4. Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan sebanyak 2 kali sehari pada pagi dan sore hari. Penyisipan dilakukan apabila terdapat tanaman yang mengalami kegagalan
pertumbuhan layu atau mati selambat-lambatnya satu minggu setelah masa tanam. Penyisipan dilakukan pada sore hari yang diambil dari tanaman yang
sebelumnya telah dipersiapkan untuk tanaman sisipan. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara dicabut langsung sebanyak satu
kali satu minggu atau tergangtung pada keadaan gulma di lapangan. Pemupukan dilakukan 15 hari setelah tanam dengan pupuk campuran sebanyak 10
gramtanaman.
5. Penyediaan Serangga Uji
Serangga uji direaring terlebih dahulu. Cara merearingnya sebagai berikut, Disiapkan tanaman tembakau yang telah ditanam didalam polibag. Telur diambil
dari lapangan, diletakkan telur tersebut diatas permukaan daun tembakau. Ditutup tanaman tembakau dengan sungkup. Biarkan kira-kira 2-4 hari sampai telur
menetas kemudian biarkan ulat selama 5-6 hari untuk mendapatkan instar 2.
6. Penyediaan Larutan Bacillus chitinosporus dan Bacillus thurngiensis
Larutan Bacillus chitinosporus
Bacillus chitinosporus didapat dari produk biologi. Disiapkan 10, 20, 30 ml bakteri Bacillus chitinosporus dan kemudian ditambahkan 1 liter air lalu
dibiarkan kira-kira 20 menit. Larutan kemudian siap untuk diaplikasikan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8. Bacillus chitinosporus
Larutan Bacillus thuringiensis
Bacillus thuringiensis di dapatkan dari produk biologi. Disiapkan 10, 20, 30 ml bakteri Bacillus thuringiensis dan kemudian ditambahkan 1 liter air lalu
dibiarkan kira-kira 20 menit. Larutan kemudian siap untuk diaplikasikan.
Gambar 9. Bacillus thuringiensis
7. Aplikasi Insektisida
Daun tembakau disemprotkan dengan larutan yang telah disiapkan larutan Bacillus chitinosporus dan Bacillus thurngiensis biarkan selama ± 10 menit.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian larva disebarkan diatas permukaan daun tembakau sebanyak 4 ekortanaman. Diamati setiap perlakuan, setiap hari selama satu minggu.
Peubah Amatan
a. Persentase Mortalitas
Spodoptera litura
Pengamatan dilakukan satu hari setelah aplikasi, persentase mortalitas larva S. litura dihitung dengan rumus:
P = a X 100
a + b keterangan:
P = Persentase mortalitas Spodoptera litura a = jumlah larva Spodoptera litura mati
b = jumlah larva Spodoptera litura sehat Fagoone dan Lauge, 1981 dalam Ginting, 1996
b. Intensitas serangan
Pengamatan dilakukan satu hari setelah aplikasi, nilai kategori serangan adalah sebagai berikut :
1 : terdapat kerusakan dari 1 – 20
3 : terdapat kerusakan dari 21 – 40 5 : terdapat kerusakan dari 41 – 60
7 : terdapat kerusakan dari 61 – 80
Universitas Sumatera Utara
9 : terdapat kerusakan lebih dari 80
Is = ∑ n x v
N x Z X 100
Dimana :
Is = intensitas serangan n = jumlah daun yang rusak tiap kategori serangan
v = nilai skala tiap serangan larva pada daun yang diamati N = jumlah daun tanaman yang diamati
Z = nilai skala tertinggi kategori serangan Fagoone dan Lauge, 1981 dalam Ginting, 1996
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Persentase Mortalitas Larva Spodoptera litura F.
Hasil pengamatan persentase mortalitas Spodoptera litura F. mulai pengamatan I, II, III, IV, V, VI dan VII dapat dilihat pada lampiran 2-8
Hal. 35-48. Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pada taraf 1
menunjukkan bahwa persentase mortalitas larva Spodoptera litura F. Pada pengamatan I-VII setelah aplikasi menunjukkan perbedaan sangat nyata terhadap
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan bioinsektisida berbahan aktif B. chitinosporus dan B. thuringiensis
mampu mengendalikan perkembangan Spodoptera litura F.
Rataan persentase mortalitas Spodoptera litura mulai dari pengamatan I-VII dapat dilihat pada tabel 1 dan diagram batang.
Tabel 1. Persentase Pengaruh
B. chitinosporus dan B. thuringiensis Terhadap
Mortalitas Larva Spodoptera litura F.
Perlakuan Rerataan persentase mortalitas
S. litura pada hari setelah aplikasi hsa
I hsa II hsa III hsa IV hsa V hsa VI hsa VII hsa
C0 1.25C 1.25D
1.25D 1.25E
2.50C 8.33C
13.33C C1
6.67B 13.33B 30.00C
51.67C 63.33B
76,67B 88.33B
C2 11.67A 26.67A
41.67B 61.67B
75.00A 86.67A 96,67A
C3 18.33A 36.67A
51.67A 76.67A
81.67A 96.67A 99,95A
C4 3.75B 8.33C
23.33C 43.33D
60.00B 73.33B
86,67B C5
8.33A 15.00B 33.33B
53.33C 70.00A 80.00A
91.67B C6
13.33A 28.33A 43.33A
66.67B 76.67A 91.67A
96,67A Ket : Angka yang diikuti oleh notasi huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan data berbeda nyata pada taraf 1 uji jarak Duncan
Universitas Sumatera Utara
Pada pengamatan I-VII didapat hasil persentase mortalitas larva S. litura dari semua perlakuan berbeda sangat nyata dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan
Nurdin dan Kiman 1993 yang menyatakan bahwa bioinsektisida yang digunakan
berbahan aktif Bacillus thuringiensis dan Bacillus chitinosporus dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian secara terpadu karena efektif
terhadap hama sasaran dan relatif aman terhadap parasitoid dan predator. Pada pengamatan I di dapat hasil persentase mortalitas larva pada semua
perlakuan menunjukan tingkat kematian 3-18 dan pada pengamatan IV mencapai 40-70 hal ini disebabkan karena bakteri dapat berkembangbiak
dengan cepat sejak bakteri termakan atau menempel pada tubuh serangga. Hal ini sesuai dengan Djojosumarto 2008 yang menyatakan Bacillus thuringiensis
merupakan insektisida racun perut, saat sporulasi bakteri menghasilkan kristal protein yang mengandung senyawa insektisida α-endotoksin yang bekerja
merusak sistem pencernaan serangga. Serangga akan berhenti makan dan mati dalam 1 – 4 hari.
Pada pengamatan I-VII pengaruh B. chitinosporus
dan B. thuringiensis
terhadap persentase mortalitas larva S. litura F. dari semua perlakuan, menunjukan perlakuan yang paling efektif yaitu C2 dan C3 diaplikasi dengan
B. chitinosporus 20 dan 30 mlliter air dan tidak berbeda nyata dengan C6
diaplikasi dengan B. thuringiensis
30 mlliter air hal ini disebabkan karena
Bacillus chitinosporus menghasilkan senyawa berupa enzim kitinase yang mampu menghancurkan zat kitin pada larva sehingga menekan pertumbuhan larva
S. litura. Hal ini sesuai dengan Sudharto dkk. 2011 yang menyatakan B. chitinosporus merupakan salah satu bakteri yang memproduksi metabolit
Universitas Sumatera Utara
enzim chitinase yang mampu menghancurkan, mengurai dan mencerna zat kitin yang terdapat pada sel telur nematoda, kulit serangga, larva dan pupa serangga.
B. thuringiensis merupakan racun perut, jika Larva S. Litura yang peka
memakan daun yang telah disemprot dengan B. thuringiensis
maka larva akan kehilangan mobilitas, tubuhnya menjadi lunak dan berhenti makan. Hal ini sesuai
dengan Suwahyono 2010 yang menyatakan kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga
target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel
sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.
Gambar 10: Diagram Batang Persentase Pengaruh B. chitinosporus dan
B. thuringiensis Terhadap Mortalitas Larva S. litura F.
Dari diagram batang di atas dapat diketahui bahwa persentase mortalitas pada semua perlakuan persentase mortalitasnya meningkat dari I-VII hari setelah
aplikasi hsa berbeda sangat nyata dengan kontrol.
0,00 20,00
40,00 60,00
80,00 100,00
120,00
1 hsa 2 hsa 3 hsa 4 hsa 5 hsa 6 hsa 7 hsa Rerataan mortalitas larva S. litura pada hari setelah aplikasi
C0 C1
C2 C3
C4 C5
C6
Universitas Sumatera Utara
2. Intensitas Serangan Larva Spodoptera litura F.