Kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian (studi kasus perceraian di desa serdang jaya kecamatan betara kabupaten Tanjab Barat Jambi)

(1)

Kabupaten Tanjab Barat Jambi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

EPI YULIANTI

NIM. 1111044100026

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (A H W A L S Y A K H S I Y Y A H) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437 H/ 2015 M


(2)

KESADARAN HTIKTJM DAN PERSEPSI MASYARAKAT

TERHADAP PERCERAIAN

(studi Kasus Perceraian Di Desa serdang Jaya Kecamatan Betara

KabuPaten Tanjab Barat Jambi)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Mernenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariatr (S'Sy)

Oleh:

Epi Yulianti

NIM. 1111044100026

Di Bawah Bimbingan:

i t

tu

Dr. Umar Al-Iladdad. MA

NrP. I 9680904199401 1001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

(ArrwAL

S

YA

KIr

S

rYY

A rr)

FAKULTAS SYARIAH DAI\ HUKUM

UNTVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF I{IDAYATULLAH

JAKARTA ,L437

rrl

2015

M


(3)

TERHADAP PERCERAIAN (Studi Kasus Perceraian Di Desa Serdang Jaya

Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi)" telah diujikan dalam

sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2015. Skripsi

ini

telah

diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 20 Oktober 201 5

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr.

NIP. 1969 Panitia Sidang:

Ketua

Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

Penguji 2

: Dr. H. Abdul Halim. M.Ae. NrP.19670608 199403 1 005

: Arip Purkon. M.A.

NIP. 19790427 200312

I

002 : Dr. Umar Al-Haddad. MA.

NrP. 19680904 199401

I

001

: Dr. H. Abdul Halim. M.Ag. NIP. 19670608 199403

I

00s

: Nur Rohim Yunus. LL.M. NIP. 1979041620n 01

I

004

/1

. ..)

...)


(4)

LEMBAR PER}IYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sfrata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini telah

saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri

Of$

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(Uf$

Syarif Hidayatullah Jakarta.

J akarta, 20 Oktober 20 1 5


(5)

Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2015 M. xi + 101 halaman + 68 halaman lampiran.

Skripsi ini difokuskan pada penelitian dalam mengungkap permasalahan tentang kesadaran hukum dan persepsi masyarakat desa Serdang Jaya terhadap Perceraian. Sedangkan tujuan dari pada skripsi ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yang menekankan pada kualitas dengan pemahaman deskriptif pada kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan pedekatan yuridis-sosiologis. Yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang mempelajari jaringan hubungan antara manusia dalam lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara Hakim Pengadilan Agama Kuala Tungkal, Kepala Desa, RT, Tokoh Agama dan warga Desa Serdang Jaya yang melakukan perceraian diluar sidang pengadilan. Adapun pengelolaan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang kongkret yang dihadapi.

Dari hasil penelitian dan wawancara yang penulis lakukan, terlihat jelas bahwa kesadaran hukum masyarakat desa Serdang Jaya terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia, bahwa kesadaran masyarakat terhadap hukum adalah kurang baik, artinya masyarakat mengetahui bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan akan tetapi kesadaran masyarakat untuk melaksanakan aturan tersebutlah yang kurang baik, sehingga masyarakat masih melakukan perceraian di luar pengadilan. Sedangkan persepsi atau pemahaman masyarakat sendiri mengenai perlu adanya peraturan yang mengatur tentang perceraian dan pentingnya UU No. Tahun 1974 tentang perkawinan adalah baik, pendapat mereka manyatakan peraturan tersebut sangatlah penting adanya.

Kata Kunci : Kesadaran Hukum dan Persepsi Masyarakat. Studi Kasus Perceraian Di Desa Serdang Jaya-Jambi

Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1974 sampai Tahun 2014


(6)

Limpahan puji dan syukur senantiasa takkan terhenti kepada Sang Maha Pencipta dan Maha pemberi rezeki kepada seluruh makhluk-Nya di alam jagat raya ini. Dengan mengucapkan Alhamdulillah bersyukur karena dengan ridho, cinta dan kasih sayang-Nya dapat menyelesaiakan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tersampaikan kepada Rasul yang paling berjasa yaitu Nabi Muhammad SAW. Semoga dengan bersholawat kepadanya bisa berkumpul bersamanya di hari kiamat nanti amin.

Manusia tidaklah mungkin hidup tanpa bantuan dari orang lain dan tidaklah mungkin terwujud semua usaha tanpa bantuan orang lain juga. Dengan ini mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas keterlibatan semua pihak yang telah membantu menulis dan menyusun skripsi ini dengan baik, oleh karena itu, ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Halim, M.Ag.,dan Arip Purkon, S.HI., MA. Ketua Program Studi dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan.

6. Drs. H. Mhd. Dongan., Wakil Ketua Pengadilan Agama Kuala Tungkal yang telah membantu dan membimbing penulis selama melakukan wawancara. Serta Ghozi S.Ag., Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kuala Tungkal, beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan wawancara dan juga dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

7. Darmayulis S.H., Kepala Desa Serdang Jaya beserta jajarannya, kemudian segenap Bapak Rt dan Bapak Ustadz selaku Tokoh Agama desa Serdang Jaya atas kesediaanya membantu, memberi masukan, dorongan dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan penelitian.

8. Tidak lupa pula ucapan banyak terimakasih kepada Ibu Bapak dan seluruh keluarga khususnya Nadiatul Husna yang telah memberikan semangat, doa


(8)

9. Cinta dan kasih sayang penulis sampaikan untuk sobat tersayang, terheboh dan terbaikku Lilis Sumiyati dan Safira Maharani yang selalu ada disamping penulis untuk memberikan semangat, dukungan, tawa canda dan kesetiaannya menemani penulis dari awal berjumpa hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

10.Kepada sobat seperjuangan penulis alumni 45 Ponpes Wali Songo Ngabar khususnya Nazir, Ardian, Ridho, dan Faisal, serta kepada Bang Rifki, Bang Haris, Bang Helmi, Yuyun, dan rekan-rekan forkalis lainnya, saya mengucapkan banyak terimakasih atas dukungan semangat, dorongan, motivasi dan bimbingannya selama menyelesaikan skripsi.

11.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis: Hendrawan, Andi Asyraf, Kamelia Sari, Nadia Nur Syahida, Mujahidah, Triana Apriyanita, Juniarti Harahap, Gusti Fajrina Fauziati, Ahmad Robian, Vemi Zauhara, serta teman-teman seatap dan sekosan Nailil Farohah, Yonita Syukra, Aini Yunianingtias, Riska yang terus memberikan support, hiburan dan semangat kepada penulis selama penulisan skripsi.

12.Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2011 dan KKN LEBAH 2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kenangan


(9)

konsulku Baiti, Amel, Vina Haifa, Peyeng, Lastri, Ois Mancung, Anis Chan, Winda, Ropeh, Ambar, Aqila, Ozi, Jamil, Wahyu, Aan Jamblang, Agus, Pakde, Ocit, Khudori dan Roma, terimakasih atas segala dukungan, semangat dan doanya untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi, serta kenangan indah yang kita ukir bersama yang takkan pernah terlupakan.

14.Serta seluruh Keluarga Besar Racana Fatahillah-Nyi Mas Gandasri gugus depan 07-081- 07-082 Pramuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis ucapkan terimakasih atas dukungan dan doanya.

Tidak ada yang dapat diberikan atas jasa dan pengorbanannya, hanya lantunan doa semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balas yang berlipat ganda.

Saya berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa saya harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 20 Oktober 2015


(10)

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Kerangka Teori... 9

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Perceraian ... 20


(11)

E. Prosedur dan Akibat Perceraian ... 41

BAB III POTRET MASYARAKAT DESA SERDANG JAYA

A. Sejarah ... 49 B. Letak Demografi ... 50 C. Kondisi Sosial dan Kependudukan ... 52

BAB IV KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI MASYARAKAT DI DESA SERDANG JAYA TENTANG PERCERAIAN

A. Motif Yang Melatarbelakangi Terjadinya Perceraian ... 58 B. Kesadaran Hukum Dan Persepsi Masyarakat Terhadap Perceraian

Dilihat Dari Perspektif Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia 68 C. Analisis Penulis ... 88

BAB V PENUTUP

D. Kesimpulan ... 93 E. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi


(12)

Serdang Jaya

6. Hasil Wawancara dengan Hakim PA Kuala Tungkal

7. Hasil Wawancara dengan Panitera Muda Hukum PA Kuala Tungkal 8. Hasil Wawancara dengan Ibu Kepala Desa Serdang Jaya

9. Hasil Wawancara dengan Ketua RT.02 Desa Serdang Jaya 10.Hasil Wawancara dengan Ketua RT.12 Desa Serdang Jaya 11.Hasil Wawancara dengan Tokoh Agama Desa Serdang Jaya 12.Hasil Wawancara dengan Masyarakat Desa Serdang Jaya 13.Dokumentasi Gambar Melakukan Wawanca


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi hukum dalam proses pembangunan hanya tidak sekedar berfungsi sebagai alat pengendalian sosial, melainkan lebih dari itu. Hukum diharapkan mampu menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan cara-cara baru dalam rangka mencapai suatu keadaan masyarakat yang dicita-citakan. Begitu pula dalam sebuah keluarga yang merupakan bagian dari institusi sosial terkecil di tingkat masyarakat yang ramah nilai, manfaat dan arti bagi kehidupan yang lebih luas. Untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dibutuhkan rasa kasih sayang, terciptanya keharmonisan, ketentraman dan harus memiliki seperangkat aturan yang dapat menumbuhkan kesadaran yang tinggi di antara anggota keluarga terhadap hak dan kewajiban masing-masing.

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah yang sebenarnya dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Ikatan perkawinan dapat


(14)

putus dan tata caranya telah diatur baik dalam fikih maupun dalam Undang-Undang perkawinan (UUP).1

Putusnya perkawinan ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Putusnya perkawinan karena kehendak suami atau istri atau kehendak keduanya, karena adanya ketidak rukunan disebut dengan

istilah “perceraian”, yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami atau istri sebagaimana seharusnya menurut hukum perkawinan yang berlaku. Konkretnya, ketidak rukunan antara suami dan istri yang menimbulkan kehendak untuk memutuskan perkawinan dengan cara perceraian antara lain: karena pergaulan suami dan istri yang tidak saling menghormati, tidak saling menjaga rahasia masing-masing, keadaan rumah tangga yang tidak aman dan tenteram, serta terjadi sengketa dan pertentangan pendapat yang sangat prinsip.2 Dalam hal itu Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Hal ini terdapat dalam hadits dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, sabda

1

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Beras Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), h. 124.

2

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,


(15)

Nabi yang berbunyi: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah

talak”.3

Kendatipun perkawinan tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Para ulama klasik juga membahas putusnya perkawinan ini dalam lembaran kitab al-fiqih al-islami wa’adillatuh. Menurut menurut mazhab Hanafiyah, sebab-sebabnya adalah islamnya salah satu dari suami atau istri, murtad, khiyar, tidak adanya kesetaraan dan suami atau istri hilang dan tidak adanya kabar. Mazhab Malikiyah sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu’, khiyar/fasakh, „ila, murtad dan perpisahan yang disebabkan tidak adanya

kesetaraan (kafa’ah) antara suami istri. Adapun menurut mazhab Syafi’iyah, sebab-sebabnya adalah talak, khulu’, fasakh, khiyar, nusyuz, „ila, zihar dan

li’an. Sedangkan menurut mazhab Hanabilah, yaitu karena khulu’, murtad, aib, islamnya salah satu dari suami atau istri, „ila dan li’an.4

Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengaturnya dalam bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Sedangkan tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis

3

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, h. 124.

4

Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islam Wa’adillatuh,(Damaskus: Darul Fikr, 1989), jilid 7, h. 349.


(16)

lainnya dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975. Dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.

Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (UUPA Pasal 65, jo. Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat (1) UUP).5 Jadi perceraian yang terjadi diluar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah secara prosedural hukum yang berlaku. Ini merupakan salah satu wewenang absolute Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, yaitu “Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedakah dan ekonomi syariah.6

Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa hukum keluarga di Indonesia memberikan pembatasan bagi suami untuk tidak menceraikan istrinya secara sewenang-wenang, tetapi melalui prosedur peradilan dan

5

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 53.

6

Erfaniah zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut,

(Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 193.


(17)

dengan alasan yang dapat diterima.7 Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang di Pengadilan Agama di Indonesia.8 Perceraian merupaka solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian atau mediasi secara maksimal dapat dilakukan atas kehendak suami ataupun permintaan istri.9

Dalam hal perceraian, hukum keluarga di Negara-negara muslim menetapkan peraturan yang beragam, karena sejak awal hukum Islam yang diwariskan oleh para ulama fiqih terdahulu masih menyimpan beberapa permasalahan untuk diterapkan secara utuh dalam konteks masyarakat kontemporer. Salah satu hal yang cukup signifikan adalah hak suami secara eksklusif untuk menceraikan istrinya dan apakah perceraian dianggap sah ketika tidak dilakukan di hadapan pengadilan.10

Adapun fenomena yang terjadi pada masyarakat Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi yaitu masih ada kasus perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan atau perceraian dibawah

7

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 277.

8

Arskal Salim dkk, DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Ciputat: PUSKUMHAM UIN Jakarta dan The Asia Foundation, 2009), h. 59.

9

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 172.

10

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, h. 277.


(18)

tangan, sehingga tidak memikirkan akibat yang akan terjadi di kemudian hari. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara teori dan praktek, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Dan belum diketahui apa yang menjadi faktor penyebab sebagian masyarakat masih melakukan percerian di luar sidang pengadilan.

Berdasarkan uraian diatas, mendorong penulis untuk melakukan survei di desa Serdang Jaya dan meneliti apakah ada kolerasi antara yang terjadi dilapangan ataupun dilihat dari segi kepustakaannya. Dan hasil penelitian yang dilakukan, kemudian diformulasikan oleh penulis dalam sebuah karya

ilmiah yang bertajuk “KESADARAN HUKUM DAN PERSEPSI

MASYARAKAT TERHADAP PERCERAIAN (Studi Kasus Perceraian Di Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam hal ini penulis akan membatasi masalah penelitian agar masalah dalam judul skripsi lebih fokus dan spesifik, diantaranya adalah:

a. Kesadaran hukum dan persepsi masyarakat di sini dibatasi dengan permasalahan mengenai perceraian yang terjadi pada masyarakat yang dilakukan di luar sidang pengadilan dilihat dari perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia.


(19)

b. Adapun objek penelitian dibatasi pada Desa Serdang Jaya.

c. Data perceraian yang diteliti dibatasi dari tahun 2013 sampai 2015.

2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembahasan masalah di atas, perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Apakah motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian pada masyarakat Desa Serdang Jaya?

2. Bagaimana tingkat kesadaran hukum dan persepsi masyarakat di Desa Serdang Jaya terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian skripsi ini, adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian pada masyarakat Desa Serdang Jaya .

2. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dan persepsi masyarakat di Desa Serdang Jaya terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia.


(20)

Adapun manfaat yang di harapkan dari penelitian ini, agar menjadi suatu yang berguna bagi kepentingan-kepentingan pihak, yaitu:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan intelektualitas di bidang hukum keluarga, khususnya menyangkut perceraian.

2. Bagi masyarakat umumnya dan mahasiswa khususnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan kajian hukum keluarga Islam, serta dapat dijadikan rujukan pada kajian-kajian ilmiah selanjutnya.

3. Sumbangsih bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum khususnya dalam memberikan pemahaman tentang tata cara melakukan perceraian dan pengenalan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam proses penulisan skripsi yang membahas tentang kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian studi kasus di Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi, maka penulis telah melakukan studi review diantaranya:

1. Skripsi Ilyas Kartawijaya, Implikasi Perceraian di Luar Pengadilan

Terhadap Hak Asuh Anak (Studi Kasus Masyarakat Babakan Kecamatan


(21)

saja faktor penyebab terjadinya perceraian di luar pengadilan di Desa Babakan dan bagaiamana implikasi perceraian di luar pengadilan terhadap hak asuh anak. Sedangkan perbedaanya dengan penulisan skripsi penulis adalah membahas tentang kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum Islam positif yang berlaku di Indonesia, dan objek penelitiannya berada di Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat jambi.

2. Skripsi Firman Lukmawandani, Kesadaran Masyarakat Tentang Hukum

Perceraian di Pengadilan (Studi pada Masyarakat Desa Sukamandi Jaya

Kecamatan Ciasem Kabupaten subang), SAS, 2013. Pada skripsi ini

membahas tentang bagaimana pengetahuan masyarakat Sukamandi tentang perceraian di pengadilan dan kesadaran hukum masyarakat Sukamandi terhadap Perceraian di depan pengadilan. Adapun perbedaannya dalam penulisan skripsi ini ialah untuk mengetahui apakah motif yang melatarbelakangi terjadinya perceraian serta bagaimana persepsi masyarakat terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum Islam positif yang berlaku di Indonesia yang terjadi di Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat jambi.

E. Kerangka Teori

Keberlangsungan hidup manusia tidak terlepas dari problematika kehidupan yang semakin kompleks dan kontemporer pada saat ini. Hal tersebut mengarahkan pada permasalahan bagi warga masyarakat tentang


(22)

untuk siapa hukum itu dibuat, merasakan dan menerima hukum tersebut. Seperti halnya kesadaran hukum yang harus dipupuk di dalam diri setiap individu masyarakat, karena pada hakikatnya hukum terlahir untuk masyarakat dan keberhasilan suatu hukum apabila diterapkan dan berkembang dalam masyarakat.

Adapun arti hukum menurut Prof. Mr.J. Van Kan, seorang dekan fakultas hukum pertama di Indonesia (Hindia Belanda) adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan penghidupan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dalam masyarakat. Kemudian hukum itu

mempunyai fungsi: “menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat

serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”.11

Kata persepsi berasal dari kata perception yang berarti penglihatan,

tanggapan, daya memahami atau menanggapi. Adapun dalam kamus besar bahasa Indonesia persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatau atau proses seseorang mengetahui beberapa hal dari panca inderanya.12 Definisi lain menyebutkan bahwa persepsi adalah kemampuan untuk membedakan, mengelompokkan, memfokuskan terhadap satu objek rangsang. Dalam proses pengelompokan dan membedakan ini persepsi melibatkan proses interpretasi berdasarkan pengalaman terhadap suatu

11

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafik, 2008), cet. Ke-10, h. 37.

12

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-2, h. 863


(23)

peristiwa atau objek. Persepsi merupakan fungsi yang penting dalam kehidupan. Dengan persepsi, makhluk hidup dapat mengetahui sesuatu yang akan mengganggunya sehingga ia dapat menjauhinya, juga dapat sesuatu yang bermanfaat sehingga ia pun dapat mengupayakannya. Persepsi merupakan fungsi vital yang dimiliki oleh setiap manuasia, contohnya akal.13

Paham kesadaran hukum sebenarnya berkisar pada diri warga masyarakat yang merupakan suatu faktor menentukan bagi sahnya hukum.14 Kesadaran hukum artinya nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia mengenai hukum yang ada atau pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu diatur oleh hukum.15 Kesadaran hukum tersebut mencakup beberapa indikator, yakni pengetahuan dan pemahaman tentang hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. Dari empat indicator tersebut, masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya.16

Apabila pembentukan hukum menertibkan peraturan-peraturan yang tidak cocok dengan kesadaran atau perasaan masyarakat, maka akan timbul reaksi-reaksi yang negatif dari masyarakat. Semakin besar pertentangan antara

13

Muhammad Utsman Nataji, Psikolog Dalam Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 195.

14

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1982), h. 145.

15

Peter Salim, Yenny Salam, Kamus Besar Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2002), h. 1301.

16

Ahmad Tholabi Kharlie, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Perkawinan,


(24)

peraturan dengan kesadaran tersebut, semakin sulit menerapkannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan tadi sesuai dengan kesadaran masyarakat, maka masalah-masalah di dalam penerapannya hampir tidak ada. Sehingga sebenarnya ada suatu kecenderungan yang sangat kuat, agar terjadi suatu keserasian atau kesesuaian yang propesional antara hukum yang terapkan dengan kesadaran hukum dari masyarakat yang bersangkutan.17

Dalam hal penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia penting diperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan penegak hukum. Setidaknya, peran serta dan adil manusia sebagai subyek hukum sangat menentukan apakah hukum tersebut berjalan secara efektif atau tidak.18 Dalam hal ini, untuk melihat apakah hukum tersebut berlaku dan berjalan sesuai dengan tujuannya, terutama terkait dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka sangat perlu untuk memperhatikan aspek masyarakat, terutama terkait dengan kesadaran hukum terhadap perceraian yang pada saat ini perkara tersebut mendominasi ruang sidang di Pengadilan Agama.

Agama Islam mewajibkan para penganutnya supaya menjaga dan memelihara keutuhan dan kelanggengan pernikahan, tetapi ia membolehkan perceraian jika kehidupan diantara pasangan suami istri tidak harmonis, dan

17

Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, h. 147.

18


(25)

jalan damai yang ditempuh selalu menemui kebuntuan. Dalam kondisi perkawinan yang demikian perceraian menjadi langkah penting yang mesti ditempuh.19

Perceraian menurut istilah adalah melepas tali perkawinan pada waktu sekarang atau pada waktu yang akan datang. Sedangkan perceraian dalam hukum positif ialah suatu keadaan di mana antara seorang suami dan seorang istri telah terjadi ketidak cocokan batin yang berakibat pada putusnya perkawinan, melalui putusan pengadilan setelah tidak berhasil didamaikan. 20

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri, Pasal 39 (1) dan (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.21

Adapun tata cara dan prosedur perceraian dapat dibedakan kedalam dua macam, yaitu cerai talak (permohonan) dan cerai gugat. Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan

19

Butsainah as-Sayyid al-Iraqi, Menyingkap Tabir Perceraian, (Jakarta: Pustaka al-Sofwa, 2005), Cet. 1, h. 12.

20

Yayan Sopyan, ISLAM NEGARA: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 173.

21

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, h. 277.


(26)

bahwa: “Seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa cerai talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh pihak suami. Adapun pada Bab 1 Ketentuan Umum huruf i KHI, jo. Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989

diterangkan, Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri

dengan memberikan tebusan atau „iwadl kepada dan atas persetujuan

suaminya. Jadi, dengan demikian khulu’ termasuk dalam kategori cerai

gugat.22

F. Metode Penelitian

Suatu keberhasilan dalam penelitian terlihat dari data yang diperoleh, serta didukung oleh permasalahan yang diteliti. Dalam skripsi ini penulis meneliti tentang hukum, maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan penulis berdasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Maksud yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang mempelajari jaringan hubungan antara manusia dalam lingkungan

22


(27)

masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta.23 Dalam hal ini pengetahuan diperoleh dari hasil pengamatan terhadap fenomena yang terjadi atas berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi.24

2. Jenis Penelitian

Dalam jenis penelitian ini secara lebih spesifik menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti.25

3. Kriteria dan Sumber Data

Adapun jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif dan terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data skunder:

a. Data Primer

Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dan langsung dari sumber asal, yaitu melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait.

23

Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Grafindo, 2001), h. 26.

24

Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: Buku Ajar, 2010), h.19.

25


(28)

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer,26 seprti peraturan perundang-undangan27, buku-buku, jurnal-jurnal hukum, internet, dan lainnya.

4. Populasi dan Sampel

Populasi adalah kumpulan dari seluruh elemen atau individu-individu yang merupakan sumber informasi dalam suatu riset28. Sedangkan sampel adalah sebagian anggota populasi yang diambil berdasarkan prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasi yang diteliti.29 Dalam penelitian ini populasi dan sampel yang diteliti adalah masyarakat Desa Serdang Jaya yang melakukan perceraian diluar sidang pengadilan.

Adapun teknik yang digunakan untuk pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu teknik stratified random sampling (pengambilan

sampel acak distratifikasi).30 Teknik sampling ini disebut juga dengan istilah teknik sampling berlapis, berjenjang dan petala. Teknik ini

26

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) h. 35.

27

Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet 4, (Malang : Bayumedia Publishing, 2008), h. 302.

28

Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), h. 49.

29

Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, h. 49.

30


(29)

digunakan apabila populasinya heterogen atau terdiri atas kelompok-kelompok yang bertingkat. Penentuan tingkat berdasarkan karakteristik tertentu. Misalnya, menurut usia, pendidikan, golongan/pangkat, dan sebagainya.31

5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini adalah:

a. Observasi

Merupakan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.32 Untuk mendapatkan data tentang penelitian ini, maka dibutuhkan observasi langsung kelapangan tempat objek yang akan diteliti.

b. Wawancara (Interview)

Yaitu sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini.33

c. Studi Pustaka (library Research)

31

Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), h. 44.

32

Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial, h. 57.

33

Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian-Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT Rhineka Cipta, 1996), h. 144.


(30)

Penelitian ini yang sumber datanya diambil dari buku-buku atau tulisan-tulisan yang telah diterbitkan, buku jurnal, majalah, surat kabar dan lainya, yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

d. Studi Dokumenter

Adalah menelaah bahan-bahan yang diambil dari dokumentasi dan berkas-berkas data yang berkaitan dengan penelitian.

6. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menganalisis dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga mendapatkan satu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk sistematika penulisan, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bagian agar pembahasan teratur dan terarah pada pokok permasalahan yang sedang dibahas. Adapun sistematika ini diuraikan sebagai berikut:

BAB I Berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review, kerangka teori, metode penelitian, metode analisis data, sistematika penulisan.


(31)

BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, macam-macam perceraian, faktor-faktor terjadinya perceraian, serta prosedur dan akibat perceraian.

BAB III Penulis menyajikan tentang Sejarah Desa Serdang Jaya, letak geografis dan keadaan demografi Desa Serdang Jaya, kemudian kondisi sosial dan kependudukan Desa Serdang Jaya.

BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai faktor penyebab terjadinya perceraian pada masyarakat, serta untuk mengetahui bagaiamana kesadaran hukum dan persepsi masyarakat terhadap perceraian dilihat dari perspektif hukum positif yang berlaku di Indonesia dan analisis penulis.

BAB V Pada bab akhir ini penulis akan memberikan kesimpulan yang disertai dengan beberapa saran. Demikianlah sistematika penulisan ini, mudah-mudahan penulisan ini dapat dimengerti dan bermanfaat.


(32)

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perceraian

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. 1 Hal ini senada dengan makna talak menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh

Al-Islami Wa’adillatuh yang mendefinisikan talak ialah:

Artinya: “Talak menurut bahasa adalah melepas ikatan atau

menceraikan”.2

Dalam Kamus Hukum Indonesia kata cerai (gescheider) diartikan

dengan putus hubungan sebagai suami istri, pisah dengan segala konsekuensi hukumnya.3 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai berarti pisah atau putus hubungan sebagai suami istri;

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. Ke-1, h. 189.

2

Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islam Wa’adillatuh, (Damaskus: Darul Fikr, 1989), jilid 7, h. 356.

3

Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), Cet. 1, h. 40.


(33)

talak.4 Kata perceraian berasal dari kata “cerai”, yang mendapat awalan

“per” dan “an”, yang secara bahasa berarti melepas ikatan.5

Dalam istilah agama talak berarti melepas ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia talak menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan.6

Menurut pendapat Mazhab Hanafi dan Hambali mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan dimasa yang akan datang. Adapun yang dimaksud secara langsung adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang dimaksud dimasa yang akan datang adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. Mazhab Syafi’i mendifinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafad talak atau yang semakna dengan lafad itu. Sedangkan mazhab Maliki mendefinisikan sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.7

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h. 163.

5

Ahmad Warsono Munawir, Al Munawir Kamus Besar Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-14, h. 861.

6

Wahbah Al Zuhaili, Fiqih dan Perundangan Islam, Terjemah Ahmad Syeid Husain, Dewan Pustaka Dan Bahasa, jilid VII (Selanggor, 2001), h. 579.

7

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam Indonesia, “Talak” Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichar Baru an Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, jilid 5, h. 53.


(34)

Bagi seorang muslim yang diisyaratkan adalah tidak sering-sering mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam percakapan dia dengan orang lain, karena Nabi bersabda:

Artinya: “perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.(HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan la-Hakim, dari Ibn Umar)

Talak dibolehkan jika ada kebutuhan. Adapun yang diajarkan oleh sunnah adalah bila terpaksa maka yang dijatuhkan awalnya talak satu, sehingga masih memungkinkan bagi keduanya rujuk bila memang

diinginkan selama si istri masih dalam masa „iddah atau dengan akad nikah yang baru bila masa „iddah telah berakhir. Tidak boleh seorang

suami menceraikan istrinya yang sedang haid, nifas, atau dimasa sucinya di mana ia telah menggaulinya. Dan tidak boleh pula langsung menjatuhkan talak tiga pada istri dengan kalimat atau dalam satu kesempatan.8

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa awalnya talak itu dilarang karena mengandung pengertian kufur pada nikmat nikah,

merobohkan tujuan pernikahan, serta menyakiti pihak istri, keluarga dan juga anak-anak. Akan tetapi, Allah Yang Maha bijaksana menakdirkan

8


(35)

bahwa pergaulan antara suami istri kadang-kadang memburuk dan menjadi demikian buruknya sehingga tidak ada lagi jalan keluarnya.9

Adapun Istilah perceraian terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1

Tahun 1974 yang memuat tentang ketentuan fakultatif bahwa ”Perkawinan

dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Jadi, istilah perceraian secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan suami istri.10

Di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, penjatuhan talak atau cerai itu tidak lagi sewenang-wenang dari suami yang menggunakan kesempatan tersebut pada setiap saat, tetapi talak tersebut mesti dijatuhkan di depan sidang pengadilan setelah mendapat pertimbangan yang diproses oleh hakim Pengadilan Agama.11

Selain talak yang menjadi wewenang laki-aki (suami), dalam khazanah Islam juga dikenal istilah khulu’ yang memberikan hak bagi perempuan untuk menuntut perceraian kepada suami yang tidak ia senangi. Di dalam KHI dibedakan antara perceraian yang diakibatkan karena talak dan perceraian karena gugatan perceraian. Perbedaan ini memberikan konsekuensi yang berbeda, di antaranya istri tidak punya

9

Mahmud Syalthut dan Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 148.

10

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet. Ke-2, h. 15.

11

Ahmad Mukri Aji, Maslahat Mursalah: Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011) h. 205.


(36)

hukum apa-apa, sedangkan si suami mempunyai upaya hukum seperti biasanya dalam perkara perdata, yaitu hak banding dan kasasi.

B. Dasar Hukum Perceraian

Setiap produk hukum pastilah selalu berlandasan dengan hukum yang mempertimbangkan akan kedudukan produk hukum tersebut, begitu pula dengan masalah talak (perceraian).

1. Al-Qur’an dan Hadis

Adapun dasar hukum talak yang terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya sebagai berikut, yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarh [2] ayat 229 yang berbunyi:

Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 229)


(37)

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(Qs. Al-Baqarah: 231)

Ayat di atas memberikan makna bahwa talak yang disyariatkan Allah ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua.12

Juga firman-Nya dalam surat Al-Thalaq [65] ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

12


(38)

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (Qs. Al-Thalaq: 1)

Maksud ayat di atas adalah jika ingin menceraikan istri-istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat menghadapi masa iddah.

Hanya saja istri yang dicerai menerima iddah apabila perceraiannya

setelah ia suci dari haid atau nifas dan sebelum digauli.13

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (Qs. Al-Thalaq: 2)

Ayat diatas menerangkan tentang kehadiran dua orang saksi dalam pengucapan talak dan juga ayat tersebut secara jelas menyuruh mengemukakan kesaksian waktu terjadinya rujuk dan perceraian,

13


(39)

namun ulama Jumhur tidak mewajibkannya, akan tetapi hukumnya hanyalah sunnat.14

Adapun dasar hukum talak menurut beberapa hadis, diantaranya sebagai berikut:

Artinya: “Dari ibnu Umar r.a bahwasanya dia menceraikan istrinya yang dalam keadaan haid pada masa Rasulullah SAW. Maka Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut, Rasulullah menjawab: perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada isterinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak ia boleh meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan juga menghendaki, ia boleh menceraiakannya sebelum ia mencapurinya. Demikianlah iddah diperintahkan Allah saat wanita itu diceraikan”. (HR.

Muttafaqun „Alaih)15

Talak juga di dasarkan pada sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi sebagai berikut:

14

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129.

15

Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq’alaih


(40)

Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah

SAW: “Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah thalaq”.

(HR. Abu Daud) 16

Pada prinsipnya, talak merupakan suatu yang dimakruhkan. Hal ini diketahui dari hadis diatas, terlihat sekali bahwasanya Nabi sangat tidak senang dengan perbuatan talak ini dan menghukuminya sebagai perbuatan yang makruh. sedangkan menurut ijma’, dari Ibnu

Qudamah mengatakan, “Kaum muslimin sepakat secara bulat (ijma’)

atas kebolehan talak ada berbagai pertimbangan pun menunjukkan kebolehannya”.17

2. Hukum Positif

Faktor ideal yang determinan dan menjadi sumber hukum material serta menentukan substansi atau isi hukum perceraian dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya adalah Pancasila. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, UU No. 1 Tahun 1974 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan termasuk perceraian.

Ketentuan normatif khususnya perceraian terkandung dalam Bab VIII UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalamnya mengatur putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, yang di uraikan dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 dilaksanakan, dalam arti

16

Abu Daud Sulaiman al-Asy’ats al-Sijistani, Sunah Abu Daud, Bab Karahiyah al=Thalaq, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.h.,), h. 379.

17

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet. Ke-2, h. 363.


(41)

norma-norma hukumnya dijabarkan secara lebih konkret dalam peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis lainnya dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975.18

Perceraian dalam hukum positif, diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 113 jo Pasal 38 UUP yang menyatakan

bahwa “Perkawinan dapat putus karena: (a) Kematian, (b) Perceraian,

dan (c) atas putusan Pengadilan. Dan pada Pasal 114 menyebutkan:

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi

karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.19

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 39 menyebutkan bahwa:

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.20

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami

18

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 86.

19

Undang-Undang Peradilan Agama: UU Ri Nomor 50 Tahun 2009 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Graha Pustaka Yogyakarta), h. 171.

20

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, h. 277.


(42)

3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan perundangan tersendiri”.21

Jadi perceraian yang terjadi diluar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah secara prosedural hukum yang berlaku. Ini merupakan salah satu wewenang absolut Peradilan Agama berdasarkan

Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, yaitu “Peradilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedakah dan ekonomi syariah.22

Perceraian sebagai satu peristiwa hukum yang secara faktual banyak terjadi dalam masyarakat tentunya menimbulkan akibat hukum, baik terhadap kedudukan, hak dan kewajiban suami dan istri, anak, harta bersama yang telah mereka peroleh dalam perkawinan. Undang-undang No, 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaanya yang secara fungsional harus mampu mencegah dan mempersukar terjadinya perceraian, dan jika terjadinya perceraian itu tidak dapat dihindari lagi, maka harus dapat melindungi hak dan kewajiban suami

21

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 218.

22

Erfaniah zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 193.


(43)

dan istri, anak-anak dan harta bersama yang dihasilkan dalam perkawinan.23

C. Macam-macam Perceraian 1. Talak

Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkan dengan kata talak dalam arti kata putusnya perkawinan, karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya masing-masing sudah bebas.24 Talak bisa diklasifikasikan menjadi berbagai jenis sesuai dengan aspek pandangannya. Dari segi dampak (pengaruh) yang ditimbulkan, maka talak ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan satu kali oleh suami, dan membolehkan suami untuk kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya tanpa akad baru.25 Apabila dia berkehendak untuk kembali dalam kehidupan dengan mantan suami atau istrinya, dalam bentuk talak ini cukup mengucapkan rujuk kepada mantan suami. 26

23

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 62.

24

Muhammad Syaifuddin, Sri Trutmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Peceraian, h. 117.

25

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, h. 413.

26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2007), h. 220.


(44)

b. Talak ba’in adalah talak yang tidak memberikan kesempatan lagi bagi suami untuk merujuk kembali istri yang telah ditalaknya. Talak jenis ini ada dua macam, yaitu:

1. Talak ba’in shugra adalah talak ba’in yang tidak memberikan kesempatan lagi bagi suami untuk merujuk kembali kepada istrinya kecuali melalui akad baru dan mahar baru.27

2. Talak ba’in kubra adalah talak yang talak yang menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Sedangkan untuk talak ba’in kubra terjadi pada talak ketiga.

2. Syiqaq

Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih adalah perselisishan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam yaitu, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.28 Ketentuan tentang syiqaq terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ [4] ayat 35, yang berbunyi:

27

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, h. 431.

28

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. Ke-1, h. 188.


(45)

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Qs. An-Nisa’: 35)

Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat bain, artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah yang baru.29

3. Khulu’

Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-„a secaraetimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.30 Dihubungkan kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-Qur’an disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 187. Adapun dalam istilah hukum beberapa kitab fiqih, khulu’ diartikan sebagai

“Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan talak atau khulu’. 31

Secara terminologi khulu’ adalah permintaan istri kepada suaminya untuk menceraikan dirinya dari ikatan perkawinan dengan

29

Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, h. 243.

30

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 130.

31


(46)

disertai i’wadh berupa uang atau barang kepada suami dari pihak istri sebagai imbalan penjatuhan talak cerai gugat dan pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan dan menyadarkan bahwa istri mempunyai hak yang sama untuk mengakhiri perkawinan.32

Talak tebus itu hukumnya boleh dilakukan, baik sewaktu suci maupun sewaktu haid, karena biasanya talak tebus ini terjadi dari kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela, walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang.33

Dengan adanya khulu’, istri berhak menentukan dirinya sendiri. Suami tidak dapat meruju’nya kecuali dengan pernikahan yang baru, akan tetapi wanita yang mengajukan khulu’ tidak bisa ditalak lagi.

Khulu’ yang disebut juga dengan Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan tersebut.34

Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama sekali dalam UU Perkawinan, namun KHI mengaturnya

32

Arskal Salim dkk, DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Ciputat: PUSKUMHAM UIN Jakarta dan The Asia Foundation, 2009), h. 59

33

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 189.

34

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 78.


(47)

dalam Pasal 132 KHI dinyatakan bahwa: “Gugatan perceraian diajukan

oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri secara seimbang. Sebab, pada dasarnya suami dan istri ini memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan perceraian.35

4. Fasakh

Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang

secara etimologi berarti membatalkan . Dalam arti

terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, diantaranya yang terdapat dalam KBBI, yaitu:

“Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan

atas tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum

pernikahan”.36

Adapun yang dimaksud fasakh ialah perceraian yang berlaku diantara suami dan istri disebabkan timbul sesuatu yang boleh membatalkan akad nikah.37

35

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008), h. 234.

36

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawianan Islam Di Indonesia, h. 242.

37

Kasmuri Selamet, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Perkawinan,


(48)

Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula dilarang, namun bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu itu, yang akan dijelaskan kemudian. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batalnya perkawianan dalam 7 pasal, diataranya pada Pasal 22 yang

berbunyi: “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Kemudian diatur pula dalam PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana bagi UU No. 1 Tahun 1974 dan juga dijelaskan dalam KHI Pasal 70. 38

5. Ila’

Ila’ menurut bahasa berarti sumpah. Ila’ adalah mazdar dari

kata ala, ya’li, ila’an yang berarti sumpah. Sedangkan menurut istilah,

ila’ berarti suami bersumpah untuk tidak lagi mencampuri istri baik

menyebut waktu atau tidak menyebut waktu. Adapun dasar hukum yang digunakan, terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 226, yang berbunyi:

Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali

38


(49)

(kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang”. (Qs, Al-Baqarah: 226)39

Apabila suami telah bersumpah tidak akan menggauli istrinya, maka suami diberi kesempatan dalam jangka empat bulan untuk memikirkan dua pilihan alternatif bagi suami untuk rujuk dengan istri atau mentalak istrinya.40

6. Zhihar

Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata zhahrun

yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti

ucapan suami kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.41

Setelah kata-kata ini diucapkan, dengan seketika juga hubungan suami istri itu berakhir seperti halnya perceraian. Zhihar merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi memfungsikan istrinya sebagai istri walau masih tetap terikat.42

Ulama sudah sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar itu adalah haram. Adapun dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah surat Al-Mujadilah [58] ayat 2:

39

Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan Al-Qur’an dan Hadis, h. 358.

40

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,

h.149.

41

Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, h. 228.

42

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), Cet. Ke-1, h. 143.


(50)

Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Qs. Al-Mujadilah: 2) 43

7. Li’an

Menurut istilah li’an adalah tuduhan yang dilakukan dengan sumpah oleh suami kepada istrinya atau istri kepada suaminya bahwa tertuduh telah berbuat zina, sementara tuduhan itu dibantah oleh tertuduh dengan sumpah juga.44

Li’an secara bahasa berarti “kutukan” atau “menjatuhkan”. Fuqoha sepakat bahwa pelaksanaan li’an harus di depan hakim atau

orang yang dikuasakan olehnya. Sebab apabila salah satu dari pihak

suami istri tersebut menolak untuk bersumpah li’an, maka harus

dihukum (dera atau rajam), sedangkan melaksanakan hukuman adalah khusus menjadi wewenang hakim. Mengenai li’an terdapat dalam Al

-Qur’an surat An-Nur [24] ayat 6:

43

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawianan Islam Di Indonesia, h.261.

44

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 58.


(51)

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang

yang benar.” (Qs. An-Nur: 6)

Soemiyati menjelaskan bahwa dalam hukum perkawinan Islam,

sumpah li’an ini dapat mengakibatkan putusnya perkawianan antara

suami istri untuk selama-lamanya.45

D. Faktor-Faktor Terjadinya Perceraian

Di mata hukum, perceraian tentu tidak dapat terjadi begitu saja. Artinya harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabenenya berwenang memutuskan, apakah suatu perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, tepatnya Pasal 19 dijelaskan bahwa perceraian boleh dilakukan bila terdapat sejumlah alasan penting yang mendasarinya.46

Menurut hukum islam ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadi perceraian atau memutus/terputusnya perkawinan, yaitu sebagai berikut:

1. Terjadinaya nusyuz dari pihak istri

45

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,

h.159.

46

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,


(52)

2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami 3. Terjadinya syiqaq

4. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau fakhisyah,

yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya.

Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 39 [2] UU No.1 Tahun 1974, kemudian dijelasakan dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


(53)

Dalam kompilasi terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian yang khusus, berlaku bagi pasangan perkawinan yang memeluk agama islam, yaitu:

a. Suami melanggar taklik talak.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Tambahan dari Pasal 116 KHI ini relatif penting karena sebelumnya tidak ada. Taklik talak adalah janji atau pernyataan yang biasanya dibacakan suami setelah akad nikah. Jika suami melanggar

“janji” yang telah diucapkan dan istrinya tidak rela lantas mengadu ke

Pengadilan, maka pengadilan atas nama istri akan menjatuhkan talak satu khuluk kepada istri.47

E. Prosedur dan Akibat Perceraian 1. Prosedur

Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang Perkawinan untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (UUPA, Pasal 56, jo. Pasal 115 KHI).48

47

Alyasa Abubakar, Ihwal Perceraian Di Indonesia: Perkembangan Pemikiran dari Undang-Undang Perkawinan sampai Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 1999), h. 72.

48


(54)

Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI). 49

a. Cerai Talak (Permohonan)

Apabila suami yang mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian istri menyetujuinya disebut cerai talak. Hal ini diatur dalam Pasal 66 UUPA, yaitu:

1. Seorang suami beragama islam yang akan menceraiakan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadaka sidang guna menyaksikan ikrar talak.

2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

3. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

49

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafik, 2006), Cet, Ke-1, h. 80.


(55)

4. Dalam pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka melangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

5. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak.

Setelah permohonan cerai talak diajukan kepada Pengadilan Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar dijadikannya permohonan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 68 UUPA, yaitu sebagai berikut:.

1. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.

2. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.50

b. Cerai Gugat

Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau „iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya.

Jadi, dengan demikian khulu’ termasuk kategori cerai gugat. Adapun prosedur cerai gugat menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang

50


(56)

Peradilan Agama yang sudah diamandemenkan dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 menyatakan sebagai berikut:

1. Gugatan cerai diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin penggugat.

2. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.

3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta Pusat.

Sedangkan mengenai masalah tempat mengajukan gugatan kaitannya dengan alasan-alasannya diatur dalam pasal 21 PP Nomor 9 Tahun 1975.51

2. Akibat

Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan mitsaqan ghalidhan

(perjanjian pokok). Oleh katena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian tidak begitu saja selesai urusannya, akan tetapi ada

51


(57)

akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Demikian juga, perkawinan yang terputus karena kematian salah satu pihak, juga menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri.

Dalam Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena: (a) kematian, (b) perceraian, dan (c) atas keputusan pengadilan. Selanjutnya dalam menurut ketentuan Pasal 41 UUP:

1. Akibat putusnya perkawinan karena ditinggal mati suami, yaitu: Apabila suami meninggal, maka istri selain menjalin masa tunggun, maka ia berhak mewarisi harta si suami, dan sekaligus berkewajiban memelihara anak-anaknya. Pasal 157 Kompilasi

menyatakan: “Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana

tersebut dalam pasal 96 dan 97”. Adapun dalam pasal 96 disebutkan,

bahwa:

a. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

b. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakikinya atau mati secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. 52

2. Akibat putusnya perkawinan karena percerian, yaitu:

52


(58)

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.

Ketentuan Pasal 41 UUP tersebut memang masih bersifat global, dan kompilasi merincinya dalam empat kategori yaitu, akibat cerai talak,

cerai gugat, akibat khulu’, dan akibat li’an.53 1. Akibat talak

Menurut ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.

53


(59)

b. Memberikan nafkah, maskawin dan kiswah (tempat tinggal dan

pakaian) kepada bekas istri selam dalam „iddah, kecuali bekas istri

telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuhh apabila qabla al-dukhul.

d. Memberikan biaya hadlanah (pemeliharan, termasuk di dalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

2. Akibat cerai gugat

Akibat perceraian karena cerai gugat diatur dalam Pasal 156 Kompilasi, yaitu:54

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu dan seterusnya.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadlanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadlanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadlanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang

54


(60)

bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadlanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula.

d. Semua biaya hadlanah dan nafkah anak akan menjadi tanggungan ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya mendapatkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

3. Akibat Li’an

Pasal 162 kompilasi menjelaskan,“Bilamana li’an terjadi maka

perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari

kewajiban memberi nafkah”. Karena terputusnya hubungan nasab

tersebut dengan bapaknya, maka hubungan pewarisannya pun dapat terjalin dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Riwayat Abu Dawud:

“Rasulullah SAW. Menjadikan hak waris anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibunya”. (Riwayat Abu Dawud)55

55


(61)

A. Sejarah Desa

Pada berdirinya pemukiman baru Dusun Serdang Jaya Desa Pematang Lumut adalah gagasan dari Dandin 0419 Kab Tanjung Jabung yang pada waktu itu di jabat oleh Bapak Mayor Syahrofi (Alm) yang kemudian dijadikan pemukiman baru, serta diberikan satu lembar sketsa (peta) wilayah pemukiman Dusun Serdang Jaya Desa Pematang Lumut, dan rencana pembangunan desa baru yaitu Desa Serdang Jaya pada hari senin 26 Februari 1984.

Gagasan tersebut di atas, ditindak lanjuti dan mendapat keabsahan dari pemerintah Tanjung Jabung pada tanggal 27 April 1984 melalui rekomendasi dari Bapak Sudirman, yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Pematang Lumut, yang diteruskan kepada Bapak Gafar Masdar, BA selaku Camat Tungkal Ilir.1

Kemudian pada tanggal 30 Mei 1984 Kepala Desa Pematang Lumut menyampaikan sketsa (peta) dan izin pembangunan desa baru yakni Desa Serdang Jaya pada tanggal 26 Februari 1984 yang ditandatangani oleh Letkol Drs. Toegino melalui kabag pembangunan Desa Bapak A. Bakar Marsita. Pada tanggal 5 Juni 1984 kepala desa menyerahkan sketsa (peta) dan izin pemukiman baru, yang masih dalam

1

Data diambil dari Laporan Data Monografi Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat Jambi Tahun 2015.


(62)

wilayah Desa Pematang Lumut yaitu Desa Pematanng Lumut I, dan Bapak Darham ditunjuk sebagai penanggung jawab pelaksanaan lapangan pembukaan pemukiman baru Serdang Jaya. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan daerah, akhirnya Desa Serdang Jaya resmi di mekarkan menjadi Desa Depinitif pada tanggal 29 April 2006 sebagai penanggung jawab sementara adalah Bapak Khairudin, Sos., yang pada saat itu menjabat sebagai Kaur Pemerintahan Desa Pematang Lumut.2

Dalam setahun di mekarkan masyarakat Desa Serdang Jaya melalui Pilkades pada Tanggal 25 April 2007 yang diketahui oleh saudara Zakaria, S.Hi., dan terpilihlah Bapak Ismail Hanafi sebagai Kepala Desa Depinitif dan dilantik Oleh Bapak Bupati Tanjung Jabung Barat, pada tanggal 30 Mei 2007, dan bapak Sofwana sebagai ketua BPD Desa Serdang Jaya Kecamatan Betara.

Penduduk Serdang Jaya lebih kurang 1554 KK, Kepala Desa pertama kali di Serdang Jaya adalah Bapak Ismail Hanafi yang menjabat dari tahun 2007 sampai tahun sekarang. Desa Serdang Jaya adalah desa asli /trasmigrasi, terdiri dari 6 dusun, dan 31 RT dengan jumlah penduduk sekarang sebanyak 5898 jiwa.3

B. Letak Demografi

Desa Serdang Jaya merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Betara Kabupaten Tanjab Barat-Jambi, luas wilayah desa ini

2

Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.

3


(63)

adalah 27,65 km2. Adapun batas-batas wilayah desa Serdang dapat dilihat pada table dibawah ini, yaitu:

Tabel 1.1

Batas-Batas Wilayah Desa Serdang Jaya4

No Batas Wilayah Keterangan

1. Sebelah Utara Berbatasan Dengan Desa Mandala Jaya 2. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Desa Desa Muntialo 3. Sebelah Timur Berbatasan Dengan Desa Teluk Kulbi 4. Sebelah Barat Berbatasan Dengan Kecamatan Bram Itam

Desa Serdang Jaya dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan dibantu beberapa staf desa, kemudian desa Serdang Jaya terdiri dari 12 RT. Sedangkan jumlah penduduk desa Serdang Jaya 2. 623 Jiwa dan 688 Kepala Keluarga (KK).

Tabel 1.3

Jumlah Penduduk Menurut Umur/Usia5

No. Umur/Usia

Laki-Laki dan Perempuan

Jumlah

1. 00-05 Tahun 177 Jiwa

2. 06-12 Tahun 435 Jiwa

3. 13-16 Tahun 274 Jiwa

4

Data Monografi Desa Serdang Jaya Tahun 2015.

5


(64)

4. 17-60 Tahun 1.572 Jiwa

5. 60 Tahun Keatas 67 Jiwa

C. Kondisi Sosial dan Kependudukan

a. Bidang Keagamaan

Dalam bidang keagamaan mayoritas warga desa Serdang Jaya adalah beragama Islam atau bisa dikatakan 99,9% penduduknya beragama Islam, adapun 5 warga lainnya beragama kristen. Untuk mendukung pelaksanaan ibadah di desa Serdang Jaya tersedia fasilitas- fasilitas ibadah yaitu 2 unit masjid dan 4 unit surau/langgar.

Selain digunakan sebagai sarana ibadah dalam hal shalat lima waktu, tempat ibadah tersebut juga digunakan oleh warga desa Serdang Jaya sebagai tempat mengadakan pengajian dan peringatan-peringatan hari

besar Islam, seperti Isra’Miraj, Maulid Nabi dan lainnya. Hal ini terbukti

dengan adanya kelompok-kelompok pengajian yang terdiri dari 15

kelompok Majlis Ta’lim dan 2 kelompok Remaja Masjid.6 b. Bidang Pendidikan

Dalam bidang pendidikan desa Serdang Jaya merupakan salah satu desa yang memiliki fasilitas pendidikan yang belum lengkap, hal ini dapat dilihat dengan hanya adanya beberapa fasilitas pendidikan mulai dari 2 sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 1 sekolah Taman

6


(65)

Kanak (TK), 2 Madrasatul Ibtidaiyah (MI) dan 2 Sekolah Dasar (SD) saja, sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTS) dan Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) belum ada di desa ini.

Meskipun ada beberapa fasilitas pendidikan yang belum ada di desa Serdang Jaya ini, namun masalah pendidikan tidak terlalu terbelakang. Hal ini terbukti dengan sudah adanya warga desa Serdang Jaya yang bisa melanjutkan pendidikannya kejenjang Perguaruan Tinggi atau bisa dikatakan sudah ada warga yang menyelesaikan Sarjana Strata Satu (S1) dan ada juga yang menyelesaikan sampai tingkat D3.

c. Bidang Kesehatan

Untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat melalui upaya peningkatan pelayanan kesehatan di desa Serdang Jaya, maka telah dilakukan beberapa cara dengan tersedianya 1 unit Pusat Kesehatan Desa (Puskedes), 1 unit POSTU, 2 unit tempat praktek bidan, dan 2 unit Posyandu.7

d. Bidang Ekonomi

Desa Serdang Jaya ini merupakan daerah perbukitan dan dataran tinggi. Adapun penggunaan tanah di desa Serdang Jaya sebagian besar di peruntukan untuk tanah pertanian dan perkebunan sedangkan sisanya untuk bangunan dan fasilitas–fasilitas lainnya. Oleh karena itu mayoritas

7


(1)

Foto ketika melakukan wawancara dengan Ghozi S.Ag., MA., selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kuala Tungkal, tanggal 8 Juni 2015.


(2)

Foto ketika melakukan wawancara dengan Darmayulis SH., selaku Kepala Desa Serdang Jaya, tanggal 1 Juli 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Ahmad Shoib, selaku Ketua RT. 02 Desa Serdang Jaya, tanggal 27 Juli 2015.


(3)

Foto ketika melakukan wawancara dengan Sudarsono, selaku Ketua RT.12 Desa Serdang Jaya, tanggal 28 Juli 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Lukman, selaku tokoh agama Desa Serdang Jaya, tanggal 28 Juli 2015.


(4)

Foto ketika melakukan wawancara dengan Lani, selaku tokoh agama Desa Serdang Jaya, tanggal 28 Juli 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Sugiyanto dan Janatun, salah satu warga Desa Serdang Jaya yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 3 Juni & 11 Juni 2015.


(5)

Foto ketika melakukan wawancara dengan Fatonah, salah satu warga Desa Serdang Jaya yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 11 Juni 2015.

Foto ketika melakukan wawancara dengan Paula Agustina dan Jemikan, salah satu warga Desa Serdang Jaya yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 27 & 30 Juli 2015.


(6)

Foto ketika melakukan wawancara dengan Nuryani dan Yulis Indrawani, salah satu warga Desa Serdang Jaya yang sudah berpisah dengan pasangannya, tanggal 30 Juli 2015.