EFFECT OF PARTIAL GELATINIZATION TO SHELF LIFE OF PURPLE SWEET POTATO FLOUR PENGARUH GELATINISASI SEBAGIAN TERHADAP UMUR SIMPAN TEPUNG UBI JALAR UNGU

(1)

ABSTRACT

EFFECT OF PARTIAL GELATINIZATION TO SHELF LIFE OF PURPLE SWEET POTATO FLOUR

By

ANJAR ARIANINGRUM

Purple sweet potato (Ipomea batatas L. Poir) contain anthocyanins which act as antioxidant and natural purple coloring. Purple sweet potato can be made into flour. The processing into flour has to be able to maintain the color and anthocyanin of purple sweet potato. Purpose of this study was to determine the effect of partial gelatinization through the process of heating on shelf life of purple sweet potato flour. Shelf life was analyzed using the method of Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). This study used a complete randomized block design with a single factor and 4 replications. Treatment using a heating temperature of 90°C for 0, 15, 30, 45, 60, and 75 minutes.

The results showed that the heat treatment had a significant influence on the shelf life of partial gelatinization purple sweet potato flour. Heat treatment of 90°C for 45 minutes had the longest shelf life which is 136 days.

Keywords: ASLT, heating, purple sweet potato flour, partial gelatinization, shelf life


(2)

ABSTRAK

PENGARUH GELATINISASI SEBAGIAN

TERHADAP UMUR SIMPAN TEPUNG UBI JALAR UNGU

Oleh

ANJAR ARIANINGRUM

Ubi jalar ungu (Ipomea batatas L. Poir) mengandung antosianin yang berfungsi sebagai antioksidan dan pewarna ungu alami. Pemanfaatan ubi jalar ungu dapat dilakukan dengan diolah menjadi tepung. Pengolahan ubi jalar ungu menjadi tepung harus dapat mempertahankan warna dan antosianin ubi jalar ungu. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh gelatinisasi sebagian melalui proses pemanasan terhadap umur simpan tepung ubi jalar ungu. Umur simpan dianalisa menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan faktor tunggal dan 4 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah suhu pemanasan 90°C selama 0, 15, 30, 45, 60, dan 75 menit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur simpan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian. Pemanasan suhu 90oC selama 45 menit memberikan umur simpan terpanjang yaitu 136 hari.

Kata kunci: ASLT, gelatinisasi sebagian, pemanasan, tepung ubi jalar ungu, umur simpan


(3)

PENGARUH GELATINISASI SEBAGIAN

TERHADAP UMUR SIMPAN TEPUNG UBI JALAR UNGU

Oleh

ANJAR ARIANINGRUM

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Pascasarjana Magister Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM PASCA SARJANA

MAGISTER TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 14 Mei 1985 merupakan istri dari Bapak M. Shokiful Asror, S.Pd. Penulis dilahirkan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara buah hati pasangan Bapak H. Srie Martono dan Ibu Hj. Sutariyah Mangkudihardjo.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Xaverius Tanjung Karang pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar di SD Fransiskus Tanjung Karang hingga tahun 1998. Sekolah lanjutan tingkat pertama Penulis tekuni di SLTP Negeri 4 Bandar Lampung hingga tahun 2001 dan dilanjutkan ke jenjang SLTA di SMA Negeri 2 Bandar Lampung sampai tahun 2004. Pada tahun 2004 Penulis mengawali masa perkuliahan di Univesitas Lampung, Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian melalui jalur PMKA sampai tahun 2009.

Pada tahun 2010, Penulis bekerja sebagai guru di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Permata Bunda, Rajabasa, Bandar Lampung. Sampai pada akhirnya berhenti bekerja untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014.


(8)

SANWACANA

Alhamdulillahi rabbil „aalamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Gelatinisasi Sebagian terhadap Umur Simpan Tepung Ubi Jalar Ungu”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.Si selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Lampung.

3. Ibu Ir. Siti Nurdjanah, M.Sc., Ph.D. selaku pembimbing pertama dan pembimbing akademik atas arahan, saran dan bimbingannya dalam proses penelitian dan penyelesaian tesis.

4. Ibu Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D. selaku pembimbing kedua dan Ketua Program Studi Magister Teknologi Industri Pertanian atas arahan dan bimbingannya dalam penelitian dan penulisan tesis.

5. Ibu Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. selaku pembahas atas saran, bimbingan dan evaluasinya terhadap tesis.

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar, staff administrasi dan laboratorium di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(9)

7. Ayah, ibu, mamak, bapak (alm) dan kakak adik tersayang yang telah memberikan dukungan serta selalu menyertai penulis dalam doanya untuk melaksanakan dan menyelesaikan tesis.

8. Suami tercinta yang selama ini telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tesis.

9. Keluarga besar FKAR Bandar Lampung yang mengiringi perjuangan sejak awal masa kuliah dan sampai saat ini.

10.Teman-teman angkatan 2012 Magister Teknologi Industri Pertanian yang selalu berjuang menyelesaikan amanah pendidikan di tengah berbagai kesibukan lainnya, khususnya teman-teman satu tim penelitian ubi jalar ungu : Jeri, Pak Andre dan Bu Leli.

Masih banyak lagi pihak-pihak yang tidak dapat Penulis tampilkan di halaman yang terbatas ini. Penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala amal dan kebaikan semua pihak di atas dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak terkait. Aamiin.

Bandar Lampung, Juli 2014 Penulis


(10)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan ... 2

C. Kerangka Pemikiran ... 2

D. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar ... 6

1. Produksi dan Pengolahan Ubi Jalar Ungu ... 6

2. Aktivitas Antioksidan Ubi Jalar Ungu ... 8

B. Pati ... 10

1. Pati Ubi Jalar Ungu ... 13

2. Gelatinisasi Pati ... 16

C. Umur Simpan ... 15

1. Kadar Air Kritis ... 19

2. Aktivitas Air (Water Activity / aw) ... 20

3. Kurva Sorpsi Isotermis... 22

4. Kemasan Bahan Pangan ... 25

III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

B. Bahan dan Alat ... 29

C. Metode Penelitian ... 30

D. Pelaksanaan Penelitian ... 30

1. Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian ... 30

2. Penyimpanan Tepung untuk Penghitungan Kadar Air Kritis ... 32

3. Penyimpanan Tepung untuk Penghitungan Kurva Sorpsi Isotermis 33 E. Pengamatan ... 34

1. Pendugaan Umur Simpan ... 34

a. Pengukuran Kadar Air Awal ... 34

b. Pengukuran Kadar Air Kritis ... 35


(11)

ii

d. Penentuan Parameter Pendukung ... 37

e. Penghitungan Umur Simpan Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian ... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian ... 39

B. Kadar Air Awal (mi) Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian .. 41

C. Kadar Air Kritis (mc) Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian . 43 D. Kadar Air Kesetimbangan (me) Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian ... 47

1. Kadar Air Kesetimbangan ... 47

2. Tekanan Uap Air Lautan garam Jenuh ... 48

E. Kurva Sorpsi Isotermis Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian ... 50

1. Karakteristik Kurva Sorpsi Isotermis Air tepung Ubi Jalar Ungu .. 50

2. Slope / Kemiringan Kurva Sorpsi Isotermis Air Tepung Ubi Jalar Ungu ... 53

F. Umur Simpan Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian ... 55

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 60

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(12)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan gizi tepung ubi jalar per 100 g... 8

2. Karakteristik amilosa dan amilopektin ... 11

3. Kandungan komponen kimia beberapa jenis granula pati ... 13

4. Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan ... 25

5. Karakteristik plastic kemasan ... 26

6. Jumlah garam dan air larutan garam jenuh ... 34

7. RH dan aktivitas air (aw) larutan garam jenuh ... 36

8. Waktu tepung ubi jalar ungu mulai menggumpal ... 46

9. Waktu rata-rata tepung untuk mencapai KA kesetimbangan ... 48

10. Kadar air kesetimbangan sampel tepung di berbagai kondisi RH . 49 11. Nilai MRD model persamaan sorpsi isotermis setiap perlakuan ... 55

12. Nilai rata-rata derajat gelatinisasi setiap perlakuan ... 59

13. Perhitungan kadar air awal tepung ubi jalar ungu ulangan 1 ... 70

14. Perhitungan kadar air awal tepung ubi jalar ungu ulangan 2 ... 70

15. Perhitungan kadar air awal tepung ubi jalar ungu ulangan 3 ... 70

16. Perhitungan kadar air awal tepung ubi jalar ungu ulangan 4 ... 71

17. Rekap kadar air awal tepung ubi jalar ungu ... 71


(13)

iv

19. Analisis ragam kadar air awal tepung ubi jalar ungu ... 72

20. Uji Duncan kadar air awal tepung ubi jalar ungu ... 72

21. Perhitungan kadar air kritis( NaCl) ulangan 1 ... 73

22. Perhitungan kadar air kritis( NaCl) ulangan 2 ... 73

23. Perhitungan kadar air kritis( NaCl) ulangan 3 ... 73

24. Perhitungan kadar air kritis( NaCl) ulangan 4 ... 73

25. Rekap kadar air krtitis (NaCl) tepung ubi jalar ungu ... 74

26. Uji kehomogenan ragam kadar air kritis tepung ubi jalar ungu .... 74

27. Analisis ragam kadar air kritis tepung ubi jalar ungu ... 75

28. Uji Duncan kadar air kritis tepung ubi jalar ungu ... 75

29. Perhitungan kadar air kesetimbangan NaOH ulangan 1 ... 76

30.Perhitungan kadar air kesetimbangan NaOH ulangan 2 ... 76

31.Perhitungan kadar air kesetimbangan NaOH ulangan 3 ... 76

32.Perhitungan kadar air kesetimbangan NaOH ulangan 4 ... 76

33.Perhitungan kadar air kesetimbangan MgCl2 ulangan 1 ... 77

34.Perhitungan kadar air kesetimbangan MgCl2 ulangan 2 ... 77

35.Perhitungan kadar air kesetimbangan MgCl2 ulangan 3 ... 77

36.Perhitungan kadar air kesetimbangan MgCl2 ulangan 4 ... 77

37.Perhitungan kadar air kesetimbangan KI ulangan 1 ... 78

38.Perhitungan kadar air kesetimbangan KI ulangan 2 ... 78

39.Perhitungan kadar air kesetimbangan KI ulangan 3 ... 78

40.Perhitungan kadar air kesetimbangan KI ulangan 4 ... 78

41.Perhitungan kadar air kesetimbangan KCl ulangan 1 ... 79


(14)

v

43.Perhitungan kadar air kesetimbangan KCl ulangan 3 ... 79

44.Perhitungan kadar air kesetimbangan KCl ulangan 4 ... 79

45.Perhitungan kadar air kesetimbangan BaCl2 ulangan 1 ... 80

46.Perhitungan kadar air kesetimbangan BaCl2 ulangan 2 ... 80

47.Perhitungan kadar air kesetimbangan BaCl2 ulangan 3 ... 80

48.Perhitungan kadar air kesetimbangan BaCl2 ulangan 4 ... 80

49.Perhitungan kadar air kesetimbangan K2Cr2O7 ulangan 1 ... 81

50.Perhitungan kadar air kesetimbangan K2Cr2O7 ulangan 2 ... 81

51.Perhitungan kadar air kesetimbangan K2Cr2O7 ulangan 3 ... 81

52.Perhitungan kadar air kesetimbangan K2Cr2O7 ulangan 4 ... 81

53.Waktu sampai mencapai kadar air kesetimbangan ulangan 1 ... 82

54.Waktu sampai mencapai kadar air kesetimbangan ulangan 2 ... 82

55.Waktu sampai mencapai kadar air kesetimbangan ulangan 3 ... 82

56.Waktu sampai mencapai kadar air kesetimbangan ulangan 4 ... 83

57.Rata-rata kadar air kesetimbangan penelitian ... 83

58.Perhitungan kadar air kesetimbangan persamaan Chen Clayton ... 84

59.Rekap hasil perhitungan MRD persamaan Chen Clayton ... 84

60.Perhitungan kadar air kesetimbangan persamaan Handerson ... 85

61.Rekap hasil perhitungan MRD persamaan Handerson ... 85

62.Perhitungan kadar air kesetimbangan persamaan Hasley ... 86

63.Rekap hasil perhitungan MRD persamaan Hasley ... 86

64.Perhitungan kadar air kesetimbangan persamaan Caurie... 87

65.Rekap hasil perhitungan MRD persamaan Caurie ... 87


(15)

vi

67.Rekap hasil perhitungan MRD persamaan Oswin ... 88 68.Kadar air kesetimbangan (me) tepung ubi jalar ungu tanpa

perlakuan pemanasan (L0) ... 89 69.Kadar air kesetimbangan Hasley tepung ubi jalar ungu tanpa

perlakuan pemanasan (L0) ... 89 70. KA kesetimbangan (me) tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 15 menit (L1) ... 91 71. KA kesetimbangan Hasley tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 15 menit (L1) ... 91 72. KA kesetimbangan (me) tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 30 menit (L2) ... 93 73. KA kesetimbangan Hasley tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 30 menit (L2) ... 93 74. KA kesetimbangan (me) tepung ubi jalar ungu perlakuan 45

menit (L3) ... 95 75. KA kesetimbangan Hasley tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 45 menit (L3) ... 95 76. KA kesetimbangan (me) tepung ubi jalar ungu perlakuan 60

menit (L4) ... 97 77. KA kesetimbangan Hasley tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 60 menit (L4) ... 97 78. KA kesetimbangan (me) tepung ubi jalar ungu perlakuan 75

menit (L5) ... 99 79. KA kesetimbangan Hasley tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 75 menit (L5) ... 99 80. Perhitungan masa simpan tepung ubi jalar ungu tanpa perlakuan

pemanasan (L0) ... 101 81. Perhitungan masa simpan tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 15 menit (L1) ... 102 82. Perhitungan masa simpan tepung ubi jalar ungu perlakuan


(16)

vii

83. Perhitungan masa simpan tepung ubi jalar ungu perlakuan

pemanasan 45 menit (L3) ... 104

84. Perhitungan masa simpan tepung ubi jalar ungu perlakuan pemanasan 60 menit (L4) ... 105

85. Perhitungan masa simpan tepung ubi jalar ungu perlakuan pemanasan 75 menit (L5) ... 106

86.Data umur simpan tepung ... 106

87.Uji Kehomogenan ragam umur simpan tepung ubi jalar ungu ... 107

88.Analisis ragam umur simpan tepung ubi jalar... 107


(17)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bentuk granula pati ... 11

2. Struktur amilosa dan amilopektin ... 12

3. Proses pembuatan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian ... 31

4. Pelaksanaan penyimpanan tepung ubi jalar ungupada kadar air kritis ... 32

5. Pelaksanaan penyimpanan tepung ubi jalar ungu untuk menghitung kurva sorpsi isotermis ... 33

6. Plot kurva sorpsi isotermis ... 36

7. Tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian ... 39

8. Kadar air awal (mi) tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian ... 42

9. Kadar air kritis (mc) tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian ... 45

10. Kurva sorpsi isotermis setiap perlakuan ... 51

11. Kurva desorpsi air tepung ubi jalar ungu... 52

12. Kurva adsorspsi air tepung ubi jalar ungu ... 52

13. Pembagian tipe air di dalam tepung ubi jalar ungu ... 53

14. Umur simpan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian ... 56

15. Kurva sorpsi isotermis L0.1 ... 89

16. Kurva sorpsi isotermis L0.2 ... 90


(18)

ix

18. Kurva sorpsi isotermis L0.4 ... 90

19. Kurva sorpsi isotermis L1.1 ... 91

20. Kurva sorpsi isotermis L1.2 ... 92

21. Kurva sorpsi isotermis L1.3 ... 92

22. Kurva sorpsi isotermis L1.4 ... 92

23. Kurva sorpsi isotermis L2.1 ... 93

24. Kurva sorpsi isotermis L2.2 ... 94

25. Kurva sorpsi isotermis L2.3 ... 94

26. Kurva sorpsi isotermis L2.4 ... 94

27. Kurva sorpsi isotermis L3.1 ... 95

28. Kurva sorpsi isotermis L3.2 ... 96

29. Kurva sorpsi isotermis L3.3 ... 96

30. Kurva sorpsi isotermis L3.4 ... 96

31. Kurva sorpsi isotermis L4.1 ... 97

32. Kurva sorpsi isotermis L4.2 ... 98

33. Kurva sorpsi isotermis L4.3 ... 98

34. Kurva sorpsi isotermis L4.4 ... 98

35. Kurva sorpsi isotermis L5.1 ... 99

36. Kurva sorpsi isotermis L5.2 ... 100

37. Kurva sorpsi isotermis L5.3 ... 100

38. Kurva sorpsi isotermis L5.4 ... 100

39. Sawutan ubi jalar ungu tanpa pemanasan (L0), dipanaskan dengan suhu 90oC selama 15 menit (L1) dan 30 menit (L2) ... 109

40. Sawutan ubi jalar ungu dipanaskan dengan suhu 90oC selama 45 menit (L3), 60 menit (L4) dan 75 menit (L5) ... 109


(19)

x

41. Sawutan ubi jalar ungu setelah dikeringkan, sebelum dibuat menjadi tepung ubi jalar ungu tanpa pemanasan (L0), dipanaskan

dengan suhu 90oC selama 15 menit (L1) dan 30 menit (L2) ... 110

42. Sawutan ubi jalar ungu setelah dikeringkan, sebelum dibuat menjadi tepung ubi jalar ungu dipanaskan dengan suhu 90oC selama 45 menit (L3), 60 menit (L4) dan 75 menit (L5) ... 110

43. Melarutkan garam ... 111

44. Larutan garam dituangkan ke toples B ... 111

45. Kemasan plastik LDPE merk UNGGUL (7x10 cm) ... 111

46. Sampel tepung di dalam toples A ... 112

47. Toples A (kecil/0,5 kg), toples B (besar/1,5 kg) ... 112

48. Toples A di dalam toples B ... 113


(20)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Ubi jalar ungu (Ipomea batatas L. Poir) mengandung antosianin yang bermanfaat bagi kesehatan. Antosianin mampu untuk menginduksi penghambatan proliferasi sel pada sel kanker tertentu (Kim et al., 2012). Antosianin ubi jalar ungu berfungsi sebagai antioksidan alami (Shan et al., 2009) dan sebagai pewarna ungu alami. Manfaat antioksidan serta warna ungu dapat meningkatkan nilai tambah dari ubi jalar ungu. Pemanfaatan ubi jalar ungu dengan diolah menjadi tepung. Pengolahan ubi jalar ungu menjadi tepung harus dapat mempertahankan kandungan antosianin yang bermanfaat sebagai antioksidan dan pewarna ungu alami.

Idham et al. (2012) melaporkan bahwa pemanasan terhadap turunan pati dapat meningkatkan umur simpan. Menurut Chung et al. (2006) apabila pemanasan dilakukan dengan suhu dan air terbatas maka pati akan tergelatinisasi sebagian. Gelatinisasi sebagian pada pati ubi jalar ungu dapat dilakukan melalui pemanasan ubi jalar ungu di dalam drum berputar (rotary drum) sebelum ditepungkan.

Informasi tentang umur simpan tepung ubi jalar ungu belum diteliti. Produk pangan yang diolah kemudian disimpan akan mengalami penurunan mutu. Penurunan mutu produk pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor


(21)

2

yang menyebabkan terjadinya perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan (Floros dan Gnanasekharan, 1993). Tepung dikatakan mulai mengalami penurunan mutu apabila warna tepung sudah dinilai tidak ungu normal lagi dan butiran tepung sudah mulai menggumpal atau kurang dari 95% tepung ubi jalar ungu tidak lolos ayakan 80 mesh. Hal ini sesuai penentuan standar mutu tepung ubi jalar (Ambarsari et al., 2009). Industri tepung memandang penggumpalan yang terjadi pada tepung adalah masalah yang serius. Penggumpalan akan menyebabkan terjadinya oksidasi lemak, perubahan aroma, menurunkan kelarutan dan aktivitas enzim. Konsumen juga berpendapat penggumpalan merupakan indikator penurunan mutu dan keamanan tepung (Arpah et al., 2002).

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi umur simpan tepung ubi jalar ungu menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Keuntungan metode ASLT yaitu waktu pengujian relatif singkat (3−4 bulan), ketepatan dan akurasinya tinggi (Herawati, 2008).

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh gelatinisasi sebagian melalui proses pemanasan terhadap umur simpan tepung ubi jalar ungu.

C. Kerangka Pemikiran

Ubi jalar ungu merupakan bahan pangan segar yang akan segera menurun kualitasnya apabila tidak diberi perlakuan untuk menghambat proses kerusakan.


(22)

3

Pengolahan ubi jalar ungu menjadi tepung merupakan salah satu upaya untuk menghambat kerusakan dan meningkatkan umur simpan. Pengolahan ubi jalar ungu menjadi tepung harus dapat mempertahankan warna dan antosianin ubi jalar ungu yang memiliki aktivitas antioksidan. Informasi mengenai pengaruh lama pemanasan terhadap umur simpan dan aktivitas antioksidan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian belum dilaporkan.

Secara umum tepung ubi jalar ungu diproduksi dengan tahapan pengupasan, pencucian, pengecilan ukuran, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Proses ini menyebabkan terjadinya perubahan struktur pati dan stabilitas antosianin ubi jalar ungu (Kim et al., 2012). Pati tidak larut air ketika dipanaskan di bawah suhu gelatinisasi. Pemanasan tersebut dapat pula menyebabkan pecahnya sebagian granula pati (gelatinisasi sebagian) atau seluruh granula pati pecah (gelatinisasi sempurna) (Yuliana, 2011).

Faktor yang mempengaruhi terjadinya gelatinisasi pati adalah suhu, ketersediaan air serta lama pemanasan (Beynum dan Roels, 1985). Ketika suhu meningkat granula pati tidak mengalami gelatinisasi secara bersamaan. Oleh karena itu suhu gelatinisasi ditetapkan dalam kisaran suhu. Kisaran suhu gelatinisasi ubi jalar adalah antara 58 - 72oC (Swinkles, 1985 dalam Beynum dan Roels, 1985).

Chung et al. (2006) melaporkan bahwa ketika proses pengolahan bahan pangan yang mengandung pati jumlah air dan panas tidak mencukupi, tidak seluruh pati di dalam bahan pangan tersebut mengalami gelatinisasi atau terjadi gelatinisasi sebagian. Gelatinisasi sebagian pada umumnya disebabkan oleh ketersediaan air dan suhu yang rendah. Hidayat et al. (2009) meneliti tepung singkong gelatinisasi


(23)

4

sebagian menggunakan suhu 90oC selama 90 menit. Pada penelitian ini dilakukan pemanasan pada kisaran suhu gelatinisasi yaitu suhu 90oC dengan pengaturan lama pemanasan sehingga pati mengalami tingkatan gelatinisasi yang berbeda. Proses gelatinisasi sebagian menyebabkan terbentuknya lapisan (film) karena perubahan pada amilosa dan amilopektin granula pati (Piyada et al., 2013). Idham et al. ( 2012) melakukan penelitian terhadap stabilitas antosianin bunga rosella menggunakan turunan pati yang dipanaskan sebagai bahan lapisan pelindung (enkapsulasi) yang melapisi antosianin rosella. Turunan pati tersebut mengalami pemanasan terlebih dahulu sehingga dapat membentuk lapisan pelindung antosianin. Hasil penelitian menunjukkan umur simpan lebih panjang dan kerusakan antosianin berkurang. Suhu optimum untuk mendapatkan efek positif tersebut adalah 60-80oC.

Menurut hasil penelitian Richana dan Widaningrum (2009), lama pemanasan ubi jalar ungu varietas Ayamurazaki untuk mencapai gelatinisasi adalah 36 menit. Sedangkan penelitian Ginting dan Suprapto (2005) menunjukkan bahwa lama pemanasan yang dibutuhkan untuk terjadinya gelatinisasi pada ubi jalar adalah 39 menit. Lama pemanasan perlu diatur sehingga terjadi gelatinisasi sebagian. Lama pemanasan yang dipilih untuk dilihat pengaruhnya terhadap umur simpan adalah 6 taraf lama pemanasan yaitu 0, 15, 30, 45, 60 dan 75 menit. Hernanto (2014) melaporkan bahwa lama pemanasan tersebut menyebabkan tepung ubi jalar ungu mengalami gelatinisasi sebagian.

Umur simpan dievaluasi menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Prinsip utama dari model ini adalah menentukan kadar air


(24)

5

kesetimbangan tepung ubi jalar ungu yang disimpan pada berbagai RH. Kadar air kesetimbangan yang sudah diketahui kemudian diplotkan dengan nilai aktivitas air (aw) sehingga akan membentuk kurva sorpsi isotermis air (Labuza, 1982). Kurva sorpsi isotermis berperan untuk memprediksi umur simpan makanan yang mempunyai kadar air rendah (Al-Muhtaseb et al., 2002).

D. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah gelatinisasi sebagian melalui proses pemanasan dapat meningkatkan umur simpan tepung ubi jalar ungu termodifikasi.


(25)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ubi Jalar Ungu

1. Produksi dan Pengohan Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. Poir) merupakan salah satu jenis ubi jalar yang banyak ditemui di Indonesia selain berwarna putih, kuning dan merah. Ubi jalar ungu jenis Ipomoea batatas L. Poir memiliki warna yang ungu yang cukup pekat pada daging ubinya sehingga banyak menarik perhatian. Dalam sistematika (taksonami) tumbuhan yang dikutip dari Iriyanti (2012), tanaman ubi jalar dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantea

Devisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotylodonnae Ordo : Convolvulales Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea Batotas

Ubi jalar ungu telah dikembangkan di berbagai negara seiring dengan semakin berkembangnya permintaan pasar terhadap makanan sehat. Ubi jalar ungu seperti


(26)

7

jenis Yamagawamurasaki dan Ayamurasaki telah dikembangkan di Jepang dan dipergunakan di berbagai produk-produk komersial juga sebagai pewarna alami pangan contohnya pada pengolahan mie, jus, roti, selai dan minuman fermentasi (Truong et al., 2012). Nutrisi yang terkandung di dalam ubi jalar ungu adalah vitamin A, C, serat pangan, zat besi, potasium dan protein (Mais, 2008).

Indonesia sebagai negara yang cocok untuk ditanami ubi jalar ungu mengalami peningkatan dalam penanaman ubi jalar ungu. Sentra penanaman ubi jalar ungu tersebar di Pandeglang (Banten), Malang dan Banyuwangi (Jawa Timur), Sleman (Yogyakarta), dan jalur pantura Jawa mulai Subang (Jawa Barat) hingga Brebes, Tegal, hingga Pemalang (Jawa Tengah). Produktivitas ubijalar ungu lebih rendah daripada ubijalar kuning. Namun, petani memilih untuk terus menanam karena harga jual ubi jalar ungu lebih tinggi Rp500-Rp1.000 per kg daripada ubi jalar kuning (Ipur, 2012).

Produksi ubi jalar selama kurun waktu 5 tahun cenderung meningkat rata-rata 6,78 % per tahun dari 1,8 juta ton pada tahun 2008 menjadi 2,4 juta ton pada tahun 2012 (ARAM II) sedangkan laju peningkatan produktivitas sedikit dibawah angka laju produksi yaitu mencapai 5,85 % per tahun, namun laju pertumbuhan luas panennya baru mencapai 0,89 % per tahun (Anonim, 2013).

Pengolahan ubi jalar ungu juga semakin bervariasi seiring makin meningkatnya produksi ubi jalar ungu. Pengolahan menjadi tepung adalah salah satu bentuk produk olahan yang dapat meningkatkan kemandirian bangsa dengan mengurangi penggunaan tepung terigu import. Presentase minat industri untuk mencoba tepung ubi jalar, yaitu sekitar 68,41% perusahaan berminat untuk mencoba dan


(27)

8

hanya sekitar 31,58% perusahaan yang tidak berminat untuk mencoba (Djami, 2007). Kandungan nutrisi di dalam tepung ubi jalar ungu dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi tepung ubi jalar per 100 g

No. Parameter Tepung Ubi

Jalar Putih

Tepung Ubi Jalar Orange

Tepung Ubi Jalar Ungu

1. Kadar air (%) 10,99 6,77 7,28

2. Kadar abu (%) 3,14 4,71 5,31

3. Protein (%) 4,46 4,42 2,79

4. Lemak (%) 1,02 0,91 0,81

5. Karbohidrat (%) 84,83 83,19 83,81

6. Serat (%) 4,44 5,54 4,72

Sumber : Djami (2007)

2. Aktivitas Antioksidan Ubi Jalar Ungu

Warna ungu dari ubi jalar ungu berasal dari pigmen alami yang terkandung di dalamnya. Pigmen hidrofilik antosianin termasuk golongan flavonoid yang menjadi pewarna pada sebagian besar tanaman, yaitu warna biru, ungu dan merah. Hingga saat ini telah ditemukan 23 jenis pigmen antosianidin basis (aglikon) dan 6 yang umum ditemukan di tanaman adalah pelargonidin, cyanidin, peonidin, delphinidin, petunidin dan malvidin (Kim et al., 2012). Kandungan antosianin yang tinggi di dalam umbi akarnya yaitu antosianidin utamanya berupa sianidin dan peonidin (Jiao et al., 2012).

Konsentrasi antosianin inilah yang menyebabkan beberapa jenis ubi ungu mempunyai gradasi warna ungu yang berbeda (Hardoko et al., 2010). Ubi jalar ungu yang berbeda kultivar memiliki kandungan antosianin yang berbeda pula. Antosianin memberikan efek kesehatan yang sangat baik yaitu sebagai antioksidan dan antikanker karena defisiensi elektron pada struktur kimianya


(28)

9

sehingga bersifat reaktif menangkal radikal bebas (Jiao et al., 2012). Antosianin yang diekstrak dari ubi jalar ungu juga dapat menangkal secara signifikan pembentukan peroksida lemak. Pada penelitian terhadap ekstrak ubi jalar ungu telah ditemukan sebanyak 16 jenis antosianin dengan menggunakan teknik HPLC-DAD (Jiao et al., 2012). Antosianin dapat terdegradasi karena beberapa faktor yaitu: pH, suhu, struktur, cahaya, oksigen, pelarut, enzim dan ion logam (He et al., 2010). Shan et al. (2009) melaporkan bahwa antosianin ubi jalar ungu berfungsi sebagai antioksidan alami.

Aktivitas antioksidan dari antosianin ubi jalar ungu dihitung menggunakan metode DPPH (α-diphenyl-β-picrilhydrazyl) (Molyneux, 2004). Metode ini didasarkan kepada reaksi pemberian ion hidrogen dari bahan pangan yang mengandung antioksidan sehingga mengurangi warna ungu DPPH-radikal bebas, menjadi DPPH-H warna kuning yang tidak lagi bersifat radikal bebas (Kumaran dan Karunakaran, 2005). Pengurangan jumlah absorpsi DPPH (yang diukur menggunakan panjang gelombang 517 nm) menunjukkan kemampuan anti radikal bebas bahan pangan sumber antioksidan (Jiao et al., 2012).

Tingkatan suhu dan lama pemanasan memiliki pengaruh yang kuat pada stabilitas antosianin (Patras et al., 2010). Brownmiller et al.( 2008) melaporkan bahwa perlakuan suhu tinggi yaitu blanching (950C selama 3 menit) yang dikombinasi dengan pasteurisasi dalam pengolahan buah blueberry menjadi puree mengakibatkan hilangnya 43 % total antosianin monomer akan tetapi nilai warna polimer ternyata meningkat dari 1% sampai 12 % , dibandingkan dengan tingkat asli yang ditemukan di buah segar.


(29)

10

Patras et al. (2010) melaporkan bahwa pemanasan dapat menyebabkan pengurangan kerja enzim polifenol oksidase. Kirca et al. (2006) melaporkan bahwa antosianin dari wortel hitam cukup stabil selama pemanasan pada 70-800C, yang sesuai dengan data kinetik pada penelitian Rhim (2002) bahwa stabilitas termal antosianin wortel hitam terdapat pada suhu 70 - 900C. Jiao et al. (2012) dan Terahara (2004) memaparkan bahwa aktivitas antioksidan tepung ubi jalar ungu mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan konsentrasi yang diujikan pada metode DPPH-radikal bebas. Yudiono (2011) memaparkan bahwa aktivitas antioksidan ubi jalar ungu adalah 72,64%.

B. Pati

Pati dapat ditemukan di sebagian besar tumbuhan. Pati tersebut terdapat di organ/bagian tumbuhan tersebut misalnya pada biji, daun, batang, jaringan kayu, akar, umbi, rimpang, buah, daun dan perikarp, kotiledon, embrio dan endosperm benih tumbuhan (Whistler et al., 1984). Pati adalah polisakarida yang tersusun dari unit-unit glukosa yang saling berikatan membentuk rangkaian yang panjang. Jumlah molekul glukosa yang terdapat pada pati bervariasi dari lima ratus sampai ribuan molekul tergantung jenis pati. Pati tersimpan sebagai sumber energi tumbuhan, seperti glikogen pada hewan. Pati terdiri atas granula dengan ukuran yang bervariasi antara 2 – 130 mikron. Ukuran dan bentuk granula pati dipangaruhi oleh jenis tumbuhan asal dari granula pati tersebut. Struktur granula pati berbentuk sedemikian rupa sehingga terlihat melingkar (Lineback, 1984). Bentuk granula pati dapat dilihat pada Gambar 1.


(30)

11

Pati alami memiliki dua komponen penyusun utama yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus yang dominan dengan ikatan -(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin selain memiliki struktur lurus juga memiliki polimer bercabang dengan ikatan -(1,6)-D-glukosa (Whistler et al., 1984). Karakteristik amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 1. Bentuk granula pati Sumber : Lineback (1984) Tabel 2. Karakteristik amilosa dan amilopektin

Karakter Amilosa Amilopektin

Struktur umum Linier / lurus Bercabang

Warna ketika ditambah iodin Biru tua Ungu

Afinitas Iodin 650 nm 540 nm

Rata-rata panjang ikatan

(residu glukosa) 100 – 10.000 20 – 30

Derajat polimerisasi

(residu glukosa) 100 – 10.000 10.000 – 100.000

Kelarutan di air Tidak tetap Selalu larut

Kestabilan di dalam larutan Retrogradasi Stabil Pembentukan menjadi maltosa

oleh kristal -amilase 70% 55%

Sumber : Whistler et al. (1984)

Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2. Sifat fungsional pati yang penting adalah kemampuan mengentalkan dan membentuk gel (Rapaille dan Vanhelmerijk, 1994). Sifat pengental pati ditunjukkan dengan kemampuan pati mencapai viskositas yang tinggi. Thickening power dilihat dari viskositas

Amilosa Amilopektin


(31)

12

maksimum yang mampu dibentuk oleh pati tersebut selama pemanasan (Swinkels, 1985 dalam Honestin, 2007).

Pembentukan gel merupakan salah satu bukti kemampuan molekul linier pati terlarut untuk berasosiasi. Apabila larutan pati encer dibiarkan beberapa lama maka akan terbentuk endapan, sedangkan bila larutan pati memiliki konsentrasi tinggi maka akan terbentuk gel. Gel ini terbentuk setelah terjadi ikatan hidrogen antara grup hidroksil rantai linier yang berdekatan (Pomeranz, 1991).

Gambar 2. Struktur amilosa dan amilopektin

Sumber : Swinkels (1985) dalam Beynum dan Roeis (1985)

1. Pati Ubi Jalar Ungu

Pati ubi jalar memiliki sifat lain diantara pati kentang dan pati jagung atau pati tapioka. Granula pati ubi jalar berdiameter 2-25 μm. Granula pati ubi jalar berbentuk polygonal dengan kandungan amilosa dan amilopektin berturut-turut adalah 20% dan 80% (Swinkels, 1985 dalam Beynum dan Roels, 1985). Pati ubi jalar memiliki derajat pembengkakan 20-27 ml/g, kelarutan 15-35%, dan

Amilopektin Amilosa


(32)

13

gelatinisasi pada suhu 75-88oC untuk granula berukuran kecil (Moorthy dan Balagopalan, 2010).

Pati ubi jalar ungu memiliki kekentalan tinggi dan kemampuan membuat gel yang rendah. Hal ini disebabkan karena kemampuan pembengkakan (swelling) dan kelarutan pati ubi jalar ungu serta ukuran granula pati ubi jalar ungu (Moorthy dan Balagopalan, 2010). Komponen kimia yang terkandung di dalam pati ubi jalar dan beberapa jenis pati lain dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan komponen kimia beberapa jenis granula pati Sumber Pati Kelembaban

65% RH, 20oC Lemak Protein Abu Fosfor

Jagung 13 0,6 0,35 0,1 0,015

Kentang 19 0,05 0,06 0,4 0,08

Gandum 14 0,8 0,4 0,15 0,06

Singkong 13 0,1 0,1 0,2 0,01

Tepung Jagung 13 0,2 0,25 0,07 0,007

Sorghum 13 0,7 0,3 0,08 -

Beras - 0,8 0,45 0,5 0,1

Sagu - 0,1 0,1 0,2 0,02

Amylomaize 13 0,4 - 0,2 0,07

Ubi jalar 13 - - 0,1 -

Sumber : Beynum dan Roels (1985)

2. Gelatinisasi Pati

Pati alami memiliki karakteristik tertentu yang tidak selalu diinginkan oleh konsumen. Pati yang digunakan dengan konsentrasi yang tinggi terkadang memiliki viskositas (kekentalan) yang terlalu tinggi. Pati juga memiliki sifat tidak larut pada air yang bersuhu dingin (Yuliana, 2011). Faktor-faktor kekurangan pada sifat pati tersebut menyebabkan perlu dilakukan modifikasi terhadap struktur


(33)

14

pati. Pati dimodifikasi antara lain secara fisik, kimia atau enzimatis untuk mengubah salah satu atau lebih sifat fisik atau kimianya yang penting.

Modifikasi pati dapat dilakukan secara fisik melalui beberapa cara, antara lain pengeringan, ekstrusi, pemanasan, pendinginan, pemasakan maupun perlakuan fisik lainnya. Proses modifikasi pati juga dapat dilakukan secara kimia melalui cross linking, substitusi atau kombinasi keduanya dengan menggunakan bahan kimia sebagai bahan pembantu reaksi selama proses pengolahan. Secara enzimatis dapat dilakukan dengan bantuan enzim seperti enzim -amilase dan -amilase (Yuliana, 2011).

Gelatinisasi sebagian merupakan salah satu metode modifikasi pati secara fisik. Gelatinisasi pati didukung oleh beberapa faktor yaitu air serta suhu tinggi/ panas. Air dan suhu yang tinggi akan menyebabkan pecahnya sebagian (gelatinisasi sebagian) atau seluruh granula pati (gelatinisasi sempurna).

Pati tidak larut air ketika dipanaskan di bawah suhu gelatinisasi. Ketika pemanasan dilakukan mencapai kisaran suhu gelatinisasi maka pati akan mengalami hidrasi sehingga membengkak lebih besar dari ukuran aslinya. Selain itu pati akan kehilangan sifat birefringence serta menjadi lebih jernih. Apabila dilakukan pendinginan maka akan terbentuk pasta. Ketika suhu meningkat granula pati tidak mengalami gelatinisasi secara bersamaan, ada yang lebih awal ada yang di akhir. Oleh karena itu suhu gelatinisasi ditetapkan dalam kisaran suhu (Swinkles, 1985 dalam Beynum dan Roels, 1985).


(34)

15

Faktor yang mempengaruhi terjadinya gelatinisasi pati adalah suhu, ketersediaan air serta lama pemanasan (Beynum dan Roels, 1985). Ketika suhu meningkat granula pati tidak mengalami gelatinisasi secara bersamaan. Oleh karena itu suhu gelatinisasi ditetapkan dalam kisaran suhu. Kisaran suhu gelatinisasi ubi jalar adalah antara 58 - 72oC (Swinkles, 1985 dalam Beynum dan Roels, 1985).

Chung et al. (2006) melaporkan bahwa ketika proses pengolahan bahan pangan yang mengandung pati jumlah air dan panas tidak mencukupi, tidak seluruh pati di dalam bahan pangan tersebut mengalami gelatinisasi atau terjadi gelatinisasi sebagian. Gelatinisasi sebagian pada umumnya disebabkan oleh ketersediaan air dan suhu yang rendah. Hidayat et al. (2009) meneliti tepung singkong gelatinisasi sebagian menggunakan suhu 90oC selama 90 menit.

Proses gelatinisasi sebagian menyebabkan terbentuknya lapisan (film) karena perubahan pada amilosa dan amilopektin granula pati (Piyada et al., 2013). Gelatinisasi sebagian menyebabkan sebagian granula pati tepung ubi jalar ungu rusak dan amilosa yng bersifat mudah larut di dalam air (Kearsley dan Dziedzic, 1995). Amilopektin memiliki gugus hidroksil yang bersifat hidrofilik (Winarno, 1992) sehingga dapat menyerap molekul air. Amilosa yang keluar dari granula pati akan menyelimuti granula pati seperti membentuk film/lapisan.

Penelitian terhadap stabilitas antosianin bunga rosella menggunakan turunan pati yang dipanaskan sebagai bahan lapisan pelindung (enkapsulasi) yang melapisi antosianin rosella. Turunan pati tersebut mengalami pemanasan terlebih dahulu sehingga dapat membentuk lapisan pelindung antosianin. Hasil penelitian menunjukkan umur simpan lebih panjang dan kerusakan antosianin berkurang.


(35)

16

Suhu yang optimum untuk mendapatkan efek positif tersebut adalah 60-80oC (Idham et al., 2012).

Menurut hasil penelitian Richana dan Widaningrum (2009), lama pemanasan ubi jalar ungu varietas Ayamurazaki untuk mencapai gelatinisasi adalah 36 menit. Sedangkan penelitian Ginting dan Suprapto (2005) menunjukkan bahwa lama pemanasan yang dibutuhkan untuk terjadinya gelatinisasi pada ubi jalar adalah 39 menit.

C. Umur Simpan

Umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi di mana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi (Institute of Food Science and Technology, 1974). Mutu produk pada saat baru diproduksi dianggap dalam keadaan 100% dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al., 2003).

Hasil percobaan penentuan umur simpan diharapkan dapat memberikan informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau


(36)

17

tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi, 2004). Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw) berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi aw pada umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh. Mikroorganisme menghendaki aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu untuk bakteri 0,90, kamir 0,80−0,90, dan kapang 0,60−0,70 (Winarno, 1992).

Secara garis besar umur simpan dapat ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (Extended Storage Studies, ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (Accelerated Shelf Life Testing, ASLT) (Hariyadi, 2004). Penentuan umur simpan produk dengan ESS, yang juga sering disebut sebagai metode konvensional, adalah penentuan tanggal kedaluwarsa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kedaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penemuan dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan analisis parameter mutu yang relatif banyak serta mahal. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kedaluwarsa kurang dari 3 bulan.


(37)

18

Metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) menggunakan pendekatan kadar air kritis untuk menduga umur simpan tepung ubi jalar ungu. Penentuan umur simpan produk dengan metode ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASLT yaitu waktu pengujian relatif singkat (3−4 bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi (Herawati, 2008).

Penentuan umur simpan produk dengan metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi dengan menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria kedaluwarsa. Prinsip utama dari model ini adalah menentukan kadar air kesetimbangan tepung ubi jalar ungu yang disimpan pada berbagai RH. Selain itu ada jenis pendekatan lain yaitu dengan pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu dengan teori kinetika yang pada umumnya menggunakan ordo nol atau satu untuk produk pangan.

Tahapan penentuan umur simpan dengan ASLT meliputi penetapan parameter kriteria kedaluwarsa, pemilihan jenis dan tipe pengemas, penentuan suhu pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendugaan umur simpan sesuai batas akhir penurunan mutu yang dapat ditolerir (Herawati, 2008).

Amalia (2012) menyatakan bahwa prinsip utama metode ASLT adalah menentukan kadar air kesetimbangan (Me) produk yang disimpan pada berbagai


(38)

19

RH. Kurva sorpsi isotermis akan dihasilkan dari hubungan data kadar air kesetimbangan produk pangan dengan RH penyimpanan. Kurva dapat digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air produk dari lingkungan, sehingga umur simpan produk dapat ditentukan menggunakan persamaan Labuza. Persamaan untuk menghitung umur simpan (Labuza, 1982) sebagai berikut:

gain =

Keterangan : = Waktu perkiraan umur simpan (hari) me = Kadar air kesetimbangan (%bk) mi = Kadar air awal (%bk)

mc = Kadar air kritis (%bk) Ws = Berat kering bahan (g)

A = Luas permukaan kemasan (m2)

k/x = Permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) Po = Tekanan uap air jenuh (mmHg)

b = Kemiringan (slope) kurva isotherm sorpsi

1. Kadar Air Kritis

Kadar air kritis merupakan besarnya kandungan air yang dimiliki oleh suatu produk pada kondisi kritisnya. Kondisi kritis sendiri diartikan sebagai kondisi dimana produk telah berada pada batas penerimaan konsumen, dengan kata lain telah mulai ditolak (Labuza, 1982). Tepung ubi jalar ungu disimpan sampai kondisi kritis yaitu kondisi saat tepung mengalami penurunan mutu sehingga tidak disukai oleh panelis secara uji organoleptik. Ambarsari et al. (2009) telah melakukan penelitian terhadap penentuan standar mutu ubi jalar. Karakter fisik tepung ubi jalar adalah warna yang normal, butiran tepung tidak menggumpal,


(39)

20

95% butiran tepung harus lolos di ayakan berukuran 80 mesh dan kadar air maksimal 10%. Tepung dikatakan mulai mengalami penurunan mutu apabila warna tepung dinilai tidak ungu normal dan butiran tepung mulai menggumpal atau kurang dari 95% tepung ubi jalar ungu tidak lolos ayakan 80 mesh.

SNI 01-3751-2000 tentang standar tepung terigu kadar air maksimumnya sebesar 14% sedangkan SNI 01-3451-1994 tentang standar tepung tapioka kadar air maksimum sebesar 17%. Kadar air maksimal tepung ubi jalar adalah 10% (Ambarsari et al., 2009).

Industri tepung memandang penggumpalan yang terjadi pada tepung adalah masalah yang serius. Penggumpalan akan menyebabkan terjadinya oksidasi lemak, perubahan aroma, menurunkan kelarutan dan aktivitas enzim. Konsumen juga berpendapat penggumpalan merupakan indikator penurunan mutu dan keamanan tepung (Arpah et al., 2002).

2. Aktivitas air (water activity / aw)

Menurut derajat keterikatan air, air terikat dapat dibagi atas empat tipe (Kusnandar, 2010; Winarno, 1992) :

- Tipe I, adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N seperti karbohidrat, protein, atau garam. Air tipe ini tidak dapat membeku pada proses pembekuan, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan


(40)

21

cara pengeringan biasa. Air tipe ini terikat kuat dan sering kali disebut air terikat dalam arti sebenarnya.

- Tipe II yaitu molekuk-molekul air yang berada dalam permukaan bahan pangan yang bersifat hidrofilik membentuk monolayer atau multilayer. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan a

w (water activity). Bila sebagian air tipe II dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang merusak bahan makanan seperti reaksi browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak akan dikurangi. Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 3 − 7%, dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak tidak jenuh.

- Tipe III, adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering kali disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe III ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12 − 25% dengan aw (water activity) kira-kira 0,8 tergantung dari jenis bahan dan suhu.

- Tipe IV, adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan tetapi hanya pada permukaan bahan dan tidak terikat sama sekali pada matriks bahan. Air jenis ini biasa disebut air murni


(41)

22

Air terikat dengan derajat yang berbeda-beda. Semakin kuat air terikat dalam matriks bahan pangan maka akan semakin sulit dipergunakan untuk aktivitas mikroba, aktivasi enzim juga reaksi kimia. Parameter yang digunakan dalam menentukan kualitas air untuk aktivitas organisme adalah aktivitas air atau water activity (aw). Aktivitas air adalah jumlah air yang terdapat dalam bahan pangan atau larutan. Air tersebut digunakan oleh mikroorganisme untuk menjalankan aktivitas kehidupannya (Buckle et al., 1987). Air murni memiliki nilai aw = 1,0.

Aktivitas air ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban relatif keseimbangan (Equilibrium Relatif Humidity, ERH) dibagi dengan 100 (Arpah, 2007):

Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak (ERH). Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya (Indah, 2011).

3. Kurva Sorpsi Isotermis

Kurva sorpsi isotermis adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara kandungan air dalam bahan pangan dengan aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif (RH) penyimpanan dalam ruang penyimpanan yang memiliki suhu yang sama. Ketika disimpan dalam waktu tertentu di ruangan yang tertutup maka kadar


(42)

23

air di dalam sampel dengan lingkungannya akan mengalami perpindahan dari kadar air yang tinggi ke kadar air yang rendah. Menurut Henderson and Perry (1976) suatu bahan dalam keadaan seimbang apabila laju kehilangan air dari bahan ke udara sekelilingnya sama dengan laju penambahan air ke bahan dari udara di sekelilingnya. Kadar air kesetimbangan yang sudah diketahui diplotkan dengan nilai aktivitas air (aw) sehingga akan membentuk kurva sorpsi isotermis air (Labuza, 1982).

Kurva sorpsi isotermis berperan untuk memprediksi umur simpan makanan yang mempunyai kadar air rendah (Al-Muhtaseb et al., 2002). Kurva sorpsi isotermis juga dapat digunakan untuk menentukan faktor-faktor lain yang memungkinkan memberi pengaruh terhadap penurunan atau peningkatan aw produk pangan (Adawiyah dan Soekarto, 2010). Berbagai penelitian menggunakan kurva sorpsi isotermis telah dilakukan. Antara lain penelitian yang dilakukan Ertugay dan Certel (2000) tentang karakteristik isotermis sorpsi air gandum, barley, rey, coat dan jagung pada suhu penyimpanan yang berbeda. Kemudian penelitian Aini et al. (2014) tentang karakteristik kurva sorpsi isotermis air pada tepung jagung instan. Wijaya et al. (2014) meneliti karakteristik kurva sorpsi isotermis air dan umur simpan pada ledok instan.

Hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif (RH) kesetimbangan pada suhu tertentu dapat terlihat dari kurva sorpsi isotermis karena kurva menggambarkan sifat-sifat hidratasi bahan pangan. Sifat-sifat hidratasi bahan pangan adalah kemampuan bahan pangan secara alami dapat menyerap air dari


(43)

24

udara di sekelilingnya dan sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang terkandung di dalamnya ke udara (Wijaya et al., 2014).

Bentuk kurva sorpsi isotermis air dibagi menjadi tiga tipe (Bell dan Labuza, 2000) yaitu:

- Tipe I adalah bentuk kurva yang khas untuk anti kempal. Bahan ini menyerap air pada sisi spesifik dengan energi pengikatan yang tinggi dan mampu menahan air dengan jumlah yang cukup besar pada aw rendah. Kurva tipe I adalah tipe Langmuir.

- Tipe II adalah kurva produk pangan terutama produk pangan kering. Bentuk kurva pada tipe ini disebabkan oleh kombinasi efek koligatif, kapiler dan interaksi air permukaan. Kurva tipe II berbentuk huruf S atau kurva sigmoid.

- Tipe III adalah kurva yang pada umumnya untuk bahan-bahan kristal seperti sukrosa. Kurva tipe III (Flory-Huggins) berbentuk seperti huruf J (Labuza, 1984).

Model-model persamaan isotermis sorpsi air yang ada dan sering digunakan antara lain persamaan GAB (Guggenheim-Anderson-de Boer), BET (Brunauer- Emmett-Teller), Halsey, Handerson dan Oswin (Kaya dan Oner; 1996, Kaya dan Kahyaoglu, 2007), Chung Pfost yang dimodifikasi (Basunia dan Abe, 2005). Titik-titik kadar air kritis (me) persamaan sorpsi isotermis bahan pangan digunakan untuk memperoleh kurva sorpsi isotermis dengan kemulusan kurva yang tinggi yaitu menggunakan model persamaan Henderson, Caurie, Oswin, Chen Clayton, dan Hasley (Tabel 4). Model persamaan yang memiliki nilai MRD


(44)

25

(Mean Relatif Deviation) < 5 yang digunakan untuk mendapat nilai b (gradien/kemiringan kurva) sebagai parameter pendukung proses pendugaan masa simpan. Rumus perhitungan MRD (Isse et al., 1983) :

Keterangan : Mi = Kadar air percobaan Mpi = Kadar air hasil perhitungan n = jumlah data

Tabel 4. Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan

Model Persamaan

Chen Clayton Henderson Hasley Caurie Oswin

ln [ln(1/aw)]=5.24-25,97 Me

log [ln(1/(1-aw]=-3,685+5,945 log Me log [ln(1/aw]=-3,801-5,398 log Me ln Me= -1,823+0,599 aw

ln Me=-1,524+0,0110 ln [aw/(1-aw)] Sumber: Indah (2011)

4. Kemasan Bahan Pangan

Kemasan pangan merupakan bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan pangan (Anonim, 2012). Selain untuk mewadahi/membungkus pangan, kemasan pangan juga mempunyai berbagai fungsi :

- untuk menjaga pangan tetap bersih serta mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme

- menjaga produk dari kerusakan fisik

- menjaga produk dari kerusakan kimiawi (misalnya permeasi gas, kelembaban/uap air)


(45)

26

- mempermudah pengangkutan dan distrisbusi - mempermudah penyimpanan

- memberikan informasi mengenai produk pangan dan instruksi lain pada label

- menyeragamkan volume atau berat produk dan membuat tampilan produk lebih menarik sekaligus menjadi media promosi.

Beberapa nama plastik yang umum digunakan sebagai kemasan adalah HDPE (High Density Polyethylene), LDPE ( Low Density Polyethylene), PP (Polypropylene), PVC (Polyvinyl chloride), PS (Polystryrene), dan PC (Polycarbonate). PE (Polyethylene) dan PP mempunyai banyak kesamaan dan sering disebut sebagai polyolefin. Keterangan mengenai karakteristik plastik kemasan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik plastik kemasan

Jenis Plastik Keterangan

PET, PETE (Polyethylene terephthalate)

- Bersifat jernih dan transparan, kuat, tahan pelarut, kedap gas dan air, melunak pada suhu 80oC.

- Biasanya digunakan untuk botol minuman, minyak goreng, kecap, sambal, obat.

- Tidak untuk air hangat apalagi panas.

- Untuk jenis ini, disarankan hanya untuk satu kali penggunaan dan tidak untuk mewadahi pangan dengan suhu >60oC.

HDPE (High Density Polyethylene)

- Bersifat keras hingga semifleksibel, tahan terhadap bahan kimia dan kelembaban, dapat ditembus gas, permukaan berlilin, buram, mudah diwarnai, diproses dan dibentuk, melunak pada suhu 75oC.

- Biasanya digunakan untuk botol susu cair, jus, minuman, wadah es krim, kantong belanja, obat, tutup plastik.

- Disarankan hanya untuk satu kali penggunaan karena jika digunakan berulang kali dikhawatirkan bahan penyusunnya lebih mudah bermigrasi ke dalam pangan.


(46)

27

PVC (Polyvinyl chloride)

- Plastik ini sulit didaur ulang.

- Bersifat lebih tahan terhadap senyawa kimia.

- Biasanya digunakan untuk botol kecap, botol sambal, baki, plastik pembungkus.

- Plastik jenis ini sebaiknya tidak untuk mewadahi pangan yang mengandung lemak/minyak, alkohol dan dalam kondisi panas.

LDPE (Low Density Polyethylene)

- Bahan mudah diproses, kuat, fleksibel, kedap air, tidak jernih tetapi tembus cahaya, melunak pada suhu 70oC. - Biasanya digunakan untuk botol madu, wadah yogurt,

kantong kresek, plastik tipis.

- Plastik ini sebaiknya tidak digunakan kontak langsung dengan pangan

PP (Polypropylene) - Transparan tetapi tidak jernih atau berawan, keras tetapi fleksibel, kuat, permukaan berlilin, tahan terhadap bahan kimia, panas dan minyak, melunak pada suhu 140oC.

- Merupakan pilihan bahan plastik yang baik untuk kemasan pangan, tempat obat, botol susu, sedotan. PS (Polystyrene) - PS yang kaku biasanya jernih seperti kaca, kaku,

getas, mudah terpengaruh lemak dan pelarut (seperti alkohol), mudah dibentuk, melunak pada suhu 95oC. Contoh : wadah plastik bening berbentuk kotak untuk wadah makanan.

- PS yang lunak berbentuk seperti busa, biasanya berwarna putih, lunak, getas, mudah terpengaruh lemak dan pelarut lain (seperti alkohol). Bahan ini dapat melepaskan styrene jika kontak dengan pangan. Contohnya : styrofoam.

Other (termasuk Polycarbonat, bio-based plastic, co-polyester, acrylic, polyamide, dan campuran plastik )

- Bersifat keras, jernih dan secara termal sangat stabil. - Bahan Polycarbonat dapat melepaskan Bisphenol-A

(BPA) ke dalam pangan, yang dapat merusak sistem hormone.

- Biasanya digunakan untuk galon air minum, botol susu, peralatan makan bayi.

- Untuk mensterilkan botol susu, sebaiknya direndam saja dalam air mendidih dan tidak direbus.Botol yang sudah retak sebaiknya tidak digunakan lagi.

- Pilih galon air minum yang jernih, dan hindari yang berwarna tua atau hijau

Sumber: Anonim (2012)

Faktor yang mempengaruhi konstanta permeabilitas pada kemasan plastik antara lain adalah jenis permeabilitas, ada tidaknya ikatan silang (cross linking), suhu, bahan tambahan elastis (plasticer), jenis polimer film, sifat dan besar molekul gas,


(47)

28

serta kelarutan bahan (Herawati, 2008). Jenis permeabilitas film bergantung pada bahan yang digunakan, dan permeabilitas film polyethylene (PE) lebih kecil daripada polypropylene (PP). Hal ini menunjukkan bahwa gas atau uap air akan lebih mudah masuk pada bahan pengemas jenis PP daripada PE. Ikatan silang sangat ditentukan oleh kombinasi bahan yang digunakan.

Konstanta PE dan biaxiallyoriented polypropylene (BOPP) lebih baik daripada konstanta PE pada PP. Peningkatan suhu juga mempengaruhi pemuaian gas yang menyebabkan terjadinya perbedaan konstanta permeabilitas. Keberadaan air akan menimbulkan perenggangan pada pori-pori film sehingga meningkatkan permeabilitas. Polimer film dalam bentuk kristal atau amorphous akan menentukan permeabilitas. Permeabilitas low density polyethylene (LDPE) mencapai tiga kali permeabilitas high density polyethylene (HDPE). (Herawati, 2008).


(48)

29

III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung serta di Laboratorium Politeknik Negeri Lampung pada bulan Juli 2013 sampai dengan Maret 2014.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki yang dikembangkan oleh Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Lampung, aquades, beberapa jenis garam analisis dengan konsentrasi jenuh produksi PT. MERCK: NaOH (RH 7%), MgCl2 (RH 32%), KI (RH 69%), NaCl (RH 76%), KCl (RH 84%), BaCl2 (RH 90%), K2Cr2O7 (RH 98%).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah ayakan standar Tyler 80 mesh, slicer, alat penepung tipe Hummer Mill, single rotary drum (modifikasi), oven (MEMMERT), toples ukuran 0,5 kg dan 1 kg (untuk humidity chamber), plastik LDPE (merk UNGGUL ukuran 7x10 cm), cawan porselen, neraca teknis, neraca analitis ketelitian 4 digit (SHIMADZU) dan 3 digit (METTLER PJ 3000), Erlenmeyer 25 ml (PYREX), gelas ukur 100 ml, beaker glass 250 ml.


(49)

30

C. Metode Penelitian

Penelitian berupa faktor tunggal, disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL). Faktor yang dikaji adalah pengaruh lama pemanasan dalam single rotary drum terhadap umur simpan dan aktivitas antioksidan. Lama pemanasan terdiri dari 6 taraf yaitu 0, 15, 30, 45, 60 dan 75 menit pada suhu 90oC. Penelitian dilakukan 4 (empat) kali ulangan. Data umur simpan dan tepung ubi jalar ungu dari lama pamanasan yang berbeda-beda diuji homogenitas untuk melihat kehomogenan data, kemudian diuji Anara (Analisa sidik ragam) untuk mendapat penduga ragam galat dan mengetahui ada tidaknya pengaruh antar perlakuan. Data dianalisis lebih lanjut untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar perlakuan dengan uji Duncan. Semua pengujian dilakukan pada taraf kepercayaan 5%.

D. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian terhadap umur simpan dilakukan dengan 3 tahapan : 1. Pembuatan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian

Tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian dibuat menurut metode yang dikembangkan oleh Hidayat et al. (2009) yang dimodifikasi pada lama pemanasan dan alat yang digunakan. Lama pemanasan bervariasi, yaitu selama 0, 15, 30, 45, 60 dan 75 menit. Pembuatan tepung gelatinisasi sebagian disiapkan dengan tahapan sebagai berikut: Sebanyak 1 kg ubi jalar ungu (berat ubi jalar ungu untuk tiap satu satuan percobaan) yang telah disortasi, dicuci sampai bersih, ditiris. Ubi kemudian disawut dan dilanjutkan dengan proses pemanasan menggunakan alat single rotary drum yang telah dimodifikasi. Suhu pemanasan 90oC selama 0,15,


(50)

31

30, 45,60 dan 75 menit. Sampel dikeluarkan setelah pemanasan, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam. Penepungan sampel dilakukan setelah sampel dingin (sesuai suhu ruang) menggunakan hummer mill, dan diayak menggunakan ayakan dengan lubang berukuran 80 mesh. Diagram alir proses dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses pembuatan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian Sumber : Hidayat et al. (2009) yang dimodifikasi

Ubi jalar ungu 1 Kg

Disawuta

Dipanaskan (single rotary drum) T 90oC dengan lama pemanasan :

Dikeringkan dalam cabinet dryer T 60oC, t 24 jam

Didinginkan Ditepungkan Diayak ukuran 80 mesh

Tepung ubi jalar ungu tergelatinisasi sebagian 0 menit

(L0)

15 menit (L1)

30 menit (L2)

45 menit (L3)

60 menit (L4)

75 menit (L5) Dikupasa


(51)

32

2. Penyimpanan tepung untuk penghitungan kadar air kritis

Penyimpanan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian untuk penghitungan kadar air kritis menurut metode Labuza (1982) diperoleh dengan cara sampel disimpan pada suhu ruang dengan kondisi RH 76% dengan menggunakan larutan NaCl jenuh (Gambar 4).

Gambar 4. Pelaksanaan penyimpanan tepung ugi jalar ungu pada kadar air kritis Sumber : Labuza (1982)

200 gr NaCl dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml

Ditambahkan 60 ml aquades sampai NaCl terlarut

Larutan NaCl jenuh dipindahkan ke dalam toples

plastik 1,5 kg (TOPLES B) 5 gr tepung ubi jalar ungu dari

masing-masing perlakuan dimasukkan ke plastik LDPE

berukuran 7x10cm

Plastik-plastik berisi tepung tersebut dimasukkan ke dalam

toples plastik 0,5 kg (TOPLES A)

Toples A beserta isinya diletakkan di dalam toples B yang sudah berisi larutan NaCl Setiap toples B yang sudah berisi larutan garam jenuh

dan toples A ditutup rapat, simpan di suhu ruang Diamati secara berkala sampai kondisi kritis

Dihitung kadar air masing-masing tepung (kadar air kritis)


(52)

33

3. Penyimpanan tepung untuk penghitungan kurva sorpsi isotermis

Penyimpanan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian untuk penghitungan kurva sorpsi isotermis menurut metode Labuza (1982) diperoleh dengan cara menyimpan sampel tepung ubi jalar ungu ke dalam toples humidic chamber yang memiliki RH tertentu dari beberapa jenis garam (Gambar 5).

Gambar 5. Pelaksanaan penyimpanan tepung ubi jalar ungu untuk menghitung kurva sorpsi isotermis

Sumber : Labuza (1982)

Sejumlah garam dan air (sesuai Tabel 6) dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer

Masing-masing larutan garam jenuh dipindahkan ke dalam toples

plastik 1,5 kg (TOPLES B) 5 gr tepung ubi jalar ungu dari

masing-masing perlakuan dimasukkan ke plastik LDPE

berukuran 7x10 cm

Plastik-plastik berisi tepung tersebut dimasukkan ke dalam

toples plastik 0,5 kg (TOPLES A)

Setiap toples A beserta isinya diletakkan di dalam toples B yang sudah berisi larutan garam jenuh Setiap toples B yang sudah berisi larutan garam jenuh dan

toples A ditutup rapat, simpan di suhu ruang Dihitung berat setiap sampel tepung di dalam plastik

secara berkala sampai berat sampel konstan Dihitung kadar air masing-masing sampel tepung

untuk membuat kurva sorpsi isotermis

Masing-masing toples ditutup rapat

Toples-toples tersebut dismpan selama 24 jam, suhu 37oC Ditutup rapat masing-masing


(53)

34

Tabel 6. Jumlah garam dan air larutan garam jenuh

NO Jenis garam Kuantitas RH aw

(RH/100) Garam (gr) Air (ml)

1 NaOH(H2O) 150 85 7 0,07

2 MgCl2.6H2O 200 25 32 0,32

3 KI 200 50 69 0,69

4 KCl 200 80 84 0,84

5 BaCl2.2H2O 250 70 90 0,90

6 K2Cr2O7 100 100 98 0,98

Sumber: Agus (2004) E. Pengamatan

1. Pendugaan Umur Simpan

a. Pengukuran Kadar Air Awal (% bk)

Kadar air awal ditentukan menggunakan metode gravimetrik (% bk) (Sudarmadji et al., 1997). Cawan bersih kosong dikeringkan dalam oven bersuhu kurang lebih 1050C. Didinginkan dalam desikator selama kurang lebih 15 menit dan ditimbang. Sejumlah 2 g sampel dalam cawan dimasukkan dalam oven bersuhu 1050C selama 6 jam sampai mencapai berat konstan. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Kadar air awal dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan:

A = Berat sampel sebelum dikeringkan (g) B = Berat sampel setelah dikeringkan (g)

Kadar Air ( % bk ) = A - B


(54)

35

b. Pengukuran Kadar Air Kritis

Kadar air kritis diperoleh dengan mengukur kadar air sampel yang disimpan pada suhu ruang dengan kondisi RH 76% dengan menggunakan larutan NaCl jenuh (Gambar 4). Secara periodik (tiap 24 jam) dilakukan uji penerimaan secara organoleptik terhadap penampakan produk yaitu kehalusan butiran tepung. Setiap hari dilakukan perhitungan rata-rata skor uji penerimaan (diberikan skor 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka dan skor 1 = sangat tidak suka). Ketika rata-rata penilaian mencapai nilai 2 (tidak suka) ditetapkan bahwa produk telah berada pada kondisi kritis. Pengukuran kadar air kritis dilakukan dengan metode gravimetri (Sudarmadji et al., 1997).

c. Penentuan Kurva Sorpsi Isotermis

Kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan kadar air dan aktivitas air keseimbangan dari sampel tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian yang disimpan di dalam toples humidity chamber yang memiliki RH tertentu dari beberapa jenis garam (Gambar 5). Sampel yang telah disimpan ditimbang bobotnya secara periodik (tiap 24 jam) sampai diperoleh bobot yang konstan (berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai). Sampel yang telah mencapai berat konstan diukur kadar airnya dengan menggunakan metode gravimetri (Sudarmadji et al., 1997). Aktivitas air (aw) dihitung dengan membagi nilai RH masing-masing toples humidic chamber dengan 100 (Tabel 7).


(55)

36

Tabel 7. RH dan aw larutan garam jenuh

No Jenis garam RH aw (RH/100)

1 NaOH(H2O) 7 0,07

2 MgCl2.6H2O 32 0,32

3 KI 69 0,69

4 KCl 84 0,84

5 BaCl2.2H2O 90 0,90

6 K2Cr2O7 98 0,98

Sumber: Agus (2004)

Titik-titik kadar air kritis (me) hasil penelitian digunakan pada persamaan sorpsi isotermis bahan pangan untuk memperoleh kurva sorpsi isotermis dengan kemulusan kurva yang tinggi. Plot kurva sorpsi isotermis dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Plot kurva sorpsi isotermis

Model ppersamaan yang dipergunakan adalah model Henderson, Caurie, Oswin, Chen Clayton, dan Hasley. Model persamaan yang memiliki nilai MRD (Mean Relatif Deviation) < 5 yang dipergunakan untuk mendapat nilai b (gradien/kemiringan kurva) sebagai parameter pendukung proses pendugaan masa simpan tepung ubi jalar ungu. Rumus perhitungan MRD (Isse et al., 1983) :


(56)

37

Keterangan : Mi = Kadar air percobaan Mpi = Kadar air hasil perhitungan n = jumlah data

d. Penentuan Parameter Pendukung

Parameter pendukung merupakan suatu variabel yang dianggap mempengaruhi proses dalam pendugaan umur simpan. Parameter pendukung harus diketahui karena sangat berpengaruh dalam proses pendugaan umur simpan. Parameter pendukung tersebut diantaranya :

1. Nilai permeabilitas kemasan (k/x) diperoleh dari rujukan kepustakaan yaitu 0,5 g/m2.hari.mmHg (Sugiyono et al., 2011)

2. Nilai tekanan uap jenuh (Po) pada suhu 300C yaitu 31,824 mmHg (Sugiyono et al., 2011)

3. Nilai b (kemiringan kurva) diperoleh dari gradien kurva model persamaan sorpsi isotermis yang terpilih

4. Nilai luas penampang (A) diperoleh dengan mengalikan panjang dan lebar kemasan di kedua sisinya = p x l = 7cm x 10cm x 2 sisi = 140cm2 = 0,014m2 5. Nilai total padatan (Ws) diperoleh dengan mengoreksi berat keseluruhan

sampel dikurangkan dengan kadar air awal

e. Perhitungan Umur Simpan Tepung Ubi Jalar Ungu Gelatinisasi Sebagian

Umur simpan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian ditentukan dengan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dengan pendekatan model kadar


(57)

38

air kritis. Umur simpan ditentukan dengan menggunakan rumus (Labuza, 1982) sebagai berikut:

gain

=

Keterangan : = Waktu perkiraan umur simpan (hari) me = Kadar air kesetimbangan (%bk) mi = Kadar air awal (%bk)

mc = Kadar air kritis (%bk) Ws = Berat kering bahan (g)

A = Luas permukaan kemasan (m2)

k/x = Permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) Po = Tekanan uap air jenuh (mmHg)


(58)

60

V. Simpulan dan Saran

A. Simpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Perlakuan pemanasan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap umur simpan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian

2. Umur simpan tepung ubi jalar ungu gelatinisasi sebagian terpanjang selama 136 hari pada perlakuan pemanasan selama 45 menit (L3) dan 60 menit (L4). Perlakuan pemanasan 45 menit (L3) lebih baik dibandingkan 60 menit (L4) karena lebih efisien dalam penggunaan energi.

B. Saran

Peneliti menyarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis kemasan terbaik untuk mempertahankan masa simpan tepung ubi jalar ungu.


(59)

61


(60)

62

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, D.R., dan S.T. Soekarto. 2010. Pemodelan Isotermis Sorpsi Air pada Model Pangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XXI (1) : 33 – 39. Agus, S. 2004. Optimasi Teknologi Pengolahan dan Kajian Sorpsi Isotermik

Beras Jagung Instan. (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Aini, N., V. Prihananto, dan G. Wijonarko. 2014. Karakteristik Kurva Isotherm Sorpsi Air Tepung Jagung Instan. Agritech 34 (1): 50-55.

Al-Muhtaseb, A.H., W.A.M. Mc. Minn, and T.R.A. Magee. 2002. Moisture Sorption isotherm Characteristics of Food Products: a review. Food and Bioproducts Processing 80: 118-128.

Amalia, A.N. 2012. Pendugaan umur simpan dodol rumput laut (Euchema cottoni L.) menggunakan metode accelerated shelf life testing. (Skripsi). Universitas Hasanuddin. Makassar.

Ambarsari, I., Sarjana, dan A. Choliq. 2009. Rekomendasi dalam Penetapan Standar Mutu Tepung Ubi Jalar. Jurnal Standardisasi 11 (3) : 212 – 219. Anonim. 2012. Plastik Sebagai Kemasan Pangan. Diunduh dari http://ik.pom.go.id

/v2012/wp-content/uploads/2011/11/ Plastiksebagaikemasanpangan.pdf Anonim. 2013. Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Ubi Jalar dan Aneka

Umbi 2013. Direktorat Jendral Tanaman Pangan Kementrian Pertanian. Arpah, M. R. Syarief, dan S. Daulay. 2002. Penerapan Uji DUC (Days Until

Caking) dalam Penetapan Waktu Kadaluwarsa Tepung dengan Fenomena Caking Sebagai Kriteria Kadaluwarsa. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 13 (3) : 217 – 222.

Arpah, 2007. Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Program Studi Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Basunia, M.A., and T. Abe. 2005. Adsorption Isotherms of Barley at Low and High Temperatures. Journal of Food Engineering 66 (1): 129-136.


(1)

Bell, L.N., and T.P. Labuza. 2000. Moisture Sorption Practical Aspects of Isotherm Measurement and Use 2nd edition. American Association of Cereal Chemists, Inc. USA.

Beynum, G.M.A.V., and J.A. Roels. 1985.Starch Conversion Technology. Marcel Dekker. New York.

Blois, M.S., 1985. Antioxidant Determination by Use of Stable Free Radicals. Nature 29: 1199-1200.

Brownmiller, C., L. R. Howard, and R. L. Prior. 2008. Processing and Storage Effects on Monomeric Anthocyanins, Percent Polymeric Colour, and Antioxidant Capacity of Processed Blueberry Products. Journal of Food Science 5 (73):72-79.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, and M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh UI Press. Jakarta.

Chung, H.J., H.S. Lim, and S.T. Lim. 2006. Effect of Partial Gelatinization and Retrogradation on the Enzymatic Digestion of Waxy Rice Starch. Journal of Cereal Science 43: 353–359.

Djami, S.A. 2007. Prospek Pemasaran Tepung Ubi Jalar Ditinjau dari Potensi Permintaan Industri Kecil di Wilayah Bogor. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ertugay, M.F., and M. Certel. 2000. Moisture Sorption Isotherms of Cereals at Different Temperatures. Nahrung 44(2): 107-109.

Fennema, O.R. 2008. Food Chemistry Fourth Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.

Floros, J.D., and V. Gnanasekharan. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods: Chemical, Biological, Physical, and Nutritional Aspects. G. Chlaralambous (Ed.). Elsevier Publ. London.

Ginting, E., dan Suprapto. 2005. Pemanfaatan Pati Ubijalar Sebagai Substitusi Terigu Pada Pembuatan Roti Manis. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian.

Henderson, S. M., and R. L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd ed. The AVI Publ. Co., Inc, Wesport, Connecticut, USA.


(2)

Hardoko., L. Hendarto, dan T.M. Siregar, 2010. Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L. Poir) Sebagai Pengganti Sebagian Tepung Terigu dan Sumber Antioksidan pada Roti Tawar. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XXI (1) : 25 - 32.

Hariyadi, P. 2004. Prinsip-prinsip pendugaan masa kedaluwarsa dengan metode

Accelerated Shelf Life Test. Pelatihan Pendugaan Waktu Kedaluwarsa (Self Life). Bogor, 1−2 Desember 2004. Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

He, F., L. Mu, G.L. Yan, N.N. Liang, Q.H. Pan, J. Wang, M. J. Reeves, and C.Q. Duan. 2010. Biosynthesis of Anthocyanins and Their Regulation in Colored Grapes. Review. Journal Molecules 15 : 9057-9091.

Herawati, H. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(4): 124−130.

Hernanto, J. 2014. Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar Ungu Termodifikasi Secara Fisik pada Berbagai Lama Pemanasan. (Skripsi). Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Lampung

Hidayat, B., N. Kalsum, dan Surfiana. 2009. Karakterisasi Tepung Ubi Kayu Modifikasi yang Diproses Menggunakan Metode Gelatinisasi Sebagian. Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian 14 (2) : 148-158

Honestin, T. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Idham, Z., M. I. Idayu, S.H.M Setapar, dan M. R. Sarmidi. 2012. Effect of Thermal Processes on Roselle Anthocyanins Encapsulated in Different Polymer Matrices. Journal Of Food Processing And Preservation 36 : 176– 184.

Indah, H. D. 2011. Pendugaan Umur Simpan Produk Cone Es Krim dengan Metode Akselerasi Model Kadar Air Kritis. (Tesis). Fakultas Perikanan dn Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Institute of Food Science and Technology. 1974. Shelf life of food. Journl Food Science39: 861−865.

Ipur. 2012. Ubi Jalar Ungu Tengah Menjadi Primadona. Diakses dari singkong.web.id pada tanggal 4 April 2013.


(3)

Iriyanti, Y. 2012. Subtitusi Tepung Ubi Ungu dalam Pembuatan Roti Manis, Donat dan Cake Bread. (Proyek Akhir). Universitas Negri Yogyakarta. Yogyakarta.

Isse, M.G., H. Schucmann, and H. Schubert. 1983. Divided Sorption Isotherm Concept an Alternative Way to Describe Sorption Isotherm Data. Journal of Food Engineering 16: 147-157.

Jiao, Y., Y. Jiang, W. Zhai, and Z. Yang. 2012. Studies on Antioxidant Capacity of Anthocyanin Extract From Purple Sweet Potato (Ipomoea Batatas L.). African Journal of Biotechnology 11(27) : 7046-7054.

Kaya, S., and M.D. Oner. 1996. Water Activity and Moisture Sorption Isotherms of Gaziantep Cheese. Journal of Food Quality 19: 121-132.

Kaya, S., and T. Kahyaoglu. 2007. Moisture Sorption and Thermodynamic Properties of Sun Flower Petals and Taragon. Journal of Food Engineering 78: 413-421.

Kearsley, M.W., and N.A. Dziedzic. 1995. Handbook of starch hydrolysis product and their derivatives. Blackie Academic and Profesional. Glosgow.

Kim, H.W., J.B. Kim, S.M. Cho, M.N. Chung, Y.M. Lee, S.M. Chu, J.H. Che, S.N. Kim, S.Y. Kim, Y.S. Cho, J.H. Kim, H.J. Park, and D.J. Lee. 2012. Anthocyanin Changes in the Korean Purple-Fleshed Sweet Potato, Shinzami, as Affected by Steaming and Baking. Food Chemistry 130 : 966–972.

Kirca, A., M. Ozkan, and B. Cemeroglu. 2006. Stability of Black Carrot Anthocyanins in Various Fruit Juices and Nectars. Food Chemistry 97: 598-605.

Kulchan, R., W. Boonsupthip, and P. Suppakul. 2010. Shelf Life Prediction of Packaged Cassava-Flour-Based Baked Product by Using Empirical Models and Activation Energy for Water Vapor Permeability of Polyolefin Films. Journal of Food Engineering 100: 461 - 467.

Kumaran, A., and R.J. Karunakaran. 2005. Activity-Guided Isolation and Dentification of Free Radical-Scavenging Components From an Aqueous Extract of Coleus Aromaticus. Department of Chemistry, Madras Christian College, Tambaram, Chennai, Tamil Nadu, India.

Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan Kompnen Makro. PT Dian Rakyat. Jakarta. Labuza, T.P. 1982. Shelf-Life Dating of Food. Food and Nutrition Press Inc.


(4)

Labuza, T.P. 1984. Moisture Sorption: Practical Aspects of Isotherm Measurements in Use. American Association of Cereal Chemists. St Paul. Minnesota.

Limonu, M., Sugiyono, dan F. Kusnandar. 2008. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Sebelum Pengeringan terhadap Instan Jagung Muda. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan XIX (2) : 139 – 148.

Lineback, D.R., 1984. The starch granule organization and properties. Bakers Digest 58 (2), 16: 18–21.

Mais, A. 2008. Utilization of Sweet Potato Starch, Flour and Fibre in Bread and Biscuit, Physco-Chemical and Nutritional Characteristics. (Thesis). Massey University.

Merisiyanto, G., dan L.J. Mawarani. 2013. Pengembangan Plastik Photobiodegradable Berbahan Dasar Umbi Ubi Jalar. Jurnal Teknik Pomits (Insitut Teknologi Sepuluh November) 2 (1) : 2301-9271.

Molyneux, P. 2004. The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal Science Technology 26 (2) : 211-219.

Moorthy, S.N., and C. Balagopalan. 2010. Physicochemical Properties of Enzymatically Separated Starch from Sweet Potato. Diakses dari www.moorthy.co.in.

Patras, A., N.P. Brunton, C. O’Donell, and B.K. Tiwari. 2010. Effect of Thermal Processing on Anthocyanin Stability in Foods; Mechanisms and Kinetics of Degradation. Trends in Food Science & Technology 21 : 3 – 11.

Piyada, K., S. Waranyou, and W. Thawien. 2013. Mechanical, thermal and structural properties of rice starch films reinforced with rice starch nanocrystals. International Food Research Journal 20(1): 439-449.

Pokarny, J., N. Yanishlieva, and M. Gordon. 2001. Antioxidant in Food : Practical and Application. CRC Press. New York.

Pomeranz, Y., and C.E. Meloan. 1978. Food Analysis Theory and Practise. The AVI Publ. Co Inc. Westport, Connecticut.

Rahayu, W.P., H. Nababan, S. Budijanto, dan D. Syah, 2003. Pengemasan, Penyimpanan dan Pelabelan. Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Jakarta.

Rapaille, A., and J. Vanhelmerijk. 1994. Modified Starches. Di dalam: Imeson, A. (Ed). Thickening and Gelling Agents for Food. Chapman and Hall. London.


(5)

Rhim, J. W. 2002. Kinetics of Thermal Degradation of Anthocyanin Pigment Solutions Driven from Red Flower Cabbage. Food Science and Biotechnology 11: 361-364.

Richana, N., dan Widaningrum. 2009. Penggunaan Tepung dan Pasta dari Beberapa Varietas Ubi Jalar sebagai Bahan Baku Pembuatan Mie. Jurnal Pasca Panen 6 (1) : 43 – 53.

Shan, Q., J. Lu, Y. Zheng, J. Li, Z. Z, B. Hu, Z. Zhang, S. Fan, Z. Mao, Y. J. Wang, and D. Ma. 2009. Purple Sweet Potato Color Ameliorates Cognition Deficits and Attenuates Oxidative Damage and Inflammation in Aging Mouse Brain Induced by D-Galactose. J Biomed Biotechnol. 2009; 2009:564737. Epub 2009 Oct. 26.

Sudarmadji, S.B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ke-4. Liberty. Yogyakarta.

Sugiyono, E. E. Setiawan, Syamsir, dan H. Sumekar. 2011. Pengembangan produk mi kering dari tepung ubi jalar (Ipomoea batatas) dan penentuan umur simpannya dengan metode isoterm sorpsi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 22(2): 164-169.

Truong, V.D., Z. Hu, R.L. Thompson, G.C. Yencho, and K.V. Pecota. 2012. Pressurized liquid extraction and quantification of anthocyanins in purple-fleshed sweet potato genotypes. Journal of Food Composition and Analysis 26 : 96–103.

Terahara N., I. Konczak, H. Ono, M. Yoshimoto, and O. Yamakawa. 2004. Characterization of acylated anthocyanins in callus induced from storage root of purple-fleshed sweet potato, Ipomoea batatas L. Jurnal Biomed. Biotechnol. 5: 279-286.

Whistler, R.L., J.N. Bemiller, and E.F. Paschall. 1984. Starch, Chemistry and Technology. Academic Press. London.

Wijaya, I.M.A.S., I.K. Suter, dan N.M. Yusa. 2014. Karakteristik Isotermis Sorpsi Air dan Umur Simpan Ledok Instan. Agritech 34 (1): 29-35.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gedia, Jakarta.

Yudiono, K. 2011. Ekstraksi Antosianin dari Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas Cv. Ayamurasaki) dengan Teknik Ekstraksi Subcritical Water. Jurnal Teknologi Pangan 2 (1) : 1 – 30.


(6)

Yuliana. 2011. Karakterisasi Gelatinisasi Pati Singkong Fosfat yang Dibuat dengan Menggunakan Natrium Tripolifosfat sebagai Eksipien dalam Sediaan Farmasi. (Skripsi). Prog Sarjana Farmasi FMIPA Universitas Indonesia. Depok.


Dokumen yang terkait

PERAN PEKTIN DAN SUKROSA PADA SELAI UBI JALAR UNGU (The Role of Pectin And Sucrose On Purple Sweet Potato Jam)

0 0 7

PENGARUH DAUN UBI JALAR UNGU TERHADAP KADAR SUPEROKSID DISMUTASE TIKUS YANG DIPAPAR ASAP ROKOK (EFFECT OF PURPLE SWEET POTATO LEAVES ON SUPEROXIDE DISMUTASE LEVEL ON RATS EXPOSED TO CIGARETTE SMOKE)

0 0 7

FORMULASI KERIPIK SIMULASI UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L.) FORMULATION OF PURPLE SWEET POTATO (Ipomoea batatas L.) SIMULATED CHIPS

0 0 9

PENGARUH FERMENTASI ALAMI PADA CHIPS UBI JALAR (Ipomoea batatas) TERHADAP SIFAT FISIK TEPUNG UBI JALAR TERFERMENTASI Effect of Natural Fermentation in Chips of Sweet Potato (Ipomoea batatas) Against Physical Properties of Wheat Sweet Potato

0 0 12

PENGARUH MODIFIKASI KIMIA DENGAN STTP TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG UBI JALAR UNGU The Effect of Chemical Modifications with STTP on Characteristics of Purple Sweet Potato Fluor

0 0 8

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN ORGANOLEPTIK MIE KERING BERBASIS TEPUNG UBI JALAR UNGU PADA BERBAGAI TINGKAT PENAMBAHAN GLUTEN Physicochemical and Organoleptical Characteristics of Purple Sweet Potato Flour Based Dry Noodle at Various Level of Gluten

1 1 7

Kharakteristik Muffin Dari Tepung Ubijalar Ungu Kaya Pati Resisten (The Characteristics Of Muffin From Resistant Starch- Rich Purple Sweet Potato Flour)

0 0 10

PENGARUH PENAMBAHAN PASTA UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas) PADA KUALITAS YOGHURT DRINK THE EFFECT OF PURPLE SWEET POTATO (Ipomoea Batatas) PASTE ADDITION ON YOGHURT DRINK QUALITY

0 0 12

EFEK PENAMBAHAN BREAD IMPROVER DAN SUBSTITUSI TEPUNG UBI JALAR UNGU TERHADAP KUALITAS ROTI KUKUS EFFECT OF BREAD IMPROVER ADDITION AND PURPLE SWEET POTATO FLOUR SUBSTITUTION TO STEAMED BREAD QUALITY

0 0 11

PENGARUH TEPUNG UBI JALAR SEBAGAI PENGGANTI SEBAGIAN TEPUNG BERAS PADA PEMBUATAN MAKANAN TRADISIONAL KUE MANGKOK DITINJAU DARI SIFAT FISIKOKIMIA DAN SENSORIS EFFECTS OF WHITE SWEET POTATO FLOUR AS PARTIAL SUBSTITUTE OF RICE FLOUR ON TRADITIONAL FOOD “KUE

0 0 13