Gambaran Aktivitas Enzim Laktat Dehidrogenase (LDH) pada Jaringan Keloid. 2014.

(1)

GAMBARAN AKTIVITAS ENZIM LAKTAT

DEHIDROGENASE (LDH) PADA JARINGAN KELOID

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Raeiza Olyvia Rachman

NIM :1111103000057

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014


(2)

(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Peneliti menyadari, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka penelitian ini tidak akan terselesaikan. Oleh karena itu, ucapan terima kasih peneliti haturkan kepada:

1. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin, SpAnd, dr. M. Djauhari Widjajakusumah, DR. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes, Dra. Farida Hamid, MA selaku Dekan dan Wakil Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Endah Wulandari, M.Biomed selaku pembimbing 1 yang telah memberikan masukan dan nasihat serta meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga dalam membimbing peneliti.

4. dr. Ahmad Azwar Habibi, M.Biomed selaku pembimbing 2 yang telah memberikan motivasi serta mencurahkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing peneliti dalam melakukan penelitian dan menyusun laporan penelitian ini.

5. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku penanggung jawab modul Riset yang selalu mengarahkan dan mengingatkan peneliti untuk segera menyelesaikan penelitian.

6. Kedua orang tua peneliti, Arief Rachman dan Azizah, terima kasih untuk kasih sayang dan doa yang terus menerus dipanjatkan, serta pengorbanan yang penuh keikhlasan dan keridhoan yang menjadikan kelancaran dalam setiap langkah hidup peneliti.

7. Adik tersayang, Shelly Monica Rachman, terima kasih untuk doa dan dukungan yang selalu diberikan.

8. Ibu Ayi selaku laboran di Laboratorium Biokimia FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dan mendampingi peneliti selama melakukan penelitian dan pengambilan data.


(6)

9. Mbak Suryani, selaku laboran di Laboratorium Biologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti selama pengambilan data penelitian.

10.Teman kelompok riset, Zulfahmi Siregar, dan teman-teman PSPD angkatan 2011. Terima kasih atas kerja sama, dukungan, dan semangat yang diberikan. 11.Hafizh Nizham, terima kasih atas motivasi dan keceriaan yang selalu

diberikan.

12.Muflikha Mayazi, Afiati, Helvia, Silmi, teman-teman kost VLDL, Yofara, Tiara, Madina, Cut Neubi Getha, Nadisha, Herlina, Hania, dan Leily . Terima kasih atas doa, dukungan, semangat dan canda tawa yang diberikan. Semoga kekompakan kita menjadi awal untuk kesuksesan kita selanjutnya.

Peneliti menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan. Demikian laporan penelitian ini peneliti susun, semoga dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Ciputat, September 2014


(7)

ABSTRAK

Raeiza Olyvia Rachman. Program Studi Pendidikan Dokter. Gambaran Aktivitas Enzim Laktat Dehidrogenase (LDH) pada Jaringan Keloid. 2014.

Keloid terjadi akibat ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen pada penyembuhan luka. Sebagai jaringan yang mengalami proliferasi berlebih, maka keloid menempuh jalur glikolisis dan fosforilasi oksidatif sebagai jalur alternatif tambahan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran laktat dehidrogenase (LDH) dalam mekanisme peralihan metabolisme glikolisis ke fosforilasi oksidatif dalam upaya memenuhi pasokan energi pada pembentukan jaringan keloid. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Sampel jaringan keloid diperoleh dari biopsi sepuluh jaringan keloid pasien dari beberapa rumah sakit dan sebagai kontrol adalah sampel kulit normal yang berasal dari preputium sepuluh pasien sirkumsisi massal di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) tiap sampel diuji dan dianalisa dengan uji t independen, kemudian dibandingkan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara aktivitas LDH jaringan keloid dengan kontrol. (p = 0.023)

Kata kunci : keloid, aktivitas laktat dehidrogenase

ABSTRACT

Raeiza Olyvia Rachman. Medical Education Study Programme. The Desription of Lactate Dehydrogenase Enzyme Activity (LDH) in Keloids Tissue. 2014.

Keloids are formed as a result of the imbalancy between the synthesis and degradation of collagen at the wound healing process. As an over-proliferated tissue, keloids will pass through the glycolysis and oxidative phosphorylation as an alternative pathways in order to full fill the energy. Aim of this study was to determine the role of lactate dehydrogenase (LDH) in the transition mechanism of glycolytic metabolism to oxidative phosphorylation in an effort to full fill energy supply in the formation of keloids tissue. This is descriptive study using cross-sectional design. Keloids tissue samples were taken from the biopsies of ten patients from several hospitals and a control samples is a normal skin that were derived from prepuce of ten patients who were circumcised at mass circumcision in FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. The activity of lactate dehydrogenase (LDH) of each sample were tested and analyzed by independent t test, and then compared. The results showed there were significant differences between keloids tissue LDH activity with controls. (p = 0.023)


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Hipotesis ... 3

1.4.Tujuan Penelitian ... 3

1.4.1. Tujuan Umum ... 3

1.4.2. Tujuan Khusus ... 3

1.5.Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1. Bagi Peneliti ... 4

1.5.2. Bagi Institusi ... 4

1.5.3. Bagi Masyarakat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Penyembuhan Luka ... 5

2.2.Keloid ... 7

2.2.1. Epidemiologi ... 9

2.2.2. Etiologi ... 10

2.2.3. Patogenesis dan Patofisiologi Keloid ... 10

2.2.4. Sifat dan Karakteristik Keloid ... 11

2.3.Aktivitas Metabolisme Sel ... 12

2.3.1. Glikolisis ... 12

2.3.2. Fosforilasi Oksidatif ... 13

2.4.Aktivitas Metabolisme Keloid ... 13

2.4.1. Laktat Dehidrogenase (LDH) ... 15

2.4.2. Peningkatan Aktivitas Laktat Dehidrogenase Pada Keloid ... 16

2.5.Perkembangan Terapi Untuk Keloid Saat Ini ... 17

2.6.Kerangka Teori... 18

2.7.Kerangka Konsep ... 19


(9)

BAB III METODE PENELITIAN

1.1.Jenis dan Desain Penelitian ... 20

1.2.Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

1.3.Sampel ... 20

1.4.Alat dan Bahan Penelitian ... 21

1.4.1. Alat Penelitian ... 21

1.4.2. Bahan Penelitian ... 21

1.5.Cara Kerja Penelitian ... 22

1.5.1. Pengambilan Sampel ... 22

1.5.2. Pembuatan Homogenat... 22

1.5.3. Pengukuran Aktivitas Laktat Dehidrogenase ... 22

1.6.Alur Penelitian ... 23

1.7.Pengolahan dan Analisis Data ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Sampel ... 24

4.2.Pengukuran Aktivitas Laktat Dehidrogenase ... 25

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1.Simpulan ... 29

5.2.Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Epidemiologi, Klinis dan Histologis antara Keloid dan Hypertrophic Scars ... 7 Tabel 2.2. Keadaan yang Memengaruhi Aktivitas LDH Total ... 15 Tabel 4.1. Perbedaan Rerata Aktivitas Laktat Dehidrogenase antara Jaringan

Keloid dan Kontrol ... 26 Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas Distribusi... 26 Tabel 4.3. Deskripsi Hasil Uji T Independen Perbedaan Aktivitas LDH antara


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Proses Penyembuhan Luka ... 6 Gambar 2.2. Gambaran Klinis Keloid dan Hypertrophic Scar ... 9 Gambar 2.3. Perbedaan Proses Metabolisme Glukosa antara Jaringan Normal

dengan Jaringan Proliferatif dan Sel Tumor ... 14 Gambar 4.1. Gambaran Aktivitas Laktat Dehidrogenase Jaringan Keloid ... 25


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik ... 32

Lampiran 2 Alat dan Bahan Penelitian ... 33

Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian ... 35


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Keloid merupakan manifestasi dari sintesis dan deposit kolagen yang tidak terkontrol pada lokasi utama luka yang terjadi selama fase penyembuhan luka. Keloid timbul melebihi batas asli luka.1,2 Dilaporkan bahwa sekitar 5-15% terjadinya luka, pada akhir proses pemulihan akan terbentuk suatu jaringan parut yang nantinya akan berkembang menjadi keloid. Insidensi timbulnya keloid terbanyak terjadi pada usia 10-30 tahun. Setiap tahunnya di negara berkembang, terdapat 100 juta pasien dengan keluhan timbul jaringan parut di mana 55 juta diantaranya merupakan dampak dari pembedahan elektif dan 25 juta kasus lainnya merupakan hasil pembedahan dari kasus trauma.2,3,4 Nemeth (1993), menyebutkan angka kejadian keloid antara 4,5-16% telah dilaporkan terjadipada populasi yang didominasi ras kulit hitam dan Hispanik, dan 16% diantaranya terjadi pada ras kulit hitam Afrika. Angka kejadian keloid di Hawai, ditemukan lima kali lebih banyak pada orang-orang keturunan Jepang dan tiga kali lebih banyak pada orang keturunan Cina dari orang kulit putih (Polinesia). Pada penduduk Cina kejadian keloid lebih sering dari pada penduduk India dan Malaysia.5 Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil penelitian observasional yang dilakukan di RSU dr. Soetomo Surabaya, pada 30 kasus keloid, diperoleh data bahwa 76.67% penderita keloid berusia 10-30 tahun dan terbanyak pada wanita.6Hingga saat ini etiologi keloid belum diketahui. Keloid akan muncul setelah terjadi cedera pada kulit, misalnya bila terjadi luka pada pasca operasi, laserasi, abrasi pada kulit, vaksinasi, jerawat dan lain-lain.2,3,4

Keloid secara estetika, merupakan permasalahan yang serius dimana keberadaannya dinilai sangat mengganggu, terutama bila ukurannya besar dan lokasinya terdapat di daerah telinga atau wajah.Hal ini cenderung menimbulkan penurunan kepercayaan diri pada penderita di lingkungan sosialnya. Keloid diduga memiliki keterkaitan erat dengan faktor genetik.3 Oleh sebab itu, individu yang memiliki riwayat keluarga dengan bakat keloid memiliki peluang timbul


(14)

2

keloid lebih besar dibanding yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan keloid. Dalam hal ini, individu yang memiliki riwayat keluarga dengan keloid tentunya akan memiliki kekhawatiran bila suatu saat terjadi luka pada dirinya akan timbul jaringan keloid pada akhir proses penyembuhan lukanya.2

Pada pembentukan keloid terjadi peningkatan produksi jaringan ikat terutama kolagen yang tidak terkontrol. Jaringan ikat kolagen tersebut dihasilkan oleh sel fibroblas. Peningkatan produksi jaringan ikat yang ditimbulkan pada saat pembentukan keloid tersebut, diikuti pula dengan peningkatan kebutuhan energi (ATP). Pada sel kulit yang normal, ATP disintesis di mitokondria melalui fosforilasi oksidatif. Namun, pada tumor dan jaringan proliferatif seperti keloid, memiliki kecenderungan untuk melakukan glikolisis daripada fosforilasi oksidatif dalam menghasilkan ATP, fenomena ini dikenal dengan Warburg effect. Sebagian besar glukosa dikonversi menjadi piruvat, 85% piruvat diantaranya diubah menjadi laktat. Glikolisis yang terjadi kurang efisien daripada fosforilasi oksidatif dalam menghasilkan ATP. Oleh karena itu, keloid juga melakukan fosforilasi oksidatif dengan menambah substrat respirasi untuk menghasilkan ATP.7

Laktat dehidrogenase (LDH) merupakan enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel yang bermetabolisme. Aktivitas LDH total dalam serum dapat meningkat pada hampir semua keadaan kerusakan organ atau jaringan atau bila terjadi destruksi sel. Pada glikolisis, LDH berperan dalam mengkatalisis konversi piruvat menjadi laktat.Oleh karena 85% piruvat pada keloid di konversi menjadi laktat, maka aktivitas LDH pada keloid meningkat. Dengan demikian, LDH diduga memiliki peran dalam mendukung pembentukan keloid.7,8,9

Kemble dan Brown (1976) telah melakukan penelitian mengenai aktivitas enzim pada jaringan parut, hypertrophic scar dan keloid kulit manusia. Pengamatan dilakukan secara histokimia untuk melihat aktivitas nicotinamide adenine dinucleotide diaphorase, lactate dehydrogenase, acid phosphatase, β-D glucoronidase dan alkaline phosphatase. Hasilnya didapatkan peningkatan semua aktivitas enzim kecuali alkaline phosphatase pada hypertrophic scar. Pada penelitian tersebut disebutkan terdapatnya peningkatan aktivitas laktat dehidrogenase pada hypertrophic scar bila dibandingkan dengan


(15)

non-3

hypertrophic scar dan kulit normal.10 Tetapi pada penelitian tersebut tidak menjelaskan peningkatan laktat dehidrogenase pada jaringan keloid.

Dari hasil latar belakang di atas, pada penelitian ini diharapkan mengetahui aktivitas LDH dalam mekanisme pembentukan keloid dengan membandingkan aktivitas LDH jaringan keloid dan jaringan kontrol. Jaringan kontrol yang digunakan dalam penelitian adalah sampel kulit normal yang berasal dari preputium.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) pada jaringan keloid ?

1.3. Hipotesis

Aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) pada jaringan keloid lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol (preputium).

1.4. Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) dalam mekanisme peralihan metabolisme glikolisis ke fosforilasi oksidatif dalam upaya memenuhi pasokan energi pada pembentukan jaringan keloid.

1.4.2. Tujuan Khusus

Mengukur aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) pada jaringan keloid dan kontrol (preputium).


(16)

4

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Peneliti

1. Mendapatkan pengalaman dalam melakukan penelitian di bidang kesehatan.

2. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.5.2. Bagi Institusi

1. Penelitian ini dapat menambah referensi penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya dalam upaya

mencari mekanisme pencegahan dengan target terapi yang lebih tepat untuk keloid di masa yang akan datang

3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih dalam bagi peneliti lain.

1.5.3. Bagi Masyarakat


(17)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyembuhan Luka

Luka adalah suatu keadaan dimana terjadi kerusakan kontinuitas jaringan, baik disebabkan oleh trauma, zat kimia, listrik, maupun radiasi. Proses alami yang terjadi selama terjadinya luka dibagi menjadi 3 fase:11,12

- Fase inflamasi atau lag phase

Berlangsung hingga hari kelima. Akibat luka, terjadi perdarahan, trombosit dan sel-sel radang ikut keluar. Trombosit mengeluarkan mediator inflamasi sepeti prostaglandin, tromboksan, substansi kimia dan asam amino tertentu yang berpengaruh terhadap proses pembekuan darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian perdarahan. Mediator inflamasi keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan. Dengan demikian, timbul tanda-tanda inflamasi seperti kalor, dolor, dan rubor. Leukosit, limfosit, dan monosit mendestruksi dan memfagositosis debris dan mikroorganisme. Pertautan luka pada fase ini hanya dilakukan oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga disebut fase lag (tertinggal).

- Fase proliferasi atau fase fibroplasia

Berlangsung dari hari keenam. Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblas yang berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolagen yang terdiri dari asam-asam amino glisin, prolin, dan hidroksiprolin. Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka. Serat-serat baru, dibentuk dan sel yang tidak diperlukan dihancurkan sehingga luka dapat mengerut dan mengecil. Pada fase ini, luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, dan kapiler-kapiler baru, sehingga terbentuk suatu jaringan yang tampak kemerahan, dengan permukaan tidak rata, yang disebut jaringan granulasi. Epitel sel basal


(18)

6

pada tepi luka terlepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempatnya diisi oleh hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya berjalan ke permukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik. Pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka tertutup oleh epitel dan mulailah proses maturasi dari penyembuhan luka.

- Fase maturasi / remodeling

Dapat berlangsung berbulan-bulan. Dikatakan berakhir bila tanda-tanda inflamasi sudah tidak nampak. Parut disekitarnya berwarna pucat, tipis tidak ada rasa sakit maupun gatal. Disini proses kontraksi parut kelihatan dominan.

Gambar 2.1. Proses Penyembuhan Luka12 Sumber : Kumar, 2007 dan http://commons.wikimedia.org

Luka pulih Keloid


(19)

7

2.2. Keloid

Keloid merupakan manifestasi dari sintesis dan deposit kolagen yang tidak terkontrol pada lokasi utama luka yang terjadi selama fase penyembuhan luka. Keloid timbul melebihi batas asli luka.1,2 Keloid dapat dikatakan pula sebagai tumor jinak jaringan ikat kulit yang umumnya timbul akibat trauma. Keloid terjadi akibat mekanisme proliferasi berlebihan dari jaringan ikat dalam merespon luka atau trauma pada kulit. Berdasarkan luasnya jaringan, terdapat perbedaan antara keloid dengan hypertrophic scar, yaitu pada hypertrophic scar, peningkatan jaringan hanya terbatas pada lokasi asal cedera. Sedangkan pada keloid, luasnya peningkatan jaringan dapat melebihi lokasi asal cedera atau melebihi garis batas luka awal, menginvasi kulit normal disekitarnya dan sering terjadi perpanjangan seperti cakar (clawlike extensions).3,13,14,15

Tabel 2.1. Perbedaan Epidemiologi, Klinis dan Histologis antara Keloid dan Hypertrophic Scars, 16,17

Keloid Hypertrophic scar

Insidensi 6-16% pada populasi Afrika

40-70% terjadi setelah pembedahan, 91% terjadi setelah luka bakar. Insidensinya sama baik pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun.

Predileksi Dada bagian anterior, telinga, pipi, lengan atas, bahu.

Bahu, leher, presternum, tungkai bawah.

Waktu terjadi Keloid membutuhkan waktu dalam hitungan bulan sampai tahun untuk tumbuh dan berkembang.

Hypertrophic scar dapat tumbuh dalam waktu 4 hingga 6 minggu pasca trauma. Regresi spontan


(20)

8

Tidak mengalami regresi spontan.

Dapat kambuh/ tumbuh kembali setelah dilakukan eksisi

dalam beberapa tahun. Memungkinkan untuk dilakukan eksisi tanpa menimbulkan kekambuhan.

Karakteristik Secara Makroskopik

Luka minor dapat menghasilkan

pertumbuhan keloid yang luas. Keloid dapat tumbuh membesar dan melebar melampaui tepi luka, bentuknya irregular.

Ukuran sama dengan luka asli. Bekas luka hipertrofik tetap dalam batas luka asli, cenderung linier sepanjang bekas luka.

Karakteristik Secara Mikroskopik

Berkas kolagen umumnya lebih besar dan irregular. Jaringan ikat kolagen tersusun tidak teratur dan longgar.

Terjadi peningkatan kolagen tipe I dan kolagen tipe III.

Pembuluh darah pada area keloid mengalami penyempitan atau bahkan oklusi total.

Terjadi peningkatan kepadatan fibroblast.

Ukuran pembuluh darah kecil.


(21)

9

Gambar 2.2. Gambaran Klinis Keloid dan Hypertrophic Scar. (A) Keloid pada bagian dada seorang laki-laki, yang tumbuh perlahan dalam

waktu 15 tahun pasca trauma; (B) Hypertrophic scar pada tungkai bawah.16 Sumber : (Kelly A Paul, 2009) dan (Gauglitz et al, 2011)

2.2.1. Epidemiologi Keloid

Dilaporkan sekitar 5-15% dari bekas luka, pada akhir proses pemulihan akan terbentuk suatu jaringan parut yang nantinya akan berkembang menjadi keloid. Keloid secara estetika, merupakan permasalahan yang serius dimana keberadaannya dinilai sangat mengganggu, terutama bila ukurannya besar dan lokasinya terdapat di daerah telinga atau wajah. Insidensi timbulnya keloid terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, puncaknya antara usia 10-30 tahun. Namun dapat juga terjadi pada semua usia dengan insidensi yang sama pada laki-laki dan perempuan. Umumnya terjadi pada ras kulit hitam dengan insidensi 15 kali lebih sering daripada ras kulit putih dan terjadi pada orang dengan golongan darah A. Orang Afro-Karibia merupakan golongan yang sangat rentan mengalami keloid, meskipun setiap kelompok etnis dapat terkena.2,3,4

Angka kejadian keloid antara 4,5 hingga 16 persen telah dilaporkan pada populasi yang didominasi ras kulit hitam dan Hispanik, dan sampai 16% pada random sampling ras kulit hitam Afrika. Di Hawaii, keloid yang ditemukan lima kali lebih sering pada orang-orang keturunan Jepang dan tiga kali lebih sering pada orang keturunan Cina dari orang kulit putih. Pada penduduk Cina kejadian keloid lebih sering daripada penduduk India dan Malaysia.5

B A


(22)

10

Indonesia, berdasarkan hasil laporan dari penelitian observasional yang dilakukan di RSU dr. Soetomo Surabaya, pada 30 kasus keloid, diperoleh data bahwa 76.67% penderita keloid berusia 10-30 tahun dan terbanyak pada wanita. Dari hasil tersebut diperkirakan bahwa pada rentang usia 10-30 tahun, kasus trauma lebih sering dialami dan laju sintesis kolagen lebih besar pada rentang usia tersebut. Angka kejadian keloid lebih besar terjadi pada wanita daripada pria, hal tersebut kemungkinan berhubungan dengan tradisi menindik telinga pada wanita dan mayoritas pasien yang datang berobat adalah wanita untuk kepentingan estetika.6

2.2.2. Etiologi Keloid

Etiologi pasti keloid belum diketahui, keloid umumnya muncul mengikuti cedera pada kulit, misalnya bekas luka operasi, laserasi, abrasi pada kulit, cryosurgery, dan elektrokoagulasi serta vaksinasi, jerawat dan lain lain. Keloid juga diduga memiliki disposisi familial yang erat dimana telah dilaporkan genetik keloid dapat terjadi baik secara autosomal dominan maupun resesif dan berkaitan dengan Human Leukocyte Antigen (HLA) faktor B14, B21, BW16, BW35, DR5, DQW3, dan golongan darah A.2,3,4

2.2.3. Patogenesis dan Patofisiologi Keloid

Pembentukan keloid melibatkan ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β) oleh sel-sel endotel neovaskular dengan berikutnya produksi autokrin TGF-β oleh fibroblas yang berdekatan. Ekspresi gen kolagen tipe I dan VI juga ditingkatkan dalam jaringan keloid. Meskipun aktivitas kolagenase juga meningkat pada keloid, peningkatan sintesis kolagen melampaui jumlah destruksi, menghasilkan kelebihan bersih deposisi jaringan ikat. Jaringan ikat kolagen tersebut dihasilkan oleh sel fibroblas. Pada mikroskop cahaya, keloid menyerupai jaringan parut hipertrofik, tetapi perbedaan morfologi dapat dilihat pada level ultrastruktural.5


(23)

11

Kegiatan sintesis yang terganggu ini dimediasi oleh perubahan ekspresi growth factor. Ekspresi TGF-β lebih tinggi pada hypertrophic scar. Baik hypertrophic scar maupun keloid berasal dari kemampuan fibroblast dalam merespon tingginya konsentrasi TGF-β daripada growthfactor-1 normal yang dapat mengurangi aktivitas kolagenase mRNA dan meningkatkan mRNA prokolagen tipe I dan II. Banyak yang menyimpulkan terdapat keterlibatan sel imun pada hypertrophic scar dan keloid. Contohnya baik pada hypertrophic scar maupunkeloid, sel keratinosit mengekspresikan HLA-2 dan reseptor ICAM-1, dimana keduanya tidak terdapat dalam keratinosit jaringan parut normal. Keloid juga memiliki peningkatan deposisi immunoglobulin, diantaranya IgG, IgA, dan IgM, dimana formasinya berhubungan dengan level serum IgE. Antibodi antinuklear melawan fibroblast, sel epitelial, dan sel endotelial dapat ditemukan pada keloid, tetapi tidak pada hypertrophic scar. Terdapat pula peningkatan jumlah sel mast.5

2.2.4. Sifat dan Karakteristik Keloid

Keloid dapat juga muncul secara spontan, tanpa riwayat cedera, biasanya pada daerah presternal. Gejala umumnya asimptomatik, namun dapat juga terasa gatal dan nyeri jika di sentuh.3 Lesi yang masih awal biasanya kenyal, permukaannya licin, seperti karet dan sering disertai rasa gatal. Sedangkan pada lesi yang lanjut biasanya sudah mengeras, hiperpigmentasi, dan asimptomatik.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan lesi dengan karakteristik mulai dari papul, nodul sampai lesi tuberous besar. Umumnya dapat tampak seperti warna kulit normal, dapat juga merah muda, merah terang bahkan ada juga yang kebiruan. Dapat terjadi linear setelah cedera traumatik atau bedah. Keloid dapat tumbuh menjalar memanjang melebihi garis batas asal luka dan dapat pula membentuk nodular (tumor-like). Pada palpasi dapat teraba jaringan keloid lunak hingga keras, mungkin juga lembut dengan permukaan yang tampak halus.14 Secara histopatologi tampak susunan jaringan fibrosa yang masih muda dan fibroblas yang tersusun tidak beraturan, eosinofilik dan terdapat pita-pita jaringan


(24)

12

kolagen. Gambaran lainnya menunjukkan adanya hialinisasi serabut kolagen yang tersusun melingkar.14

2.3. Aktivitas Metabolisme Sel 2.3.1. Glikolisis

Setiap sel dalam tubuh manusia dapat menghasilkan ATP dari glikolisis. Glikolisis merupakan suatu jalur dimana glukosa mengalami oksidasi dan pemecahan menjadi piruvat. Glikolisis yang berlangsung di sitosol, secara langsung menghasilkan ATP melalui pemindahan fosfat berenergi tinggi dari zat antara pada jalur tersebut ke ADP (fosforilasi tingkat substrat). Dalam proses ini, NAD+ tereduksi menjadi NADH. Bila sel memiliki kapasitas oksidatif yang cukup tinggi (jumlah mitokondria, enzim mitokondria, dan oksigen yang adekuat), ekuivalen reduksi pada NADH dapat dipindahkan ke rantai transport elektron mitokondria, dan piruvat dapat dioksidasi secara sempurna menjadi CO2 dalam

siklus asam trikarboksilat. Oksidasi aerob glukosa menjadi piruvat dan oksidasi piruvat menjadi CO2 menghasilkan 36-38 mol ATP per mol glukosa.8

Pada kondisi di mana kapasitas oksidatif sel terbatas oleh kapasitas mitokondria atau ketersediaan oksigen, NADH yang dihasilkan dari glikolisis mengalami reoksidasi melalui perubahan piruvat menjadi laktat yang dikatalisis oleh laktat dehidrogenase. Perubahan glukosa menjadi laktat disebut glikolisis anaerob, yang artinya dalam proses ini tidak memerlukan molekul oksigen. Energi yang dihasilkan dari glikolisis anaerob adalah 2 mol ATP per mol glukosa atau jauh lebih kecil daripada hasil glikolisis aerob. Dengan demikian, glikolisis anaerob harus berlangsung sekitar 19 kali lebih cepat daripada oksidasi glukosa aerob untuk menghasilkan ATP dalam jumlah yang sama per satuan waktu. Fungsi utama jalur glikolitik adalah pembentukan ATP yang diatur secara umpan-balik oleh ATP dan metabolit terkaitnya yaitu AMP.8

Dalam jalur glikolitik, satu mol glukosa dipecah menjadi 2 mol senyawa 3-karbon piruvat. Pada fase persiapan awal glikolisis, glukosa mengalami fosforilasi oleh ATP dan diuraikan menjadi 2 triosa fosfat. Dalam fase kedua atau fase pembentukan ATP, satu buah triosa fosfat (gliseraldehida 3-fosfat) dioksidasi


(25)

13

oleh NAD+ dan mengalami fosforilasi dalam suatu reaksi yang menggunakan fosfat inorganik. Reaksi ini dan reaksi selanjutnya akan menyusun ulang fosfat tersebut dapat dipindahkan ke ADP untuk membentuk ATP. Hasil bersihnya adalah 2 mol ATP, 2 mol NADH, dan 2 mol piruvat per mol glukosa.8

2.3.2. Fosforilasi Oksidatif

Respirasi berawal dari oksidasi bahan bakar dalam jalur metabolik dengan memindahkan elektron ke NAD+ dan FAD. Pada fase kedua respirasi, energi yang tersedia dari reoksidasi NADH dan FAD(2H) oleh O2 diubah menjadi ikatan fosfat

berenergi tinggi pada ATP melalui proses fosforilasi oksidatif. Fosforilasi

oksidatif terjadi di mitokondria. ATP yang disintesis dilepaskan ke dalam matriks mitokondria. ATP dipindahkan secara aktif ke sitosol oleh protein transport yaitu ATP/ADP translokase. Hasil akhir dari fosforilasi oksidatif adalah 3 mol ATP per mol NADH yang dioksidasi, atau 2 mol ATP per mol FAD(2H) yang dioksidasi. Penyakit genetik dan masalah lain pada transport elektron menyebabkan

peningkatan kadar NADH. Peningkatan konsentrasi NADH dapat menghambat siklus asam trikarboksilat dan menyebabkan masuknya piruvat serta asam lemak ke dalam siklus tersebut. Akibatnya, piruvat diubah menjadi laktat yang muncul dalam darah, dan asam lemak akan tertimbun dalam jaringan sebagai trigliserida.8

2.4. Aktivitas Metabolisme Keloid

Keloid merupakan suatu bentuk tumor jinak, dimana seperti kebanyakan sel tumor, diduga memiliki aktivitas metabolisme yang meningkat dibanding jaringan kulit yang normal pada umumnya. Pada keloid, terjadi peningkatan produksi kolagen oleh sel fibroblas. Dalam memenuhi kebutuhan energi pada produksi kolagen tersebut, ATP dihasilkan sebagian besar melalui glikolisis. Proses metabolisme glukosa yang terjadi pada keloid dan kebanyakan sel dengan aktivitas proliferasi yang tinggi, berlangsung tanpa dipengaruhi oleh ketersediaannya oksigen. Fenomena ini dikenal sebagai Warburg effect.7,9 Selain melakukan glikolisis, keloid juga dapat melakukan fosforilasi oksidatif sebagai upaya menghasilkan ATP tambahan, dengan menambahkan substrat respirasi.


(26)

14

Kemampuan ganda yang dimiliki keloid dengan lebih mengutamakan glikolisis, memungkinkan keloid dapat berkembang biak dan bertahan hidup meskipun dalam lingkungan yang hipoksik.7

Gambar 2.3. Perbedaan proses metabolisme glukosa antara jaringan normal dengan jaringan proliferatif dan sel tumor.9

Sumber : Heiden W, 2009

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozawa di Jepang pada tahun 2006 didapatkan adanya peningkatan kecepatan metabolisme glukosa yang diamati melalui Positron Emission Tomography (PET) dengan fluorine-18-fluorodeoxyglucose (FDG) yang disuntikkan secara intravena pada 5 pasien dengan keloid, hasilnya dikalkulasi dengan Standardized Uptake Value (SUV= konsentrasi jaringan/ aktivitas injeksi per KgBB), maka didapatkan jaringan keloid memiliki serapan yang lebih besar terhadap FDG bila dibandingkan jaringan sehat disekitarnya dengan SUV jaringan keloid berkisar antara 1.0 hingga 2.74, dengan rata-rata 1.79. Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kecepatan metabolisme glukosa.18 Konsumsi glukosa yang lebih tinggi dari normal pada keloid juga terlihat dengan adanya peningkatan aktivitas dari enzim glikolitik seperti heksokinase, gliseraldehid-3-fosfat, dan laktat dehidrogenase (LDH).7


(27)

15

2.4.1. Laktat Dehidrogenase (LDH)

Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi tertinggi yang ditemukan di jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak dan sel darah merah. Peningkatan kadar LDH ditemukan pada infark miokard akut, CVA, kanker (paru, tulang, hati, usus, payudara, serviks, testis, ginjal, lambung, melanoma kulit), leukimia akut, infark pulmonal akut, anemia, defisiensi asam folat, dan hepatitis akut serta akibat pemakaian obat jenis narkotik (kodein, morfin, meperidin). Laktat dehidrogenase mengkatalisis proses reduksi piruvat menjadi laktat dan menghasilkan NADH. Reaksi ini berlangsung di sitosol.7 Aktivitas LDH dapat diperiksa dengan menggunakan metode flourometer dan kolorimeter dengan menggunakan spektrofotometer. Pada metode kolorimeter yang diukur adalah jumlah perubahan konsentrasi NADH. Hasil pengukuran dinyatakan dengan U/L yang setara dengan (mol/menit dari reaksi NADH per liter sampel yang diukur).19 Tabel 2.2. Keadaan yang Mempengaruhi Aktivitas LDH Total20

Sumber : Sacher, 2004

KEADAAN YANG MEMENGARUHI AKTIVITAS LAKTAT DEHIDROGENASE (LDH) TOTAL

Peningkatan mencolok ( 5 kali normal)

Anemia megaloblastik

Karsinomatosis luas, terutama metastasis hati Syok septik dan hipoksia

Hepatitis Infark ginjal

Purpura trombositopenik trombotik Peningkatan sedang (3-5 kali normal) Infark miokardium Infark paru Keadaan hemolitik Leukemia Mononukleosis infeksiosa Delirium tremens Distrofi otot

Peningkatan ringan (sampai 3 kali normal) Sebagian besar penyakit hati

Sindrom nefrotik Hipotiroidisme Kolangitis


(28)

16

2.4.2. Peningkatan Aktivitas Laktat Dehidrogenase pada Keloid

Enzim laktat dehidrogenase (LDH) memainkan peran sebagai katalisator konversi piruvat menjadi laktat pada proses metabolisme glukosa. Keloid sebagai jaringan dengan aktivitas proliferasi sel fibroblas yang tinggi dalam memproduksi kolagen, didapatkan aktivitas enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang meningkat, hal ini disebabkan pada proses metabolismenya sebagian besar glukosa (85%) melalui glikolisis diubah menjadi piruvat, kemudian dikonversi menjadi laktat dengan bantuan LDH. Sehingga pada keloid juga akan terjadi akumulasi laktat.

Kemble dan Brown (1976) telah melakukan penelitian mengenai peningkatan kadar beberapa enzim pada hypertrophic scar. Pengamatan dilakukan secara histokimia untuk melihat aktivitas nicotinamide adenine dinucleotide diaphorase, lactate dehydrogenase, acid phosphatase, β-D glucoronidase dan alkaline phosphatase. Sampel diperoleh dari 55 biopsi jaringan pasien dengan hypertrophic scar, 24 sampel non-hypertrophic scar, dan sampel kulit normal didapatkan dari 20 pasien yang menjalani reduksi abdomen, payudara, dan telinga yang prominen. Hasilnya didapatkan peningkatan semua kadar enzim kecuali alkaline phosphatase pada hypertrophic scar. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil dimana pada non-hypertrophic scar terjadi peningkatan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) dalam ukuran sedang (N+1) bila dibandingkan dengan kulit normal. Sedangkan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) pada hypertrophic scar didapatkan sangat meningkat baik pada dermis (N+3) dan epidermis (N+2).10 Namun, pada penelitian ini tidak menjelaskan adanya peningkatan aktivitas LDH pada keloid.

Pada studi yang dilakukan oleh Ueda dkk. tahun 2004, didapatkan adanya akumulasi laktat pada jaringan keloid. Ueda membandingkan antara jaringan keloid, hypertrophic dan atrophic scars dengan cara mengeksisi jaringan untuk kepentingan kosmetik, jaringan yang diambil tersebut diamati jumlah pembuluh darah darahdan lumennya secara immunohistopatologi serta konsentrasi laktat, dan didapatkan bahwa pada jaringan keloid terdapat pembuluh darah yang lebih sedikit dan pada internal area keloid tampak pembuluh darah dengan ukuran yang lebih kecil dan menyempit serta tekanan oksigen jaringan yang rendah yang


(29)

17

diduga karena mengalami blokade oleh serat kolagen yang tebal dan ditemukanjuga adanya akumulasi laktat. Pada penelitian tersebut didapatkan kadar laktat pada keloid 39 (13.5) mmol/g dari protein, red scars 23.8 (7.5); pink scars 23.8 (7.6), dan white scars 13.3 (7.3). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penurunan serta penyempitan lumen pembuluh darah pada keloid dapat mengurangi perfusi oksigen. Akumulasi laktat menggambarkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas LDH serta ATP diproduksi melalui glikolisis.21

2.5. Perkembangan Terapi untuk Keloid Saat ini

Selama ini terapi yang diberikan untuk keloid adalah preparat kortikosteroid, yaitu dengan menginjeksikan triamsinolone secara intralesi dengan dosis 10-40 mg/mL setiap bulan. Terapi ini berguna untuk mengurangi gejala pruritus atau sensitivitas dari lesi serta mengurangi volumenya. Terapi ini dinilai cukup efektif untuk hypertrophic scar, tetapi kurang efektif untuk keloid. Oleh karena itu, terapinya dapat dikombinasikan dengan krioterapi dimana lesi aslinya dibekukan dengan nitrogen cair, setelah membeku, lesi menjadi edematous dan lebih mudah untuk diinjeksi.3

Terapi keloid lainnya adalah dengan dieksisi. Namun, lesi yang dieksisi dengan pembedahan lebih sering terjadi kekambuhan bahkan dapat timbul lesi yang lebih besar dari lesi semula. Eksisi yang dilakukan sesegera mungkin setelah radioterapi pascabedah, mungkin lebih menguntungkan. Terapi lainnya adalah dengan menggunakan krim silikon dan gel silikon secara topikal, dimana keduanya tidak nyeri saat digunakan dan tidak bersifat invasif. 3


(30)

18

2.6. Kerangka Teori

Luka pada kulit

Faktor Penyembuhan luka Tahap penyembuhan luka Internal Eksternal Fase inflamasi Fase proliferasi Usia, genetik, ras, personal hygiene, status

gizi Penanganan luka, sosial ekonomi, lingkungan Fase maturasi Neovaskular endothelial hasilkanTGF-β Penyimpangan proses penyembuhan luka Terjadi keseimbangan antara sintesis dan degradasi

kolagen Ekspresi gen

kolagen tipe I, III, dan VI dan mRNA masing-masing kolagen Kekuatan luka

mencapai 80%

kulit normal kolagen yang di sintesis > degradasi luka sembuh keloid Kulit kembali normal Gejala : pruritik, nyeri tekan Proliferasi sel fibroblastberlebih kortikosteroid

intralesi LDH

Glikolisis ⬆ Hypertrofic

scar

Kebutuhan pasokan energi ⬆⬆ Eksisi

simptomatik rekurensi

Kurang efektif

Fosforilasi oksidatif

piruvat laktat glukosa siklus asam trikarboksilat Transport elektron ATP Fibroblast


(31)

19

2.7. Kerangka Konsep

2.8. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Skala

1. Aktivitas LDH

Aktivitas enzim laktat dehidrogenase mengkatalisis

konversi piruvat menjadi laktat.

Spektrofotometer Absorban di ukur pada panjang gelombang 400 nm sesuai prosedur kit LDH FS DGKC dan di baca pada menit ke 1, 2, dan 3

Numerik Keloid

Glikolisis

Aktivitas LDH ⬆ Penyembuhan

luka abnormal >>Kolagen

Fosforilasi

oksidatif ATP Fibroblas


(32)

20

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif menggunakan desain potong lintang (cross sectional) dengan kadar aktivitas LDH sampel kulit normal berupa jaringan preputium sebagai kontrol. Sampel diambil dari hasil biopsi sampel jaringan keloid pasien. Sampel kemudian dilakukan uji aktivitas enzim LDH untuk mengetahui aktivitas LDH dalam mekanisme peralihan metabolisme glikolisis ke fosforilasi oksidatif guna memenuhi pasokan energi pada pembentukan jaringan keloid.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2014 – September 2014 di Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Kertamukti No.05 Kelurahan Pisangan Barat, Ciputat, Tangerang Selatan.

3.3. Sampel

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan oleh peneliti berupa sampel jaringan yang telah diolah menjadi bentuk supernatan. Pengambilan sampel telah disetujui melalui izin komisi etik FK UI dalam lingkup penelitian pembimbing. Sampel penelitian ini merujuk kepada Kashiyama et.al (2012). Kashiyama menggunakan sembilan sampel jaringan keloid yang didapatkan dari delapan pasien berkewarganegaraan Jepang yang berbeda, yang diambil saat pasien melakukan operasi (pembedahan). Sedangkan sampel jaringan kulit normal diperoleh dari sembilan sukarelawan berkewarganegaraan Jepang. Pada penelitian ini, sampel jaringan keloid diperoleh dari biopsi jaringan keloid pada sepuluh pasien dari beberapa rumah sakit berbeda, antara lain RS Cipto Mangunkusumo


(33)

21

Salemba, RS Jakarta Islamic Hospital Pasar Rebo, RS Sari Asih Pamulang, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, RS Prima Medika Bintaro, dan RS Hermina Ciputat. Jaringan kulit preputium sebagai kontrol normal diperoleh dari sepuluh pasien sirkumsisi massal yang diadakan di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bulan Juni 2013.

3.4. Alat dan Bahan Penelitian

3.4.1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, Spektrofotometer UV-Visible Hitachi U2910, seperangkat komputer (Hp, Windows Xp), vortex, timbangan analitik, sentrifuge, tabung mikro, mikropipet (2-20 µl, 20-200 µl, dan 100-1000 µl), kuvet, tip (putih, kuning, dan biru), tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, bekker glass, sarung tangan, dan masker.

3.4.2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, sampel jaringan keloid dan preputium, pelumat jaringan Potter-Elvehjehm, NaCl 9 g/L, akuades, dan Kit LDH FS DGKC yang terdiri dari :

- Reagen 1 : Phosphate buffer pH 7.5 64 mmol/L

Pyruvate 0.08 mmol/L

- Reagen 2 : Good’s buffer pH 9.6


(34)

22

3.5. Cara Kerja Penelitian

3.5.1. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan tanpa acak dengan consecutive sampling. Pada penelitian ini, banyaknya jumlah sampel jaringan kulit preputium adalah sepuluh jaringan yang diperoleh dari pasien sirkumsisi massal dan banyaknya jumlah jaringan keloid adalah sepuluh jaringan yang diperoleh melalui biopsi jaringan keloid. Pada pengujian ini dilakukan secara duplo dan antar jaringan keloid saling dibandingkan.

3.5.2. Pembuatan Homogenat

Jaringan keloid dan kontrol yang diperoleh segera disimpan dalam suhu 21oC, pada saat akan dibuat homognenat langsung ditimbang dalam kondisi segar atau beku sebanyak 50 mg dalam tabung mikro (berukuran 1,5 mL). Kemudian ditambahkan akuades ke dalam tabung pada suhu 15-25oC (menggunakan es) sebanyak 1 mL. Selanjutnya dilakukan homogenisasi dengan menggunakan pelumat jaringan Potter-Elvehjehm menggunakan microspestle. Hasil dari homogenat tersebut disentrifugasi, kemudian supernatan kedua jaringan tersebut diukur aktivitas laktat dehidrogenasenya.

3.5.3. Pengukuran Aktivitas Laktat Dehidrogenase

Sampel dalam bentuk supernatan diambil sebanyak 20 µ L lalu ditambahkan dengan reagen 1, kemudian diinkubasi selama 5 menit dengan temperatur 25°C. Setelah itu, ditambahkan dengan reagen 2, setelah 1 menit,

absorban dibaca dengan spektrofotometer (λ= 400 nm) dan dilakukan pembacaan

kembali pada menit ke 2 menit, dan menit ke 3, kemudian hasil pengukuran absorban dibandingkan dengan kontrol dan antar sesamanya.


(35)

23

3.6. Alur Penelitian

3.7. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 16.0. Adapun rancangan analisis statistik yang digunakan adalah analisis bivariat. Data yang diperoleh terdistribusi normal, maka dilakukan pengujian dengan uji t independent. Penyajian data dilakukan dalam bentuk teks, grafik, dan tabel.

Jaringan

Keloid Preputium

Aktitivitas LDH U/L


(36)

24

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Sampel

Penelitian ini menggunakan dua kelompok uji, yaitu kelompok uji jaringan keloid dan kontrol untuk mengetahui gambaran aktivitas laktat dehidrogenase pada kedua jaringan tersebut pada subyek yang berbeda. Dalam proses pengambilan sampel, digunakan metode non-random, karena jarang sekali pasien dengan keloid bersedia untuk diambil jaringan keloidnya sebagai bahan penelitian. Sampel keloid pasien yang diambil bukan berasal dari pasien dengan diagnosis utama keloid. Namun, berasal dari pasien yang sedang menjalani operasi yang secara kebetulan memiliki keloid dan bersedia untuk dilakukan pengangkatan jaringan keloid. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengambilan data sekunder mengenai lokasi keloid dan usia keloid. Preputium digunakan sebagai kontrol jaringan normal karena relatif mudah diperoleh dan tidak bertentangan dengan etik di Indonesia. Preputium lebih mudah didapatkan karena di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, dimana terdapat sekitar 8.7 juta anak laki-laki dengan rentang usia 5-12 tahun melakukan sirkumsisi setiap tahunnya.21,22 Sirkumsisi juga merupakan tindakan bedah minor yang paling banyak dikerjakan di seluruh dunia, baik oleh dokter, paramedis ataupun oleh dukun sunat. Spesimen jaringan keloid maupun kontrol yang digunakan peneliti sudah diolah dalam bentuk supernatan. Supenatan yang telah jadi disimpan di dalam freezer (dibekukan) agar kualitas sampel terjaga.


(37)

25

4.2. Pengukuran Aktivitas Laktat Dehidrogenase (LDH)

Gambar 4.1. Gambaran Aktivitas Laktat Dehidrogenase (LDH) Jaringan Keloid

Pada penelitian ini aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) diukur menggunakan metode kolorimetri dengan spektrofotometer UV-Vis. Berdasarkan hasil pengukuran, pada gambar 4.1., didapatkan peningkatan aktivitas laktat dehidrogenase pada semua sampel keloid dibandingkan dengan aktivitas rerata kontrol (preputium). Hasil penelitian ini sesuai dengan Hoopes (1971) dalam studi yang dilakukan Ueda tahun 2004, yang melaporkan adanya aktivitas LDH yang tinggi pada keloid dibandingkan dengan hypertrophic scar dan kulit normal dengan teknik flourometrik. LDH yang tinggi ini berkaitan dengan sintesis piruvat menjadi laktat.19 Peningkatan aktivitas LDH tertinggi didapatkan pada U8 (sampel jaringan keloid ke 8) yaitu 0.051 U/L atau 2.1 % lebih tinggi dari kontrol. Tingginya aktivitas LDH pada keloid diantaranya berkaitan dengan lama waktu timbulnya keloid. Pada keloid yang baru timbul, akan didapatkan aktivitas LDH yang lebih tinggi dibandingkan dengan keloid yang sudah lebih dahulu tumbuh,

2,380 2,390 2,400 2,410 2,420 2,430 2,440 2,450 2,460 2,470 2,480

K U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10

Kontrol Keloid

U/L 2,419 2,429 2,421 2,439 2,428 2,442 2,431 2,417 2,470 2,426 2,436

Ak tivi tt as L DH


(38)

26

karena pada jaringan keloid yang masih baru, laju metabolisme sel relatif masih tinggi. Namun, pada penelitian ini tidak menggunakan data sekunder pasien sehingga tidak diketahui usia keloid pasien.

Tabel 4.1. Perbedaan Rerata Aktivitas Laktat Dehidrogenase antara Jaringan Keloid dan Kontrol

Nama Variabel N Kadar LDH (U/L)

Rerata ±SB

Jaringan keloid 10 2.433 ±0.014

Kontrol 10 2.418 ±0.013

Dari Tabel 4.1. didapatkan perbedaan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) antara jaringan keloid dengan rerata 2.433 U/L dan kontrol dengan rerata 2.418 U/L. Rerata aktivitas LDH jaringan keloid 0.015 U/L lebih tinggi daripada rerata aktivitas LDH kontrol.

Peneliti ingin mengetahui seberapa besar perbedaan aktivitas laktat dehidrogenase (LDH) antara jaringan keloid dan kontrol, maka dari itu dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji komparatif dua kelompok tidak

berpasangan (uji t independen). Jika p > 0.05, maka Ho diterima, dan jika p < 0.05, maka Ho ditolak. Uji ini memiliki ketentuan yaitu data harus terdistribusi normal, oleh karena itu perlu dilakukan uji normalitas terlebih dahulu (Saphiro-Wilk).

Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas Distribusi

Nama Variabel Nilai p Normalitas distribusi


(39)

27

Berdasarkan hasil uji statistik, diketahui p value aktivitas LDH sebesar

0.35 pada taraf signifikansi 0.05, maka p value > α, dengan kata lain sebaran data

dalam penelitian ini telah teruji kenormalannya.

Tabel 4.3. Deskripsi Hasil Uji T Independen Perbedaan Aktivitas LDH antara Jaringan Keloid dengan Kontrol

Pengukuran (U/L) n Rerata ±SB Perbedaan Rerata

IK 95% p value*

Jaringan keloid 10 2.433 ±0.014 0.015 0.002 - 0.028 0.023 Kontrol 10 2.418 ±0.013

*Uji T Independen

Berdasarkan analisis statistik untuk uji hipotesis dengan menggunakan uji t independen (Tabel 4.3.) pada taraf signifikansi 0.05, didapatkan p value sebesar 0.023, yang berarti p value < 0.05. Hasil analisis statistik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara rerata aktivitas LDH jaringan keloid dengan kontrol. Dengan kata lain, hipotesis nol ditolak.

Tujuan dari identifikasi data ini sebenarnya adalah untuk membandingkan adanya perbedaan antara aktivitas LDH antara jaringan keloid dengan kontrol. Hasilnya membuktikan bahwa pada jaringan keloid terjadi peningkatan aktivitas LDH daripada kontrol.

Pada studi yang dilakukan Vincent tahun 2008 dikemukakan gagasan bahwa fibroblas keloid manusia menunjukkan karakteristik biologis sama dengan sel tumor. Dibandingkan dengan sel-sel fibroblas normal, ATP dari fibroblas keloid utamanya berasal dari glikolisis, serta aktivitas heksokinase, dehidrogenase 3-fosfat, dan laktat dehidrogenase (LDH) secara signifikan lebih tinggi dari sel fibroblast yang normal. Aktivitas heksokinase, gliseraldehida 3-p dehidrogenase, dan LDH diukur dalam ekstrak dari fibroblas normal dan fibroblas keloid yang mengandung 0.03 mg protein. Fluoresensi NADH dan NADPH diamati pada panjang gelombang 464 nm dalam spektrofotometer luminescence (Perkin


(40)

Elmer-28

LS55) dan aktivitas enzim dinyatakan sebagai peningkatan fluoresensi NADH atau NADPH per menit per mg protein. Aktivitas heksokinase, gliseraldehida-3-fosfat dehidrogenase, dan LDH, dinyatakan sebagai nmol NAD atau NADPH per menit per mg protein diantaranya 1.8.±0.51, 343.1±28.3, dan 554.3±12.1, masing-masing, pada lima sampel normal. Keloid secara signifikan berbeda (p<0.05) dengan sampel normal, antaralain didapatkan aktivitas masing-masing 130, 63, dan 35% lebih tinggi.7


(41)

29

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan

Pada penelitian didapatkan peningkatan kadar laktat dehidrogenase (LDH) pada jaringan keloid secara bermakna dibandingkan kadar LDH pada jaringan preputium. Hal ini menunjukkan peningkatan aktivitas LDH dalam mekanisme peralihan metabolisme glikolisis ke fosforilasi oksidatif dalam upaya memenuhi pasokan energi pada pembentukan jaringan keloid.

5.2. Saran

Diperlukan penelitian lanjutan mengenai asam laktat pada jaringan keloid dan penelitian lanjutan melalui intervensi terhadap aktivitas LDH pada jaringan keloid sehingga memungkinkan dapat menekan terjadinya timbulnya keloid.


(42)

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Kempf W, et.al. Dermatopathology. Springer. Jerman. 2008. p238.

2. Wolff, Klaus., Richard Allen Johnson, and Dick Surmond. Fitzpatrick’s: Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th Edition. Massachusetts: The McGraw-Hill Companies. 2007.

3. Van De Water, Thomas R and Hinrich S. Otolaryngology: Basic Science and Clinical Review. New York: Thieme Medical Publisher’s Inc. 2006. p20.

4. Jansen, David A., et.al. Keloids. Medscape. 2012. Diakses dari :

http://emedicine.medscape.com/article/1298013-overview#aw2aab6b3

5. Nemeth, Albert J. Keloids and Hypertrophic Scars. Journal of Dermatology Surgery and Oncology. 1993; 19: 738-746.

6. Pratiwi KD, Perdanakusuma D. Hubungan antara Golongan Darah dengan Timbulnya Keloid Pasca Luka. Airlangga University Press. Surabaya. 2009: 1-8.

7. Vincent A, Muhopadhyay A, et.al. Human Skin Keloid Fibroblasts Display Bioenergetics of Cancer Cells. J Invest Dermatol. 2008; 128: 702-709.

8. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia Harper, edisi 27. EGC. Jakarta. 2009.

9. Heiden M, Cantley L, Thompson C. Understanding the Warburg Effect: The Metabolic Requirements of Cell Proliferation. Science Journals. 2009; 324:1029-1033

10. Kemble, J.V Harvey dan R.V. R Brown. Enzyme Activity in Human Scars, Hyperthrophic Scars, and Keloids. British Journal of Dermatology. 1976; 94: 301-305.

11. Sukasah, Chaula. Penggunaan Silicone Gel Sheet pada Keloid dan Jaringan Parut Hipertrofik. Maj Kedokt Indon. 2007; 57: 60-62.

12. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi Robbins. EGC. Jakarta. 2007.


(43)

31

14. Gawkrodger, David J dan Michael R. Ardern-Jones. Dermatology: An Illustrated Color Text 5th Edition. Philadelphia: Elsevier. 2012. p95.

15. Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta. 2000.

16. Gauglitz G, Korting H, Pavicic T, et al. Hypertrophic scarring and keloids: pathomechanisms and current and emerging treatment strategies. Mol Med. 2011;17:113-125.

17. Dan Vincent, Annette S. Metabolic Parameters Involved In Keloid Formation. Departement of Boichemistry. National University of Singapore, 2009; 14.

18. Ozawa, Toshiyusi. Accumulation of glucose in keloids with FDG-PET. Annals of Nuclear Medicine. 2006; 1: 41-44

19. Rahaju, Minto. Uji Diagnostik Pemeriksaan LDH dalam Cairan Tubuh Untuk Penetuan Klasifikasi Transudat dan Eksudat Dibandingkan dengan Klasifikasi Konvensional. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. 2003: 20.

20. Sacher, Ronald dan Richard. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. EGC. Jakarta. 2004. p345-355.

21. Koichi U, Yoshiko Y, Eisuke F, Sosuke O. Inadequate Blood Suply Persists in Keloids. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg. 2004; 38: 267–271.

22. Kashiyama K, et.al. miR-196a Downregulation Increases the Expression of Type I and III Collagens in Keloid Fibroblasts. J Invest Dermatol. 2012; 132: 1597–1604.

23. Benson dan Martin. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi Ed. 9. EGC. Jakarta. 2009. p256.


(44)

32

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 (Persetujuan Etik)


(45)

33

LAMPIRAN 2 (Alat dan Bahan Penelitian)

Spektrofotometer UV Hitachi U-2910 Mikropipet

Tabung reaksi dan rak tabung Tip


(46)

34

Rak tube sample Sampel jaringan berupa supernatan


(47)

35

LAMPIRAN 3 (Dokumentasi Penelitian)

Contoh tube sampel jaringan kontrol (P) Tahap persiapan: Labeling tabung reaksi untuk kelompok keloid (U) dan kelompok kontrol (P)


(48)

36

Proses homogenisasi dengan vortex Kuvet berisi absorban dimasukkan ke dalam spektrofotometer untuk dibaca

Gambaran hasil pembacaan absorbansi oleh spektrofotometer yang tertera pada layar komputer


(49)

37

LAMPIRAN 4 (Daftar Riwayat Hidup) DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Raeiza Olyvia Rachman

Tempat, tanggal lahir : Bogor, 13 Februari 1993

Alamat : Lebak wangi RT 03/02 No. 61 Desa Parung, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor Telepon/Hp : 0251-8618921 / 085718175891

Email : raeizaolyvia@yahoo.com

Riwayat pendidikan

1. Tahun 1998 - 2004 : SD Negeri Durenseribu 04 Sawangan, Depok 2. Tahun 2004 - 2007 : SMP Negeri 2 Depok

3. Tahun 2007 - 2010 : SMA Negeri 5 Depok

4. Tahun 2011 - sekarang : Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(1)

LAMPIRAN 1 (Persetujuan Etik)


(2)

Spektrofotometer UV Hitachi U-2910 Mikropipet


(3)

Rak tube sample Sampel jaringan berupa supernatan


(4)

Contoh tube sampel jaringan kontrol (P) Tahap persiapan: Labeling tabung reaksi untuk kelompok keloid (U) dan kelompok kontrol (P)


(5)

Proses homogenisasi dengan vortex Kuvet berisi absorban dimasukkan ke

dalam spektrofotometer untuk dibaca

Gambaran hasil pembacaan absorbansi oleh spektrofotometer yang tertera pada layar komputer


(6)

Tempat, tanggal lahir : Bogor, 13 Februari 1993

Alamat : Lebak wangi RT 03/02 No. 61 Desa Parung,

Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor

Telepon/Hp : 0251-8618921 / 085718175891

Email : raeizaolyvia@yahoo.com

Riwayat pendidikan

1. Tahun 1998 - 2004 : SD Negeri Durenseribu 04 Sawangan, Depok

2. Tahun 2004 - 2007 : SMP Negeri 2 Depok

3. Tahun 2007 - 2010 : SMA Negeri 5 Depok

4. Tahun 2011 - sekarang : Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta