Gambaran kadar glukosa pada jaringan keloid

(1)

GAMBARAN KADAR GLUKOSA PADA JARINGAN KELOID

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Zulfahmi Siregar

NIM :1111103000024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan pada Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, serta umatnya.

Alhamdulillah penelitian penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Banyak sekali bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen Program Studi Pendidikan Dokter yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Endah Wulandari, S.Si, M.Biomed dan dr.Ahmad Azwar Habibi,

M.Biomed selaku dosen pembimbing penelitian saya, yang selalu membimbing dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

4. dr. Achmad Zaki, M.Epid, SpOT dan bapak Chris Adhiyanto, M.Biomed, PhD selaku dosen penguji sidang penelitian saya.

5. Kedua orang tua saya yang tercinta, ayahanda Mahfuz Siregar dan Ibunda Sam’idah Nasution yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang, memberikan doa, nasihat, serta semangat dalam hidup saya.


(6)

vi

6. Adik saya, Resky Yuniarty Siregar, Nurul Nanda Fadhilah Siregar, dan Fahrurrozi siregar yang menjadi penyemangat hidup saya dan banyak membantu saya dalam penelitian ini.

7. Saudara saya Sutan Rijal Hakim Nasution, kak Wina Situmorang, Sukma mardiyah yang telah mengajari dan menyemangati saya dalam penelitian ini.

8. Anisah Mona Yunita Situmorang yang selalu memotivasi, memarahi dan menyemangati saya dalam penelitian ini.

9. Untuk teman seperjuangan penelitian saya, Reiza olivia yang selalu membantu saya dalam penelitian ini.

10.Seluruh mahasiswa PSPD 2011 dan semua teman serta sahabat saya

11.Laboran yang terlibat Ibu Ai, yang sangat membantu berlangsungnya penelitian ini.

Saya sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penelitian ini agar dapat terus dilanjutkan kepada adik-adik di angkatan selanjutnya. Karena Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan.

Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Jakarta, 12 September 2014


(7)

vii

ABSTRAK

Zulfahmi Siregar. Program Studi Pendidikan Dokter. Gambaran Kadar Glukosa Pada Jaringan Keloid. 2014.

Di negara berkembang, 100 juta pasien dengan keluhan timbulnya jaringan keloid di mana 55 juta diantaranya timbul setelah pembedahan dan 25 juta kasus lainnya merupakan hasil akibat trauma. Keloid dapat menimbulkan dampak psikologis negatif pada penderita. Dalam penelitian ini untuk mengetahui kadar glukosa sebagai sumber penghasil energi pada jaringan keloid dengan jaringan preputium sebagai kontrol. Sampel pada penelitian ini sebanyak 20 orang yang terdiri dari 10 orang kelompok kontrol dan 10 orang kelompok kasus yaitu sampel jaringan keloid dan preputium. sampel yang digunakan kemudian dihomogenisasi menggunakan pelumat jaringan Potter-Elvehjehm menggunakan microspestle menjadi supernatan, setelah itu diukur aktivitas glukosa pada kedua supernatan jaringan tersebut. Jenis penelitian berupa deskriptif sehingga Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara kuantitatif dengan desain studi

cross sectional. Untuk mengetahui gambaran glukosa pada jaringan keloid. Uji statistik yang digunakan adalah Uji T-test independent dengan menggunakan program SPSS versi 16.0. Dari data didapatkan rerata kelompok kasus 9.493, sedangkan pada kelompok kontrol 17.965. Setelah dilakukan uji statistik dengan metode T-Test Independent didapatkan perbedaan antar kelompok penelitian yang bermakna (p value < 0.05). Pada penelitian didapatkan peningkatan kadar glukosa pada jaringan keloid. Hal ini menunjukkan glukosa berperan saat terjadi pemecahan dari glukosa menjadi asam laktat pada jaringan keloid untuk memenuhi pasokan energi pada pembentukan jaringan keloid. Kata kunci: Jaringan keloid, jaringan preputium, glukosa

ABSTRACT

Zulfahmi Siregar. Medical Education Study Program.Description Glucose Levels in tissue a Keloids. 2014

In developing countries, 100 million patients with complaints the emergence of a keloid in which 55 million of them arise after surgery and 25 million other cases is the result of resulting from trauma. A keloid can show a psychological impact negative on the patient. In this research to know the glucose levels as a source of energy supply in the tissues a keloid with a network of preputium as control. A sample in this research as many as 20 people consisting of 10 people the control group and 10 others group cases namely a sample of tissue a keloid and preputium.sampel used then been homogenized by using tissue potter-elvehjehm using microspestle be supernatant, after is measured the activity of glucose on both supernatant the network. The kind of research in the form of descriptive so as to an approach that is done is the approach in a quantitative manner with a design the study of cross sectional. To know the picture of glucose in the tissues a keloid. The statistics that we use is test t-test independent with using program spss 16.0 version. From the data obtained rerata group cases 9.493, while in the control group 17.965. After test the statistics with the methods t-test independent obtained the difference between a group of research meaning ( p value & it; 0.05 ). In the research found elevated levels of glucose in the tissues a keloid. It shows that the glucose role when the next breakthrough from glucose into lactic acid on a keloid to meet the energy supply in tissue formation a keloid.


(8)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... LEMBAR PERSETUJUAN ... LEMBAR PENGESAHAN ... KATA PENGANTAR ... ABSTRAK ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Hipotesis ... 1.4 Tujuan Penelitian ... 1.5 Manfaat Penelitian ... 1.5.1 Bagi Peneliti ... 1.5.2 Bagi Institusi ... 1.5.3 Bagi Masyarakat ...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glukosa... 2.2 Glikolisis... 2.3 Fisiologi Penyembuhan Luka

2.3.1 Fase Inflamasi 2.3.2 Fase Proliferasi

2.3.3 Fase Remodeling... 2.4 Keloid

2.4.1 Pengertian Keloid... 2.4.2 Epidemiologi... 2.4.3 Etiologi Keloid... 2.4.4 Patogenesis dan Patofisiolog Keloid... 2.4.5 Sifat dan Karesteristik

Keloid...

2.4.6 Perkembangan Terapi... 2.4.7 Aktivitas Metabolisme Keloid... 2.4.8 Peningkatan Penggunaan Glukosa pada Keloid... 2.5 Kerangka Teori... 2.6 Kerangka Konsep... 2.7 Defenisi Operasional...

ii iii iv v vii viii x xi xii 1 3 3 3 4 4 4 4 5 6 9 9 10 10 10 10 11 12 12 13 14 14 15 16 17 17


(9)

ix

BAB 3 METODE PENELITIAN

1.1 Jenis dan Desain Penelitian... 1.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 1.3 Sampel Penelitian ... 1.4 Alat dan Bahan penelitian ... 1.4.1 Alat Penelitian ... 1.4.2 Bahan Penelitian ... 1.5 Cara Kerja Penelitian ...

3.5.1 Pengambilan Sampel... 3.5.2 Pembuatan Homogenat... 3.5.3 Pengukuran Kadar Glukosa... 3.5.4 Alur Penelitian... 1.6 Pengolahan Data dan Analisis Data...

3.6.1 Analisis Data...

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karasteristik Sampel ... 4.2 Pengukuran Kadar Glukosa... 4.2.1 Pengukuran Standar Glukosa... 4.2.2 Pengukuran Glukosa Sampel...

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 5.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ...

18 18 18 19 19 19 19 20 20 20 20 21 21 21 21 21 24 25 25 26 28


(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Jaringan Keloid dan Jaringan hipertrofi ... Tabel 4.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Sampel Jaringan... Tabel 4.2 Perbedaan Rerata Kadar Glukosa Antara Jaringan Keloid dan Preputium ... Tabel 4.3 Uji Normalitas... Tabel 4.4 Hasil Uji T-Test Independent Antara Jaringan Keloid dan

Preputium...

13 22

24 24

25


(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Glikolisis Awal Glikolisis... Gambar 2.2 Alur Glikolisis ………... Gambar 2.3 Gambaran Keloid ... Gambar 4.1 Grafik Standar Glukosa... Gambar 4.2 Grafik Perhitungan Kadar Glukosa... Gambar 6.1 Surat Kode Etik... Gambar 6.2 Jaringan Preputium dan Jaringan Keloid... Gambar 6.3 Jaringan Preputium yang Ke-5... Gambar 6.4 Jaringan Sampel... Gambar 6.5 Reagen Glukosa ……... Gambar 6.6 Glukosa Standar ... Gambar 6.7 Sampel yang Akan Diukur ... Gambar 6.8 Pengabilan Glukosa Reagen R1 ………... Gambar 6.9 Memasukkan Reagen ke Tabung Reaksi ... Gambar 6.10 Pengambilan Sampel ... Gambar 6.11 Alat Sfektofotometer...

7 8 11 23 23 29 31 31 31 31 31 31 32 32 32 32


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lolos Etik Pengambilan Jaringan Keloid dan Preputium... Lampiran 2 Hasil Uji Statistik ... Lampiran 3 Gambaran Proses Penelitian... Lampiran 4 Riwayat Penulis...

28 29 31 33


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Keloid merupakan salah satu gangguan pada kulit yang muncul karena adanya pembentukan jaringan parut yang timbul sebagai akibat dari proses penyembuhan luka abnormal.1 Jaringan parut abnormal ini terbentuk terutama akibat dari sinstesis dan degradasi kolagen yang tidak seimbang pada kulit yang sebelumnya mengalami trauma atau mengalami luka.2 Keloid bersifat diturunkan terdapat sekitar 5-15% terjadinya luka, pada akhir proses pemulihan akan terbentuk suatu jaringan parut yang nantinya akan berkembang menjadi keloid. Insidensi timbulnya keloid terbanyak terjadi pada usia 10-30 tahun. Setiap tahunnya di negara berkembang, terdapat 100 juta pasien dengan keluhan timbul jaringan keloid dimana 55 juta diantaranya merupakan terjadi setelah pembedahan dan 25 juta kasus lainnya merupakan hasil akibat trauma.3,4,5

Kecenderungan keloid lebih sering terjadi pada individu yang berkulit hitam, angka kejadian keloid berkisar antara 4,5-16% telah dilaporkan terjadi pada populasi yang didominasi ras kulit hitam dan Hispanik, dan 16% diantaranya terjadi pada ras kulit hitam Afrika dan angka kejadian keloid di Hawai, ditemukan lima kali lebih banyak pada orang-orang keturunan Jepang dan tiga kali lebih banyak pada orang keturunan Cina yang berkulit putih (Polinesia). Dibandingkan penduduk Malaysia dan India, penduduk Cina lebih sering terkena keloid.5 Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian observasional yang dilakukan di RSU dr. Soetomo Surabaya, pada 30 kasus keloid, diperoleh data bahwa 76.67% penderita keloid berusia 10-30 tahun dan terbanyak pada wanita. Dari hasil tersebut diperkirakan bahwa pada rentang usia 10-30 tahun, kasus trauma lebih sering dialami dan laju sintesis kolagen lebih besar pada rentang usia tersebut.1

Keloid yang muncul sebagai manifestasi dari penyembuhan luka yang dianggap sangat mengganggu pada penderita karena secara estetika mengganggu penampilan dan menimbulkan gangguan psikologis pada penderitanya. Upaya penanganan sampai keloid saat ini masih menjadi masalah yang belum ada obat


(14)

2

penyembuhannya, serta tingginya insidensi dan beragamnya variasi respon terhadap terapi pada masing-masing individu.1

Keloid secara estetika, merupakan permasalahan yang sangat serius dimana keberadaannya dinilai sangat mengganggu, terutama apabila terdapat pada wajah dan telinga sehingga menimbulkan ketidakpercayaan penderita terhadap lingkungan sekitarnya. Keloid juga diduga memiliki keterkaitan erat dengan faktor genetik baik secara autosomal dominan maupun resesif. Keloid juga diduga ada kaitan dengan Human Leukocyte Antigen (HLA) faktor B14, B21, BW16, BW35, DR5, DQW3, dan golongan darah B.2 Orang yang memiliki riwayat keluarga dengan keloid tentunya akan memiliki faktor resiko lebih besar terkena keloid paska terkena luka. Oleh sebab itu, orang yang memiliki riwayat keluarga dengan bakat keloid memiliki peluang timbul keloid lebih besar dibanding orang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan keloid. Gejala-gejala keloid yang timbul yaitu, jaringan terus melebar, gatal, dan nyeri jika di sentuh serta timbul perasaan tidak nyaman, walaupun pada sebagian individu bersifat asimptomatik.4 Terapi untuk keloid yang saat ini sudah ada adalah dengan pemberian kortikosteroid melalui injeksi yang berguna untuk mengurangi gejala pruritus atau sensitivitas dari lesi serta mengurangi volume keloid. Namun, terapi keloid ini belum efektif. Terapi keloid lain yang juga telah dilakukan yaitu melalui teknik krioterapi, dimana lesi atau jaringan abnormal dimatikan dengan cara dibekukan dengan nitrogen cair. Tidak jarang pula dilakukan penanganan keloid melalui eksisi dengan pembedahan pada jaringan keloid, namun permasalahan yang muncul adalah lesi yang dieksisi dengan pembedahan lebih cenderung akan kambuh kembali bahkan dapat timbul lesi yang lebih besar dari lesi semula. Tingkat rekurensi terapi tunggal dengan eksisi pada keloid adalah 45-100%. Terapi keloid lainnya adalah dengan pemberian krim silikon dan gel silikon secara topikal, yang bersifat tidak invasif.4

Terjadinya keloid disebabkan karena adanya abnormalitas pada fase fibroblas saat penyembuhan luka, dimana terjadi peningkatan aktivitas fibroblas, peningkatan kolagen tipe III serta miofibroblas. pada pembentukan keloid ini diduga terjadi proliferasi sel sehingga terjadi peningkatan kebutuhan energi (O2) dan dapat menyebabkan hipoksia jaringan sehingga jaringan membutuhkan energi


(15)

3

tambahan yang menyebabkan terjadinya proses glikolisis anaerob sehingga terjadinya pemecahan dari glukosa menjadi asam laktat di sitosol pada jaringan keloid.7 Proses metabolisme pada jaringan bisa berjalan apabila pasokan energi (O2) tersedia dan dapat berlangsung secara aerob dimana asam piruvat dimetabolisme menjadi asetil-KoA, lalu masuk ke siklus asam sitrat untuk dioksidasi menjadi carbon dioksida (CO2), H2O dan sejalan dengan terbentuknya adenosine triphosphate (ATP) melalui proses fasforilasi dengan bantuan laktat dehidrogenasi (LDH). Saat pasokan oksigen di sel jaringan berkurang yang menyebabkan reoksidasi natrium dehidrogenasi (NADH) dengan mereduksi asam piruvat menjadi laktat di mitokondria yang terbentuk saat proses glokolisis terhambat sehingga glikolisis dapat berlanjut kembali.8 Pada pembentukan keloid diduga terjadi peningkatan dari glikolisis yang menghasilkan asam piruvat dan kemudian direduksi menjadi asam laktat. Pada riset ini, peneliti ingin mengetahui kadar glukosa sumber penghasil energi pada jaringan keloid dengan jaringan preputium sebagai kontrol.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran kadar glukosa pada jaringan keloid.

1.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat peningkatan kadar glukosa pada jaringan keloid.

1.4 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran kadar glukosa pada jaringan keloid.


(16)

4

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Mengetahui informasi tentang peran glukosa dalam pembentukan jaringan keloid dalam upaya mencari terapi pengobatan keloid tersebut.

2. Bagi Institusi

Menambah referensi penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan penelitian lebih dalam bagi peneliti yang lain.

3. Masyarakat

Menginformasikan pada masyarakat peran molekul dalam pembentukan keloid, sebagai upaya untuk menemukan pengobatan yang lebih efektif terhadap penyembuhan keloid.


(17)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa

Glukosa sangat penting sebagai penyediaan energi di dalam tubuh, glukosa merupakan pusat dari semua metabolisme. Glukosa merupakan bahan bakar bagi sel tubuh manusia.9 Hal ini disebabkan karena semua jenis karbohidrat baik monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati. Glukosa ini kemudian akan berperan sebagai salah satu molekul utama bagi pembentukan energi di dalam tubuh. Berdasarkan bentuknya, molekul glukosa dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu molekul D-Glukosa dan L-Glukosa. Faktor yang menjadi penentu dari bentuk glukosa ini adalah posisi gugus hidrogen (-H) dan alkohol (–OH) dalam struktur molekulnya.10

Di dalam tubuh manusia glukosa yang telah diserap oleh usus halus kemudian akan terdistribusi ke dalam semua sel tubuh melalui aliran darah. Di dalam tubuh, glukosa tidak hanya dapat tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot & hati namun juga dapat tersimpan pada plasma darah dalam bentuk glukosa darah (blood glucose).10

Di dalam tubuh selain akan berperan sebagai bahan bakar bagi proses metabolisme, glukosa juga akan berperan sebagai sumber energi utama bagi kerja otak. Melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, glukosa kemudian akan digunakan untuk mensintesis molekul ATP yang merupakan molukel molekul dasar penghasil energi di dalam tubuh. Dalam konsumsi keseharian, glukosa akan menyediakan hampir 50-75% dari total kebutuhan energi tubuh. Untuk dapat menghasilkan energi, proses metabolisme glukosa akan berlangsung melalui dua mekanisme utama yaitu melalui proses anaerobik dan proses aerobik. Proses metabolisme secara anaerobik akan berlangsung di dalam sitoplasma sedangkan proses metabolisme anaerobik akan berjalan dengan mengunakan enzim sebagai katalis di dalam mitokondria dengan kehadiran Oksigen (O2 ).10


(18)

6

2.2 Glikolisis

Glikolisis diawali dengan reaksi pembentukan senyawa glukosa 6-fosfat dari glukosa. Reaksi tersebut merupakan reaksi yang membutuhkan energi yang diambil dari pemutusan ikatan fosfat dari ATP. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim heksokinase atau glukokinase. Heksokinase dapat ditemukan dalam semua sel organisme. Enzim ini memiliki spesifitas katalitik yang rendah. Hampir semua monosakarida dapat difosforilasi. Aktivitasnya dapat dihambat oleh produknya, yaitu glukosa-6-fosfat. Glukokinase diitemukan di lever dan memiliki spesifitas katalitik yang tinggi dan tidak dapat dihambat oleh glukosa-6-fosfat. Enzim ini aktif bila kadar glukosa tinggi di dalam darah. Tahap selanjutnya adalah Isomerisasi glukosa 6-fosfat, yaitu reaksi pembentukan isomer fruktosa 6-fosfat dari glukosa 6-fosfat. Reaksi ini dikatalisis oleh fosfoglukoisomerase. Setelah itu akan masuk ketahap Fosforilasi kedua yaitu reaksi fosforilasi fruktosa-6-fosfat menjadi fruktosa-1,6-bisfosfat oleh enzim fosfofruktokinase, reaksi ini berjalan spontan dan merupakan rate limiting step pada proses glikolisis. Pada reaksi ini dibutuhkan 1 mol ATP dan diregulasi secara ketat. Fosfofruktokinase dapat dihambat oleh ATP. Reaksi pemutusan menjadi 2 triosafosfat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim aldolase dan terjadi pemutusan aldol yang merupakan kebalikan dari reaksi kondensasi aldol membentuk membentuk 2 molekul gliseraldehid 3-fosfat yang selanjutnya mengalami isomerisasi membentuk dihidroksiasetonfosfat. Reaksi isomerisasi ini dikatalisis oleh enzim triosefosfat isomerase. Pada saat isomerisasi triosafosfat ini hanya gliseraldehid-3-fosfat yang akan diteruskan dalam proses glikolisis sehingga dengan adanya reaksi isoerisasi ini memungkinkan proses glikolisis berjalan sempurna. Pada akhir tahap I glikolisis ini menghasilkan 2 molekul gliseraldehid-3-fosfat dan membutuhkan 2 molekul ATP untuk setiap 1 molekul glukosa. Oksidasi gliseraldehid-3-fosfat Reaksi ini dikatalisis oleh enzim gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase dengan NAD+ sebagai koenzimnya. Reaksi oksidasi ini terjadi addisi gugus fosfat dan menghasilkan NADH. Pada tahap ini terbentuk pertama kali senyawa yang mengandung energi tinggi. Transfer fosfat untuk membentuk ATP Senyawa 1,3 bisfosfogliserat merupakan senyawa berenergi tinggi yang selanjutnya gugus


(19)

(20)

8

memiliki ko-faktor Mg2+. Reaksi ini dapat dihambat oleh fluorida. Pembentukan ATP akhir reaksi ini berjalan spontan dan terjadi transfer gugus fosfat dari fosfoenolpirufat ke ADP membentuk ATP. Pelepasan fosfat ion menyebabkan terjadinya ikatan enol yang tidak stabil sehingga akan terkonversi ke bentuk keto dan menjadi piruvat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim piruvat kinase. Enzim ini memerlukan Mg+ sebagai ko-faktor. Piruvat merupakan hasil akhir glikolisis.11

Sepanjang proses glikolisis ini akan terbentuk beberapa senyawa, seperti Glukosa 6-fosfat, Fruktosa 6-fosfat, Fruktosa 1,6-bisfosfat, Dihidroksi aseton fosfat, Gliseraldehid 3-fosfat, 1,3-Bisfosfogliserat, 3-Fosfogliserat, 2-Fosfogliserat, Fosfoenol piruvat dan piruvat. Selain itu, proses glikolisis ini juga akan menghasilkan molekul ATP dan NADH (di mana 1 NADH menghasilkan 3 ATP). Sejumlah 4 molekul ATP dan 2 molekul NADH (6 molekul ATP) akan dihasilkan dan pada tahap awal proses ini memerlukan 2 molekul ATP. Sebagai hasil akhir, 8 molekul ATP akan terbentuk.9

Peningkatan konsentrasi NADH dapat menghambat siklus asam trikarboksilat dan masuknya piruvat serta asam lemak ke dalam siklus tersebut. Akibatnya, piruvat diubah menjadi laktat yang muncul dalam darah dan asam

lemak tertimbun dalam jaringan sebagai trigliserida.9


(21)

9

2.3 Fisiologi Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu perbaikan atau penyusunan kembali jaringan/organ yang rusak, terutama pada kulit. Adanya luka pada kulit organ kulit akan mengaktifkan proses sistemik sebagai respon tubuh terhadap jaringan yang rusak sebagai usaha pengembalian ke kondisi homeostasis sehingga tercapai kestabilan fisiologi jaringan organ. Proses penyembuhan luka sendiri melibatkan komponen seluler dan ekstraseluer sebagai penyusun kembali jaringan yang rusak. Diawali dengan serangkaian proses yaitu koagulasi, inflamasi, proliferasi dan migrasi sel, angiogenesis, sintesis matriks,, remodeling dan kontraksi luka.fase fase dari penyembuhan secara langsung yaitu :12

2.3.1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi adalah adanya respon vaskular dan seluler akibat adanya luka pada jaringan lunak. Tujuannya adalah untuk menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati, dan bakteri untuk dimulainya proses penyembuhan pada luka.13

Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen.14


(22)

10

2.3.2. Fase Proliferasi

Pada fase ini disebut proliferasi karena pada masa ini peran fibroblas banyak. Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen. Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. Pada fase ini mulai terjadinya granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi.15

2.3.3 Fase Remodeling

Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal.16

2.4 Keloid

2.4.1 Pengertian Keloid

Keloid merupakan hasil dari pertumbuhan jaringan kolagen yang berlebihan (proliferasi berlebihan) pada kulit yang membentuk jaringan parut yang terjadi akibat penyembuhan luka yang abnormal. Proses penyembuhan luka pada sel memerlukan ATP sebagai sumber energi. ATP biasanya dihasilkan di mitokondria, namun ATP dalam proses munculnya keloid dihasilkan oleh glikolisis sebagai sumber energi utama. Peningkatan asam laktat dalam jaringan keloid menunjukkan bahwa glikolisis dapat memberikan sumber energi utama.7


(23)

(24)

12

kali lebih sering pada orang-orang keturunan Jepang dan tiga kali lebih sering pada orang keturunan Cina dari orang kulit putih. Dibandingkan penduduk Malaysia dan India, penduduk Cina lebih sering terkena keloid5. Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian observasional yang dilakukan di RSU dr. Soetomo Surabaya, pada 30 kasus keloid, diperoleh data bahwa 76.67% penderita keloid berusia 10-30 tahun dan terbanyak pada wanita. Dari hasil tersebut diperkirakan bahwa pada rentang usia 10-30 tahun, kasus trauma lebih sering dialami dan laju sintesis kolagen lebih besar pada rentang usia tersebut.1

2.4.3 Etiologi Keloid

Etiologi yang jelas pada keloid belum diketahui secara pasti penyebabnya, keloid umumnya muncul setelah terjadinya cedera pada kulit, misalnya bekas luka operasi, laserasi, abrasi pada kulit, cryosurgery, dan elektrokoagulasi serta vaksinasi, jerawat dan lain lain. Keloid juga diduga memiliki disposisi familial yang erat dimana telah dilaporkan faktor genetik keloid dapat terjadi baik secara autosomal dominan maupun resesif dan berkaitan dengan Human Leukocyte Antigen (HLA) faktor B14, B21, BW16, BW35, DR5, DQW3, dan golongan darah B.3,4,5

2.4.4 Patogenesis dan Patofisiologi Keloid

Pemahaman tentang penyembuhan luka secara normal sangat penting untuk memahami mekanisme pembentukan keloid, secara nomal penyembuhan luka ada 3 tahap yaitu: inflamasi, fibroblastik dan maturasi.12

Pembentukan keloid melibatkan ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) oleh sel-sel endotel neovaskular dengan diikuti produksi autokrin TGF-β oleh fibroblast yang berdekatan. Ekspresi gen kolagen tipe I dan VI juga meningkat dalam jaringan keloid. Demikian pula aktivitas kolagenase juga meningkat pada keloid, dimana peningkatan sintesis kolagen ini melampaui jumlah peningkatan katabolisme, akibatnya terjadi peningkatan jaringan ikat yang berlebih. Pada mikroskop cahaya, keloid menyerupai jaringan parut hipertrofik, tetapi perbedaan morfologi dapat dilihat dalam bentuk histologi dan klinis:7


(25)

13

Tabel 2.1. Perbedaan Jaringan Keloid dan Jaringan Hipertrofi 7

2.4.5 Sifat dan Karesteristik Keloid

Keloid dapat muncul secara spontan, tanpa ada riwayat cedera ataupun luka, biasanya pada daerah presternal. Gejala umumnya biasanya asimptomatik, namun dapat juga terasa gatal dan nyeri jika di sentuh. Lesi yang masih awal biasanya kenyal, permukaannya licin, seperti karet dan sering disertai rasa gatal. Sedangkan pada lesi yang lanjut biasanya sudah mengeras, hiperpigmentasi, dan asimptomatik.17

Pada pemeriksaan fisik didapatkan lesi dengan karakteristik mulai dari papul, nodul sampai lesi tuberous besar. Umumnya dapat tampak seperti warna kulit normal, dapat juga merah muda, merah terang bahkan ada juga yang kebiruan. Dapat terjadi linear setelah cedera traumatik atau bedah. Keloid dapat tumbuh menjalar memanjang melebihi garis batas asal luka dan dapat pula membentuk nodular (tumor-like). Pada palpasi dapat teraba jaringan keloid lunak hingga keras, mungkin juga lembut dengan permukaan yang tampak halus.18


(26)

14

Secara histopatologi keloid merupakan peningkatan kolagen dan glikosaminoglikan, tampak susunan jaringan fibrosa yang masih muda dan fibroblas yang tersusun tidak beraturan, eosinofilik dan terdapat pita-pita jaringan kolagen. Gambaran lainnya menunjukkan adanya hialinisasi serabut kolagen yang tersusun melingkar, adanya gambaran sepertiujung lidah di bawah epidermis dan papilar dermis yang tampak norma, gambaran horizontal fibrous band dan fascia like band di dermis retikuler bagian atas.19

2.4.6 Perkembangan Terapi

Selama ini terapi yang diberikan untuk keloid adalah preparat kortikosteroid, yaitu dengan menginjeksikan triamsinolone secara intralesi dengan dosis 10-40 mg/mL setiap bulan. Terapi ini berguna untuk mengurangi gejala pruritus atau sensitivitas dari lesi serta mengurangi volumenya. Terapi ini dinilai cukup efektif untuk hypertrophic scar, tetapi kurang efektif untuk keloid. Oleh karena itu, terapinya dapat dikombinasikan dengan krioterapi dimana lesi aslinya dibekukan dengan nitrogen cair, setelah membeku, lesi menjadi edematous dan lebih mudah untuk diinjeksi.2

Terapi keloid lainnya adalah dengan dieksisi. Namun, lesi yang dieksisi dengan pembedahan lebih sering terjadi kekambuhan bahkan dapat timbul lesi yang lebih besar dari lesi semula. Eksisi yang dilakukan sesegera mungkin setelah radioterapi pasca bedah, mungkin lebih menguntungkan. Terapi lainnya adalah dengan menggunakan krim silikon dan gel silikon secara topikal, dimana keduanya tidak nyeri saat digunakan dan tidak bersifat invasif 7.

2.4.7 Aktivitas Metabolisme Keloid

Keloid merupakan bentuk dari tumor jinak, seperti kebanyakan dari sel tumor, yang diduga memiliki aktivitas metabolisme glukosa yang meningkat dibanding jaringan kulit yang normal pada umumnya. Peningkatan kecepatan metabolisme glukosa yang diamati melalui Positron Emission Tomography (PET) dengan fluorine-18-fluorodeoxyglucose (FDG) yang disuntikkan secara intravena pada 5 pasien dengan keloid, hasilnya dikalkulasi dengan Standardized Uptake Value (SUV= konsentrasi jaringan/aktivitas injeksi per KgBB), maka didapatkan


(27)

15

jaringan keloid memiliki serapan yang lebih besar terhadap FDG bila dibandingkan jaringan sehat disekitarnya dengan SUV jaringan keloid berkisar antara 1.0 hingga 2.74, dengan rata-rata 1.79. Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kecepatan metabolisme glukosa.

2.4.8 Peningkatan Penggunaan Glukosa pada Keloid

Pada penelitian yang dilakukan Vincent (2008) . telah dibuktikan adanya penyerapan lebih banyak dari penggunaan dari glukosa itu sendiri. pada penelitiannnya ini yang berjudul “metabolic parameter involved in keloid scar formation “. Pada penelitian dibandingkankan antara jaringan keloid dan jaringan yang normal dengan melakukan kultur yang terlihat pada hari ke 3 terjadi lebih banyak jaringan keloid mengkonsumsi glukosa yang tercermin dengan penurunan glukosa dalam medium dan juga banyak terakumulasi dari asam laktat dibandingkan dengan jaringan yang normal. 6


(28)

16

2.5 Kerangka Teori

2.6 2.7 Fase remodeling Vasokonstriksi pembuluh darah Produksi kolagen berlebihan Pembentukan bekuan fibrin Pelepasan mediator inflamasi Luka mengecil Luka pada kulit

Proses penyembuhan Fase penyembuhan luka normal Fase proliferasi Fase inflamasi Faktor Risiko Permeabilitas vaskular Antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus spasium vaskular Terjadi reaksi inflamasi (kalor, dolor, rubor, pallor, functio laesa) Permukaan luka tertutup epitel

Epitel basal tepi luka terlepas, bermigrasi

ke dasar luka

Pertautatan tepi luka dan terbentuk

jaringan granulasi

Menghasilkan mukopolisakarida

dan serat kolagen

Terjadi proliferasi dan pembentukan fibroblast dari sel

mesenkim Kekuatan jaringan kembali seperti sebelum luka Fibroblast meninggalkan jaringan granulasi dan digantikan oleh kolagen Luka sembuh Jaringan ikat yang baru di produksi, sel

yang tidak diperlukan di

hancurkan

Internal Eksternal

Usia, genetik, ras,

kebersihan, status

gizi, hipovolemik, faktor lokal edema

Penanganan luka, sosial ekonomi, lingkungan, tradisi Proliferasi jaringan ikat berlebih, hipoksia jaringan Metabolisme jaringan meningkat Glikolisis anaerob Penumpukan asam laktat Keloid Terapi Kolagen yang di produksi > Dihancurk -an Pemecahan glukosa Pemakaian glukosa


(29)

17

2.8 Kerangka Konsep

2.7 Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi

Operasional

Alat Ukur Cara

Pengukuran

Skala penguku ran 1 Kadar Glukosa

jaringan keloid,

preputium dan standar

glukosa

kuantitas atau jumlah glukosa yang terdapat dalam jaringan dan standar

Spektofotometet

(λ=546nm) Sampel jaringan di ukur dengan Kit Glucose Rajawali Nusindo (cat.-no.;112191, ReG.-no,: AKL 20101803460) Numerik Luka

Proses Penyembuhan Luka Abnormal

Produksi Kolagen Berlebih

Keloid

Glikolisi yang Tidak Terkontrol

Pemakaian Glukosa


(30)

18

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif untuk mengetahui peran metabolisme glukosa dalam pembentukan jaringan keloid. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan secara kuantitatif dengan desain studi cross sectional dengan membandingkan kadar glukosa antara kelompok yang tidak memiliki jaringan keloid (kelompok kontrol) dengan kelompok yang memiliki jaringan keloid (kelompok kasus).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2014 – Mei 2014 di Laboratorium biologi dan biokimia Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Kertamukti No.05 Kelurahan Pisangan Barat, Ciputat, Tangerang Selatan.

3.3 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini sebanyak 20 orang yang terdiri dari 10 orang kelompok kontrol dan 10 orang kelompok kasus. Sampel untuk kelompok kasus diperoleh dari biopsi jaringan keloid pada 10 pasien dari beberapa rumah sakit berbeda yaitu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Salemba, Rumah Sakit Jakarta Islamic Hospital Pasar Rebo, Rumah Sakit Sari Asih Pamulang, Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rumah Sakit Prima Medika Bintaro dan Rumah Sakit Hermina Ciputat.

Sedangkan sampel untuk kelompok kontrol diperoleh dari jaringan kulit preputium pada 10 pasien sirkumsisi massal yang diadakan di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Juni 2013. Pengambilan sampel telah disetujui melalui izin komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada penelitian ini, sampel yang diteliti berasal dari sampel yang didapatkan dari pembimbing 1 (Bu Endah Wulandari) dalam bentuk supernatan.


(31)

19

3.4 Alat dan Bahan Penelitian 3.4.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain autoclave, open, spektrofotometer, timbangan analitik, sentrifuge, tabung mikro, mikropipet 2-20µl, mikropipet 20-200µl, mikropipet 100-1000µl, kuvet, tip (putih, biru, dan kuning), tabung reaksi( besar dan kecil) , gelas ukur, bekker glass, glove dan masker.

3.4.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, sampel jaringan keloid dan preputium, pelumat jaringan Potter-Elvehjehm, Kit glucose Rajawali Nusindo (cat : 112191 ) Reagen 1 ( 4x100 ml atau 1000 ml enzyme reagent ), Reagen 2 (1 x 3 ml standard ) dan akuades.

3.5. Cara Kerja Penelitian 3.5.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Banyaknya jumlah sampel jaringan kulit preputium adalah 10 jaringan yang diperoleh dari pasien sirkumsisi massal dan banyaknya jumlah jaringan keloid adalah 10 jaringan yang diperoleh melalui biopsi jaringan keloid.

3.5.2 Pembuatan Homogenat

Jaringan keloid dan preputium yang diperoleh segera disimpan dalam suhu 21oC, pada saat dibuat homognenat langsung ditimbang dalam kondisi segar atau beku sebanyak 50 mg dalam tabung mikro (berukuran 1,5 mL). Kemudian ditambahkan akuades ke dalam tabung pada suhu 15-25oC (menggunakan es) sebanyak 1 mL. Selanjutnya dilakukan homogenisasi dengan menggunakan pelumat jaringan Potter-Elvehjehm menggunakan microspestle. Hasilnya dari homogenat tersebut di sentrifugasi kemudian supernatan diukur kadar glukosa pada kedua jaringan tersebut.


(32)

20

3.5.3 Pengukuran Kadar Glukosa

Pengukuran kadar glukosa dilakukan dengan cara berikut. Sampel 20µL ditambahkan dengan reagen 1 ( Kit glucose Rajawali Nusindo (cat : 112191 ) kemudian diinkubasi selama 10 menit dengan temperature 25°C. Absorban dibaca dengan spektrofotometer ( λ = 546 nm ) kemudian hasil pengukuran absorban dibandingkan dengan kontrol dan antar sesamanya.

3.5.4 Alur Penelitian

3.6. Pengolahan Data dan Analisis Data 3.6.1 Analisis Data

Analisis data secara statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0 secara deskriftif. Setelah dilakukan pengumpulan data maka dilakukan pengolaan data secara komputerisasi dengan Uji T-test independent bila distribusi normal dan dan bila distribusi tidak normal menggunakan uji Mann whiteney.

Jaringan

Keloid Preputium

Uji Kadar Glukosa


(33)

21

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Karasteristik Sampel

Penelitian ini menggunakan dua kelompok uji, yaitu kelompok jaringan keloid dan jaringan preputium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan penggunaan kadar glukosa.

Sampel jaringan keloid diperoleh dari biopsi jaringan keloid pada 10 pasien dari beberapa rumah sakit berbeda, antara lain RS Cipto Mangunkusumo Salemba, RS Jakarta Islamic Hospital Pasar Rebo, RS Sari Asih Pamulang, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, RS Prima Medika Bintaro, dan RS Hermina Ciputat, sedangkan jaringan kulit preputium diperoleh dari 10 pasien sirkumsisi massal yang diadakan di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Juni 2013, tetapi sampel yang digunakan peneliti sudah dalam bentuk homogenat.

Tabel 4.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Sampel Jaringan

4.2.Pengukuran Kadar Glukosa 4.2.1. Pengukuran Standar Glukosa

Pengukuran standar glukosa ini untuk menentukan standar awal atau batas awal dari glukosa, untuk mempermudah peneliti menentukan hasil dari penelitian dari glukosa pada jaringan keloid dan pada jaringan preputium. Sebelum dilakukan penilaian kadar glukosa pada jaringan keloid maka harus diketahui standar glukosa, maka berdasarkan grafik diatas maka standar glukosa adalah

Jenis Sampel Jaringan Jumlah

Keloid 10

Preputium 10


(34)

22

y=319.78x – 41.514 yang dimana x pada rumusan tersebut adalah hasil perhitungan kadar glukosa pada jaringan preputium dan jaringan kontrol.

Gambar 4.1 : Grafik Standar Glukosa

4.2.2. Pengukuran Glukosa Sampel

Pengukuran kadar glukosa jaringan keloid dan kadar glukosa jaringan preputium didapatkan setelah diambil dari rerata hasil dari penghitungan menggunakan alat spektofotometer maka didapatkan hasil yang tertera pada diagram dibawah ini :


(35)

23

Gambar 4.2 : Grafik Penghitungan Kadar Glukosa Jaringan Kontrol Preputium dan Jaringan Keloid Dalam Satuan (mg/dL)

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan bahwa kadar glukosa pada jaringan keloid (sample 1- 10) lebih kecil dibandingkan dengan kadar jaringan preputium (Kontrol: K) dengan data diatas pada jaringan keloid kadar glukosa tertinggi adalah 17.645 mg/dL < dibandingkan dengan kadar glukosa pada preputium 17.966 mg/dL.


(36)

24

Tabel 4.2 : Perbedaan Rerata Kadar Glukosa Antara Jaringan Keloid dan Preputium

Penelitian ini untuk mengetahui berapa besar perbedaan kadar glukosa antara jaringan keloid dan preputium pada dua kelompok sampel, maka dari itu dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji kompratif dua kelompok tidak berpasangan (uji t independent ). Jika p> 0.05, maka Ho ditolak. Uji ini memiliki ketentuan yaitu distribusii data harus normal, maka dilakukan uji normalitas terlebih dahulu (saphiro- wilk).

Tabel 4.3 Uji Normalitas

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui p value kadar glukosa sebesar 0.879 pada taraf signifikansi 0.05 maka p value > α maka sebaran data dalam penelitian ini teruji kenormalannya. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji t independent pada tabel 4.4 pada taraf signifikansi 0.05 didapatkan p value < 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar glukosa jaringan keloid dan jaringan preputium.

Dari tabel 4.4 diketahui p value untuk uji hipotesis menggunakan uji t independent sebesar 0.01, yang berarti p value < 0.05. hasil analisis statistik

NO Nama Variabel n Kadar Glukosa (mg/dL)

Rerata (SB) 1 Jaringan Keloid 10 9.493 ± 5.955

2 Kontrol 10 17.965 ± 7.101

No Nama Variabel Nilai p Normalitas Distribusi


(37)

25

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rerata kadar glukosa jaringan keloid dengan jaringan preputium sehingga hipotesis nol ditolak.

Tabel. 4.4 Hasil Uji T- Test Independent Antara Jaringan Keloid Dengan

Preputium

Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk membandingkan adanya perbedaan kadar glukosa antara jaringan keloid dengan jaringan preputium yang hasilkan menunjukkan terdapat perbedaan kadar glukosa di jaringan keloid daripada jaringan preputium, dimana pada jaringan keloid menunjukkan terjadi peningkatan pemakaian glukosa sehingga pada penelitian ini ditemukan kadar glukosa pada jaringan keloid lebih sedikit dibandingkan pada jaringan preputium ( normal ). Ini menunjukkan hal-hal yang sama dengan sel-sel tumor dikarenakan disaat sel sel terkena hipoksia pada jaringan menyebabkan terjadi peningkatan pemakaian glukosa dan produksi dari asam laktat.7 Pada penelitian yang dilakukan Vincent (2008) pada kultur kulit manusia menunjukkan bioenergetik yang mirip dengan sel-sel kanker dalam menghasilkan ATP terutama pada glikolisis dalam peningkatan asam laktat. aktivitas heksokinase glyceraldehyde-3 phophate dehydrogenase, dan laktat dehydrogenase lebih tinggi dibandingkan pada jaringan normal fibroblas. Inhibitor glikolisis menurunkan tingkat biosintesis ATP lainnya yang menunjukkan signifikansi di jaringan keloid dan ketergantungan mereka pada. penghasilan ATP pada jaringan normal dapat diperoleh terutama dari fosforilasi oksidatif yang lebih dikompromikan oleh mitokondria.7

Pengukuran U/L

n Rerata ±SB Perbedaan

Rerata

IK 95% P Value

Jaringan keloid

10 9.493 ± 5.955 8.47 2.314-14.429 0.01


(38)

(39)

25

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Pada penelitian didapatkan peningkatan konsumsi kadar glukosa pada jaringan keloid. Hal ini menunjukkan terjadi pemecahan dari glukosa menjadi asam laktat pada jaringan keloid untuk memenuhi pasokan energi pada pembentukan jaringan keloid.

5.2.Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penekanan glikolisis keloid, sehingga suplai energi dapat ditekan dan terjadi regenerasi atau penurunan jaringan keloid.


(40)

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Pratiwi KD, Perdanakusuma D.. Hubungan antara Golongan Darah dengan Timbulnya Keloid Pasca Luka. Airlangga University Press. Surabaya. 2009:1-8.

2. Robles, D.T, Berg, D. Abnormal Wound Healing: Keloids. Clinics in Dermatology.

25:26-32

3. Van De Water, Thomas R and Hinrich Staecker.. Otolaryngology: Basic Science and Clinical Review. New York: Thieme Medical Publisher’s Inc. 2006.(p.20)

4. Wolff, Klaus., Richard Allen Johnson, and Dick Suurmond. Fitzpatrick’s:

Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th Edition. Massachusetts: The McGraw-Hill Companies. 2007.

5. Jansen, David A., et.al,. Keloids. http://emedicine .medscape. com/article/1298013 overview#aw2aab6b3. diunduh pada 25/12/13 pukul 23.00.

6. Nemeth, Albert J. Keloids and Hyperthrophic Scars. Journal of Dermatology Surgery and Oncology. 1993; 19: 738-746.

7. A.S.Vincent, T. Phan, A. Mukhopadhyay et al. Human skin keloid fibroblast display

bioenergetics of cancer cells. The journal of investigative dermatology. 2008 vol.128 :702-709

8. Murray,Robert K, and Daryl K. Granner. Biokimia Harper .jakarta. 2009. EGC

9. Marks. Dawn B, Allan D. Marks, Collen M. Smith ; alih bahasa, Brahm U, Pendit ;

editor edisi bahasa indonesia, joko suyono, Vivi Sadikin, Lydia I, Mandera. Biokimia Kedokteran Dasar : sebuah pendekatan klinis . Jakarta : 2000, EGC.

10. Sreeranjit,C.V.K.and Lal,J.J. Glucose : properties and Analysis. Ini Enclopedia of Food Sciences & Nutrition, 2nd Edition, Caballero,B. Trugo,L.C. & Finglas, P.M.Eds,. 2003. Academic Press.

11. Landau.L,glikolisis:Zhurnal eksperimental’noii theoreticheskoi.1937 http://scholar. google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q diunduh pada 5/09/2014


(41)

27

12. King M. W., Glycolysis: Process of Glucose Utilization and Homeostasis. 2007

13. Voet D, Voet JG .Biochemistry 2nd ed. New york: John Wiley & Sons, Inc.1995.

14. Schawarz BF and Neumeister M. The Mechanics of Wound Healing. In Future Direction in Surgery. Southern Ilinois. 2006. pp: 78-9

15. MacKay D and Miller AL.. Nutritional Support for Wound Healing.. Alt med rev. 2003 8(4): 360-1

16. Diegelmann RF and Evans MC.. Wound Healing : an overview of acute,fibrotic and delayed healing. Front in Biosci. 2004. 9: 283-9

17. Malleet P and Dweek A.C. Mechanisme involved in wound healing. Biomed scient. 2008. 609-15

18. Urioste, S.S, Amdt, K.A, Dover, J.S. Keloids and Hypertrophic Scars: Review and Treatment Strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery.1999. 18(2):159-71

19. Lee, S, Yosipovitch, G, Chan, Y, Goh, C, pruritus, Pain, and Small Nerve Fiber Function in Keloid: A controlled study. J Am Acad Dermatol 51.2004; 1002-6

20. Harting, M, Hicks, M,J, Levy, M,L. Dermal hypertropies. Dalam : Wolff k, Golsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, paller AS, Leffel DJ, editor fizpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed, New York: The McGraw-Hill Companies, 553-4

21. Ong, C.T, khoo, Y.T, Mukhopadhyay, A. Masilamani, J. Do, D.V, Lim, J, dkk. Comperative proteomic analysis between normal skin and keloid scar. British journal of Dermatology. 2010. 162: 1302-15


(42)

(43)

28

Lampiran 1

Lolos Etik Pengambilan Jaringan Keloid dan Preputium


(44)

29

Lampiran 2 Hasil Uji Statistik

A. Uji Normalitas dan Varians Data

Uji Normalitas

Descriptives

Statistic Std. Error

aktivitas glukosa Mean 1.37290E1 1.725893

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 1.01167E1

Upper Bound 1.73413E1

5% Trimmed Mean 1.36489E1

Median 1.44500E1

Variance 59.574

Std. Deviation 7.718428E

0

Minimum .060

Maximum 28.840

Range 28.780

Interquartile Range 11.580

Skewness -.114 .512

Kurtosis -.270 .992

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

aktivitas glukosa .105 20 .200* .976 20 .879

a. Lilliefors Significance Correction


(45)

30

(Lanjutan)


(46)

31

Lampiran 3 Gambaran Proses Penelitian

Gambar 6.2: Jaringan Preputium & Jaringan Keloid

Gambar 6.3 : Jaringan Preputium Yang Ke 5


(47)

32

(Lanjutan )

Gambar 6.7: Sampel Yang Akan Diukur

Gambar 6.6: Glucosa Standar


(48)

33

Lampiran 4 Riwayat Penulis

Identitas

Nama : Zulfahmi Siregar

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Okaba, 23 Nopember 1993

Agama : Islam

Alamat : Kampung Okaba RT 005 RW 002 , Desa: Okaba, Kec:

Okaba, Kab: Merauke , Provinsi: Papua

e-Mail : zulfahmisiregar93@gmail.com

Gambaran 6.11: Alat Spektofotometer

Gambaran 6.10 : Pengambilan Sampel


(49)

34

Riwayat Pendidikan

 1997-1999 : TK Okaba Papua

 1999-2003 : SDN Inpres Okaba, Papua

 2003-2005 : SDN 02 Tanggabosi, Sumatra Utara  2005-2008 : MTs.S Darul Mursyid, Sumatra Utara  2008-2011 : MAS Darul Mursyid, Sumatra Utara  2011-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


(1)

Lampiran 2 Hasil Uji Statistik

A. Uji Normalitas dan Varians Data Uji Normalitas

Descriptives

Statistic Std. Error

aktivitas glukosa Mean 1.37290E1 1.725893

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 1.01167E1 Upper Bound 1.73413E1

5% Trimmed Mean 1.36489E1

Median 1.44500E1

Variance 59.574

Std. Deviation 7.718428E

0

Minimum .060

Maximum 28.840

Range 28.780

Interquartile Range 11.580

Skewness -.114 .512

Kurtosis -.270 .992

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig.

aktivitas glukosa .105 20 .200* .976 20 .879

a. Lilliefors Significance Correction


(2)

(Lanjutan)


(3)

Lampiran 3 Gambaran Proses Penelitian

Gambar 6.2: Jaringan Preputium & Jaringan Keloid

Gambar 6.3 : Jaringan Preputium Yang Ke 5


(4)

(Lanjutan )

Gambar 6.7: Sampel Yang Akan Diukur

Gambar 6.6: Glucosa Standar


(5)

Lampiran 4 Riwayat Penulis

Identitas

Nama : Zulfahmi Siregar

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Okaba, 23 Nopember 1993

Agama : Islam

Alamat : Kampung Okaba RT 005 RW 002 , Desa: Okaba, Kec:

Okaba, Kab: Merauke , Provinsi: Papua

e-Mail : zulfahmisiregar93@gmail.com

Gambaran 6.11: Alat Spektofotometer Gambaran 6.10 :


(6)

 1997-1999 : TK Okaba Papua

 1999-2003 : SDN Inpres Okaba, Papua

 2003-2005 : SDN 02 Tanggabosi, Sumatra Utara

 2005-2008 : MTs.S Darul Mursyid, Sumatra Utara

 2008-2011 : MAS Darul Mursyid, Sumatra Utara

 2011-sekarang : UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta