103
5.1.4 Breteau index BI dengan Kejadian DBD
Breteau Index BI adalah jumlah penampungan air yang positif per jumlah rumah yang diperiksa dikali 100. Breteau Index BI merupakan index
yang paling baik untuk memperkirakan kepadatan vektor karena BI mengkombinasikan baik rumah maupun kontainer Ma’mun, 2007. Nilai Breteau
Index BI tertinggi adalah di RW 1 sebesar 105.88 dan berdasarkan parametar entomologis berisiko tinggi 50 dan pada parameter WHO Density Figure
pada skala 8. Hal tersebut terjadi karena RW 1 yang berada di daerah perkampungan memiliki banyak kontainer positif jentik seperti bak mandi, ban
bekas, container bekas, tempat minum burung dan gentong. Dalam 1 rumah tidak hanya ditemukan 1 kontainer yang positif jentik tetapi lebih dari 1 kontainer
sehingga Bretaeu index BI di RW 1 termasuk dalam kategori tinggi. Nilai Breteau Index BI di Kelurahan Sendangmulyo , dari 14 RW yang
diperiksa 8 RW nya adalah kategori rendah 50 dan 6 RW kategori tinggi 50. Hal ini menunjukan bahwa jumlah kontainer yang berfungsi sebagai sumber jentik
per rumah yang diperiksa tergolong bervariasi setiap RW nya sehingga ada RW yang mempunyai Breteau Index BI yang tinggi dan ada RW yang mempunyai
Breteau Index BI yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Sayono 2016 bahwa densitas populasi vektor dengue yang salah satunya dipengaruhi oleh
Breteau Index BI di berbagai daerah endemis DBD di Jawa Tengah bervariasi menurut kabupatenkota.
104
5.1.5 Kepadatan larva dengan Kejadian DBD
Dari hasil observasi pada 14 RW di Kelurahan Sendangmulyo Kota Semarang, tingkat kepadatan larva di Kelurahan Sendangmulyo bervariasi mulai
dari rendah sampai tinggi. Namun di RW 13 yang mempunyai 6 kasus DBD memiliki kepadatan larva yang tinggi sedangkan RW 28 yang mempunyai 5 kasus
DBD memiliki kepadatan larva sedang. Secara geografis RW 13 dan 28 sama sama terletak pada daerah perumahan yang pada umumnya jentik ditemukan pada
kontainer yang berasal dari botol bekas, ban bekas dan ember bekas ataupun gentong yang tertutup dan airnya berasal dari air yang dibeli warga kepada
penjual air. Kepadatan larva yang berbeda antara RW 13 dan RW 28 sedangkan memiliki kasus yang hampir sama disebabkan oleh adanya transmisi kepadatan
larva dari RW yang bersebelahan yaitu RW 8 daan RW 9. RW 21 mempunyai 4 kasus DBD berada pada kepadatan larva tinggi
sedangkan RW 24 mempunyai 1 kasus berada pada kepadatan larva dengan kategori rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepadatan larva di suatu
wilayah dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit DBD. Semakin padat populasi nyamuk Aedes, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD
dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat.
Menurut Purnama 2012 Kepadatan larva dipengaruhi oleh banyaknya tempat penampungan air yang dimiliki masyarakat dan tidak rutin melakukan
105 kebersihan seperti bak mandi yang jarang di kuras. Tempat penampungan air yang
tidak tertutup juga menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk yang potensial.
5.1.6 Breeding Risk Index BRI dengan Kejadian DBD