikasi ekstratemporal di RSUP H. Adam Malik periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2013 adalah 2,6%.

d. Distribusi frekuensi komplikasi intrakranial di RSUP H. Adam Malik periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2013 adalah 10,2%.

6.2. Saran

Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu :

a.Kepada Instalasi Rekam Medis RSUP. H. Adam Malik, pemberian kode penyakit direkam medis sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang karena ada beberapa rekam medis yang harus diekslusi karena ketidakcocokan antara kode penyakit dengan penyakit yang dicari.

b.Kepada penderita OMSK, sebaiknya segera memeriksakan dirinya pada saat munculnya gejala – gejala OMSK agar dapat segera ditangani sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang berbahaya dari penyakit tersebut.


(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Tengah

Gambar 2.1. Gambaran antomi telinga secara umum Sumber : Ballenger’s Otholaryngology Head and Neck Surgery Ed.16

Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis yang dilapisi oleh membran mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang berfungsi untuk menggetarkan membran timpani ke perilimfa telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani. Di depan, ruang ini berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius dan di belakang dengan antrum mastoideum (Snell, 2006).

Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior, dinding lateral, dan dinding medial. Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang disebut tegmen timpani, yang merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini memisahkan kavum timpani dari meningens dan lobus temporalis otak didalam fossa cranii media (Snell, 2006).


(28)

Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang, yang mungkin tidak lengkap dan mungkin sebagian digantikan dengan jaringan fibrosa. Lempeng ini memisahkan kavum timpani dengan bulbus superior V. jugularis interna (Snell, 2006).

Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang memisahkan kavum timpani dari arteri karotis interna. Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari 2 buah saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba Esutachius, dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk m. Tensor timpani. Septum tulang yang tipis, yang memisahkan saluran-saluran ini diperpanjang ke belakang pada dinding medial, yang akan membentuk tonjolan mirip selat (Snell, 2006).

Di bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang yang tidak beraturan, yaitu auditus ad antrum. Di bawah ini terdapat penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit, kecil, disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini keluar m. Stapedius (Snell, 2006).

Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membran timpani. Membran timpani adalah membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara. Membrana ini terletak miring, menghadap ke bawah, depan dan lateral. Permukaannya konkaf ke lateral. Pada cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium mallei. Bila membran terkena cahata otoskop, bagian cekung ini menghasilkan kerucut cahaya, yang memancarkan ke anterior dan inferior umbo (Snell, 2006).

Membran timpani berbentuk bulat dengan diameter lebih-kurang 1 cm. Pinggirnya tebal dan melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu, yaitu sulcus tympanicus, di bagian atasnya terdapat incisura. Dari sisi-sisi incisura ini berjalan dua plica, yaitu plica malearis anterior dan posterior, yang menuju prosesus lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada membran timpani yang dibatasi plica –plica tersebut lemas dan disebut pars flaccida. Bagian yang lainnya tegang disebut pars tensa. Manubrium mallei dilekatkan di bawah pada permukaan dalam membrana


(29)

timpani oleh membrana mukosa. Membran timpani sangat peka terhadap nyeri dan permukaan luarnya dipersarafi oleh n. Auriculotemporalis dan ramus auricularis n. Vagus (Snell, 2006).

Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar dari dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang disebabkan oleh lengkung pertama koklea yang ada di bawahnya. Di atas dan di belakang promontorium terdapat fenestra vestibuli, yang berbentuk lonjong dan ditutupi oleh basis stapedius. Pada sisi medial fenestra terdapat skala vestibuli perilimfa telinga dalam. Di bawah ujung posterior promontorium terdapat fenestra koklea, yang berbentuk bulat dan ditutupi oleh membrana timpani sekundaria. Pada sisi medial dari fenestra ini terdapat perilimfa ujung buntu skala timpani (Snell, 2006).

Tonjolan tulang berkembang dari dinding anterior yang meluas kebelakang pada dinding medial di atas promontorium dan di atas fenetsra vestibuli. Tonjolan ini menyokong m. Tensor timpani. Ujung posteriornya melengkung ke atas dan membentuk takik, disebut prosesus kokleariformis. Di sekeliling takik ini tendon m. Tensor timpani membelok ke lateral untuk sampai ke tempat insersionya yaitu manubrium mallei (Snell, 2006).

Sebuah rigi bulat berjalan secara horizontal ke belakang, di atas promontorium dan fenestra vestibuli dan dikenal sebagai prominentia kanalis nervus fasialis. Sesampainya di dinding posterior, prominentia ini melengkung ke bawah di belakang pyramis (Snell, 2006).

Tulang- tulang pendengaran terdiri dari malleus, incus, dan stapes. Malleus adalah tulang pendengaran terbesar, dan terdiri dari caput, collum, prosesus longum aau manubrium, sebuah prosesus anterior dan prosesus lateralis. Caput mallei berbentuk bulat dan bersendi di posterior dengan incus. Manubrium mallei berjalan ke bawah dan belakang dan melekat erat dengan membran timpani, sehingga manubrium ini dapat dilihat pada saat pemeriksaan dengan otoskop (Snell, 2006).


(30)

Incus mempunyai corpus yang besar dan dua krus, corpusnya berbentuk bulat dan bersendi di anterior dengan caput mallei. Sedangkan crusnya dibagi dua, yaitu crus longum dan crus breve. Stapes mempunyai caput, collum, dua lengan, dan sebuah basis. Pinggir basis dari stapes akan melekat dengan pinggir fenestra vestibuli oleh sebuah cincin fibrosa, yang disebut ligamentum annulare (Snell, 2006).

Otot-otot penggerak tulang pendengaran terdiri dari m. Tensor timpani dan m. Stapedius. M. Tensor timpani berfungsi secara refleks meredam getaran malleus dengan lebih menegangkan membran timpani dan dipersarafi oleh cabang n. Trigeminus. M. Stapedius berfungsi secara refleks meredam getaran stapes dengan menarik kolumnanya dan otot ini dipersarafi oleh n. Fasialis (Snell, 2006).

Tuba Eustachius, terbentang dari dinding anterior kavum timpani ke bawah, depan, dan medial sampai ke nasofaring. Sepertiga bagian posteriornya adalah tulang dan dua pertiga bagian anteriornya adalah kartilago. Tuba berhubungan dengan nasofaring dengan berjalan melalui pinggir atas m. Konstriktor faringes superior. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan nasofaring (Snell, 2006).

Antrum mastoideum terletak di belakang kavum timpani di dalam pars petrosa ossis temporalis, dan berhubungan dengan telinga tengah melalui auditus. Diameter auditus lebih kurang 1 cm (Snell, 2006).

Dinding anterior berhubungan dengan telinga tengah dan berisi auditus ad antrum. Dinding posterior memisahkan antrum dari sinus sigmoideus dan serebelum. Dinding inferior berlubang – lubang, menghubungkan antrum dengan cellulae mastoideum. Dinding lateral tebalnya 1,5 cm dan membentuk dasar trigonum suprameatus. Dinding medial berhubungan dengan kanalis semcisirkularis posterior (Snell, 2006).

Cellulae mastoideum adalah suatu seri rongga yang saling berhubungan dengan antrum dan kavum timpani. Rongga – rongga ini dilapisi oleh membrana mukosa (Snell, 2006).


(31)

Gambar 2.2. Tulang temporal kanan, gambaran lateral. Sumber : Ballenger’s Otholaryngology Head and Neck Surgery Ed.16

2.2 Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) 2.2.1 Definisi

Otitis Media secara umum adalah proses inflamasi yang terjadi di telinga tengah (Yantes, 2008). Menurut Djaafar (2007), OMSK adalah inflamasi di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul, sekret dapat berupa encer atau kental, bening atau berupa nanah. Dikatakan OMSK apabila proses tersebut sudah lebih dari 2 bulan.

2.2.2 Epidemiologi

Menurut Bhargava (1999) tidak ada perbedaan angka kejadian pada jenis kelamin wanita ataupun pria, dan dapat terjadi disemua usia. Berdasarkan angka kejadian OMSK yang telah dilakukan survei oleh WHO tahun 2004, tentang OMSK di seluruh dunia, didapati hasil (tabel 2.1)


(32)

Tabel 2.1 Klasifikasi negara berdasarkan prevalensi OMSK.

Grup Populasi

Sangat Tinggi (>4%) –perhatian yang mendesak dan berurusan dengan masalah kesehatan masyarakat urgent attention

needed to deal with a massive public health problem

Tanzania, India, Solomon Islands, Guam, Australian Aborigines,

Greenland.

Tinggi (2–4%) – beban penyakit harus dihindari dan diatasi

avoidable burden of disease must be addressed

Nigeria, Angola, Mozambique, Republic of Korea, Thailand,

Philippines, Malaysia, Vietnam, Micronesia, China, Eskimos

Rendah (1–2%) Brazil, Kenya

Sangat rendah (<1%) Gambia, Saudi Arabia, Israel,

Australia, United Kingdom

Denmark, Finland, American Indians Sumber : Chronic suppurative otitis media,2004,Burden of Illness and Management Options,WHO

Sedangkan di Indonesia, prevalensi OMSK tahun 2002 dalam Aboet (2007) adalah 3,8%, dan penderita OMSK merupakan 25% pasien yang datang berobat ke poliklinik THT di rumah sakit Indonesia. Yang berarti berdasarkan pengelompokan negara menurut tabel WHO diatas, Indonesia termasuk salah satu negara yang

memiliki prevalensi ―tinggi‖ karena sudah mencapai 2-4%.

2.2.3 Etiologi

Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rhinitis, sinusitis) dan mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Penyebab utama dari OMSK adalah bakteri P.aeruginosa, S.aureus, dan Proteus species (Yantes,2008). Berbagai patogen yang berpindah dari nasofaring ke telinga tengah melalui tuba Eustachius sewaktu infkesi saluran pernapasan atas. Pada OMSK bakteri dapat


(33)

berupa aerobic (Pseudomonas aeruginosa, Escheria coli, S.aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, Klebsiella species) atau anaerob (Bacteroides, Peptostreptococcus, Proprionibacterium). Bakteri tersebut jarang didapati di kulit dari kanal eksternal tapi dapat berproliferasi di tempat trauma, inflamasi, laserasi, atau kelembapan yang tinggi. Bakteri bakteri tesebut masuk ke telinga tengah apabila telah terjadi perforasi kronik. Diantara keseluruhan bakteri tersebut, P.aeruginosa yang paling berbahaya karena memiliki progresifitas yang sangat cepat di telinga tengah dan tulang mastoid karena toxin dan enzim yang dihasilkannya (WHO, 2004).

Menurut Zhang (2014) faktor-faktor yang dapat mempermudah penyakit OMSK berkembang adalah :

1. Riwayat OMA pada pasien. 2. Alergi/atopi.

3. Infeksi saluran pernapasan atas. 4. Obstruksi nasal kronik.

5. Mendengkur.

6. Adanya riwayat keluarga menderita otitis media. 7. Perokok pasif.

8. Status sosial rendah.

9. Status pendidikan orangtua rendah.

10.Anak yang saat dikandung memiliki riwayat ibunya merokok.

11. Keluarga dengan jumlah anggotanya besar (banyak saudara kandung). 12. Anak yang dititipkan di tempat penitipan anak (day care).

2.2.4 Patogenesis

Pada kebanyakan kasus OMSK muncul karena stage perforasi dari OMA yang tidak mengalami penyembuhan (Yantes,2008). Patofisiologi OMSK dimulai dari iritasi dan inflamasi yang berkepanjangan di mukosa telinga tengah, respon inflamasi tersebut menyebabkan edem mukosa dan munculnya ulserasi diakibatkan kerusakan di lapisan epitel. Penjamu berusaha memperbaiki kerusakan tersebut sehingga menghasilkan jaringan yang bergranulasi dan hal ini menyebabkan


(34)

munculnya polip di kavitas telinga tengah. Siklus dari inflamasi, ulserasi, infkesi dan jaringan granulasi akan terus berlangsung dan dapat menghancurkan batas tulang disekitarnya dan dapat menuju komplikasi yang lebih serius dari OMSK (Roland,2013).

Menurut Yantes (2008), ada 2 mekanisme utama OMSK dapat menyebabkan infeksi telinga tengah yang berulang – ulang :

1. Bakteri dapat mengkontaminasi dari telinga luar karena penghalang fisik membran timpani sudah hilang

2. Pada membran timpani yang normal menghasilkan gas cushion di telinga tengah yang mana gas cushion tersebut menolong membantu untuk mencegah refluks sekresi nasofaring ke telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kehilangan mekanisme pertahanan ini menghasilkan peningkatan pajanan bakteri patogen di telinga tengah yang berasal dari nafofaring.

Sedangkan menurut Telian (2003), terdapat penyebab lain dari OMSK, disfungsi tuba Eustachius memainkan peranan penting dalam penyakit OMSK, tuba Eustachius menjadi tempat ventilasi telinga tengah sehingga tekanan yang ada di dalam rongga telinga tengah dan keadaan sekitarnya sama, pada disfungsi tuba Eustachius yang persisten, seperti pada penderita Down Syndrome dan cleft palate, rongga telinga tengah selalu terpajan terus menerus dengan tekanan yang negatif. Sehingga membran timpani terektrasi ke medial. Hal ini dapat menyebabkan tejadinya Otitis Media yang berlama – lama dan pada akhirnya akan sama dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa OMSK merupakan episode lanjutan dari OMA.


(35)

Menurut Djaafar (2007), banyak ahli yang mengklasifikasikan Otitis Media, secara mudah Otitis Media dapat dibagi menjadi OMA dan OMSK. Pembagian dapat dilihat pada (gambar 2.3)

Gambar 2.3 Skema pembagian Otitis Media

Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT ,2007, Kelainan Telinga Tengah


(36)

Otitis Media Supuratif Kronik

Tipe Aman Tipe Bahaya

Nama lain Tubotympanic Attico-antral

Letak perforasi Sentral Attic atau marginal

Discharge Intermiten, mukopurulen

atau purulen, biasanya tidak berbau busuk, warna putih atau kekuningan, jarang berdarah, copious, bertambah parah pada saat ada infeksi saluran pernapasan atas

Kontinu, selalu purulen, selalu berbau busuk, warna kekuningan, kecoklatan, atau kehijauan. Hampir selalu berdarah karena granulasi, often scanty, tidak terpengaruh dengan infeksi saluran pernapasan atas.

Polip Jarang Sering

Kolesteatoma Sangat jarang Selalu ada

Ketulian Tuli konduktif

mild-moderate

Tuli konduktif atau campuran mild-severe

Komplikasi Sangat jarang Sering

Sumber : Textbook of Ear, Nose, and Throat,1999, Chronic Otitis Media

Khusus untuk OMSK, terdapat dua kelompok yang dibedakan dari progresifitasnya,antara lain :

1. Tipe aman (tubotympanic type), dimana tipe ini muncul karena komplikasi dari OMA yang telah menimbulkan perforasi dari membran timpani. Tipe aman ini hampir tidak pernah menimbulkan komplikasi yang serius. Kondisi patologi utama yang memunculkan OMSK tipe aman ini adalah perforasi yang tidak sembuh sehingga memunculkan infeksi yang persisten dan terus berlangsung dalam waktu yang lama. Perforasi


(37)

membran timpani pada OMSK tipe aman ini selalu perforasi sentral. (Turner,1982) Pada OMSK tipe aman tidak ditemukan kolesteatoma (Djaafar,2007).

2. Tipe bahaya (attico-antral type), pada tipe ini infeksi terjadi di attic, antrum atau di prosesus mastoideus dan juga di mukosa telinga tengah. Infeksi tersebut dapat terus menyebar sehingga dapat memunculkan komplikasi yang berbahaya (Turner,1982). Tipe ini juga selalu terdapat kolesteatoma (Bhargava,1999), kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin), deskuamasi ini terus terbentuk sehingga dapat bertambah besar (Djaafar, 2007)

2.2.6 Gejala Klinis

Gejala klinis dari OMSK tipe bahaya seringkali menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu ditegakkan diagnosis dini. Walaupun diagnosis pasti baru dapat ditegakkan di kamar operasi, namun beberapa tanda klinik dapat menjadi pedoman akan adanya OMSK tipe bahaya, yaitu perforasi di marginal dan atik. Tanda ini biasanya merupakan tanda dini dari OMSK tipe bahaya, sedangkan pada kasus yang sudah lanjut dapat terlihat abses ataupun fistel retroaurikuler (belakang telinga), polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah, terlihat kolesteatoma pada telinga tengah, sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma) atau terlihat gambaran kolesteatoma pada foto rontgen mastoid (Djaafar, 2007). Menurut Turner (1982) pada OMSK tipe bahaya terdapat sekret yang berbau dan lebih sering purulen dibandingkan dengan mukopurulen. Ketulian yang sangat berat sering terjadi karena tulang tulang pendengaran sudah rusak, jika ditemukan polip dan jaringan granulasi maka ditemukan perdarahan dari telinga yang terlihat. Gejala ini terjadi secara insidous sehingga penderita tidak awas kapan awal terjadinya penyakitnya muncul, tapi kebanyakan dari kasus – kasus yang ada, keluhan ini dimulai sejak masa kanak – kanak.


(38)

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis dari OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pada penderita OMSK tipe bahaya yang dilakukan pemeriksaan otoskopi akan tampak perforasi membran timpani di marginal dan atik, selain tampak perforasi akan tampak juga kolesteatoma, sedangkan pada kasus yang sudah lanjut dapat juga telihat fistula post-aurikular (Djaafar,2007).

Gambar 2.4 Gambaran otoskopi pada penderita OMSK tipe bahaya yang mengalami perforasi di daerah attic dan juga ditemukan kolesteatoma.

Sumber: http://www.drmkotb.com

Gambar 2.5 Gambaran pada penderita OMSK tipe bahaya yang sudah lanjut, adanya fistula post-aurikular.


(39)

Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur (speech audiometry) dan pemeriksaan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) bagi pasien yang tidak koperatif dengan menggunakan audiometri nada murni. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah foto rontgen mastoid serta kultur dan uji resistensi kuman dari sekret telinga (Djaafar,2007).

2.3 Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik tipe Bahaya 2.3.1 Penyebaran Penyakit

Komplikasi OMSK terjadi karena sawar pertahanan telinga tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur disekitarnya. Pertahanan pertama adalah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran pernapasan. Bila sawar ini rusak maka masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Bila sawar ini juga rusak maka struktur lunak disekitarnya akan terkena. Rusaknya periostium akan menyebabkan terjadinya abses sub-periosteal, suatu komplikasi yang tidak bahaya. Apabila infeksi mengarah ke tulang temporal, maka akan menyebabkan paresis n.fasialis atau labirinitis. Bila ke arah kranial, akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis dan abses otak (Helmi, 2007).

Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi akan terbentuk. Penyebaran komplikasi OMSK dapat melalui penyebaran hematogen, penyebaran melalui erosi tulang, dan penyebaran melalui jalan yang sudah ada (Helmi, 2007).

Pada komplikasi OMSK yang diakibatkan penyebaran melalui osteotromboflebitis (hematogen) dapat diketahui apabila ditemukan gejala sebagai berikut :

1. Komplikasi terjadi pada awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau kedua sampai hari kesepuluh.


(40)

2. Pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga utuh, dan tulang serta lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah berdarah, sehingga disebut juga mastoidtis hemoragika (Helmi, 2007).

Penyebaran yang melalui erosi tulang dapat diketahui apabila sebagai berikut: 1. Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit. 2. Gejala prodromal infeksi lokal biasanya mendahului gejala infeksi yang

lebih luas, misalnya paresis n.fasialis yang hilang timbul mendahului paresis n.fasilalis yang total, atau gejala meningitis lokal mendahului gejala meningitis purulen.

3. Pada operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak di antara fokus supurasi dengan struktur di sekitarnya. Struktur jaringan yang terbuka biasanya dilapisi oleh jaringan granulasi (Helmi, 2007).

Sedangkan penyebaran melalui jalan yang sudah ada ditandai apabila ditemukan gejala sebagai berikut :

1. Komplikasi terjadi pada awal penyakit.

2. Pada operasi dapat ditemukan jalan penjalaran melalui sawar tulang yang bukan oleh karena erosi (Helmi, 2007).

Pengenalan yang baik terhadap suatu penyakit telinga merupakan prasyarat untuk mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dengan pengobatan medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala klinik dengan tidak berhentinya otorea dan pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau adanya tanda toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk, somnolen atau gelisah yang menetap dapat merupakan tanda bahaya. Timbulnya nyeri kepala di daerah parietal atau oksipital dan adanya keluhan mual, muntah yang proyektil serta kenaikan suhu badan yang menetap selama terapi diberikan merupakan tanda komplikasi intrakranial (Helmi, 2007).


(41)

Pada OMSK, tanda – tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret telah berhenti keluar hal ini menandakan adanya sekret purulen yang terbendung (Helmi, 2007).

Pemeriksaan radiologi seperti CT scan, dapat membantu memperlihatkan kemungkinan kerusakan dinding mastoid dimana erosi tulang merupakan tanda nyata komplikasi dan memerlukan tindakan operasi yang segera. Untuk melihat lesi di otak, misalnya abses otak, hidrosefalus, dan lain-lain dapat dilakukan pemeriksan CT scan otak dengan menggunakan kontras atau tidak menggunakan kontras (Helmi, 2007).

2.3.2 Klasifikasi Komplikasi OMSK A. Komplikasi intratemporal

1. Mastoiditis

Sistem mastoid air cell dan telinga tengah saling berhubungan, sehingga semua proses inflamasi yang terjadi di telinga tengah akan mengenai mastoid juga. Mastoiditis yang disebabkan OMSK merupakan perluasan dari proses infeksi yang menetap di telinga tengah. Tidak hanya di struktur mastoidnya saja tapi bisa ke struktur lain di sekitar mastoid (Arts,2013).

Gejala utama dari mastoiditis adalah adanya triad symptoms yaitu otalgia, nyeri aurikular, dan demam. Salah satu gejala yang paling sering adalah post-auricular tenderness yang dijumpai pada 80% kasus mastoiditis. Selain itu penonjolan pinna, eritema post-auricular, dan pembengkakan merupakan gejala klasik yang juga dapat dijumpai. CT-scan merupakan merupakan pilihan untuk penegakan diagnosa. Penatalaksanaan mastoiditis dapat secara konservatif yaitu dengan memberikan antibiotik intravena dan miringotomi baik dengan atau tidak digunakannya tympanostomy tube placement. Kultur bakteri penyebab mastoiditis harus dilakukan untuk memberikan pengobatan yang lebih baik dengan antibiotik yang sesuai. Mastoidektomi dilakukan apabila adanya kerusakan tulang yang parah atau karena tidak adanya respon pengobatan yang baik selama lebih dari 2 minggu penanganan konservatif. Tujuan dari pembedahan tersebut adalah debridement tulang


(42)

yang nekroktik dan juga untuk mencegah perluasan infeksi ke intrkranial (Gross, 2010).

2. Paresis nervus fasialis

Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis pada OMA. Pada OMSK, kerusakan terjadi oleh erosi tulang oleh kolesteatoma atau oleh jaringan granulasi, disusul oleh infeksi ke dalam kanalis fasialis tersebut (Helmi, 2007).

Paresis nervus fasialis dapat terjadi karena OMA, OMSK tanpa kolesteatoma ataupun dengan kolesteatoma. Bakteri dapat menyebar ke saraf karena kanalis fasialis dirusak oleh jaringan granulasi atau kolesteatoma. Fungsi saraf fasialis hilang karena edema sekunder yang disebabkan tekanan dan inflamasi atau karena neuritis supuratif yang merusak elemen saraf. Jika edema persisten, dapat terjadi nekrosis avaskular akson dan dapat menyebabkan degenerasi akson (Harker,2003).

Pada OMA operasi dekompresi tidak diperlukan. Perlu diberikan antibiotika dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya, serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timpani dengan drainase. Bila dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak ada perbaikan setelah diukur dengan elektrodiagnostik, barulah dipikirkan untuk dilakukan dekompresi. Pada OMSK, tindakan dekompresi harus segera dilakukan tanpa harus menunggu pemeriksaan elektrodiagnostik (Helmi, 2007).

3. Petrositis

Petrositis dikenal juga sebagai petrous apicitis adalah inflamasi di bagian petrous dari tulang temporal. Kira – kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai sel – sel udara sampai ke apeks os.petrosus. Terdapat beberapa cara penyebaran infeksi dari telinga tengah ke os. Petrosum. Yang sering ialah penyebaran langsung ke sel – sel udara tersebut. Petrositis bukan komplikasi yang sering dari OMSK, apabila seseorang terdiagnosa petrositis harus dicurigai pada pasien OMSK tersebut terdapat keluhan diplopia, karena kelemahan N.VI, dan sering kali disertai dengan rasa nyeri di daerah parietal, temporal, oksipital, oleh karena


(43)

terkenanya N.V, ditambah dengan terdapatnya otore yang persisten, terbentuklah suatu sindrom yang disebut dengan sindrom Gradenigo (Helmi, 2007).

Petrous apicitis sebenarnya adalah mastoiditis yang terjadi di petrous apex. Sangat jarang ditemukannya petrositis ini karena kebanyakan manusia petrous ini menjadi sklerotik dan sangat sedikit yang tetap terdapat air cell. Petrositis berkembang dari infeksi mastoid, tetapi mastoid dapat respon terhadap pengobatan atau tindakan pembedahan tanpa resolusi dari infeksi di apeks petrous, sehingga terdapat pemisahan infeksi antara mastoid dan apeks petrous (Harker, 2003).

Kecurigaan terhadap petrositis terutama bila terdapat nanah yang keluar terus menerus dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi. Pengobatan petrositis ialah operasi serta pemberian antibiotika protokol komplikasi intrakranial. Pada waktu melakukan operasi telinga tengah dilakukan juga eksplorasi sel – sel udara tulang petrosum serta mengeluarkan jaringan patogen (Helmi, 2007).

4. Labirinitis

Invasi bakteri ke labirin selalu diikuti hilangnya kemampuan mendengar dan keseimbangan. OMSK dapat menyebabkan labirinitis dikarenakan lemahnya membran oval window sehingga dapat menembus ke labirin. Tidak diketahui apakah labirinitis menyebabkan meningitis atau meningitis yang menyebabkan labirinitis, tetapi kedua komplikasi OMSK tersebut dapat terjadi secara bersamaan (Harker,2003)

Penyebaran bakteri secara langsung ke labirin dapat melaui fistula kanalis semisirkularis lateral yang disebabkan kolesteatoma. Diagnosa dapat ditegakkan secara klinis pada 30 sampai 60 menit dari awal infeksi, dengan gejala muncul tinnitus dan pusing seperti pernyakit vertigo, pucat, diaphoresis, nausea dan muntah. Gejala vestibular dapat berlangsung paling tidak 8 sampai 12 jam bahkan jika pasien dalam keadaan diam dan menerima antiemetik intravena. Gejala nistagmus yang bergerak berlawanan dengan arah telinga juga muncul karena vertigo. Setelah beberapa jam, vertigo spontan dan nistagmus akan mereda secara bertahap. Perbaikan gejala simtomatik akan membaik dalam beberapa hari, setiap gerakan kepala dapat


(44)

mencetuskan vertigo dan nausea. Lebih dari 2 -3 minggu akan terjadi kompensasi sistem saraf pusat, sehingga sistem keseimbangan akan menjadi normal kembali, tinnitus juga akan mereda tetapi seluruh kemampuan pendengaran akan tetap hilang (Harker, 2003).

Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum (general), dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat, sedangkan labinitis yang terbatas (sirkumskripta) menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja (Helmi, 2007).

Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Terdapat dua bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi ke dalam labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif akut sirkumskripta (Helmi, 2007).

Pada labirinitis serosa, toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang, sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga terjadi kerusakan yang ireversibel, seeperti fibrosis dan osifikasi (Helmi, 2007).

Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang – kadang diperlukan juga drainase nanah dari labirin untuk mencegah meningitis. Pemberian antibiotika adekuat terutama ditujukan kepada pengobatan OMSK dengan atau tanapa kolesteatoma (Helmi, 2007).

B. Komplikasi Ekstrakranial 1. Abses subperiosteal

Sebanyak 50% pasien mastoiditis akan berkembang menjadi abses subperiosteal. Abses ini terbentuk karena hasil destruksi langsung tulang kortikal atau penyebaran hematogen melalui pembuluh darah kecil disekitarnya. Mastoiditis yang memiliki pneumatisasi yang baik akan menimbulkan abses subperiosteal yang lebih


(45)

sering daripada mastoiditis yang sklerotik, karena pada yang pneumatisasi memiliki banyak kapasitas untuk menampung pus dari OMSK (Gross, 2010).

Pus dapat menembus daerah subperiosteal adalah melalui tulang trabekular

Macewen’s triangle. Sehingga telinga akan berubah posisi (displacement) menjadi lebih ke depan dan massa yang berfluktuasi tersebut dapat dipalpasi di belakang telinga. Ketika pus dapat menembus ujung dari prosesus mastoideus dan incisura mastoid maka infeksi dapat menyebar ke leher. Abses ini nantinya akan terbentuk di daerah m. Sternokleidomastoideus dan akan menyebabkan abses Bezold. Abses ini ditandai dengan dijumpainya massa yang berfluktuasi di daerah leher. Komplikasi ini nantinya akan sangat berbahaya apabila tidak cepat ditangani, karena strukturnya yang berdekatan dengan arteri karotis, parapharyngeal space, dan mediastinum (Gross, 2010).

C. Komplikasi Intrakranial 1. Abses Otak

Abses otak dimulai dari propagasi bakteri disekitar vena yang berasal dari mastoid ke parenkim otak yang berdekatan. Pada saat bakteri telah mencapai korteks atau white matter,bakteri tersebut bermigrasi ke kapiler lokal menyebabkan pembengkakan endotel dan serebritis fokal. Jaringan menjadi edema, hemoragi, dan nekrosis. Abses dapat bervariasi dalam ukuran. Seringnya berbentuk ireguler dan multilokular. Pada awalnya kapsul sulit untuk diidentifikasi dan seiring berjalannya waktu kapsul dapat terlihat dengan mudah (Harker,2003).

Abses otak akibat komplikasi OMSK dan mastoiditis dapat ditemukan di serebelum, fossa kranial posterior atau lobus temporal, dan di fossa kranial media. Keadaan ini sering berhubungan dengan tromboflebitis sinus lateralis, petrositis, atau meningitis. Abses otak biasanya merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului oleh suatu abses ekstradural (Helmy,2007). Penelitian Yen terhadap 122 pasien di Rumah Sakit Taiwan antara 1981 dan 1994 terbukti OMSK merupakan penyebab abses otak ketiga terbanyak (Harker,2003).


(46)

Gejala abses serebelum biasanya lebih jelas daripada abses lobus temporal. Abses serebelum dapat ditandai dengan ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan tidak tepat menunjuk suatu objek (Helmi, 2007).

Afasia dapat terjadi pada abses lobus temporal. Gejala lain yang menunjukkan adanya abses otak, berupa nyeri kepala, demam, muntah, serta keadaan letargik. Selain itu sebagai tanda yang nyata suatu abses otak ialah nadi yang lambat serta serangan kejang. Pemeriksaan likuor serebrospinal memperlihatkan kadar protein yang meninggi serta kenaikan tekanan likuor. Mungkin terdapat juga edem papil. Lokasi abses dapat ditentukan dengan pemeriksaan angiografi, ventrikulografi, atau dengan tomografi komputer (Helmi, 2007).

Pengobatan abses otak ialah dengan antibiotika parenteral dosis tinggi (protokol komplikasi intrakranial), dengan atau tanpa operasi untuk melakukan drainase dari lesi. Selain itu pengobatan dengan antibiotika harus intensif. Mastoidektomi dilakukan untuk membuang sumber infeksi, pada waktu keadaan umum lebih baik (Helmi, 2007).

2. Meningitis

Meningitis sejauh ini menjadi komplikasi intrakranial tersering dari OMSK. Menurut Gower dan McGuirt dalam penelitiannya terhadap 100 orang pasien yang menderita komplikasi intrakranial, sebanyak 76 orang menderita meningitis dan 53 diantaranya berusia dibawah 2 tahun. Pada bayi dan anak-anak, penyebab utama dari meningitis karena penyebaran secara hematogen saat terinfeksi otitis media (Harker, 2003).

Gejala utama dari meningitis adalah sakit kepala berat. Pasien akan cenderung untuk berbaring, sering muntah, dan fotopobia serta general hyperesthesia. Tingkat kesadaran pasien dapat normal, somnolen, stupor, atau tidak berespon. Demam sering tinggi dan bertahan lama. Kaku kuduk dan nyeri muncul ketika dokter mencoba untuk menekuk leher pasien dan ini pertanda untuk dilakukannya tes neurologik (Harker, 2003).


(47)

Meningitis dapat terjadi sebagai komplikasi dari OMA maupun OMSK, serta dapat terlokalisasi, atau general. Walau secara klinik bentuk kedua ini mirip, pada pemeriksaan likuor serebrospinal terdapat bakteri pada bentuk yang umum (general), sedangkan pada bentuk yang terlokalisasi tidak ditemukan bakteri. Biasanya kadar gula menurun dan kadar protein meninggi di likuor serebsopinal (Helmi, 2007)

Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis otitis ini adalah Haemophilus influeza dan Streptococcus pneumoniae (Gross, 2010). Pengobatan meningitis otogenik ialah dengan mengobati meningitisnya terlebih dahulu dengan antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi di telinganya ditanggulangi dengan operasi mastoidektomi (Helmi, 2007).

3. Empiema Subdural (Abses Subdural)

Empiema subdural jarang terjadi sebagai perluasan langsung dari abses ekstradural biasanya merupakan perluasan tromboflebitis melalui pembuluh darah vena. Gejalanya dapat berupa demam, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran sampai koma pada pasien OMSK. Gejala kelainan susunan saraf pusat bisa berupa kejang, hemiplegia, dan pada pemeriksaan terdapat Kernig positif ( Helmi, 2007).

Empiema subdural merupakan infeksi purulen fulminan yang berkembang diantara duramater dan pia-arachnoid. Ini merupakan salah satu kegawatdaruratan dalam neurosurgikal. Ketika infeksi sudah mencapai subdural, pus terbentuk dan secara cepat menyebar. Lapisan pus di subdural yang tipis dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, focal sign, dan kejang (Harker,2003).

Secara klinis, pasien akan memberi tanda dan gejala sakit kepala yang hebat, suhu tubuh akan meningkat secara dramatis sebagai tanda penyakit sedang berlangsung. Malaise, menggigil dan kaku kuduk mengindikasikan bahwa pasien mengalami kegawatdaruratan, setelah beberapa saat tingkat kesadaran pasien akan menurun dan gejala lain akan muncul. Kebanyakan pasien yang pusnya terkumpul di sisi kiri otak dapat menimbulkan afasia dan hemiparesis kontralateral yang progresif dan terdapat deviasi mata ke arah sisi lesi otak. Keseluruhan gejala klinis abses


(48)

subdural akan berkembang secara sedikit demi sedikit dalam beberapa jam dan paling lama 10 hari (Harker, 2003)

Pungsi lumbal perlu untuk membedakan empiema subdural dengan meningitis. Pada empiema subdural pada pemeriksaan likuor serebrospinal kadar protein biasanya normal dan tidak ditemukan bakteri, sedangkan pada abses ekstradural nanah keluar pada waktu operasi mastoidektomi, pada empiema subdural nanah harus dikeluarkan secara bedah saraf sebelum dilakukan operasi mastoidektomi (Helmi, 2007).

4. Tromboflebitis Sinus Lateralis

Tromboflebitis sinus lateralis ini didefinisikan sebagai munculnya trombosis vena dan supurasi di kavitas intrakrnial (Gross, 2010). Invasi infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati tulang mastoid akan menyebabkan terjadinya trombosis sinus lateralis. Komplikasi ini sering ditemukan pada saat zaman pra-antibiotik, tetapi kini sudah jarang terjadi (Helmi, 2007).

Jaringan yang nekrosis tersebut akan menjalar ke tunika intima dan menyebabkan fibrin, sel darah dan platelet tertarik ke jaringan nekrosis tersebut sehingga terbentuk trombus. Trombus tersebut dapat terinfeksi, membesar dan menutup aliran darah menuju sinus (Harker,2003).

Demam yang tidak dapat diterangkan penyebabnya merupakan tanda pertama dari infeksi pembuluh darah. Pada mulanya suhu tubuh turun naik, tetapi pada saat sudah memberatnya penyakit, maka didapatkan suhu tubuh yang naik dan turun dengan sangat curam disertai dengan menggigil. Hal ini menandakan adanya sepsis (Helmi, 2007).

Rasa nyeri biasanya tidak jelas kecuali apabila sudah ada abses perisinus. Kultur darah biasanya akan positif, terutama bila diambil pada saat demam. Pengobatan harus dilakukan secara pembedahan, membuang sumber infeksi di sel-sel mastoid, membuang tulang yang berbatasan dengan sinus (sinus plate) yang nekrotik, atau membuang dinding sinus yang terinfeksi atau nekrotik. Jika sudah terbentuk trombus harus juga dilakukan drainase sinus dan mengeluarkan trombus. Sebelum itu


(49)

dilakukan dulu ligasi vena jugulare interna untuk mencegah trombus terlepas ke paru dan ke dalam tubuh lain (Helmi, 2007).

5. Hidrosefalus Otitis

Hidrosefalus otitis ditandai dengan peninggian tekanan likuor serebrospinal yang hebat tanpa adanya kelainan kimiawi dari likuor itu. Pada pemeriksaan terdapat edema papil. Keadaan ini dapat menyertai otitis media akut atau kronik (Helmi, 2007).

Hidrosefalus otitis ini merupakan komplikasi yang terjarang dari OMSK, patofisiologinya masih belum dapat dijelaskan dengan baik, tetapi Sachs dan Joynt menyatakan bahwa hidrosefalus ini dikarenakan adanya edema otak, sedangkan Werd dan Flexner menyatakan karena adanya kerusakan pembuluh darah vena sehingga terjadi gangguan sirkulasi dari LCS, sehingga tekanan intrakranial meningkat (Gross, 2010).

Gejala berupa nyeri kepala yang menetap, diplopia, pandangan yang kabur, mual dan muntah. Kedaan ini diperkirakan disebabkan oleh tertekannya sinus lateralis yang mengakibatkan kegagalan absorbsi likuor serebrospinal oleh lapisan arkhnoid (Helmi, 2007).


(50)

(51)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Menurut Djaafar (2007), Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah inflamasi di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul, sekret dapat berupa encer atau kental, bening atau berupa nanah. Dikatakan OMSK apabila proses tersebut sudah lebih dari 2 bulan. Sedangkan menurut Verhoeff (2006) OMSK adalah stage kronik dari penyakit infeksi telinga di middle ear-cleftt (tuba eustachius, kavum telinga tengah dan mastoid) disertai membran timpani yang nonintact dan adanya discharge (otorrhoea).

Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2004 Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) secara klinik didefinisikan sebagai inflamasi kronik telinga tengah dan kavitas mastoid yang ditandai dengan keluarnya cairan dari telinga atau otorrhoea yang terus menerus dan berulang dikarenakan perforasi dari membran timpani. Perjalanan penyakit biasanya dimulai dari perforasi membran timpani yang spontan dikarenakan Otitis Media Akut (OMA). Secara umum pasien yang menderita perforasi membran timpani dan terus menerus mengeluarkan cairan mukoid dari telinganya selama 6 minggu – 3 bulan dapat ditegakkan sebagai OMSK, menurut WHO cukup lebih dari 2 minggu otorrhoea sudah dapat ditegakkan sebagai OMSK, tetapi ahli THT lebih cenderung menegakkan suatu OMSK apabila sudah lebih dari 3 bulan proses infeksi masih berlangsung.

Berdasarkan penelitian WHO tahun 2004, OMSK secara global diderita oleh 65 – 330 juta penduduk di seluruh dunia dan OMSK terbanyak pada daerah Asia Tenggara (India 7,8%, Korea 3,3%), Afrika (Tanzania 14%, Kenya 2,5-4,2%, Angola 3,4%) , dan Pasifik Barat (Filipina 3,2% China 4%) . OMSK tidak begitu sering ditemukan di Amerika (Amerika-Brazil 1,2%), Eropa (United Kingdom 0,6 – 1,5%), dan Timur tengah (Israel 0,3-0,95%). Tinggi atau rendahnya prevalensi tersebut


(52)

dikategorikan oleh WHO, apabila lebih dari 4% (>4%) maka tempat tesebut

dikategorikan ―sangat tinggi‖, 2-4% dikategorikan ―tinggi‖, 1-2% dikategorikan

―rendah‖ dan sangat rendah apabila dibawah 1% (<1%).

Menurut Edward (2011), OMSK dapat terjadi karena infeksi akut telinga tengah gagal mengalami penyembuhan sempurna. Menurut Djaafar (2007), OMSK dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu OMSK tipe aman (tipe benigna) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang atau maligna). Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) tipe aman sangat jarang menimbulkan komplikasi dan tidak ditemui kolesteatom, berbeda dari OMSK tipe aman, OMSK tipe maligna dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan selalu terdapat kolesteatom.

Komplikasi tersering dari OMSK adalah komplikasi intratemporal dimana mastoiditis akut, facial nerve paralysis, labirinitis akut, dan petrositis termasuk ke dalam komplikasi intratemporal. Apabila komplikasi tersebut tidak ditatalaksana dengan segera maka akan dapat meyebar ke atas tulang temporal menjadi abses subperiosteal atau komplikasi intrakranial. Meningitis akut, abses epidural, subdural empyema, dan abses otak adalah komplikasi intrakranial yang bisa terjadi karena OMSK (Gross,2010). Gross (2010) juga mengkategorikan abses subperiosteal sebagai komplikasi ekstratemporal, tetapi beberapa literatur lain mengkategorikan komplikasi OMSK ke dalam komplikasi intratemporal atau ekstrakranial dan intrakranial saja.

Dubey (2009) menyatakan dalam penelitiannya tentang komplikasi OMSK yang dilakukan di rumah sakit Port Moresby (Papua,New Geunia) terdapat 70 kasus OMSK maligna, 47 orang (67%) mengalami komplikasi tunggal, yaitu 8 orang (11%) komplikasi intrakranial dan 39 orang (56%) dengan komplikasi ekstrakranial. 23 orang (33%) menderita dua komplikasi sekaligus. Pada komplikasi intrakranial yang tersering adalah meningitis (19%), trombosis sinus lateral (14%) dan abses sereberal (9%). Diantara komplikasi ekstrakranial yang tersering yaitu, abses mastoid (37%), fistula post-aurikular (24%) dan facial palsy (14%) dan angka mortallitas pada penelitian ini 13%.


(53)

Pallegrini (2012) dalam penelitiannya tentang gambaran komplikasi Otitis Media di Argentia selama 2 tahun yaitu Januari 2008 – Desember 2009 dengan jumlah sampel 17 orang yang menderita OMSK tipe bahaya dengan komplikasi. Komplikasi intratemporal yang ditegakkan adalah mastoiditis akut 9 orang (52,9%), labirinitis 7 orang (41,2%) dan facial nerve palsy 1 orang (5,9%), sehingga komplikasi tersering pada intratemporal adalah mastoiditis akut. Kemudian untuk komplikasi intrakranial sebanyak 17,6% dan yang tersering dari komplikasi intrakranial tersebut adalah trombosis sinus sigmoid dan meningitis.

Maranhão (2013) melakukan penelitian tentang angka kejadian komplikasi intratemporal di Brazil terhadap 1.816 pasien Otitis Media, dimana 592 orang (33%) menderita yang kronik, 1224 orang (67%) menderita yang akut. Kemudian 19 orang menderita komplikasi intratemporal, 7 orang (36,8%) pasien didiagnosa dengan fistula labirintin, 5 orang (26,3%) dengan mastoiditis, 4 orang (21,1%) dengan facial palsy dan 3 orang (15,8%) dengan labirinitis.

Menurut Bashiruddin (2010) prevalensi OMSK secara general di Indonesia adalah 3,0%. Angka kejadian OMSK di Indonesia pada tahun 2002 menurut Aboet (2007) adalah 3,8%. Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran (2013) prevalensi OMSK pada tahun 1996 adalah sebesar 3% atau sekitar 6,6 juta jiwa dari penduduk Indonesia, sedangkan berdasarkan penelitian kesehatan dari tim Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran Departemen Kesehatan, prevalensi OMSK di Indonesia dari tahun 1993 – 1996 adalah 3,1-5,2%.

Sedangkan untuk data di Sumatera Utara, telah dilakukan penelitian oleh Nora (2011) mengenai gambaran OMSK di RSUP H.Adam Malik pada tahun 2008 yang didapatkan jumlah penderita OMSK sebanyak 208 orang sepanjang periode Januari 2008 – Desember 2008. Aboet (2007) menyatakan prevalensi OMSK dari poliklinik THT di RSUP H. Adam Malik adalah sebanyak 26% dari keseluruhan kunjungan sepanjang tahun 2006.


(54)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dan belum adanya data penelitian mengenai prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi di RSUP H.Adam Malik. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi di RSUP H. Adam Malik periode 2011-2013.

1.2 .Rumusan Masalah

Berapa prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi di RSUP H.Adam Malik periode 2011 -2013 ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi di RSUP H. Adam Malik periode 2011 sampai dengan 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi komplikasi intratemporal dari OMSK tipe bahaya pada tahun 2011 sampai dengan 2013.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi komplikasi ekstratemporal dari OMSK tipe bahaya pada tahun 2011 sampai dengan 2013.

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi komplikasi intrakranial dari OMSK tipe bahaya pada tahun 2011 sampai dengan 2013.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Institusi Pendidikan (ilmu pengetahuan) :

- Untuk menambah ilmu pengetahuan terutama dalam hal komplikasi OMSK, baik bagi penulis maupun pembaca.


(55)

- Hasil dapat digunakan sebagai database mengenai prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi di RSUP H.Adam Malik.

1.4.3. Peneliti :

- Untuk menambah pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian. - Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi penelitian

berikutnya tentang OMSK tipe bahaya dengan komplikasi baik di Indonesia dan negara lain.


(1)

vi

ABSTRACT

Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is still becoming one of big burden for developing country because it’s complication is hazardous . CSOM is classified into two types, that is dangerous (unsafe) type CSOM and safe type CSOM. Dangerous type CSOM is having complication frequently, they are intratemporal complication, extratemporal complication and intracranial complication. This study aimed to find the prevalence of dangerous type CSOM with complication in H. Adam Malik General Hospital on 2011 – 2013.

This is an observational descriptive study with cross sectional study method. The univariat analysis is used by this study to find prevalence of dangerous type of CSOM and to find frequency distributive for each type of CSOM complication. Data retrieved by observing the dangerous type CSOM patient’s medical record. This study is executed on September until November 2014 and the sampling method used was total population sampling.

There are 39 cases dangerous type CSOM with complication out of 53 total cases for dangerous type CSOM, the prevalence of dangerous type CSOM with complication in H. Adam Malik General Hospital on 2011 – 2013 is 73,5%. The frequency distributive for intratemporal, extratemporal and intracranial complication are 100%, 2,6% and 10,2% consecutively.

This study has found the dangerous type CSOM patients whose having multiple complication. The most common complication is intratemporal complication, which is mastoiditis, following by intracranial complication, which the most common in intracranial compliaction is meningitis, and the rarest complication found among the other type CSOM complication is extratemporal complication, which is subperiosteal/Bezold abcess.


(2)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1. Segi Pendidikan (Ilmu Pengetahuan) ... 5

1.4.2. Segi Pelayanan Kesehatan ... 5

1.4.3. Segi Peneliti ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Anatomi Telinga Tengah ... 5

2.2. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ... 10

2.2.1. Definisi ... 10

2.2.2. Epidemiologi ... 10

2.2.3. Etiologi ... 12

2.2.4. Patogenesis ... 13

2.2.5. Klasifikasi ... 14

2.2.6. Gejala Klinis ... 16

2.2.7. Diagnosis ... 17

2.3. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik tipe Bahaya ... 18

2.3.1. Penyebaran Penyakit ... 18

2.3.2. Klasifikasi Komplikasi OMSK ... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 30

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 30


(3)

viii

4.3.2. Sampel Penelitian ... 34

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 34

4.4.1. Data Sekunder ... 34

4.4.2. Instrumen Penelitian ... 34

4.5. Metode Analisis Data ... 34

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 36

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 36

5.1.2.Karakteristik Sampel Penelitian ... 36

5.1.3.Deskripsi Komplikasi OMSK Tipe Bahaya ... 37

5.2. Pembahasan ... 40

5.2.1. Prevalensi OMSK Tipe Bahaya ... 40

5.2.2. Distribusi Frekuensi Komplikasi OMSK Tipe Bahaya ... 41

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN


(4)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 2.2 2.3 2.4

2.5

3.1

Gambaran antomi telinga secara umum Tulang temporal kanan, gambaran lateral Skema pembagian Otitis Media

Gambaran otoskopi pada penderita OMSK tipe bahaya yang mengalami perforasi di daerah attic dan juga ditemukan kolesteatoma.

Gambaran pada penderita OMSK tipe bahaya yang sudah lanjut, adanya fistula post-aurikular.

Kerangka konsep prevalensi OMSK tipe bahaya dengan komplikasi

6 10 14 17

17

30


(5)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Klasifikasi negara berdasarkan prevalensi OMSK 11 2.2 Perbandingan antara OMSK tipe aman dan OMSK tipe

bahaya

15

5.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pasien OMSK tipe Bahaya dengan komplikasi

36 5.2. Distribusi Frekuensi berdasar jumlah Jenis Komplikasi 37 5.3. Distribusi Frekuensi Jenis Komplikasi OMSK Tipe Bahaya 38 5.4. Distribusi Frekuensi Komplikasi Intratemporal 38 5.5. Distribusi Frekuensi Komplikasi Intrakranial 39


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Data Induk Penelitian Lampiran 3 Hasil Output Data Penelitian Lampiran 4 Surat Persetujuan Komisi Etik Lampiran 5 Surat Izin Penelitian