C. Teori-teori Kualifikasi
1. Teori Kualifikasi
Lex Fori
9
Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn Jerman dan Bartin Prancis. Baik Kahn maupun Bartin bertitik tolak dari anggapan bahwa kualifikasi
harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang mengadili perkara
lex fori
karena sistem kualifikasi adalah bagian dari hukum intern lex fori tersebut.
Franz Kahn, lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan
lex fori
karena alasan-alasan: a.
Kesederhanaan
simplicity
Kesederhanaan
simplicity
sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan
lex fori
, pengertian, batasan, dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah
pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim. b.
Kepastian
certainty
Kepastian
certainty
sebab pihak-pihak yang berpekara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa atau hubungan hukum
apakah perkara mereka akan dikualifikasikan oleh hakim beserta segala konsekuensi yuridiknya.
Bartin menambahkan pandangannya dengan pernyataan bahwa kualifikasi harus dilakukan dengan menggunakan
lex fori
karena sebenarnya seorang hakim telah disumpah untuk menegakkan hukumnya
sendiri dan bukan sistem hukum asing manapun. Selanjutnya, ia
9
Ibid.,
h. 99-102.
menambahkan bahwa hakim memberlakukan suatu sistem hukum asing dalam perkara hanya sebagai wujud kesukarelaan forum untuk
membatasi kedaulatan hukumnya. Pembatasan semacam ini pun hanya dilakukan setelah pengertian atau konsep hukum asing yang
bersangkutan dikualifikasikan terlebih dahulu berdasarkan
lex fori
. Demikian pula halnya jika hakim menghadapi lembaga-lembaga hukum
asing yang tidak dikenal di dalam
lex fori
, maka ia harus menerapkan konsep-konsep hukumnya sendiri yang dianggap paling setara dengan
hukum asing itu. Para penganut teori ini umumnya sependapat bahwa terhadap kewajiban kualifikasi berdasarkan
lex fori
, dimungkinkan pengecualian-pengecualian, yaitu:
a. Apabila perkara yang dihadapi menyangkut penentuan hakikat suatu
benda sebagai benda tetap atau benda bergerak, kualifikasi dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran yang dikenal di dalam
lex situs
hukum dari tempat di mana benda terletak.
b. Apabila perkara menyangkut kontrak-kontrak yang dibuat melalui
korespondensi
interaabsentes
, penentuan tentang saat dan sah tidaknya pembentukan kontrak harus dilakukan berdasarkan
lex loci contractus
hukum dari tempat pembuatan kontrak yang ditetapkan secara objektif.
Teori kualifikasi
lex fori
dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat
digunakannya konsep-konsep
lex fori
yang paling dikenal oleh hakim. Di lain pihak, kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya
ketidakadilan
injustice
karena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan
sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem
hukum tersebut.
2. Teori Kualifikasi