Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal T1 312012027 BAB II

(1)

BAB II

Kerangka Teori, Hasil Penelitian dan Analisis A. Krangka Teori

1. Pengertian Tenaga Kerja

Dalam masyarakat Indonesia dikenal berbagai istilah dalam bidang ketenagakerjaan yaitu

buruh, pekerja, karyawan, dan pegawai negeri.1 Pada jaman colonial, istilah buruh untuk

menunjuk orang yaitu melakukan pekerjaan yang faktor utamanya bukan tenaga seperti juru tulis

disebut pegawai. Dinegara Barat pekerja kasar yaitu buruh disebut dengan istilah blue collar dan

pegawai disebut dengan white collar. Istlah pekerja ditunjuk pada setiap orang yangmelakukan

pekerjaan.2

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyamakan istilah buruh dengan pekerja yang disebut dalam pasal 1, yaitu:

a. Orang yang bekerja pada orang lain(majikan).

b. Mendapatkan upah sebagai imbalan.

Pengertian Tenaga Kerja dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 ayat (2) adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi semua orang yang mampu dan diperbolehkan melakukan pekerjaan, baik yang sudah punya pekerjaan dalam

1

Abdul Rachmad..Hukum Perburuhan di Indonesia. Raja Grafindo, Jakarta. 1997, h. 1.

2


(2)

hubungan kerja atau sebagai swa-pekerja maupun yang tidak atau belum punya pekerjaan.3 Pengertiantenaga kerja ini meliputi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan yang mampu dan diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan, kecuali:

a. Anak-anak yang berumur 14 tahun kebawah;

b. Mereka yang berumur 14 tahun tapi masih bersekolah untuk waktu penuh;

c. Mereka yang karena sesuatu tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan;

Seorang pekerja dalam melakukan pekerjaan dapat berupa pekerjaan yang bergerak dalam sektor formal atau informal. Sektor formal dapat berupa buruh pabrik, pegawai perusahaan, dan lain-lain. Sedangka dalam sektor informal pekerjaannya berupa loper Koran, pramuwisma, dan lain-lain. Sedangkan Sektor usaha informal merupakan bentuk usaha yang paling banyak kita temukan di masyarakat. Bentu usaha yang ini bnayak dilakukkan oleh masyarakat yang tidak berpendidikan, bermodal kecil, dilakukkan oleh masyarakat golongan bawah dan tidak mempunyai tempat usaha yang tetap. Sektor usaha informal terbuka bagi siapa saja dan sangat mudah mendirikannya, sehingga jumlahnya tidak dapat di hitung, dengan

banyaknya usaha ini berarti akaan menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.4

2. Pengertian Anak

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 70 ayat (1) menyebutkan bahwa :

3

Imam soepomo.Penghantar Hukum perburuhan . Djambatan, Jakarta. 1999, h. 27.

4


(3)

“Anak dapat melakukan pekerjaan ditempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum

pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang”

Sedangkan pasal 2 menyebutkan bahwa :

“anak yang dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14(empat belas)tahun”

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak mendefinisikan anak sebagai semua orang yang berusia 18 tahun.

Penegrtian anak Menurut keputusan presiden Nomor 12 Tahun 2001 mengenai Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak dalam pasal 1 angka 1, yakni semua orang yang berusia di bawah delapan belas tahun. Sementara Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak tidak menyebutkan definisi anak dalam pasal tersendiri, namun disimpulkan dari pasal 14, bahwa anak adalah laki-laki atau perempuan berusia 15 tahun kebawah.

Pengertian anak juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu dalam Pasal1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa:

“anak adalah seorang yang belum mencapai umur 2 tahun dan belum pernah kawin”.

Batas usia 21 tahun ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan kesejahteraan anak, dimana kematangan sosial, pribadi dan mental anak dicapai pada usia tersebut. Dalam hal ini pengertian anak mencakup situasi dimana seorang yang dalam kehidupan mencapai tumbuh dan kembangya, membutuhkan bantuan orang lain yakni oramg tua atau orang dewasa.


(4)

Undang-Undang ini menentukan demikian dengan harapan anak dapat memperoleh perlindugan bagi kesejahteraannya selama mungkin, kaena perlindungan terhadap hal ini merupakan hak bagi seorang anak. Tetapi jika anak tersebut tetap harus bekerja pun usia untuk bekerja tersebut tersebut diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan yang berlaku.

Pengertian lain tentang anak terdapat pada Pasal 1 ayat(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Batas usia 18 tahun ini ditetapkan berdasarkan hak yang dimiliki anak sejak dalam kandungan untuk mendapatkan penghidupan dan perlindungan dari hal apapun juga, mereka berhak untuk mendapat yang terbaik dalam kelangsngan hidup dan perkembangannya.

Di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep.235/Men/2003 dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan tentang yang dimaksud sengan anak yaitu:

“Anak adalah setiap ornag yang berumur kurang dari 18(delapan belas) tahun”

Dari bebrapa pengertian diatas, terlihat bahwa batasan mengenai pengetian seorang anak anak berbeda-beda sehingga sulit bagi kita menentukan batasan mana yang akan kita gunakan. Selain itu dengan adanya perbedaan tersebut membuka kemungkinan terjadinya perselisihan mengenai batasan umur tersebut.

3. Pengertian Pekerja Anak

Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa yang harus dibimbing agar kelak dapat memikul beban dari generasi sebelumnya. Anak harus diberi kesempatan untuk tumbuh


(5)

dan berkembang sewajarnya agar anak ini dapat memikul beban dimasa yang akan datang. Akan menjadi tidak adil jika anak tidak dapat merasakan kesempatan itu karena harus bekerja.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga melarang dengan tegas anak untuk bekerja, dalam pasal 68 yang berbunyi:

“pengusaha dilarang mempekerjakan anak”

Di dalam Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Penaggulangan Pekerja Anak menyebutkan bahwa pekerja anak yaitu anak yang berusia dibawah 15 tahun yang sudah melakukan pekerjaan berat dan berbahaya, baik yang tidak bersekolah maupun yang bersekolah meliputi sektor formal dan informal. Pengaturan mengenai pekerja anak dalam intruksi ini bertujuan untuk melarang, mengurangi, dan menghapus pekerja anak yang hidup di kota maupun desa.

Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja yang karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan dimana pekrjaan itu harus dilakukan mungkin membahayakan keseluruhan, keselamatan, atau moral anak muda, tidak boleh

kurang dari 18 tahun”.

Pengesahan konvensi ini dimaksud untuk menghapus segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, menggangu pendidikan, serta menggangu perkembangan fisik dan mental anak.


(6)

Pengertian mengenai pekerja anak tidak diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 mengenai Komite Akasi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak. Pembatasan umur dalam Keputusan Presiden ini sama dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2000, kedua peraturan ini dikeluarkan Konvensi ILO Nomor 138. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 menyebutkan bahwa usia minimum untuk bekerja adalah

a. Usia minimum umum 15 tahun

b. Usia minimum untuk pekerjaan ringan 13 tahun

c. Usia minimum untuk pekerjaan berbahaya 18 tahun

Pekerjaan ringan adalah pekerjaan yang tidak mengancam kesehatan dan keselamatan atau menggangu kehadiran mereka di sekolah atau mengikuti program pelatihan dan orientasi kerja. Sementara yang disebut dengan pekerjaan berbahaya adalah pekerjaan yang dapat menggangu perkembangan fisik, mental, intelektual, dan moral anak.

Pasal 3 ayat (2) Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa:

“Negara-negara peserta berusaha untuk menjamin agar anak memperoleh perlindungan dan perawatan yang diperlukan demi kesejahteraan dengan mempertimbnagkan hak dan kewajiban orang tua atau wali yang sah, dan dengan tujuan ini akan mengambil semua

langkah-langkah legislative dan administrative yang tepat”.


(7)

“Negara-negara peserta wajib melindungi anak dari eksploitasi pekerjaan yang membahyakan kesehatan pendidikan, fisik dan moral Negaramenetapkan batas usia minimum,

jam kerja, persyaratan kerja, dan menetapkan sanksi atas pelangarannya”.

Sementara itu, Undang-Unndag Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 dalam Pasal 69 yang merupakan pengecualian dari pasal 68 dimana anak disebutkan tidak boleh dipekerjakan, menyebutkan bahwa:

“anak yang berusia 13 sampai 15 tahun boleh melakukan pekerjaan ringan sepanjang

tidak mengangu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan social”

Pasal 70 Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa:

“anak dapat melakukan pekerjaan ditempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum

pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang yang paling

sedikit berusia 14 tahun”.

Tiga bentuk keterlibatan kerja anak-anak, antara lain :

a. Anak-anak yang bekerja membantu orang tua dimana faktor ekonomi social kurtural

sering mendasari bentuk pekerjaan anak yang membantu orang tua;

b. Anak yang berkerja dalam status magang atau belajar sambil bekerja. Magang adalah

cara untuk menguasai ketrampilan yang dibutuhkan industry yang bersangkutan;

c. Anak yang bekerja sebagai buruh. Dalam bentuk ini, tenaga kerja anak-anak terkait

dalam suatu hubungan buruh dan majikan.5

a. Latar Belakang Pekerja Anak

5


(8)

Latar belakang anak usia sekolah terlibat kegiatan ekonomi, menurut Effendi

sekurang-kurangnya ada dua teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan gejala tersebut. pertama, teori

strategi kelangsungan rumah tangga. Menurut teori ini anak-anak akan bekerja apabila kondisi

ekonomi makin memburuk. Kedua, teori industrialisasi menurut teori ini pada tahap ini industri membutuhkan pemupukan modal yang banyak, sehingga untuk biaya pengeluaran upah dia

melakukan penghematan, sehingga yang dipekerjakan anak-anak dan wanita.6

Kemiskinan sering menjadi alasan utama anak terpaksa bekerja, tetapi tidak selamanya keadaan orang tua menjadi faktor dominan, salah satu faktor dominan lain adalah keinginan untuk memilih bekerja yang dianggap lebih baik daripada berangkat ke sekolah. Keinginan ini mungkin didorong oleh budaya konsumtif terhadap barang-barang hasil industri yang membuat

anak-anak memilih untuk bekerja agar dapat membeli barang yang mereka inginkan.7

Sebagai tambahan ada banyak studi yang mengambil kesimpulan bahwa, anak putus sekolah dengan kondisi ekonomi mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Salah satu peneliti yang menemukan hubungan tersebut adalah Dr. Francis Wahono Sj. Dalam kesimpulannya dia sampai mengatakan apa artinya pendidikan yang direncanakan sembilan tahun, jika urusan

kemiskinan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar tidak terpenuhi.8

Selain alasan ekonomi dan budaya, struktur sosial juga ikut mempengaruhi timbulnya apa yang dinamakan pekerja anak. Dalam struktur sosial masyarakat, hampir tidak pernah dihitung hak-haknya. Hal ini sejalan dengan konsep kepemilikan anak yang diungkapkan oleh Dr. Irwanto dalam penelitiannya, bahwa anak merupakan milik orang tua secara mutlak sehingga

6

Ratna dan Holzner, Brigitte, Saptari. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial (Sebuah Pengantar Studi Perempuan), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, h.25.

7

Ibid., h.21

8


(9)

mereka berhak melakukan apa saja atas diri anak-anak mereka. Dengan begitu, kontrol

masyarakat dianggap sebagai intervensi atas wilayah pribadi keluarga.9

Mensinyalir pengaruh faktor budaya terhadap kecenderungan terjadinya tindakan kekerasan. Anak seringkali menerima hubungan asimetris antara mereka dan orang dewasa. Anak selalu dalam posisi yang lemah, sehingga hal itu merupakan akar dari berbagai tindak

kekerasan orang dewasa kepada anak.10

Disamping itu ada beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai sarana pendorong masuknya anak-anak ke sektor kerja, yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat terutama orang tua tentang hak-hak anak, masih rendahnya taraf ekonomi kebanyakan masyarakat, serta masih

diskriminatifnya cara pandang masyarakat Indonesia atas “keberadaan” seorang anak. Hal di atas diwujudkan dalam anggapan orang tua terhadap seorang anak dimana anak diharapkan memiliki

tiga fungsi yaitu: konsumsi, investasi dan asuransi bagi orang tuanya.11 Bagi keluarga miskin

ketiga fungsi tersebut didapatkan dalam waktu tidak terlalu lama. Orang tua mempunyai anak dengan harapan mereka dapat bekerja membantu ekonomi keluarga.

Ditemukan juga munculnya kesadaran di tingkat anak-anak untuk tidak melanjutkan sekolah karena ketidakmampuan orang tua untuk membayar tagihan pendidikan. Akibatnya mereka tidak memiliki aktivitas (menganggur) sehingga anak berusaha untuk berkegiatan, terlebih lagi jika kegiatan tersebut dapat menghasilkan uang. Bahkan beberapa pekerja anak perempuan rela untuk tidak melanjutkan sekolah dan memilih untuk bekerja dengan harapan penghasilan yang diperoleh dapat untuk membantu orang tua sehingga dapat memberi kesempatan yang lebih luas kepada saudara laki-lakinya untuk dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik dibanding dirinya. Hal ini terjadi karena budaya patriarki (posisi laki-laki lebih

9

Ibid., h.14

10

Ibid., h.14

11


(10)

tinggi dibanding perempuan dan perempuan hanya menjadi second position) masih sangat melekat di masyarakat termasuk juga untuk mendapatkan kesempatan pendidikan. Akibatnya pengorbanan saudara perempuan terhadap saudara laki-laki dianggap sebagai sebuah

kewajaran.12

Tingginya tingkat pengangguran di masyarakat juga turut andil menjadikan anak tidak sekolah, karena baik anak maupun orang tua sadar bahwa persaingan untuk mendapatkan pekerjaan jelas sulit bagi anak-anak dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah. Kenyataan ini telah dijadikan alasan bagi orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya lebih tinggi lagi dengan alasan bahwa yang mempunyai pendidikan lebih tinggipun harus menganggur.

Secara garis besar yang dipaparkan dalam pedoman program pendampingan anak disana ada beberapa alasan, anak-anak bekerja. Alasan-alasan itu adalah ingin membantu orang tua yang miskin, disuruh orang tua, lari dari rumah, tergiur janji dari pengajak (orang dewasa), diajak teman, biaya sekolah mahal, dipaksa bekerja oleh orang lain, dan sebagai akibat sekolah

yang kurang menarik.13

4. Hak-Hak Pekerja

Undang-Undnag nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja, Hak-hak dasar pekerja tersebut antara lain menyangkut perlindungan uaph, jam kerja, Tunjangan hari Raya (THR), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (jamsostek), kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan hak istirahat atau cuti, Pengertian dari hak-hak dasar pekerja dijabarkan masing-masing sebagai berikut:

12

Ratna dan Holzner, Brigitte, Saptari. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial (Sebuah Pengantar Studi Perempuan), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997.h . 34.

13

Maria Ulfah dan Ihromi, Subandio.T. O. Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994. H. 18.


(11)

a) Perlindungan upah

Perlindungan hukum bagi pekerja asat upah dilandaskan pada pasal 88 sampai dengan pasal 98 Undnang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatakan bahwa :

“setiap pekerja berhak memperoleh pengasilan yang memenuhi peghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Dalam melakukan suatu pekerjaan, setiap pekerja berhak atas upah sebagai hasil kerja mereka tanpa ada diskriminasi, seornag pekerja anak juga berhak atas upah yang sama dengan pekerja lainnya yang sudah dianggap dewasa apabila pekerjaan mereka yang lakukan sama. Sistem upah yang diterapkan pada anak-anak adalah borongan dan harian. Upah borongan diberikan persatuan barang selalu kecil daripada upah yang diterima ornag dewasa, karena perbedaan ukuran barang yang dikerjakan.

1. Upah minimum

Diselenggarakan sebagai upaya mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja, dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan

perusahaan serta perkembangan perekonomian pada umumnya.

Pengaturan upah minimum tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.01/MEN/1999 tentang Upah Minimum, yang


(12)

disempurnakan dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.226/MEN/2000 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.17/MEN/VIII/2005.

2. Upah kerja lembur

Pengusaha wjib membayar upah kerja lembur apabila pekerja melakukan pekerjaannya melebihi eaktu kerja wajib. Dasar hukum pegaturannya tercantum dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP 102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan

Diatur dalam pasal 93 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

4. Upah tidak masuk dalam kerja kerna melakukan kegiatan lain diluar

pekerjaannya.

Diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf c,d,e,h, dan I Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

5. Upah karena menjalankan hak dan waktu istirahat kerja.

Diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

6. Bentuk dan cara pembayaran upah.

Bentuk upah secara yuridis berupa uang dengan proporsi sedikit-sedikitnya 75% dan jumlah upah pook dan tunjangan tetap, seperti yang


(13)

tercantum dalam pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b) Perlindunagn jam kerja.

Perlindunagn hukum mengenai jam kerja bagi pekerja diatur dalam Pasal 77 samapi dengan Pasal 85 undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan setiappengusaha wajib melaksanakan waktu kerja, yaitu jumlah jam kerja normal untuk selama 1 minggu sebanyak 40 jam dengan perincian sebagai berikut:

1. Berdasarkan pasal 77 ayat (2) huruf 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan apabila perusahaan memberlakukan waktu kerja 6 ahri dalam 1 minggu, maka jumlah jam kerja 1 hari adalah 7 jam dan hari sabtu 5 jam kerja.

2. Berdasarkan pada pasal 77 ayat (2) huru b Undang-Undang Nomor 13 tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan apabila perusahaan memberlakukan waktu kerja 5 hari dalam 1 minggu, maka jam kerja 1 hari umlahnya adalah 8 jam dan hari sabtu libur.

Perusahaan dapat mempekerjakan pekerja melebihi jam kerja normal, dimana jam kerja selebihnya harus dihitung sebagai jam kerja lembur, syarat pengusaha yang memepekerjakan pekerja melebihi waktu kerja, adalah sebagai berikut:


(14)

1. Berdasarkan pada pasal 78 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, harus ada persetujuan dan pekerjaan yang bersangkutan.

2. Berdasarkan pasal 78 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu.

Selain itu juga anak-anak yang bekerja penuh waktu seperti halnya buruh dewasa, bekerja 7 jam sehari, 6 hari seminggu. Anak-anak yang bekerja paruh waktu baik apda majikan maupun pada orang tua, bekerja sama 2

sampai 4 jam sehari yang dilakukan diantara waktu sekolah.14 padahal

untuk lebih terjaminnya perkembangan anak yang wajar diperlukan waktu sekolah, belajar, bermain, dan bersosialisasi serta istirahat 12 jam berturut-turut di malam hari untuk pemulihan. Oleh karena itu bagi anak yang bekerja perlu diadakan pembatasan waktu kerja dan waktu istirahat

sebagai berikut.15

1. Anak sebaiknya boleh bekerja selama 4 jam sehari, dengan

pengaturan kerja 2 jam ¼ jam istirahat dan 2 jam kerja.

2. Anak tidak boleh kerja lembur dan kerja pukul 18.00 s.d 06.00

kesokan harinya.

14

Ibid., h.68

15

Muhammad Farid dan Jeff Y. Anwar, Irwanto. Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia:analisis situasi. Lampiran 2, Jakarta. 1999, h. 7.


(15)

3. Anak harus mendapat istirahat mingguan, tahunan, dan libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.

a. Pengertian Hak Anak Dan Kesejahteraan Anak

Hak anak diabaikan oleh pihak manapun, trutama oleh keluarga sebagai unit terkecil, padahal mereka sangat membutuhkan informasi serta sebagai unit terkecil, padahal mereka sangat membutuhkan informasi serta pelaksanaannya tetapi dari unit terkecil pun tidak bisa dipenuhi. Dalam konvensi Hak Anak, salah satunya anak harus mendapatkan haknya sebagai anak. Hak anak merupakan kebutuhan dasar anak yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi

oleh pemerntah, keluarga dan masyarakat.16

Selain dari itu anak juga mempunyai hak-hak dasar anak yang meliputi:

a. Hak untuk hidup yaitu memperoleh akses dan pelayanan kesehatan dan menikmati

standar hidup yang layak seperti makanan yang cukup, air bersih, dan tempat tinggal yang aman. Anak juga berhak memperoleh nama dan kewarganegaraan.

b. Hak untuk tumbuh dannberkembang yaitu memeproleh kesempatan untuk

mengembangkan potensial semaksimal mungkin. Anak juga berhak memperoleh pendidikan yang memadai, diberi kesempatan bermain, berkreasi dan beristirahat.

c. Hak berpartisipasi yaitu hak untuk diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangan

dan ide-idenya, terutama persoalan yang berkaitan dengan anak.

d. Hak untuk memperoleh perlindungan yaitu hak anak yang harus dipenuhi untuk

melindungi anak dari:

1) Eksploitasi ekonomi dan seksual

16


(16)

2) Kekerasan baik fisik maupun psikologi

3) Segala bentuk diskriminasi

Seorang anak yang terlahir dalam keluarga bertaraf ekonomi social rendah memiliki kecenderungan untuk bekerja guna memnuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anak yang memutuskan untuk bekerja sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila perkembangan fisik dan mentalnya tetap diperhatikan. Seorang anak juga memiliki hak-hak atas kesejahteraan mereka sebagaimana tercantum dalam pasal 2 sampai pasal Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Hak-Hak atas Kesejahteraan Anak diantaranya:

a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan;

b. Hak atas pelayanan;

c. Hak atas perlindungan dan pemeliharaan;

d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup;

e. Hak untuk mendapat perlindungan pertolongan pertama;

f. Hak untuk memperoleh asuhan; dan

g. Hak memperoleh bantuan.

Masalah hak-hak anak merupakan masalah yang menonjol baik dalam hal pelanggaran trhadapmhak-hak atas mereka sebagai pekerja maupun sebagai seorang anak. Hal ini terjadi karena anak-anak itu sendiri tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak-hak tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dalam Pasal 2 ayat(4) menyatakan bahwa:

“anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat membahyakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.


(17)

b. Perlindungan Hak Bagi Pekerja

Bahasa tentang perlindungan anak sudah banyak sekali dibahas, salah satunya Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa

“Perlindungan Anak adalah Segala kegiatan untuk menajmin dan melindungi anak dan hak -haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”.

Masih dalam Undang-Undang yang sama, dalam pasal 88 disebutkan “setiap orang yang

mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak

Rp. 200 juta”.

Di sisi lain International labour Organization/ ILO sebagai lembaga international untuk

penghapusan pekerja anak, mengkategorikan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berada dalam:

a. Anak-anak yang bekerja telah dirampas hak-haknya secara pribadi.

b. Anak-anak yang bekerja dibawah tekanan yang sangat kuat, walaupun diberikan upah.

c. Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan yang berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa

maupun fisik.

d. Anak-anak yang bekerja pada usia yang relative muda, yaitu dibawah 12 tahun.17

Dari pengertian pekerja anak kategori ILO tersebut, anak harus dilindungi karena:

17

Progresia; Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia (jarak), Pekerja Anak dalam hukum Nasional Indonesia,, (malang, Jarak, 2000), h. 21-22.


(18)

1) Keadaan darurat ataukeadaan yang membahayakan;

2) Kesewenang-wenangan;

3) Eksploitasi termasuk tindakan kekerasan dan penelantaran;

4) Diskriminasi.18

Kategori tersebut masih diperjelas dengan lima faktor yang mempengaruhi kualitas kondisi pekerja anak yaitu:

a) Jam kerja, yaitu jumlah jam kerja anak;

b) Jenis-jenis pekerjaan, yaitu menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh anak

yang meliputi alat dan bahan, kondisi tempat kerja, posisi kerja atau tidak adanya perlindunagn kerja;

c) Upah kerja;

d) Kecelakan kerja;

e) Kondisi social kerja.

Semakin banyak fakta-fakta yang diatas, Perlindungan Anak sebenarnya harus diperhatikan untuk kepentinan:

1. Perlindunan bagi anak-anak

Perlindungan bagi anak merupakan alasan utama mengapa pemerintah dan berbagai organisasi member perhatian kepada pekerja anak, karena masa anak-anak merupakan masa dimana anak tumbuh dan berkembang sehingga perlu perlindungan, Anak-anak tersebut jika dari usia disini telah bekerja yang karena posisi masih rendah dan rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi. Oleh karena itu, perlindungan

18

Unicef, Pengertian Konvensi Hak Anak, For Every Child Health, Education, Equality, Protection Advance Community, ( Unicef,2003), h. 46.


(19)

ini perlu diberikan terutama bagi anak-anak yang bekerja di tempat yang membahayakan.

2. Perkembangan anak

Dalam perkembangannya anak tumbuh dengan cepat, mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan agar menjadi manusia yang produktif dan berguna. Anak-anak yang bekerja sambil sekolah perlu mendapat perhatian, karena anak-anak yang bekerja akan mempengaruhi kehadiran di sekolah dan prestasi belajar.

3. Dampak pasar kerja dan perekonomian pekerja anak

Dampak pasar kerja dan pereonomian terhadap pekerja anak dapatdibago menjadi dua, yaitu pertama, pada tingkat makro, pendapatan keluarga dan cara bertahan

(survival), kedua, tingkat perekonomian dan pasar kerja (tingkat upah dan

pengangguran orang dewasa), pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.

Perkembangan anak yang mempengaruhi hingga dewasa yang merupakan hak dan kewajiban atau kebutuhan itu semua harus disadari oleh semua lapisan masyarakat,

baik yang berada disekitarnya maupun stakeholder yang bekenaan menangani

masalah perlindungan anak.

Perlindungan anak sangat dibutuhkan untuk perkembangannya baik fisik maupun mental yang merupakan salah satu keberhasilan apakah suatu individu dapat


(20)

berkembang dengan baik ketika semua aspek pelindung tersebut berjalan sesuai dengan fungsinya.

5. Pengawasan Ketenagakerjaan

Pemerintah telah mewujidkan campur tangannya melalui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan bagi hak-hak pekerja. Diperlukan pula adanya pengawasan ketenagakerjaan, yaitu kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. Adapun aturan hukum yang mengatur mengenai pengawasan ketenagakerjaan, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor

81 Tahun 1947 Mengenai Pengawsan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan.

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.03/MEN/1948 tentang Pengawasan

Ketenagakerjaan Terpadu.

Disebutkan dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pengawas ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai-pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen atau tanpa terpengaruh oleh pihak dalam mengambil keputusan, guna menjamin pelaksanaan perundang-undangan ketenagakerjaan. Fungsi system pengawasan ketenagakerjaan seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Konvensi ILO Nomor 81 tahun 1947 adalah sebagai berikut:


(21)

c. Menjamin penegakan ketentuan Hukum mengenai

kondisi kerja dan perlindungan pekerja saat

melaksanakan pekerjaannya, seperti ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan, pengguanan pekerja/buruh anak dan orang muda serta masalah-maalah lain yang terkait, sepanjang ketentuan tersebut dapat ditegakkan oleh pengawas ketenagakerjaan.

d. Memberikan keterangan teknis dan nasehat kepada

pengusaha dan pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk mentaati ketentuan hukum.

e. Memberitahukan kepada pihak yang berwenang

mengenai terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau penyalahgunaan secara khusus tidak diatur dalam ketentuanhukum yang berlaku,

f. Tugas lain yang dapat menjadi tanggung jawab

pengawas ketenagakerjaan tidak boleh menghalangi pelaksanaan tugas pokok pengawasan atau mengurangi

kewenangannya dan ketidakberpihaknya yang

diperlukan bagi pengawas dalam berhubungan dengan pengusaha dan pekerja/buruh.

Tujuan pengawasan ketenagakerjaan merupakan upaya menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi para pengusaha dan pekerja untuk menjaga kelangsungan


(22)

usaha dan ketenaga kerja serta menghindari terjadinya penyimpangan atas peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

B. Hasil Penelitian

1. Upaya pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja anak di sektor informal kota salatiga

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Salatiga, maka tugas dan fungsi Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga adalah sebagai berikut :

1. Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

huruf i mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang sosial, ketenagakerjaan dan transmigrasi berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

2. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas Sosial,

Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mempunyai fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis di bidang sosial, ketenagakerjaan dan transmigrasi;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang sosial,

ketenagakerjaan dan transmigrasi;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang sosial, ketenagakerjaan dan

transmigrasi;

d. pelaksanaan pelayanan kesekretariatan Dinas; dan

e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan


(23)

3. Susunan organisasi Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi terdiri atas:

a. Kepala Dinas;

b. Sekretariat, yang membawahi:

1 Subbagian Perencanaan; 2. Subbagian Keuangan; dan

3. Subbagian Umum dan Kepegawaian

a. Bidang Asistensi Sosial, yang membawahi :

1. Seksi Bantuan dan Pengelolaan Sumber Dana Sosial; 2. Seksi Kesetiakawanan Sosial dan Kepahlawanan; dan

3. Seksi Penyuluhan, Hubungan Kelembagaan dan Pengawasan.

b. Bidang Rehabilitasi dan Potensi Sosial, yang membawahi:

1. Seksi Pembinaan Tuna Sosial;

2. Seksi Rehabilitasi Penyandang Cacat; dan

3. Seksi Pemberdayaan Potensi Kesejahteraan Sosial

c. Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja, yang membawahi:

1. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja; 2. Seksi Pengawasan Ketenagakerjaan; dan 3. Seksi Jaminan Sosial

d. Bidang Penempatan Tenaga Kerja, Pelatihan dan Transmigrasi, yang membawahi:

1. Seksi Informasi dan Pasar Kerja; 2. Seksi Pelatihan dan Produktivitas; dan


(24)

e. Unit Pelaksana Teknis Dinas; dan

f. Kelompok Jabatan Fungsional.

4. Bagan susunan organisasi Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi sebagaimana

tercantum dalam Lampiran IX merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti dapatkan dalam upaya Pengawasan Tenaga kerja anak dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Salatiga di sektor informal. Menurut hasil wawancara peneliti dengan Bapak Jamaludin selaku pengawas ketenagakerjaan di Dinas ketenagakerjaan Kota Salatiga. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di lapangan, peneliti mendapati bahwa pekerja anak di Salatiga, karena berdasarakan hasil wawancara peneliti dengan bapak Jamaludin bahwa data pekerja anak di Dinas Tenaga kerja hanya mendata pada tahun 2012, pada tahun 2013 jumlah anak yang bekerja di Kota Salatiga ada 2 orang di Toko Niki Way,dan di tahun 2014, 2015 dan 2016 pihak Disnaker belum melakukan survey terhadap pekerja anak yang berada di Salatiga, padahal Dinas Tenaga kerja Kota Salatiga harus mendata pada tahun berikutnya agar dapat mengawasi dan melindungi pekerja, Adapun

data pekerja anak pada tahun 2012 sebagai berikut:

Table 1

DATA PEKERJA ANAK TAHUN 2012 KOTA : SALATIGA19

19

Data dari Disnaker Kota Salatiga). 21 oktober 2015.

No. NAMA ANAK

L/P TEMPAT LAHIR

PEKERJAAN ORANG TUA

SEKOLAH TERAKHIR

PEKERJAAN ANAK

LAPANGAN USAHA


(25)

Dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan, Dinas ketenagakerjaan kota Salatiga hanya mengawasai pekerja di sektor formal saja sedangkan informal kurang mendapat pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga. Pengawasan terhadap pekerja anak di sektor formal ialah pekerja anak yang melakukan pekerjan di sektor usaha seperti halnya perusahaan, pabrik, dan lain-lain. Sedangkan pekerjaa anak di sektor informal ialah pekerja anak yang bekerja sendiri atau tidak bekerja di sektor usaha seperti halnya pedagang asongan, kuli pasar, pencucian kendaraan dan lain-lain.

Dengan demikian hanya pekerja formal menjadi objek pengawasan. Sementara pekerja

informal kurang mendapat pengawasan .20

20

Wawancara dengan Bapak Jamaludin selaku pengawas ketenaga kerjaan di Disnaker kota salatiga 17 maret 2016.

1. Faiz L Salatiga Pedagang SD Tukang Parkir Jasa parkir

2. Darmaji L Kab.Semarang Petani SMP Tukang Parkir Jasa parkir

3. Hikmah P Kab.Semarang Petani SD Packing Pabrik minuman

4.. Kholid L Kab.Semarang Petani SD Packing

Pabrik Minuman

5. Rohayati P Kab.Semarang Petani SD Packing Pabrik minuman


(26)

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 pasal 3 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 81 mengenai pengawasan ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan disebutkam bahwa fungsi ketenagakerjaan harus:

a. Menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai kondisi kerja dan peraturan yang

menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan, tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait.

b. Memberikan informasi tentang masalah-masalah teknis kepada pengusaha dan

pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk menaati peraturan perundang-undangan

c. Memberitahukan kepada pemerintah mengenai terjadinya penyimpangan atau

penyalahgunaan yang secara khusustidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Alen pekerja anak berumur 16 tahun yang bekerja di tempat pencucian kenderaan, bahwa pekerja anakyang bekerjadi tempat pencucian kenderaan memulai pekerjaan mereka dari jam 8.00 sampai dengan 16.30 adapun upah yang mereka terima Rp. 2.500,00 dalam sekali cuci motor, dan dalam sehari juga mendapatkan uang

makan Rp, 5.000,00.21

Di lain pihak juga peneliti melakukan Wawancara dengan Adi Setiyawan umur 17 tahun pekerja anak yang bekerja kuli bangunan, pekerja anak yang bekerja sebagai kuli bangunan memulai pekerjaan dari jam 09.00 sampai dengan 16.00 adapun upah yang di terima Rp.30,000

21


(27)

sehari, dan menerima upah di hari sabtu sebesar Rp.180,000. Mengingat anak inibekerja di

bangunan soal makan sudah disediakan dari majikan yang mempekerjakannya. 22

Di lain pihak juga peneliti melakukan wawancara dengan Mutamakin umur 17 tahun pekerja anak yang bekerja di bengkel, bahwa pekerja anak yang bekerja dibengkel memulai

pekerjaan mereka dari jam 09.00 sampai dengan 16.00 adapun upah yang mereka terima tidak

terikat dan sangat rendah yaitu di hitung sesuai kenderaan yang merekakerjakan tetapi

mendapatkan uang makan dari bengkel tersebut sebesar Rp.10,000.23

Dengan melihat masih adanya pekerja anak yang bekerja tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka berarti apa yang telah diamanatkan undang-undang-undang-undang belum terlaksana dengan sebagaimana mestinya. Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi belum terlalu efektif dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawasan ketengakerjaan. Apalagi dalam hal ini berdasarkan wawancara peneliti dengan Bapak Jamaludin bahwa Dinas ketenagakerjaan dalam

hal ini hanya menunggu informasi dalam melakukan pengawasan pada pekerja anak.24

Oleh karena itu dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga melakukan upaya-upaya dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan di Kota Salatiga, berdasarkan wawancara denga bapak Jamaludin ada beberapa upaya yang sudah dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan adapun upaya-upaya tersebut sebagai berikut:

1. Inspeksi Kesehatan dan keselamatan kerja

22

Wawancara dengan Adisetiyawan selaku pekerja kuli bangunan 8 Desember 2015.

23

Wawancara dengan iqbal selaku pekerja bengkel 12 Mei 2016.

24


(28)

Inspeksi kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu proses untuk menemukan potensi bahaya yang ada ditempat kerja untuk mencegah terjadinya kerugian maupun kecelakaan ditempat kerja dalam penerapan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.

2. Pembinaan

Pembinaan dilakukan ketika dalam pemeriksaan di dapati ada permasalahan terhadap permasalahan dalam pekerjaan, yaitu antara lain seperti Upah, Jam kerja, keselamatan,dll. Hal ini apabila terjadi akan dilaporkan pada Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dan akan segera dilakukan pembinaan terhadapa pengusaha tersebut, Karena dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga tidak bisa langsung menindaki sebelum dikaukannya pembinaan.

3. Penindakan

Penindakan dilakukan setelah dilakuakannya pembinaan terhadap pengusaha dan pengusaha tersebut tetap melanggar hal tersebut maka pengusaha tersebut akan dikenakan

sanksi kurungan dan administratif sesuai dengan undang-undang yang berlaku.25

Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bersama bahwa pekerja anak di Kota Salatiga banyak yang berada pada usaha kecil dan itu sangat menghawatirkan karena selain jam kerja mereka tidak sesuai dengan undang yang berlaku, keselamatan dan upah mereka juga sangat di bawah sekali tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Oleh karena itu pengawasan dinas ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam hal pengawasan ketengakerjaan sangat di perlukan untuk menyelesaiakan permasalahan tersebut, namun berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Jamaludin bahwa pekerja anak pada usaha kecil jarang mereka melakukan

25


(29)

pengawasan karena dinas ketengakerkejaan Kota Salatiga memilik skala prioritas dalam hal

melakukan pengawasan,26 dari wawawancara tersebut dapat kita ketahui bersama bahwa

kurangnya pengawasan dinas ketengakerkejaan Kota salatiga pada usaha kecil padahal dapat kita ketahui bersama bahwa pekerja anak yang bekeja di usaha kecil lumayan banyak di kota Salatiga.

2. Kendala dalam pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja anak di sektor informal kota salatiga

Kendala-Kendala dari Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga Dalam Pengawasan Pekerja Anak dari penjelasan yang sudah di jelaskan peneliti tentang upaya pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga pekerja anak masih kurang efektif, karena tidak adanya data-data pekerja anak yang seharusnya mereka memiliki data tersebut sebagai fungsi pengawasan agar mereka dapat melakukan pengawasan dan perlindungan bagi pekerja anak. Namun dalam hal ini

juga peneliti akan menjelaskan beberapa kendala-kendala Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga

dalam melakukan pengawasan.

Menururut dari hasil wawancara peneliti dengan bapak Jamaludin, bahwa yang menjadi kendala Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam hal pengawasan ketengakerjaan adalah

ketidakketerbukaan antara pengusaha dengan pengawas Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam hal pengawsan ketengakerjaan dalam hal, pengusaha selalu menutup-nutupi pekerja anak

yang bekerja di tempat usaha mereka.27

26

Wawancara dengan Bapak Jamaludin selaku pengawas ketenaga kerjaan di Disnaker kota salatiga 17 maret 2016

27


(30)

Menurut peneliti, seharunya dengan tidak keterbukaannya pengusaha dengan pegawai pengawasan ketenaakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga harus lebih sigap lagi dalam melakukan pengawasan dengan cara melakukan inspeksi secara diam-diam agar pengusaha

tersebut tidak bisa berbuat apa –apa, agar pekerja anak di Kota Salatiga dapat terlindungi dalam

melakukan pekerjaan dan tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum pengusaha yang tidak bertanggung jawab.

. Berdasarakan penelitian yang di lakukan peneliti dalam hal banyak pekerja anak yang bekerja di usaha kecil sebagai berikut:

1. Tempat usaha kecil belum memiliki banyak modal untuk membayar pekerja dewasa

karena dalam hal ini pengusaha yang memiliki tempat usaha kecil mereka masih mengumpulkan modal yang besar untuk membangun usaha mereka agar semakin besar dengan mempekerjakan pekerja anak pengusah yang memiliki usaha kecil bisa menghemat pengeluaran merka karena dalam hali ini pekerja anak belum terlalu banyak keperluan dan tuntutan seperti halnya pekerja dewasa yang sudah banyak tanggungan dan keperluan dalam hidup mereka seperti halnya kebetuhan keluarga,sekolah,dll, sedangkan pekerja anak berdasarkan hasil wawancara diatas mereka yang penting sudah bisa mendapatkan uang dari pekerjaan mereka untuk tambah uang jajan mereka ataupun untuk membantu orang tua mereka.

2. Perselisihan dalam hal pekerjaan anatara pengusaha dan pekerja sangat kecil karena

dalam hal ini jika terjadi perselihan maka pengusaha dapat mengatasinya dengan mudah beda dengan pekerja dewasa dewasa yang bisa saja terjadi perkelahian atau demo besar-besaran yang dapat membuat pengusaha tersebut rugi.


(31)

Oleh karena itu sangat penting pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap usaha kecil karena di Kota Salatiga banyak pekerja anak yang bekerja di tempat usaha kecil seperti halnya bengkel,tempat pencucian kenderaan dan lain-lain tanpa melkukan skala prioritas terhadapa mereka dan agar mereka para pekerja anak tidak di manaatkan oleh oknum-oknum pengusaha untuk kepentingan dirinya sendiri apalagi dalam hal ini mereka mempunyai hak dalam melakukan pengwasan tersebut seperti halnya yang diamanatkan undang-undang.

C. Analisis

Sampai saat ini jumlah pekerja anak masih belum bisa terdata dengan pasti, pekerja anak tersebut tersebar baik pedesaan maupun perkotaan. Beberapa diantaranya pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan-pekerjaan yang terbentuk bagi anak dan akan menghambat tumbuh kembang anak tersebut secara wajar. Disamping itu hal tersebut bertentangan dengan hak asasi anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal.

Fenomena pekerja anak di Salatiga semula lebih berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga.

Seiring dengan perkembangan waktu telah terjadi pergeseran, anak-anak tidak lagi bekerja membantu orang tua sebagai bagian dari budaya, tapi lebih berkaitan dengan masalah


(32)

ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan. Pendapatan orang tua yang sangat sedikit tak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga sehingga memaksa mereka ikut bekerja. Dari data ILO menyebutkan secara rata-rata anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20%-25% kepada pendapatan keluarga. Bahkan ada yang menopang 75 % lebih pendapatan orang tua.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan itu adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa juga diikutsertakan untuk menopang kegiatan ekonomi keluarga. Pekerjaan ini tidak terbatas pada pekerjaan rumah tangga tetapi juga melakukan upahan baik di dalam lingkungan pedesaan sekitar tempat tinggal atau pergi mengadu nasib ke kota.

Upaya Pemerintah dalam mengatur hak pekerja anak yang bekerja pada Sektor Informal, di dalam Konvensi tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ditetapkan pada tahun 1999. Konvensi ini mendefinisikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti praktik perbudakan anak, kerja paksa, perdagangan anak, prostitusi, pornografi, dan bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Konvensi ini memerlukan langkah-langkah segera dan efektif untuk memastikan ditetapkannya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak tersebut sebagai hal yang mendesak. Kegiatan-kegiatan tertentu yang didefinisikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah: semua bentuk perbudakan, pelacuran, pemanfaatan anak dalam pornografi dan dalam produksi dan perdagangan dan peredaran obat-obat terlarang.

Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja. Konvensi ini mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang akan secara efektif


(33)

menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja. Larangan bagi pengusaha, untuk mempekerjakan anak, hal ini tercantum di dalam ketentuan Pasal 68 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian, ketentuan Pasal 69 ayat (2) memberikan pengecualian, yaitu bahwa mempekerjakan anak boleh dilakukan asalkan dipenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal tersebut.

Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap persyaratan kerja bagi penggunaan pekerja anak memang tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahan pengusaha atau yang mempekerjakan anak tersebut tetapi memang dari pihak pekerja anak atau orang tuanya atau walinya sendiri yang memang menghendaki tidak dipenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana yang terurai di bawah ini. Pertama, tidak ada izin tertulis orang tua/wali. Persyaratan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) butir a, bahwa apabila anak akan bekerja harus terlebih dahulu memperoleh izin secara tertulis dari orang tua atau walinya, izin kerja terkait dengan hak dan kewajiban anak dan pengusaha, misalnya mengenai ketentuan jam kerja, pembayaran upah apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, upah lembur, serta orang tua harus mengetahui apakah pekerjaan yang akan dilakukan anak tersebut tidak mengganggu perkembangan anak baik secara fisik, mental maupun sosialnya, dengan mengingat anak-anak masih memerlukan waktu dan kondisi yang memungkinkan anak dapat tumbuh kembang secara wajar. Kedua, tidak didasarkan pada perjanjian kerja.

Anak-anak ini bekerja di sektor informal, tanpa adanya aturan jenis dan bentuk pekerjaan yang jelas yang menjadi bagian tugasnya. Dengan kondisi-kondisi pekerjaan, upah yang akan


(34)

terima, sebelum pekerja mulai bekerja, dan juga tentang upah yang akan mereka dapatkan setiap saat mereka menerima pembayaran. Pengecualian dalam hal adanya izin dari orangtua, perjanjian kerja, hubungan kerja yang jelas dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah jika anak bekerja pada usaha keluarganya.

Ironisnya lagi, kondisi jam kerja yang panjang sehingga waktu istirahat menjadi berkurang, sementara dalam kondisi fisik sebagai anak-anak yang masih mengalami fase pertumbuhan, memerlukan istirahat yang cukup, serta asupan makanan yang mendukung proses pertumbuhannya. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa pekerja anak maksimal bekerja selama 3 jam, tidak terpenuhi dalam pekerjaan disektor informal. Ketentuan tersebut selalu dilanggar, meskipun sudah ada ketentuan pembatasan jam kerja bagi anak-anak yang bekerja, akan tetapi dalam kenyataannya anak-anak bekerja di atas 3 jam.

Kondisi tempat kerja yang kurang kondusif dan terganggunya kesehatan pekerja anak,

sering dihadapi para anak. Pekerja anak di bawah umur, sering dihadapkan pada resiko-resiko pekerjaan yang dilakukannya, terutama yang bekerja disektor industri, seperti resiko gangguan kesehatan akibat ruangan yang pengap, asap kendaraan bermotor yang dapat menyesakan nafas, makan dan minum yang tidak terjamin dan kurang gizi, juga dihadapkan pada gangguan psikis seperti caci maki, kata-kata kasar, dan gangguan kehidupan sosialnya seperti hubungan dengan teman-teman sebaya, frekuensi bertemu dengan tetangga maupun keluarga berkurang atau terbatas, apalagi kalau tempat kerjanya campur dengan orang dewasa. Pencampuran tempat kerja anak dengan tempat kerja orang dewasa tidak seharusnya dilakukan, karena hal ini bertentangan dengan Pasal 72 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sudah diatur.


(35)

Kondisi-kondisi diatas menunjukkan bahwa secara yuridis, negara sudah melakukan kewajibannya dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakatnya terutama untuk

kelompok pekerja anak. Akan tetapi situasi real dalam masyarakat menunjukkan bahwa

pelanggaran terhadap aturan masih saja dilanggar, yang sudah tentu memberikan efek negatif bagi pekerja anak itu sendiri. Lemahnya posisi tawar pekerja anak, serta situasi perekonomian menuntut si anak untuk tidak memiliki pilihan lain, sehingga harus rela menjalani pekerjaan-pekerjaan yang belum pantas di lakukan oleh seorang anak.

Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja Konvensi ini mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang akan secara efektif menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja.

Apabila melihat pada Teori keadilan bermartabat, teori ini berisi suatu sistem hukum yang mengemban empat fungsi. Keempat fungsi itu adalah bahwa :

a. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas

hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individual maupun masyarakat.

b. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas

hukum yang saling berkaitan dalam sistem adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa.

c. Fungsi hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan

asas-asas hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari untuk melakukan rekayasa sosial.

d. Hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial.28

28


(36)

Pada dasarnya peraturan perundang-undang dibuat tidak lain untuk menertibkan masyarakat yang ada didalamnya, agar masyarakat tertib hukum dan tidak berbuat yang dapat merugikan orang lain maupun negara. Di dalam Perlindungan hukum terhadap pekerja anak tidak dapat dilepaskan dengan hak asasi anak, sebab secara konstitusional Indonesia telah mengakui hak untuk bekerja dalam Pasal Undang-Undang Dasar l945 yang dimasukkan pada klasifikasi hak yang bersifat asasi. Pengaturan terhadap hak asasi ini dituangkan dalam Undang-Undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengatur

mengenai pengertian Hak Asasi Manusia, yaitu “Seperangkat hak yang melekat pada hakekat

dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang, demi

penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Perundang-undangan nasional tentang pekerja anak diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara jika dilihat pada kenyataan dilapang belum terlalu efekti, upaya-upaya yang dilakukan Dinas Ketenagakerjaan kota Salatiga masih belum efektif. karena masih banyak pekerja anak di kota salatiga terutama di tempat usaha-usaha kecil yang belum mendapatkan pengawasan dari pihak Disnaker Kota Salatiga khususnya di bagian pengawasan Ketenagakerjaan dan juga didapati oleh peneliti bahwa belum ada data-data pekerja anak di tahun 2014, 2015, 2016 padahal dilapangan banyak pekerja anak di Kota Salatiga dengan berbagai macam permasalah.


(1)

Oleh karena itu sangat penting pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap usaha kecil karena di Kota Salatiga banyak pekerja anak yang bekerja di tempat usaha kecil seperti halnya bengkel,tempat pencucian kenderaan dan lain-lain tanpa melkukan skala prioritas terhadapa mereka dan agar mereka para pekerja anak tidak di manaatkan oleh oknum-oknum pengusaha untuk kepentingan dirinya sendiri apalagi dalam hal ini mereka mempunyai hak dalam melakukan pengwasan tersebut seperti halnya yang diamanatkan undang-undang.

C. Analisis

Sampai saat ini jumlah pekerja anak masih belum bisa terdata dengan pasti, pekerja anak tersebut tersebar baik pedesaan maupun perkotaan. Beberapa diantaranya pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan-pekerjaan yang terbentuk bagi anak dan akan menghambat tumbuh kembang anak tersebut secara wajar. Disamping itu hal tersebut bertentangan dengan hak asasi anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal.

Fenomena pekerja anak di Salatiga semula lebih berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga.

Seiring dengan perkembangan waktu telah terjadi pergeseran, anak-anak tidak lagi bekerja membantu orang tua sebagai bagian dari budaya, tapi lebih berkaitan dengan masalah


(2)

ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan. Pendapatan orang tua yang sangat sedikit tak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga sehingga memaksa mereka ikut bekerja. Dari data ILO menyebutkan secara rata-rata anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20%-25% kepada pendapatan keluarga. Bahkan ada yang menopang 75 % lebih pendapatan orang tua.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan itu adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa juga diikutsertakan untuk menopang kegiatan ekonomi keluarga. Pekerjaan ini tidak terbatas pada pekerjaan rumah tangga tetapi juga melakukan upahan baik di dalam lingkungan pedesaan sekitar tempat tinggal atau pergi mengadu nasib ke kota.

Upaya Pemerintah dalam mengatur hak pekerja anak yang bekerja pada Sektor Informal, di dalam Konvensi tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ditetapkan pada tahun 1999. Konvensi ini mendefinisikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti praktik perbudakan anak, kerja paksa, perdagangan anak, prostitusi, pornografi, dan bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Konvensi ini memerlukan langkah-langkah segera dan efektif untuk memastikan ditetapkannya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak tersebut sebagai hal yang mendesak. Kegiatan-kegiatan tertentu yang didefinisikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah: semua bentuk perbudakan, pelacuran, pemanfaatan anak dalam pornografi dan dalam produksi dan perdagangan dan peredaran obat-obat terlarang.

Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja. Konvensi ini mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang akan secara efektif


(3)

menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja. Larangan bagi pengusaha, untuk mempekerjakan anak, hal ini tercantum di dalam ketentuan Pasal 68 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian, ketentuan Pasal 69 ayat (2) memberikan pengecualian, yaitu bahwa mempekerjakan anak boleh dilakukan asalkan dipenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal tersebut.

Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap persyaratan kerja bagi penggunaan pekerja anak memang tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahan pengusaha atau yang mempekerjakan anak tersebut tetapi memang dari pihak pekerja anak atau orang tuanya atau walinya sendiri yang memang menghendaki tidak dipenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana yang terurai di bawah ini. Pertama, tidak ada izin tertulis orang tua/wali. Persyaratan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) butir a, bahwa apabila anak akan bekerja harus terlebih dahulu memperoleh izin secara tertulis dari orang tua atau walinya, izin kerja terkait dengan hak dan kewajiban anak dan pengusaha, misalnya mengenai ketentuan jam kerja, pembayaran upah apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, upah lembur, serta orang tua harus mengetahui apakah pekerjaan yang akan dilakukan anak tersebut tidak mengganggu perkembangan anak baik secara fisik, mental maupun sosialnya, dengan mengingat anak-anak masih memerlukan waktu dan kondisi yang memungkinkan anak dapat tumbuh kembang secara wajar. Kedua, tidak didasarkan pada perjanjian kerja.

Anak-anak ini bekerja di sektor informal, tanpa adanya aturan jenis dan bentuk pekerjaan yang jelas yang menjadi bagian tugasnya. Dengan kondisi-kondisi pekerjaan, upah yang akan


(4)

terima, sebelum pekerja mulai bekerja, dan juga tentang upah yang akan mereka dapatkan setiap saat mereka menerima pembayaran. Pengecualian dalam hal adanya izin dari orangtua, perjanjian kerja, hubungan kerja yang jelas dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah jika anak bekerja pada usaha keluarganya.

Ironisnya lagi, kondisi jam kerja yang panjang sehingga waktu istirahat menjadi berkurang, sementara dalam kondisi fisik sebagai anak-anak yang masih mengalami fase pertumbuhan, memerlukan istirahat yang cukup, serta asupan makanan yang mendukung proses pertumbuhannya. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa pekerja anak maksimal bekerja selama 3 jam, tidak terpenuhi dalam pekerjaan disektor informal. Ketentuan tersebut selalu dilanggar, meskipun sudah ada ketentuan pembatasan jam kerja bagi anak-anak yang bekerja, akan tetapi dalam kenyataannya anak-anak bekerja di atas 3 jam.

Kondisi tempat kerja yang kurang kondusif dan terganggunya kesehatan pekerja anak, sering dihadapi para anak. Pekerja anak di bawah umur, sering dihadapkan pada resiko-resiko pekerjaan yang dilakukannya, terutama yang bekerja disektor industri, seperti resiko gangguan kesehatan akibat ruangan yang pengap, asap kendaraan bermotor yang dapat menyesakan nafas, makan dan minum yang tidak terjamin dan kurang gizi, juga dihadapkan pada gangguan psikis seperti caci maki, kata-kata kasar, dan gangguan kehidupan sosialnya seperti hubungan dengan teman-teman sebaya, frekuensi bertemu dengan tetangga maupun keluarga berkurang atau terbatas, apalagi kalau tempat kerjanya campur dengan orang dewasa. Pencampuran tempat kerja anak dengan tempat kerja orang dewasa tidak seharusnya dilakukan, karena hal ini bertentangan dengan Pasal 72 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sudah diatur.


(5)

Kondisi-kondisi diatas menunjukkan bahwa secara yuridis, negara sudah melakukan kewajibannya dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakatnya terutama untuk kelompok pekerja anak. Akan tetapi situasi real dalam masyarakat menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap aturan masih saja dilanggar, yang sudah tentu memberikan efek negatif bagi pekerja anak itu sendiri. Lemahnya posisi tawar pekerja anak, serta situasi perekonomian menuntut si anak untuk tidak memiliki pilihan lain, sehingga harus rela menjalani pekerjaan-pekerjaan yang belum pantas di lakukan oleh seorang anak.

Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja Konvensi ini mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang akan secara efektif menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja.

Apabila melihat pada Teori keadilan bermartabat, teori ini berisi suatu sistem hukum yang mengemban empat fungsi. Keempat fungsi itu adalah bahwa :

a. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individual maupun masyarakat.

b. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas hukum yang saling berkaitan dalam sistem adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa.

c. Fungsi hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari untuk melakukan rekayasa sosial.

d. Hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial.28

28


(6)

Pada dasarnya peraturan perundang-undang dibuat tidak lain untuk menertibkan masyarakat yang ada didalamnya, agar masyarakat tertib hukum dan tidak berbuat yang dapat merugikan orang lain maupun negara. Di dalam Perlindungan hukum terhadap pekerja anak tidak dapat dilepaskan dengan hak asasi anak, sebab secara konstitusional Indonesia telah mengakui hak untuk bekerja dalam Pasal Undang-Undang Dasar l945 yang dimasukkan pada klasifikasi hak yang bersifat asasi. Pengaturan terhadap hak asasi ini dituangkan dalam Undang-Undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengatur mengenai pengertian Hak Asasi Manusia, yaitu “Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang, demi penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Perundang-undangan nasional tentang pekerja anak diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara jika dilihat pada kenyataan dilapang belum terlalu efekti, upaya-upaya yang dilakukan Dinas Ketenagakerjaan kota Salatiga masih belum efektif. karena masih banyak pekerja anak di kota salatiga terutama di tempat usaha-usaha kecil yang belum mendapatkan pengawasan dari pihak Disnaker Kota Salatiga khususnya di bagian pengawasan Ketenagakerjaan dan juga didapati oleh peneliti bahwa belum ada data-data pekerja anak di tahun 2014, 2015, 2016 padahal dilapangan banyak pekerja anak di Kota Salatiga dengan berbagai macam permasalah.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal T1 312012027 BAB I

0 3 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB I

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB II

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dampak Penggunaan Mariyuana Bagi Mantan Pengguna di Kota Salatiga T1 132009701 BAB II

0 0 6

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga terhadap Keberadaan Pasar Tiban di Jalan Lingkar Salatiga T1 BAB II

1 5 60

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Pengguna Jasa Karaoke Keluarga Kota Salatiga T1 BAB II

0 1 54

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Kesehatan Kota Salatiga dalam Melakukan Pengawasan terhadap Peredaran Vaksin T1 BAB II

0 0 49

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sistem Pengelolaan Parkir di Salatiga T1 BAB II

0 0 12