Kajian Kelembagaan dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedahgai

(1)

KAJIAN KELEMBAGAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT

DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE

Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,

Kabupaten Serdang Bedagai

UMAIROH

041201009

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

KAJIAN KELEMBAGAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT

DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE

Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,

Kabupaten Serdang Bedagai

SKRIPSI

Oleh:

UMAIROH

041201009

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(3)

KAJIAN KELEMBAGAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT

DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE

Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,

Kabupaten Serdang Bedagai

SKRIPSI

Oleh:

UMAIROH

041201009/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(4)

Judul : Kajian Kelembagaan dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedahgai

Nama : Umairoh

NIM : 041201009

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Agus Purwoko, S. Hut, M.Si Ir. Ma’rifatin Zahra, M.Si Ketua Pembimbing Anggota Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Ketua Departemen Kehutanan


(5)

ABSTRACT

UMAIROH. Study of Public Perception In Institutional And Management of Mangrove Ecosystems: A Case Study on Large Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai, under academic supervised by AGUS PURWOKO and MA'RIFATIN ZAHRAH.

The purpose of this study is to identify, find institutional forms, the institutional structure, mechanism and output from other forms of institutional and public perceptions in the management of mangrove ecosystems in the Great Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai. The research was conducted by collecting data such primary characteristics of respondents, institutional structure and management of mangrove ecosystems. Secondary data is data which exist at the village government, districts and counties. The data is then combined with literature to enrich the contents of the study. The research concludes that the local institutions involved in the management of mangrove ecosystems in the form of formal institutions namely the Village Government, Village Consultative Body, and non formal education is a mangrove farmer groups. Institutional structure consisting of Government, District Government, Village Tool, community and farmer group consisting of a chairman, secretary, treasurer and members. The model of mangrove ecosystem management by farmer groups better than the Forest Service.. Public perception of forest damage caused by the employers and the conversion of land into farms, forests benefit from the economic, social, technology is very useful, and ecologically beneficial.. Frequency of counseling development and conservation potential of mangrove forests have never, mangrove forest conditions and management systems were poor and see the destruction of silent actions.

Keywords: mangrove forest ecosystems, species, its structure, organization and


(6)

ABSTRAK

UMAIROH. Kajian Kelembagaan Dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan

Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, dibawah bimbingan AGUS PURWOKO

dan MA’RIFATIN ZAHRAH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengetahui bentuk kelembagaan, struktur kelembagaan, mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan dan persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti karakteristik responden, jenis dan struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten. Data tersebut kemudian dipadukan dengan penelusuran literatur untuk memperkaya isi penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kelembagaan lokal yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove berupa lembaga formal yakni Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan non formal adalah kelompok tani mangrove. Struktur kelembagaan terdiri dari Pemerintah, Pemerintah Kabupaten, Perangkat Desa, masyarakat dan kelompok tani terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Model pengelolaan ekosistem mangrove oleh kelompok tani lebih baik dibandingkan dengan Dinas Kehutanan. Persepsi masyarakat terhadap kerusakan hutan disebabkan oleh pengusaha dan kegiatan konversi lahan menjadi tambak, manfaat hutan dari segi ekonomi, sosial, teknologi sangat bermanfaat, dan ekologis bermanfaat. Frekuensi penyuluhan pengembangan dan pelestarian potensi hutan mangrove tidak pernah, kondisi hutan mangrove dan sistem pengelolaan kurang baik dan tindakannya melihat pengrusakan diam saja.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Umairoh dilahirkan di Natal pada tanggal 28 Agustus 1986 dari pasangan Bapak H. Rahimuddin dan Ibu Fauziannur. Penulis merupakan puteri ketujuh dari delapan bersaudara.

Tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Inpres Natal, lulus pada tahun 2001 dari SLTA Negeri 1 Natal kemudian tahun 2004 lulus dari Madrasah Aliyah Negeri Natal, Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal dan pada tahun 2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP), penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Tahun 2006 penulis mengikuti Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) Kabupaten Mandailing Natal. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di HPHTI PT. Sumatera Riang Lestari (SRL) Sektor Sei Kebaro Labuhan Batu, Sumatera Utara.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan Rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dikerjakan. Skripsi ini merupakan penelitian yang dilakukan pada bulan Februari-April 2009 dengan judul ” Kajian Kelembagaan Dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda H. Rahimuddin, ibunda Fauziannur dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materil sehingga ananda dapat melaksanakan studi terutama dalam penelitian ini.

2. Agus Purwoko S.Hut, M.Si dan Ir. Ma’rifatin Zahrah M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis dalam penelitian ini.

3. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

4. Kepada seluruh informan, masyarakat Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas sambutan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini. 5. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Sumatera Utara yang telah membantu kegiatan akademik mulai dari perkuliahan sampai selesai kuliah.


(9)

Penulis menyadari banyak kekurangan dari diri penulis dalam menyusun skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnyan kepada seluruh pihak. Besar harapan penulis dapat menerima saran dan kritik dari berbagai pihak sehingga nantinya dapat menjadi bahan bagi penulis dalam memperbaikinya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembaca.

Medan, Juni 2010


(10)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Mangrove ... 5

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove ... 6

Kondisi Mangrove di Indonesia ... 8

Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove... 9

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir ... 10

Pengelolaan Ekosistem Mangove ... 11

Kelembagaan... 13

Komponen dan Fungsi Lembaga ... 15

Penguatan Identitas ... 16

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Populasi dan Sampel ... 18

Metode Pengumpulan Data ... 18

Pengolahan Data ... 19

Analisis Data ... 21

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Ekosistem Mangrove ... 23

Letak Wilayah ... 24

Keadaan Sosial Ekonomi ... 25


(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden... 28

Jenis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 30

Struktur Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 33

Dinas Kehutanan ... 33

Kelompok Tani ... 36

Mekanisme dan Output Bentuk Pengelolaan Ekosistem mangrove ... 38

Dinas Kehutanan ... 38

Kelompok Tani ... 41

Persepsi Masyarakat tentang Kondisi mangrove ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 55


(12)

DAFTAR GAMBAR

Hal. 1. Pendekatan Bottom-up ... 35 2. Struktur Kelompok Tani ... 37


(13)

DAFTAR TABEL

Hal.

1. Skoring Data Umur ... 19

2. Skoring Mata Pencaharian ... 20

3. Skoring Data Pendidikan ... 20

4. Skoring Jumlah Anggota Keluarga Responden ... 20

5. Skoring Data Persepsi Responden ... 20

6. Skoring Data Perilaku Responden ... 20

7. Matrik Metodologi ... 22

8. Jumlah Penduduk Kayu Besar ... 26

9. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 28

10. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 28

11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 29

12. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota ... 29

13. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 30

14. Persepsi Responden terhadap Kerusakan Hutan Mangrove ... 45

15. Persepsi Responden dari Segi Ekonomi ... 46

16. Persepsi Responden dari Segi Teknis ... 46

17. Persepsi Responden dari Segi Sosial ... 47

18. Persepsi Responden dari Segi Ekologis ... 47

19. Frekuensi Penyuluhan ... 48

20. Persepsi Responden terhadap Kerusakan Hutan Mangrove ... 48

21. Persepsi Responden terhadap Kondisi Hutan Mangrove ... 49

22. Persepsi Responden terhadap Sistem Pengelolaan Hutan Mangrove ... 49


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

1. Kuesioner Kajian Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove ... 55 2. Karakteristik dan Pendapatan Responden ... 59 3. Peta Lokasi Penelitian ... 61


(15)

ABSTRACT

UMAIROH. Study of Public Perception In Institutional And Management of Mangrove Ecosystems: A Case Study on Large Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai, under academic supervised by AGUS PURWOKO and MA'RIFATIN ZAHRAH.

The purpose of this study is to identify, find institutional forms, the institutional structure, mechanism and output from other forms of institutional and public perceptions in the management of mangrove ecosystems in the Great Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai. The research was conducted by collecting data such primary characteristics of respondents, institutional structure and management of mangrove ecosystems. Secondary data is data which exist at the village government, districts and counties. The data is then combined with literature to enrich the contents of the study. The research concludes that the local institutions involved in the management of mangrove ecosystems in the form of formal institutions namely the Village Government, Village Consultative Body, and non formal education is a mangrove farmer groups. Institutional structure consisting of Government, District Government, Village Tool, community and farmer group consisting of a chairman, secretary, treasurer and members. The model of mangrove ecosystem management by farmer groups better than the Forest Service.. Public perception of forest damage caused by the employers and the conversion of land into farms, forests benefit from the economic, social, technology is very useful, and ecologically beneficial.. Frequency of counseling development and conservation potential of mangrove forests have never, mangrove forest conditions and management systems were poor and see the destruction of silent actions.

Keywords: mangrove forest ecosystems, species, its structure, organization and


(16)

ABSTRAK

UMAIROH. Kajian Kelembagaan Dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan

Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, dibawah bimbingan AGUS PURWOKO

dan MA’RIFATIN ZAHRAH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengetahui bentuk kelembagaan, struktur kelembagaan, mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan dan persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti karakteristik responden, jenis dan struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten. Data tersebut kemudian dipadukan dengan penelusuran literatur untuk memperkaya isi penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kelembagaan lokal yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove berupa lembaga formal yakni Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan non formal adalah kelompok tani mangrove. Struktur kelembagaan terdiri dari Pemerintah, Pemerintah Kabupaten, Perangkat Desa, masyarakat dan kelompok tani terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Model pengelolaan ekosistem mangrove oleh kelompok tani lebih baik dibandingkan dengan Dinas Kehutanan. Persepsi masyarakat terhadap kerusakan hutan disebabkan oleh pengusaha dan kegiatan konversi lahan menjadi tambak, manfaat hutan dari segi ekonomi, sosial, teknologi sangat bermanfaat, dan ekologis bermanfaat. Frekuensi penyuluhan pengembangan dan pelestarian potensi hutan mangrove tidak pernah, kondisi hutan mangrove dan sistem pengelolaan kurang baik dan tindakannya melihat pengrusakan diam saja.


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki peranan penting dan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat khususnya di sekitar pantai.

Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk menghindari abrasi laut, dan berperan untuk memperluas daratan, sebagai pelindung pantai, penahan angin, pengendali banjir dan penyerap logam berat, bahan berbahaya dan beracun serta peningkatan produktivitas perikanan (persemaian biota laut), sehingga kelestarian daya dukung ekosistem mangrove memiliki arti vital bagi pembangunan. Pentingnya fungsi ekosistem mangrove bagi kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, menyebabkan perlunya dijaga kelangsungan hutan ini, dalam artian memulihkan dan melestarikan fungsinya untuk meningkatkan manfaat yang dapat diambil dari ekosistem mangrove tersebut. Fungsi pelestarian ekosistem mangrove itu sangat dikehendaki, namun kenyataannya keadaan ekosistem itu sebagian telah mengalami kerusakan.

Hutan dan masyarakat sekitar hutan mempunyai saling ketergantungan. Kondisi masyarakat yang berada di sekitar hutan mendorong mereka untuk memanfaatkan fungsi hutan secara terus menerus tanpa menyadari akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Pentingnya keberadaan hutan untuk menyangga kehidupan sosial ekonomi sangat terasa apabila hutan sudah mulai rusak. Saenger (1983) menyatakan bahwa fungsi ekosistem mangrove mencakup:


(18)

fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi

laut (abrasi) dan intrusi air laut; mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah. Fungsi biologis; tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi berbagai biota. Fungsi ekonomi; sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dan lain-lain.

Secara historis pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan telah cukup memadai, namun peningkatan terus menerus kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Selain itu, pengelolaan hutan di masa mendatang juga menuntut adanya kelembagaan masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang banyak di syaratkan oleh pemerintah (Awang dkk., 2000).

Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan di berikan tidak di terapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang dkk., 2000).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove dengan mengkaji perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove dan bentuk-bentuk kelembagaan yang lebih baik, agar


(19)

kelangsungan eksistensi jasa lingkungan dan modal alam yang ada di ekosistem mangrove dapat dimanfaatkan terus menerus untuk kelangsungan hidup lintas generasi, baik pada saat ini maupun saat yang akan datang.

Perumusan Masalah

Pemanfaatan ekosistem mangrove saat ini cenderung bersifat merusak, sehingga menyebabkan penurunan luas ekosistem mangrove dari waktu ke waktu. Eksploitasi ekosistem mangrove yang berlebihan, konversi ekosistem mangrove menjadi kawasan tambak, industri, pemukiman, dan pertanian merupakan penyebab utama menurunnya luasan ekosistem mangrove.

Luasan ekosistem mangrove ini terus mengalami penyusutan akibat berbagai tekanan, terutama penebangan liar dan konversi ekosistem mangrove yang tidak terkendali menjadi areal tambak. Kondisi ini diperparah oleh desakan penduduk dalam memenuhi keperluan hidup, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan berbagai upaya, diantaranya melalui pengembangan model pelestarian mangrove dengan melibatkan masyarakat sekitar. Selain itu, pengelolaan hutan di masa mendatang juga menuntut adanya kelembagaan masyarakat yang fungsional dan mandiri. Hal tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana.


(20)

Adapun ruang lingkup kajian penelitian mengenai kelembagaan pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai adalah untuk mengetahui :

1. Bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove? 2. Struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove?

3. Perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove?

4. Persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Untuk mengetahui struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Untuk mengetahui perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai.

4. Untuk mengetahui persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai.


(21)

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Sebagai informasi bagi pihak-pihak dalam mempertimbangkan kebijakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang bedagai untuk masa yang akan datang.

2. Mendapatkan bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove yang lebih baik.

3. Sebagai informasi bagi masyarakat luas dan Serdang Bedagai khususnya tentang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Defenisi Mangrove

Ekosistem mangrove adalah sumberdaya alam yang memiliki tempat tumbuh yang spesifik. Ekosistem mangrove tumbuh di zona pantai (berlumpur) yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut dan tidak terpengaruh oleh iklim. Ekosistem mangrove merupakan jalur hijau yang terpadu pada teluk-teluk, delta, muara sungai sampai menjorok kea rah pedalaman dan garis pantai (Dephut, 1997).

Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Ekosistem mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu system yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kusmana dkk, 2003).

Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsure biologis penting yang


(23)

fundamental, yaitu daratan air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki cirri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Departemen Kehutanan, 1992).

Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana dkk (2003), ekosistem mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan rekasi tanah an-aerob. Adapun menurut Aksornkoae (1993), ekosistem mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No.60/Kpts/Dj/1978, yang dimaksud dengan ekosistem mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut yaitu tergenang air laut pada waktu pasang surut dan bebas dari genangan pada waktu surut (Onrizal dan kusmana, 2004).

Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove

Menurut Kusmana dkk (2003) fungsi mangrove dapat dikategorikan ke dalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis/ekologis dan fungsi ekonomis seperti :

a. Fungsi fisik

- Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil. - Mempercepat perluasan lahan


(24)

- Melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angina kencang.

- Mengolah limbah organik b. Fungsi biologis/ekologis

- Tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (Spawing

ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis

ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya.

- Tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung. - Sumber plasma nutfah.

c. Fungsi ekonomis

- Hasil hutan berupa kayu.

- Hasil hutan bakau kayu seperti madu, obat-obatan, minuman, dan makanan, tanin dan lain-lain.

- Lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lainnya

Menurut Saenger (1983) dalam Onrizal dan Kusmana (2004), ekosistem mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai bahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan.

Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misalnya, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).

Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang


(25)

dilakukan di Teluk Grajangan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahkan dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk, 2002).

Kondisi Mangrove di Indonesia

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 2003. kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradari hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002).

Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang


(26)

rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove yang merupakan komunitas pantai tropis. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove tergenang air laut secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove

Akibat dari pemanfaatan pesisir dan lautan akan timbul berbagai permasalahan. Laut sering diperlakukan sebagai penampung sampah kota, limbah industri dan limpasan unsur hara (nutrient). Permasalahan umum yang berkaitan dengan hutan mangrove adalah kecenderungan makin meningkatnya kebutuhan manusia untuk menggunakan daerah hutan mangrove, sehingga mengancam kelestarian vegetasi mangrove tersebut. Pertumbuhan penduduk yang makin meningkat menyebabkan makin terbatasnya lahan untuk budidaya pertanian dan pertambakan (Onrizal dan Kusmana, 2004).

Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan menurut Perum Perhutani (1994) dalam Rahmawaty (2006), antara lain:

a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah.

b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa di tebang.


(27)

c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove. d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha

tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional.

Ruski (1992) dalam Onrizal dan Kusmana (2004) secara nyata mencatat semakin kritisnya kondisi ekosistem mangrove yang masih tersisa di sepanjang pantai utara Jawa. Keadaan ekosistem mangrove ini berada dalam kondisi yang rusak berat dan sangat memprihatinkan.

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angina laut, dan perembesan air asin. Sedangkan kearah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prose salami yang terjadi didarat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun disebabkan karena kegiatan manusia didarat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2000).

Berdasarkan sejarah perkembangan dan penyebaran penduduk diwilayah pesisir pantai, keinginan untuk membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara besar-besaran bagi masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan perkembangan ekonomi. Mayarakat nelayan yang sebelumnya hidup secara subsisten dan tradisioanal kini sudah banyak yang berubah menjadi petani-petani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan setinggi-tingginya. Perkembangan pergaulan dan transformasi kemajuan peradaban manusia dari berbagai benua dan kepulauan yang dialami oleh


(28)

masyarakat pantai Indonesia, telah membawa perubahan sikap, kebiasaan dan serta mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumberdaya alam pantai dan ekosistem mangrove. Masyarakat tersebut semakin berantusias untuk merombak ekosistem mangrove menjadi tambak ikan dan udang. Pengaruh aktivitas suku-suku pionir tersebut terhadap masyarakat asli untuk mengkonversi kawasan pantai dan ekosistem mangrove semakin meningkat (Dahuri, 2000).

Menurut Saptarini, dkk (1996), salah satu faktor sosial ekonomi yang berperan menyebabkan kerusakan mangrove secara langsung maupun tidak adalah faktor penduduk, karena :

- Penduduk pantai termasuk golongan yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.

- Sebagian besar penduduk tidak memiliki lahan sebagai modal usaha. - Pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak merata terutama pada daerah

yang padat nelayan maka akan semakin kritis sumberdaya hayati perikanannya.

- Belum sepenuhnya dapat menerima pembaharuan teknologi perikanan. Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan, rendahnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan lain sebagainya. Sehingga mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan (Pical, 2003).


(29)

Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung. Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari.

Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani, 1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara petani penggarap dan fihak kehutanan. Sebagai contoh, di daerah Blanakan dan Cikeong Kabupaten Subang telah diadakan kerjasama mina hutan antara pihak perhutani dan masyarakan di sekitar kawasan hutan serta hasilnya cukup baik bagi petani ikan maupun kelestarian hutan mangrove itu sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan .


(30)

Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi .Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak .Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.

Beberapa pedoman tentang pengelolaan hutan mangrove diantaranya: Hindari proses-proses sedimentasi berlebihan, erosi, pengendapan yang dapat merubah sifat kimiawi seperti kesuburan; Pertahankan pola-pola alamiah seperti aktivitas siklus pasut dari perubahan akibat pola pengembangan, termasuk pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah; peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi dengan cara mengevaluasinyasecara berkala; Tetapkanlah batas maksimum total hasil panen yang dapat diproduksi sehingga keberlanjutan sumber dayanya dan ekosistemnya dapat dipertahankan; Untuk daerah-daerah


(31)

yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya upaya memiliki rencana penanggulangannya; Hindari semua bentuk kegiatan yang mengakibatkan pengurangan area bakau seperti misalnya penghentian sirkulasi air permukaan (Dahuri et al, 1996).

Kelembagaan

Menurut Ruttan dan Hayami (1984) dalam Djogo, dkk. (2003), lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan.

Berbicara tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya pandangan orang lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi hanyalah wadahnya saja, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo, dkk., 2003).

Meskipun secara historis pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan telah cukup memadai. Namun peningkatan terus menerus kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk


(32)

dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Selain itu, masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang banyak disyaratkan oleh pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan skenario redistribusi sumberdaya alam yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000).

Pada tataran pragmatis, keberadaan kelompok/institusi masyarakat di sekitar kawasan hutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai institusi lokal baik formal/dengan legitimasi pemerintah), informal (yang hanya memperoleh legitimasi sosial maupun lembaga Adat telah tumbuh dan berkembang cukup lama di masyarakat). Meskipun dari segi konsep dan bentuk lembaga-lembaga tersebut masih sangat beragam, namun dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya mengenai pelestarian peran, manfaat dan fungsi hutan, masyarakat sudah memiliki pola kelembagaan yang berperan mengatur kegiatan, membangun, memanfaatkan dan menjaga sumberdaya hutan. Dalam kehidupan sehari-hari, kelompok/institusi ini memiliki corak yang beragam, baik dalam jenis, bentuk maupun kegiatannya, sesuai dengan yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat (Awang, dkk., 2000).


(33)

Hal umum yang dijumpai menyangkut kelembagaan adat di beberapa kelompok masyarakat lokal adalah bahwa peraturan-peraturan adat yang terkait dengan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan seringkali bersifat lisan atau tidak tertulis. Walaupun demikian, adanya karisma seorang Kepala Adat dan penyelesaian permasalahan yang dilakukan secara musyawarah dengan bantuan dewan adat (yang umumnya terdiri dari orang-orang tua berpengalaman atau berpengaruh dalam kelompok masyarakat itu sendiri) telah mampu membuat aturan adat tetap dihormati dan bahkan tetap diberlakukan hingga sekarang ini di beberapa daerah. Oleh karenanya, penyeragaman administrasi pemerintahan desa di seluruh nusantara selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru ataupun dengan semakin banyaknya generasi muda di desa yang berpendidikan lebih tinggi (meskipun dalam sisi tertentu di beberapa tempat telah mampu menyurutkan peran dan fungsi lembaga adat) sejatinya tidak sepenuhnya hilang. Hal tersebut dikarenakan kelembagaan adat masih merupakan kebutuhan dalam mengimbangi dinamika kehidupan masyarakat lokal. Apalagi dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, lembaga adat tampaknya tidak lagi hanya menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat lokal, melainkan dapat merupakan sarana ampuh dalam memperjuangkan kembalinya hak penguasaan sumberdaya alam termasuk hutan (Sardjono, 2004).

Komponen dan Fungsi Kelembagaan

Menurut Babbie (1994) dalam Sardjono (2004), dari sisi sosiologi ada empat komponen utama kelembagaan, yaitu: norma (norms), sanksi (sanctions), nilai (values), dan kepercayaan (beliefs). Norma menekankan pada tingkah laku yang dituntut dari masyarakat secara keseluruhan (tidak terikat dengan status


(34)

sosial yang disandang). Sedangkan sanksi, adalah instrument yang terikat pada norma dalam bentuk penghargaan (reward) dan hukuman (punishments). Sanksi diharapkan dapat menjamin terlaksananya norma dimaksud. Nilai, lebih ditekankan pada hal-hal yang lebih disukai (atau yang tidak disukai) dalam rangka menetapkan norma yang dipilih. Nilai akan dijustifikasikan melalui basis kepercayaan yang berkembang di kelompok. Sedangkan pola kelembagaan secara total akan membentuk budaya.

Kelembagaan sebenarnya memiliki fungsi penting dalam mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya alam (termasuk hutan) agar tetap bisa berfungsi lestari, serta menjamin hubungan antar manusia dalam masyarakat (bisa warga satu desa yang sama dan atau antar desa bertetangga) agar tetap harmonis (Sardjono, 2004).

Adat suatu masyarakat atau komunitas biasanya diteruskan secara lisan kepada anggota-anggotanya oleh generasi terdahulu. Adat menetapkan apa yang diharuskan, dibenarkan atau diizinkan, dicela atau dilarang dalam situasi-situasi tertentu. Adat dianggap sebagai himpunan norma-norma yang sah yang harus dijadikan pegangan bagi perilaku seseorang. Suatu pola perilaku tertentu adalah sah dan layak apabila sesuai dengan adat. Apa yang menjadi hukum adalah kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Bilamana terdapat pelanggaran terhadap adat kebiasaan itu, maka sanksi hukum biasanya ditetapkan oleh kepala adat setempat yang bentuk putusannya pun tidak tertulis (Sardjono, 2006).


(35)

Penguatan Identitas

Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan. Sistem tata nilai budaya, kelembagaan lokal, dan keterikatan masyarakat desa hutan atas lingkungan sumber daya hutan mengalami kemarginalan. Realita ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation) dari identitas bersama masyarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desar hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005).

Kelembagaan masyarakat desa hutan dalam bentangan sejarah terbukti mampu mengatur keteraturan, ketertiban, keamanan, dan keharmonisan, akan tetapi seiring masuknya budaya modernisasi dan penyeragaman kelembagaan tingkat nasional berdampak pada terpinggirkannya peran kelembagaan lokal masyarakat. Bahkan, dalam dua dekade terakhir kelembagaan lokal masyarakat telah mengalami kematian obor. Masyarakat desa hutan kehilangan arah melangkah untuk menapak jalan kehidupan yang pasti. Kebijakan struktural kelembagaan dari pemerintah pusat mengakibatkan tercerai berainya sistem kelembagaan masyarakat desa hutan yang berakar pada sistem tata nilai budaya lokal. Bercermin pada realita tersebut, maka langkah prioritas yang segera harus dilakukan untuk mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan adalah


(36)

penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal. Hal ini didasarkan oleh sisi positif kelembagaan lokal masyarakat, yaitu berakar pada sistem tata nilai budaya masyarakat lokal, struktur kelembagaan yang demokratis, tingkat partisipasi yang tinggi, dan selaras dengan nafas desentralisasi. Atas dasar itu, upaya yang segera dapat dipersiapkan untuk menghidupkan kembali kelembagaan lokal sebagai wujud aktualisasi kembali masyarakat desa hutan, adalah : (1) identifikasi kelembagaan lokal yang pernah ada, (2) merevitalisasi kelembagaan lokal dengan mengadopsi aspek positif kelembagaan sekarang, (3) sosialisasi kelembagaan, dan (4) penerapan akulturasi kelembagaan di masyarakat (Nugraha dan Murtijo, 2005).


(37)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan Februari–April 2009.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa Kayu Besar. Sedangkan sample yang diambil adalah kepala keluarga (KK) yang dipilih secara purposive sampling (sample bertujuan). Jumlah sample dalam penelitian ini adalah 30 responden.

Metode Pengumpulan Data

Teknik dan Tahapan Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan (daerah terpilih sebagai lokasi kajian). Tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data primer penelitian. Dilakukan dengan cara :

o Wawancara

Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden (Subagyo, 1997). Wawancara ini dilakukan kepada pihak lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove untuk memperoleh informasi mengenai proses pelaksanaan kebijakan kelembagaan.


(38)

o Kuisioner

Kuisioner merupakan daftar pertanyaan atau pernyataan yang diberikan kepada responden. Penyebaran kuisioner ini dilakukan untuk memperoleh data-data primer yang dibutuhkan dalam penelitian. Kuisioner ini disebarkan kepada masyarakat dan pihak lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.

o Observasi

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan (Subagyo, 1997). Observasi atau pengamatan langsung ini dilakukan terhadap kondisi dan peran kelembagaan tersebut. 2. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari arsip-arsip lembaga, pustaka

maupun publikasi yang dibuat oleh instansi terkait.

Pengolahan Data

1. Karakteristik Responden

Untuk memperoleh karakteristik responden seperti umur, pekerjaan , pendidikan, dan lain-lain yang di dapat kemudian dituangkan dalam bentuk tabulasi-tabulasi.

2. Skoring Data

Tabel 1. Skoring Data Umur

No Umur Skor

1 20-30 1

2 31-40 2

3 41-50 3


(39)

Tabel 2. Skoring Mata Pencaharian Responden

No Jenis Mata Pencaharian Skor

1 Petani 1

2 Pegawai Negeri Sipil(PNS) 2

3 Wiraswasta 3

4 Nelayan 4

5 Karyawan/Buruh 5

Tabel 3. Skoring Data Pendidikan

No Pendidikan Skor

1 SD 1

2 SLTP 2

3 SLTA 3

4 Sarjana(S-1) 4

Tabel 4. Skoring Jumlah Anggota Keluarga Responden

No Jumlah Anggota Keluarga Skor

1 1-3 1

2 4-6 2

3 7-9 3

4 >9 4

Tabel 5. Skoring Data Persepsi Responde

No Persepsi Responden Skor

1 Sangat tidak setuju 1

2 Tidak setuju 2

3 Ragu-ragu 3

4 Setuju 4

5 Sangat setuju 5

Tabel 6. Skoring Data Perilaku Responde

No Perilaku Responden Skor

1 Sangat sering 1

2 Sering 2

3 Jarang 3

4 Sangat Jarang 4


(40)

Analisis Data

Analisis dilakukan dengan penyusunan data bersifat naratif, dan mereduksi data yang telah didapatkan, menyajikan kembali data bersifat deskriptif. Data-data yang diperoleh dari wawancara, kuisioner, observasi maupun data-data pelengkap, dikumpulkan, dan diklasifikasikan sesuai dengan tema kajian permasalahan. Setelah itu dilakukan analisis berupa interpretasi data dengan bantuan data-data sekunder, dan diuraikan dalam bentuk diagram sehingga bisa menghasilkan uraian yang terperinci.

Analisis stakeholder merupakan suatu analisis yang digunakan untuk menjaring aspirasi dan peran dari setiap stakeholder (para pihak) dalam suatu kegiatan tertentu. Analisis stakeholder dilakukan melalui tahapan Focus Group Discusion (FGD) (Tadjudin, 2000). Adapun untuk menganalisis persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan dengan Skala Likert.

Untuk jelasnya tentang tujuan studi, sumber dan metode, data kunci, serta hasil yang diharapkan dalam penelitian disajikan secara matrik pada Tabel 7.


(41)

Tabel 7. Matrik Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian.

Tujuan Studi Data Kunci Sumber dan Metode Hasil yang Diharapkan

1.Mengidentifikas i bentuk-bentuk kelembagaan Pengelolaan ekosistem mangrove.

Bentuk dan unsur-unsur lembaga yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove

Pustaka, data statistik, peta, wawancara, observasi lapangan, dokumentasi, .

1. Adanya informasi tentang Sumber Daya Alam yang ada dan kegiatan pengelolaan yang mungkin dapat dilakukan. Kondisi umum dan sejarah

lokasi penelitian

Kondisi alam : Tipe bentang alam, iklim, geologi dan tanah, topografi, flora dan fauna

Pustaka, wawancara (kepdes, tokoh masy./adat), observasi lapangan, dokumentasi.

2. Adanya Informasi tentang lembaga-lembaga dan kegiatan yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove. 2. Mengetahui perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove.

Perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan: Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan sumberdaya hutan, nilai, norma, sanksi, dan

kepercayaan yang ada pada lembaga. Pustaka, wawancara (kepdes, tokoh masy/adat), observasi lapangan, dokumentasi, Dinas Kehutanan.

1. Adanya informasi mengenai perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan

pengelolaan ekosistem mangrove.

3.Membandingka n bentuk – bentuk kelembagaan Pengelolaan ekosistem mangrove.

Bentuk dan unsur-unsur lembaga yang lebih baik dalam pengelolaan hutan mangrove.

Pustaka, wawancara, observasi lapangan, dokumentasi, analisis stakeholder.

1. Adanya informasi mengenai perbandingan bentuk-bentuk

kelembagaan

pengelolaan ekosistem mangrove.


(42)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Ekosistem Mangrove

Kawasan hutan mangrove yang ada di Desa Kayu Besar terbagi dalam dua bentuk yaitu hutan tanaman dan hutan alam dengan luas hutan alam lebih kurang 438 Ha dan luas hutan tanaman lebih kurang 138 Ha. Kegiatan penanaman dilakukan oleh kelompok tani Bela Nusa dan masyarakat setempat.

Lokasi hutan mangrove berada pada ketinggian 1-3 mdpl, untuk jenis-jenis yang dominan di hutan mangrove ini adalah Rhizopora apiculata untuk hutan alam dan jenis api-api (Avicennia sp) untuk hutan tanaman. Secara khusus sebagian besar hutan bakau atau hutan mangrove terdiri dari Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Demikian halnya dengan hutan mangrove yang ada di Desa Kayu Besar terdiri dari jenis-jenis yang tersebut di atas yang masih sangat muda dimana 70 % kawasan adalah areal permudaan antara 7-8 tahun dan 30 %-nya adalah hutan alami sehingga secara umum jika di lihat dari komposisi tegakan masih didominasi oleh jenis pioner yang ada juga terdiri dari Avicennia yang berasosiasi dengan Sonneratia spp dan Nypa fructicans. Untuk sistem pengelolaan hutan mangrove, rencana pengelolaan ke depan adalah dengan menggunakan sistem empang parit, dengan tujuan selain mendapatkan kayu juga mendapatkan hutan, dalam sistem ini juga diusahakan agar semua jenis tidak bersifat dominansi.

Hutan mangrove adalah daerah asuhan yang sangat penting dan habitat bagi berbagai organisme laut, termasuk jenis yang tinggi nilai ekonominya seperti ikan dan udang. Hutan manggrove di Desa Bandar Khalipah banyak yang digunakan sebagi daerah tambak oleh penduduk sekitar maupun oleh penduduk


(43)

dari luar desa. Kawasan hutan manggrove Bandar Khalipah memiliki tipe air pasang semi diurnal atau air pasang dua kali sehari yaitu dua kali pasang naik dan dua kali pasang surut yang terjadi pada pagi dan sore hari.

Letak Wilayah

Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 20 57” Lintang Utara, 30 16” Lintang Selatan, 980 33” Bujur Kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut. Timur, 990 27” Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah Barat dengan Kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah 0-500 meter dari permukaan laut (Pemkab Sergai, 2008).

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis dimana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai Kabupaten induk. Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara perbulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 30 sampai dengan 340 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan Agustus-September 2004, hari hujan per bulan berkisar 8-26 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agustus-September 2004. Rata-rata kecepatan udara berkisar 1,9 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,47 mm/hari. Temperatur udara per bulan minimum 23,7 0C dan maksimum 32,2 0C. Adapun luas Kecamatan Bandar Khalipah adalah 11.600 Ha atau 116 Km2 yang berada di ketinggian 0-10 meter dari permukaan laut. Sejak adanya Kecamatan Bandar Khalipah yang menjadi Ibu Kota Kecamatan sekaligus sebagai pusat pemerintahnya adalah Pekan Bandar


(44)

Khalipah. Melihat dari letak dan geografisnya Kecamatan Bandar Khalipah sedikit identik dengan nuansa bahari, maka di daerah pesisirnya terbentang harapan yang pada awalnya adalah pertambakan udang namun pasa saat ini telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit (Pemkab Sergai, 2008).

Menurut data yang diperoleh dari Pemkab Sergai (2007), penyebaran penduduk di Kecamatan Bandar Khalipah pada umumnya merata meliputi sebagai berikut:

• Desa Bandar Tengah, luas 29,55 km dengan penduduk 8.081 jiwa

• Desa Juhar, luas 39,01 km dengan penduduk 5.869 jiwa

• Desa Gelam Sei Serimah, luas 22,76 km dengan penduduk 4.932 jiwa

• Desa Pekan Bandar Khalipah, luas 7,83 km dengan penduduk 2.358 jiwa

• Desa Kayu Besar, luas 16,85 km dengan penduduk 3.712 jiwa

Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Kayu Besar

Penduduk di Desa Kayu Besar tersebar dalam 13 dusun (Kantor Kepala Desa Kayu Besar, 2007). Potensi pengembangan di Desa Kayu Besar seperti peternakan, pertukangan, pertanian, kerajinan dan kehutanan. Kawasan mangrove di Desa Kayu Besar menjadi salah satu potensi pengembangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Kondisi hutan bakau seluas 225 Ha di Desa Kayu Besar telah mengalami kerusakan kondisi fisik. Kerusakan pada hutan bakau diakibatkan pemanfaatan yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan dari masyarakat.

Ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar mempunyai berbagai potensi seperti pemanfaatan hasil hutan, hasil hutan non kayu, pemanfaatan ekosistem mangrove seperti tambak, budidaya perikanan, pertanian dan kebun disekitar areal mangrove. Pengelolaan yang tepat guna dan ramah lingkungan akan membantu


(45)

masyarakat dalam mengambil manfaat ekonomi ekosistem mangrove Desa Kayu Besar. Menurut Kantor Kepala Desa Kayu Besar(2007), desa tersebut terdiri dari 13 dusun yang tersebar, sebagai berikut:

Tabel 8. Jumlah Penduduk Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai

No Nama Dusun Jumlah Penduduk

(jiwa)

Jumlah Kepala Keluarga (KK)

1 Pematang Buluh Barat 144 24

2 pematang buluh Timur 219 46

3 Pondok Panjang 396 93

4 Pasar Satu 358 82

5 Pematang Terap 220 54

6 Barisan Gereja 180 33

7 Masjid 409 104

8 Tiga Dolok 393 81

9 Pematang Tengah 169 34

10 Sampuran Nauli 179 36

11 Sidorejo Timur 153 30

12 Sidorejo Barat 152 30

13 Benteng 240 93

Jumlah 2685 672

Desa Kayu Besar berbatasan dengan laut lepas oleh karena itu penduduk Kayu Besar 50% adalah nelayan tradisional. Wilayah ini masih memiliki areal pertanian yang cukup luas bila dibandingkan dengan luas total wilayah secara keseluruhan yaitu sebesar 595 ha oleh karena itu 47% dari jumlah penduduk memiliki mata pencaharian sebagai petani dan ada juga yang membuka tambak tetapi dengan skala modal yang kecil dan hanya 3,3% yang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sarana dan Prasarana

Jalan merupakan pasaran pengangkutan yang penting untuk memperlancar dan mendorong kegitan perekonomian. Makin meningkat usaha dibidang ekonomi


(46)

menuntut pula peningkatan pembangunan jalan untuk memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain. Panjang jalan di seluruh Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2003 mencapai 2.292,49 km yang terbagi atas jalan negara 85,31 km, jalan provinsi 65,63 km, dan jalan kabupaten 2. 141,55 km. Setiap tahunnya baik prasarana jalan maupun jembatan selalu mendapatkan prioritas untuk perbaikan dengan menggunakan berbagai sumber dana. Panjang jalan diseluruh kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2004 sepanjang 1.682,52 km terdiri dari jalan negara 92,59 km, jalan provinsi 126,14 km, dan jalan kabupaten 1,463,79 km mengalami kemajuan pada tahun 2005, yaitu kondisi baik 132,29 km atau 9,04% kondisi sedang sepanjang 315,35 km atau 21,54%, kondisi rusak sepanjang 240,65 km atau 16,44% dan kondisi rusak berat sepanjang 775,50 km atau 52,98% (Pemkab Sergai, 2008).

Pusat pelayanan pos masih terpusat di Ibu Kota Kecamatan, namun dengan sarana jalan yang baik penduduk Desa Kayu Besar dapat mengakses dengan lancar. Pembangunan pos dan telekomunikasi mencakup jangkauan baik pelayanan dan peningkatan kerja sama internasional maupun peningkatan jasa telekomunikasi dan informasi dan data berjalan lancar. Namun untuk telekomunikasi telah tersedia dengan pelayanan yang bagus melalui telepon seluler (Pemkab Sergai, 2008).

Sarana pendidikan yang ada di Desa Kayu Besar yaitu sekolah TK dan SD, sedangkan SLTP dan SMA mereka harus pergi ke Ibu Kota Kecamatan. Namun untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi penduduk desa harus ke kota paling tidak di Ibu Kota Kabupaten Serdang Bedagai atau keluar kota (Pemkab Sergai, 2008).


(47)

Dengan sarana jalan yang baik masyarakat setempat dapat dengan mudah keluar desa untuk memenuhi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Walaupun pusat kesehatan masyarakat masih terpusat di Ibu Kota Kecamatan Bandar Khalipah dan rumah sakit umum (RSU) di Ibu Kota Kabupaten Serdang Bedagai namun mereka dapat dengan mudah memperoleh pelayanan kesehatan dari sana dan bila diperlukan penanganan yang lebih lanjut maka mereka merujuk ke tingkat Provinsi (Pemkab Sergai, 2008)


(48)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik responden penelitian di Desa Kayu Besar Dan Desa Pekan Bandar Khalipah, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara meliputi: umur, Pendidikan, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendidikan. Data katakteristik responden penelitian dapat diuraikan sebagai berikut, kisaran umur pada responden berada antara 20-60 tahun.

Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

No Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 20-30 2 6,67

2 31-40 6 20

3 41-50 19 63,3

4 51-60 3 10

Jumlah 30 100

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa masyarakat yang menjadi responden terbanyak berada pada kelas umur 41-50 tahun (63,3%), disusul oleh kelas umur 31-40 tahun (20%), kelas umur 51-60 tahun (10%) dan yang terakhir kelas umur 20-30 tahun (6,67%). Rata-rata umur dari semua responden adalah 45 tahun. Hal ini sesuai dengan Mantra (2004) yang menyatakan bahwa usia produktif tenaga kerja berada dalam kelas umur 15-64 tahun. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif. Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Petani 2 6,67

2 PNS 1 3,3

3 Wiraswasta 16 53,3

4 Nelayan 3 10

5 Karyawan/Buruh 8 26,7

Jumlah 30 100

Umumnya responden bermata pencaharian sebagai wiraswasta (53,3%). Selain itu responden juga bermata pencaharian sebagai Nelayan (10%). Kemudian


(49)

disusul responden yang bermata pncaharian sebagai karyawan/buruh (26,7%), dan pegawai Negeri Sipil (3,3%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 SD 17 56,7

2 SLTP 10 33,3

3 SLTA 2 6,67

4 Sarjana (S1) 1 3,3

Jumlah 30 100

Umumnya responden yang berada di Desa Kayu Besar Dan Desa Pekan Bandar Khalipah berpendidikan SD (56,7%), SLTP (33,3%), SLTA (6,67%), dan Perguruan Tinggi (3,3%). Responden paling dominan merupakan lulusan SD. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang mengambil manfaat dari ekosistem mangrove. selengkapnya karakteristik tingkat pendidikan responden dapar dilihat pada Tabel 11.

Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota

No Jumlah Anggota Keluarga Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 1-3 3 10

2 4-6 13 43,3

3 7-9 12 40

4 >9 2 6,67

Jumlah 30 100

Sebagian besar responden yang bermata pencaharian sebagai wiraswasta merupakan pencari kayu bakar, pencari kepiting, pembuat atap rumah, pengumpul cacing bakau dan petambak. Bagi responden yang mempunyai mata pencaharian wiraswasta pada umumnya bekerja mengambil manfaat dari ekosistem mangrove. Pekerjaan utama masyarakat biasanya didukung oleh adanya pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan dan pemenuhan kebutuhan masyaakat tersebut.


(50)

Rata-rata responden memiliki anggota keluarga antara 4-6 orang (43,3 %) kemudian disusul responden dengan anggota keluarga 7-9 orang (40%), responden dengan anggota keluarga antara 1-3 orang (10%) dan responden dengan anggota keluarga > 9 orang (6,67%). karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 13.Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

No Tingkat Pendapatan (Rp) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 100.000-500.000 18 60

2 600.000-1.000.000 11 36,7

3 ≥1.000.000 1 3,3

Jumlah 30 100

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa masyarakat yang menjadi responden tertinggi adalah masyarakat dengan pendapatan Rp 600.000-1.000.000, yaitu sebanyak 11 orang (36,7%), disusul responden dengan pendapatn Rp 100.000-500.000 sebanyak 18 orang (60%) dan masyarakat dengan pendapatan ≥ 1.000.000 yaitu 1 orang (3,3%). Pendapatan yang diterima responden sebagian merupakan hasil dari pemanfaatan ekosistem mangrove, meskipun ada responden yang menambah pemdapatan dari sumber lain. Pada umumnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan ekosistem mangrove Kecamatan Bandar Khalipah mempunyai pekerjaan lain di samping pekerjaan utama.

Jenis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Lembaga formal yang ada di Desa Kayu Besar ini adalah pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa ( BPD). Fungsi Pemerintahan Desa dan BPD sudah berjalan secara optimal. Secara formal kedudukan Kepala Desa saat ini di jabat oleh Tua Pangihutan Sinaga SP. Desa Kayu Besar ini telah memiliki kantor resmi pemerintahan sehingga setiap urusan yang menyangkut Desa


(51)

dilakukan di kantor tersebut. Lembaga lainnya yang bersifat non formal/adat adalah lembaga-lembaga yang tumbuh ditengah masyarakat dengan atau tanpa struktur organisasi yang lengkap dan berfungsi untuk memfasilitasi warga dalam memenuhi berbagai macam kebutuhan bersama.

Lembaga formal yang ada di Desa Kayu Besar tidak dapat beperan secara optimal dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Hal ini dikarenakan lembaga yang ada bukan merupakan suatu lembaga yang bersifat otonom. Akibatnya, lembaga formal cenderung bersifat pasif, dan menunggu perintah serta petunjuk dari pemerintah kota. Keadaan ini akan berakibat langsung maupun tidak langsung pada pengelolaan ekosistem mangrove. Selain itu keterbatasan informasi menyebabkan upaya pembinaan menjadi tidak terfokus pada sasarannya. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan kemampuan dan pemberdayaan kelembagaan ditingkat operasional desa atau kecamatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga-lembaga non formal yang ada di masyarakat pada umumnya masih bersifat tradisional dan sederhana, struktur kepengurusannya sangat ringkas dan dibuat sesuai dengan kebutuhan. Aturan dasar organisasi hanya mengatur hal-hal yang sangat umum. Sehingga dalam kehidupan masyarakat tokoh panutan lebih dominan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Meskipun tokoh panutan dominan dalam pengambilan keputusan tetapi dibatasi oleh norma-norma yang ada di masyarakat. Norma yang berlaku tersebut disepakati oleh masyarakat desa dalam rembug desa. Beberapa norma dan aturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat dalam kaitannya untuk menjaga kelestarian hutan antara lain; (1) dilarang menebang tanaman sebelum waktu tebang, jika melanggar


(52)

kesepakatan maka petani akan terkena sanksi, (2) mencabut atau merusak tanaman harus menanam dan memelihara sampai hidup, dan (3) bagi anggota yang tidak mengikuti kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove, maka lahannya dikelola oleh kelompok lain dan hasilnya dibagi dua antara pemilik lahan dan kelompok. Walaupun aturan mengenai penggembalaan liar, penebangan sebelum waktunya dan merusak ekosistem mangrove dan harus mengganti sampai hidup secara tertulis belum ada, namun telah disepakati bersama. Kebiasaan menegur dan berdialog antar warga dalam setiap pertemuan merupakan kebiasaan yang sudah melembaga. Melalui aturan ini diharapkan hutan akan terus dapat dilestarikan, meskipun aturan tersebut secara formal tidak tertulis. Koordinasi dan kerjasama merupakan sarana bagi tercapainya tujuan dimana koordinasi dimaksudkan untuk mensinkronisasikan dan mengintegrasikan agar lebih terarah kepada sasaran yang akan dicapai. Tipe koordinasi yang dilaksanakan meliputi koordinasi yang bersifat horizontal dan vertikal. Koordinasi vertikal yang dilakukan oleh kelompok tani masih terbatas kepada pemerintahan desa, pemerintahan tingkat kecamatan, dan dinas terkait tingkat kabupaten. Secara horizontal koordinasi dilakukan oleh lembaga tingkat desa. Koordinasi dan kerjasama ini diharapkan dapat membantu pengelolaan hutan, namun kegiatan tersebut masih sangat terbatas. Aset organisasi yang dimiliki oleh kelompok tani sampai saat ini masih terbatas, karena ketidaktersediaan modal. Meskipun demikian peran kelompok cukup besar dalam pengelolaan hutan.

Kultur yang ada pada masyarakat yang mengakar menjadikan pemberian informasi dan teknologi melalui tokoh masyarakat lebih efektif. Pengambil kebijakan perlu mempertimbangkan aspek sosial dan budaya setempat bila


(53)

bermaksud melakukan intervensi pada pengelolaan hutan rakyat. Sebuah intervensi kebijakan tanpa mengikutsertakan tokoh-tokoh yang terlibat

(stakeholders) dan berkepentingan dalam pengelolaan ekosistem mangrove akan

menimbulkan dampak yang buruk bagi keberhasilan program tersebut. Oleh karena itu keikutsertaan tokoh panutan dalam masyarakat akan berperan besar bagi kesuksesan pengembangan dan pengelolaan ekosistem mangrove.

Keterlibatan lembaga yang ada di desa akan sangat menentukan perkembangan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Secara umum kelembagaan formal yang ada di desa tidak berperan secara langsung dalam pengelolaan ekosistem mangrove, sebaliknya lembaga non formal lebih berperan. Penyuluh kehutanan merupakan lembaga yang paling banyak berperan dan mempengaruhi pengelolaan ekosistem mangrove. Tugas penyuluh kehutanan adalah memberi bantuan dan pilihan teknologi yang sesuai bagi pengelolaan ekosistem mangrove. Masyarakat menganggap penyuluh kehutanan merupakan pihak yang memiliki pengetahuan lebih dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Akibatnya, penyuluh menjadi tumpuan sumber informasi bagi masyarakat.

Struktur Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove 1. Dinas Kehutanan

Usaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya yang cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia


(54)

bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan, salah satu penyebabnya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove, dan masyarakat masih cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).

Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu senantiasa datangnya dari atas, sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan top-down. Pelaksanaan proyek semacam ini tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.

Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki hutan mangrove tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga mereka dapat mengambil atau memotong hutan mangrove tersebut secara bebas. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan


(55)

mereka tinggal mengambil tanpa merasa diawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat pesisir yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi (Savitri dan Khazali, 1999). Seyogyanya upaya pemulihan ekosistem mangrove adalah atas biaya pemerintah, sedangkan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan semuanya dipercayakan kepada masyarakat.

Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut ada juga melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat desa, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjadi milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada di daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat.

Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan ikut memilikinya. Dari sini akan tergambar andaikata ada sekelompok orang yang bukan anggota masyarakat yang ikut menaman hutan mangrove tersebut ingin memotong sebatang tumbuhan mangrove saja, maka mereka tentu akan ramai- ramai mencegah atau mengingatkan bahwa mereka menebang pohon tanpa ijin. Ini merupakan salah satu contoh kasus kecil dalam perusakan hutan mangrove yang telah dihijaukan, kemudian dirusak oleh anggota masyarakat lainnya yang bukan anggota kelompoknya. Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat setempat ini


(56)

biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom-up (Gambar 1).

Gambar 1. Pendekatan Buttom-up

Menurut Sudarmadji (2001) hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom

up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang

telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah hanyalah memberikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan top down dalam pelaksanan pemulihan ekosistem, selain itu “pemerintah atau pemilik modal” tidak terlalu berat melakukannya, karena masyarakat dapat berlaku aktif pada proses pelaksanaan pemulihan tersebut, dan pada masyarakat pesisir akan timbul rasa ikut memiliki terhadap hutan mangrove yang telah berhasil mereka hijaukan. Dengan demikian pelaksanaan suatu proyek dengan pendekatan bottom up atau menumbuhkan adanya partisipasi dari anggota masyarakat ini juga sekaligus merupakan proses

Pemerintah

Pemerintah Kabupaten

Perangkat Desa


(57)

pendidikan pada masyarakat secara tidak langsung (Savitri dan Khazali, 1999).

2. Kelompok Tani

Selain itu ada juga kelompok tani yang ada di Desa kayu Besar dan Desa Pekan bandar khalipah. Kegiatan kelompok tani dilakukan dengan cara gotong royong yang dilakukan pada saat penanaman/pemanenan. Menurut salah satu anggota kelompok tani, petani pemilik lahan hanya menyediakan makanan bagi anggota kelompok setiap kelompok biasanya beranggotakan sekitar 10-13 orang.

Modal kelompok tani berasal dari sumbangan dari masing-masing anggota dan Pemerin. Selain itu ada juga dari Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Kehutanan seperti pemberian bibit, peralatan dan intensif lainnya. Sedikitnya jumlah kelompok tani disebabkan karena sebagian penduduk asli lebih cenderung mencari penghidupan di luar daerah selain itu, produktifitas kerja kelompok tani sangat rendah karena anggota kelompok tani merupakan petani yang berumur diatas 35 tahun.

Kelompok tani mempunyai pengaruh dalam pengelolaan ekosistem mangrove walaupun jumlah kelompok tani masih sedikit dikarenakan kelompok tani secara langsung dibentuk oleh masyarakat yang mempunyai lahan. Adapun struktur dari kelompok tani itu sendiri dapat dilihat pada Gambar 2.


(58)

Gambar 2. Struktur Kelompok Tani

Di samping itu ada juga lembaga lain yang mendukung kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove yaitu diantaranya:

• Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), merupakan lembaga adat yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Kepengurusan LKMD di Desa Kayu Besar diketui oleh Jamoklin Sitinjak yang beranggotakan sekitar 13 orang, sedangkan di desa Pekan Bandar Khalipah diketuai oleh Don Bahri yang beranggotakan sekitar 10 orang. Proses pemilihan ketua ini dilakukan dengan cara pemilihan dari wakil masing-masing suku yang ada. Penanggung jawaban tugas terhadap wilayah administrasi diserahkan kepada unsur-unsur tersebut.

Wawancara yang dilakukan dengan responden kunci diantaranya kepala dusun, tokoh adat dan masyarakat. LKMD berperan penting dalam mengatur pengelolaan ekosistem mangrove termasuk dalam proses pengambilan keputusan., sampai sekarang lembaga ini masih berfungsi. Dari kuisioner yang diberikan keterangan jawaban responden hampir sama dengan keterangan jawaban dari tokoh adat yang diwawancarai.

Ketua Jamoklen Sitinjak

Anggota Jalaluddin P.B

Madlan

Anggota Suparmin Tarigan Sagala

Anggota Sudarmono

Legimin Sekretaris

H. Manungkalit

Bendahara Tunggul Tambunan


(59)

• Pemberdayaan dan Kesehatan Keluarga (PKK), Kelembagaan ini menunjang peran serta masyarakat dalam pembangunan dan kemajuan desa. Selain itu menggalang sifat kegotongroyongan perempuan yang merupakan tradisi desa sejak dulu. Berdasarkan pengamatan, lembaga ini sering melakukan kegiatan-kegiatan dalam desa terutama untuk para remaja purti dan ibu-ibu seperti pelatihan-pelatihan dan pengembangan usaha ibu-ibu. Lembaga ini kurang berpengaruh dalam hal pengelolaan ekosistem mangrove.

Mekanisme dan Output Bentuk-Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove 1. Model pengelolaan ekosistem mangrove oleh Dinas Kehutanan

Desa Kayu Besar merupakan salah satu desa yang mempunyai potensi hutan mangrove di sepanjang pantai. Luasan hutan mangrove yang ada di desa tersebut kurang lebih 438 ha hutan alan dan 138 ha hutan tanaman. Lokasi hutan mangrove berada pada ketinggian 1-3 mdpl, untuk jenis-jenis yang dominan di hutan mangrove ini adalah Rhizopora apiculata untuk hutan alam dan jenis api-api (Avicennia sp) untuk hutan tanaman. Secara khusus sebagian besar hutan bakau atau hutan mangrove terdiri dari Rhizopora apiculata dan Rhizopora

mucronata. Demikian halnya dengan hutan mangrove yang ada di Desa Kayu

Besar terdiri dari jenis-jenis yang tersebut di atas yang masih sangat muda dimana 70 % kawasan adalah areal permudaan antara 7-8 tahun dan 30 %-nya adalah hutan alami sehingga secara umum jika dilihat dari komposisi tegakan masih didominasi oleh jenis pioner yang ada juga terdiri dari Avicennia yang berasosiasi dengan Sonneratia spp dan Nypa fructicans. Untuk sistem pengelolaan hutan mangrove, rencana pengelolaan ke depan adalah dengan menggunakan sistem


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Awang, S.A., Suhardi, M.A. Safitri, dan Kustomo. 2000. Kelembagaan

Kehutanan Masyarakat. Aditya Media. Yogyakarta.

Dahuri, R. 2000. Integritas Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau

Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan

Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.

Dahuri, R, J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. pengelolaan Sumberdaya

Wilayah Pesisir dan lautan Secara Terpadu. PT Saptodadi. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 1992. Hutan Bakau di Indonesia. Departemen

Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Mangrove

di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Djogo, T., Sunaryo, D. Suharjito, dan M. Sirait. 2003. Kelembagaan dan

Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. World Agroforestry

Centre (ICRAF). Bogor.

Foresta, H de. A, Kusworo. G, Michon, dan W.A, Djatmiko. 2000. ketika Kebun

Berupa Hutan Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan

Masyarakat. ICRAF. Bogor.

Hairiah, K. Widianto. S.R, Utami dan B, Lusiana 2002. Wanulcas Model Simulasi

untuk Sistem Agroforestri. ICRAF. Bogor.

[Kantor Kepala Desa Kayu Besar]. 2007. Data Penduduk Kayu Besar Menurut

Usia. Kantor Kepala Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,

Kabupaten Serdang Bedagai

Kusmana, C. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan dan

Berbasis Masyarakat. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional

Pengelolaan Hutan Mangrove, di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.

Kusmana, C., Sri Wilarso, Iwan H., Prijanto P., Cahyo W., Tatang T., Adi T.,

Yusnafi dan Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas

Kehutanan IPB. Bogor.

Lahjie, A.B. 2000. Teknik agroforestri. UPN Press. Jakarta.

Nugraha, A. dan Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara. Banten.

Onrizal dan C. Kusmana. 2004. Buku Ajar Ekologi dan Manajemen Mangrove.


(2)

Pratikto, W. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi

Resiko terhadap Bahaya Tsunami. Makalah disampaikan pada

Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta. [6-7

Agustus 2002]

Rahmawaty. 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan

Masyarakat.

Saenger at.al., 1983. Global Status ol Mangrove Ecosystem, IUCN Commossion

on eccology –apers, no. 3. 1983.

Saptarini, D., Suprapti, dan H. R. Santosa. 1996. Pengelolaan Sumberdaya

Kelautan dan Wilayah Pesisir. Proyek Pengembangan Pusat Studi

Lingkungan (PPPSL). ITS. Surabaya.

Pical, V. J. 2003. Sistem Pembinaan Masyarakat Nelayan dalam Perspektif

Pembangunan Perikanan yang Berkelanjutan di Indonesia.

2008]

Sardjono, M. A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan Masyarakat Lokal, Politik,

dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Yogyakarta.

Sardjono, A. 2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional.

Penerbit ALUMNI. Bandung.

Subagyo, P. J. 1997. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Rineka Cipta.

Jakarta.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah

Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.


(3)

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian

KUISIONER I. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama :

2. Jenis Kelamin :

3. Agama :

4. Umur (Tahun) :

5. Pendidikan Terakhir :

6. Suku :

7. Alamat :

8. Pekerjaan Utama :

9. Pekerjaan sampingan :

10. Lama Menetap :

11. Jumlah Anggota Keluarga :

II. PENGETAHUAN TENTANG HUTAN

1. Menurut saudara apakah arti hutan?

2. Menurut saudara apakah hutan bermanfaat?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

Jika Ya manfaat apa yang anda ketahui

1. 2.

3. Apakah menurut saudara jika hutan rusak akan berakibat buruk bagi kehidupan masyarakat sekitar?

III. NILAI MANFAAT KAWASAN EKOSISTEM MANGOVE

1. Apakah manfaat langsung yang dapat saudara nikmati dari kawasan hutan

mangrove?

2. Adakah hasil hutan yang saudara manfaatkan dari hutan mangrove?

a. a. Ada b. Tidak

3. Jika ada hasil hutan berupa apakah itu?

a. a. Kayu b. Non kayu

4. Bagaimana saudara mengelola hasil hutan yang saudara manfaatkan?

a. Dijual b. Dikonsumsi Langsung

5. Apakah mangrove merupakan sumber mata pencaharian utama anda? 6. Sudah berapa lama anda mengambil manfaat dari hutan mangrove ini?

7. Berapa besar pendapatan perbulan yang anda terima dari pemanfaatan hutan mangrove?

IV. PERANAN TERHADAP UPAYA PEMULIHAN KAWASAN MANGROVE

1. Menurut saudara apakah kawasan ini dapat diperbaiki lagi?

a. Dapat b. Tidak c, Ragu-ragu

2. Menurut saudara siapakah yang mempunyai hak untuk mengelola hutan mangrove?

a. Masyarakat b. Pemerintah c. Masyarakat dan Pemerintah

3. Apakah saudara ikut serta dalam pengelolaannya?

a. Ya b. Tidak

4. Jika ya sebagai apa? 5. Jika tidak, mengapa?


(4)

6. Apakah saudara pernah ikut memberikan informasi melarang/menghimbau masyarakat lain untuk merambah hutan/lahan dalam kawasan hutan mangrove ini?

a . Pernah b. Tidak

7. Jika saudara pernah memberikan informasi melarang/menghimbau masyarakat lain, bagaimana cara pemberian informasi tersebut?

8. Adakah kegiatan yang saudara lakukan dalam upaya pemulihan kawasan hutan mangrove?

a. Ada b. Tidak

9. Jika ada, apakah kegiatan itu saudara lakukan sendiri, bersama keluarga atau bersama kelompok masyarakat?

a. Sendiri b. Keluarga c. Kelompok

masyarakat

10. Jika saudara melakukannya sendiri/bersama keluarga seperti apakah kegiatan tersebut?

11. Jika saudara melakukannya bersama kelompok masyarakat seperti apakah kegiatan tersebut?

12. Darimana saudara dapatkan biaya dalam melakukan kegiatan tersebut? 13. Apa peran Pemerintah dalam kegiatan yang saudara lakukan tersebut?

V. PENGETAHUAN TENTANG KELEMBAGAAN

1. Apakah anda mengetahui pengertian tentang kelembagan?

a. Tahu b. Tidak Tahu

2. Bagaimanakah sistem organisasi dari kelembagaan tersebut?

a. Sangat baik b. Baik c. Kurang baik d. Tidak baik e. sangat tidak baik 3. Bagaimanakah status legalitas dari kelembagaan yang ada pada saat sekarang ini? a. Sangat legal b. legal c. Kurang legal d. Tidak legal e. Sangat tidak legal 4. Apakah ada keterlibatan lembaga itu dalam kegiatan pengelolaan hutan dan lahan?

a. Ada b. Tidak ada

5. Jika ”ada” dalam bentuk apa keterlibatan lembaga itu?

a. Pengelolaan b. Pembuat aturan c. Penjual hasil d. Perlindungan

6. Apakah ada musyawarah/pertemuan/kumpulan diantara masyarakat untuk merencanakan suatu kegiatan, seperti rehabilitasi hutan dan lahan?

a. Ya, ada b. Tidak ada

7. Jika ”ada”, apakah anda pernah hadir dalam setiap pertemuan tersebut? a. Selalu hadir b. Kadang-kadang hadir c. Tidak pernah hadir

8. Berapa kali pertemuan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam kegiatan tersebut?

a. Satu minggu sekali b. Sewaktu-waktu bila diperlukan c. Tidak ada pertemuan 9. Apakah anda pernah mengajukan usul atau ide tentang perencanaan kegiatan

kelompok dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan?

a. Sangat sering b. Sering c. Jarang

d. Sangat jarang e. Tidak pernah

10. Jika ”pernah”, apakah usul atau ide tersebut diterima?

a. Diterima b. Tidak diterima

11. Apakah anda pernah memberikan sumbangan materi dalam pertemuan tersebut?

a. Pernah b. Tidak pernah

12. Apakah anda pernah diberikan penjelasan/pelatihan oleh Dinas Kehutanan tentang teknik-teknik dalam melakukan berbagai bidang kegiatan rehabilitasi yang akan dilakukan?


(5)

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

Kondisi Umum Hutan Mangrove Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalipah Kabupaten Serdang Bedagai


(6)