Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian/ Definisi Hukum Perdata Internasional1 Prof. R. H. Graveson

Prof. R. H. Graveson berpendapat bahwa:

“Conflict of laws atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.”

Prof. van Brakel

Prof. van Brakel dalam bukunya Grondsla gen en Beginselen van Nederlands Internationaal Privaatrecht berpandangan bahwa:

“Hukum Perdata Internasional adalah hukum nasional yang dibuat untuk hubungan-hubungan hukum internasional.

1


(2)

Prof. G. C. Cheshire

Prof. G. C. Cheshire (Inggris), misalnya, beranggapan bahwa:

“Private international la w is that part of English la w which comes into operation whenever the court is faced with a claim that contains a foreign element. It is only when this element is present that private international la w has a function to perform.”

Dalam tulisan yang sama Cheshire menyimpulkan bahwa:

“Private international la w, then is that part of law which comes into play when the issue before the court affects some fact, event, or transaction that is so closely connected with a foreign system of la w as to necessitate recourse to that system.

Prof. Sudargo Gautama

Dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internsional Indonesia, Prof. Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai:

“… keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stetsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stetsel-stetsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal.”


(3)

Prof. J. G. Sauveplanne

Prof. J. G. Sauveplanne berpendapat bahwa:

“Het i.p.r omvat het samenstel van regels die privaatrechtelijke rechtsverhoudingen met internationale elementen bestrijken, en met name rechtsverhoudingen die zodanig met vreemde landen zijn verbonden, dat de vraag kan rijzen om het wel juist is hen zonder meer te onderwerpen aan het interne Nederlandse recht.”

Jadi, menurut Sauveplanne HPI adalah keseluruhan aturan yang mengatur hubungan-hubungan hukum perdata yang mengandung elemen-elemen internasional dan hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan negara-negara asing sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah penundukan langsung ke arah hukum asing itu tanpa harus menundukkan diri pada hukum intern (Belanda).

Menurut Hardjowahono dengan mendasarkan diri pada pandangan Prof. van Brakel, Rene van Rooij, dan Maurice van Polak beranggapan bahwa:

“The hybrid nature of private international law, … can hardly be described

more accurately than in the words of van Brakel: ‘Private International Law is national law written for international situations’ Private International Law is

indeed, an amalgam of international and national elements. Its sources are to be found on both an international and a national level; its subject matter is always international.”


(4)

Pandangan yang dikemukakan terakhir di atas juga menguatkan pendapat bahwa:

1. HPI adalah bagian dari hukum nasional (“… national law written for

”);

2. Walaupun dalam perkembangannya kaidah-kaidah HPI dapat dijumpai di dalam sumber-sumber hukum nasional ataupun hukum internasional (“… both an international and a national level…”); serta

3. HPI adalah bidang hukum yang masalah-masalah pokoknya selalu difokuskan pada persoalan-persoalan yang bersifat transnasional atau melampaui batas-batas negara („… its subject matter is always international”).

Prof. Sunaryati Hartono

Prof. Sunaryati Hartono berpandangan bahwa HPI mengatur setiap peristiwa/hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik di bidang hukum publik maupun hukum privat. Karena inti dari HPI adalah pergaulan hidup masyarakat internasional, maka HPI sebenarnya dapat disebut sebagai hukum pergaulan internasional.


(5)

B. Titik-titik Taut

Titik taut adalah faktor-faktor atau fakta-fakta khusus di dalam suatu peristiwa hukum atau persoalan hukum yang menunjukkan pertalian khusus dengan sistem aturan atau sistem hukum tertentu. Di dalam suatu peristiwa hukum, senantiasa akan dapat dijumpai adanya fakta (-fakta) penting yang membentuk pertalian/ pertautan antara persoalan yang dihadapi dengan suatu aturan di dalam sistem hukum tertentu. Titik taut adalah fakta di dalam perkara yang mengaitkan perkara tersebut kepada suatu sistem aturan atau sistem hukum tertentu2.

Hukum perselisihan membedakan pengertian titik taut ke dalam titik taut primer dan titik taut sekunder.

a. Titik taut primer (disebut juga sebagai titik taut pembeda)

Sudargo Gautama memaknai titik taut primer ini sebagai hal-hal yang merupakan tanda akan adanya persoalan hukum antargolongan. Pengertian ini tidak hanya dapat diterapkan di dalam hukum antar golongan, tetapi juga pada bidang-bidang hukum perselisihan pada umumnya. Titik taut primer adalah fakta yang membedakan kasus yang dihadapi tersebut dari kasus yang sepenuhnya tunduk pada satu aturan/ sistem aturan/ sistem hukum dan karena itu menunjukkan bahwa kasus tersebut adalah kasus hukum perselisihan. Ciri yang membedakan adalah bahwa dengan adanya titik taut tersebut, kita mengetahui terlibatnya

2


(6)

lebih dari satu aturan hukum atau sistem hukum di dalam perkara tersebut3.

b. Titik taut sekunder (disebut juga titik taut penentu)

Titik taut sekunder adalah fakta yang digunakan untuk menentukan hukum apa atau hukum mana yang seharusnya diberlakukan terhadap perkara yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum/kaidah hukum/peraturan. Yang dianggap sebagai titik taut sekunder dalam hukum perselisihan adalah faktor-faktor penentu, seperti:

1. Pilihan hukum yang secara tegas dinyatakan oleh para pihak di dalam perjanjian. Titik taut ini hanya diakui di bidang hukum kekayaan dan perikatan.

2. Pilihan hukum yang disimpulkan oleh hakim/ pilihan hukum secara diam-diam (tidak tegas). Hal ini dapat disimpulkan dari:

 Bentuk dan isi perjanjian yang dipilih para pihak.

 Suasana/lingkungan/milieu/tempat terjadinya perbuatan hukum.

 Kedudukan salah satu pihak yang lebih penting/lebih dominan/lebih menentukan.

3. Pembebanan hukum atau pilihan hukum yang diperintahkan/diwajibkan pemberlakuannya oleh negara/penguasa melalui perundang-undangan, yang mengakibatkan berlakunya suatu sistem hukum tertentu terhadap seseorang yang seharusnya tidak terikat pada sistem hukum tersebut.

3


(7)

4. Fakta-fakta khusus yang oleh kaidah/asas hukum perselisihan negara tersebut ditetapkan sebagai titik taut terpenting untuk menentukan hukum yang berlaku dalam masalah hukum perselisihan tertentu.4

Titik-titik taut dalam HPI

Sebutan lain untuk titik-titik taut di dalam pelbagai literatur HPI adalah

connecting factors (Inggris), aanknüpfungspunkte (Jerman), points of contact

(Inggris), aanknopingspunten (Belanda), dan titik-titik pertalian.5

Secara sederhana, titik-titik taut dalam HPI dapat didefinisikan sebagai: “Fakta-fakta di dalam sekumpulan fakta perkara (HPI) yang menunjukkan pertautan antara perkara itu dengan suatu tempat (dalam hal ini negara) tertentu, dan karena itu menciptakan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan kemungkinan berlakunya sistem/aturan hukum intern dari tempat itu.”6

2 (dua) jenis titik taut:

1. Titik-titik Taut Primer (Primary Points of Contact)

Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum ini mengandung unsur-unsur asing (foreign elements) dan karena itu peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI dan bukan peristiwa hukum intern/domestik semata.7

4

Ibid., h. 66-68.

5

Ibid., h. 84.

6

Ibid.

7


(8)

2. Titik-titik Taut Sekunder (Secondary Points of Contact)8

Yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder seringkali disebut titik taut penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam menyelesaikan suatu perkara.

Jenis-jenis pertautan yang umumnya dianggap menentukan dalam HPI, antara lain:

 Tempat penerbitan izin berlayar sebuah kapal (bendera kapal) kewarganegaraan para pihak;

 Domisili, tempat tinggal tetap, tempat asal orang, atau badan hukum;  Tempat benda terletak (situs);

 Tempat dilakukannya perbuatan hukum (locus actus);

 Tempat timbulnya akibat perbuatan hukum/tempat pelaksanaan perjanjian

(locus solutionis);

 Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi (locus celebrationis); dan

 Tempat gugatan perkara diajukan/ tempat pengadilan (locus forum).

8


(9)

C. Teori-teori Kualifikasi

1. Teori Kualifikasi Lex Fori9

Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Prancis). Baik Kahn maupun Bartin bertitik tolak dari anggapan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang mengadili perkara (lex fori) karena sistem kualifikasi adalah bagian dari hukum intern lex fori tersebut.

Franz Kahn, lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori karena alasan-alasan:

a. Kesederhanaan (simplicity)

Kesederhanaan (simplicity) sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan lex fori, pengertian, batasan, dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.

b. Kepastian (certainty)

Kepastian (certainty) sebab pihak-pihak yang berpekara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa atau hubungan hukum apakah perkara mereka akan dikualifikasikan oleh hakim beserta segala konsekuensi yuridiknya.

Bartin menambahkan pandangannya dengan pernyataan bahwa kualifikasi harus dilakukan dengan menggunakan lex fori karena sebenarnya seorang hakim telah disumpah untuk menegakkan hukumnya sendiri dan bukan sistem hukum asing manapun. Selanjutnya, ia

9


(10)

menambahkan bahwa hakim memberlakukan suatu sistem hukum asing dalam perkara hanya sebagai wujud kesukarelaan forum untuk membatasi kedaulatan hukumnya. Pembatasan semacam ini pun hanya dilakukan setelah pengertian atau konsep hukum asing yang bersangkutan dikualifikasikan terlebih dahulu berdasarkan lex fori. Demikian pula halnya jika hakim menghadapi lembaga-lembaga hukum asing yang tidak dikenal di dalam lex fori, maka ia harus menerapkan konsep-konsep hukumnya sendiri yang dianggap paling setara dengan hukum asing itu. Para penganut teori ini umumnya sependapat bahwa terhadap kewajiban kualifikasi berdasarkan lex fori, dimungkinkan pengecualian-pengecualian, yaitu:

a. Apabila perkara yang dihadapi menyangkut penentuan hakikat suatu benda sebagai benda tetap atau benda bergerak, kualifikasi dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran yang dikenal di dalam lex situs (hukum dari tempat di mana benda terletak).

b. Apabila perkara menyangkut kontrak-kontrak yang dibuat melalui korespondensi (interaabsentes), penentuan tentang saat dan sah tidaknya pembentukan kontrak harus dilakukan berdasarkan lex loci contractus (hukum dari tempat pembuatan kontrak) yang ditetapkan secara objektif.

Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep lex fori yang paling dikenal oleh hakim. Di lain pihak, kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya


(11)

ketidakadilan (injustice) karena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.

2. Teori Kualifikasi Lex Causae (Lex Fori yang Diperluas)10

Pendukung teori ini adalah Martin Wolff. Teori ini beranggapan bahwa proses kualifikasi dalam perkara HPI dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara.

Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang paling erat kaitannya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan. Penentuan ini harus dilakukan dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang dilakukan dengan memerhatikan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah kategori yuridik dari suatu peristiwa hukum ditetapkan dengan cara itu, barulah dapat ditetapkan kaidah HPI yang mana dari lex fori yang akan digunakan untuk menunjuk ke arah lex causae.

Prof. Sunaryati Hartono berpendapat bahwa dalam hal kualifikasi dilakukan berdasarkan lex causae, kesulitan mungkin akan timbul jika sistem hukum asing tertentu ternyata tidak memiliki sistem kualifikasi yang cukup lengkap atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga hukum yang sedang dihadapi dalam perkara. Dalam menghadapi

10


(12)

kekosongan hukum semacam itum lanjutnya, hakim biasanya menjalankan kostruksi-konstruksi hukum (analogi) dengan memerhatikan cara-cara penyelesaian sengketa hukum yang serupa atau sejenis di dalam sistem-sistem hukum yang dianggap memiliki dasar yang sama.

Apabila cari itu belum juga dapat membantu penyelesaian perkara, barulah kualifikasi dilakukan berdasarkan lex fori.

Prof. Cheshire melihat mekanisme berpikir kualifikasi secara agak berbeda. Menurut pandangannya, kualifikasi dalam praktik seringkali dijalankan berdasarkan lex fori, tetapi karena dalam HPI kualifikasi dijalankan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, maka sebenarnya kualifikasi HPI tidak selalu harus dilakukan berdsarkan lex fori saja.

Menurut Cheshire, tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara HPI dan salah satu fungsi utama HPI adalah menetapkan aturan-aturan yang dapat diterapkan pada perkara-perkara yang merasuk ke dalam suatu sistem hukum asing. Karena itu pula, hakim tidak dapat terikat secara kaku (rigid) pada konsep-konsep lex fori saja. Sikap yang demikian dapat mengakibatkan dikesampingkannya suatu lembaga atau konsep hukum asing yang seharusnya digunakan hanya karena alasan tidak dikenalnya lembaga atau konsep hukum asing itu di dalam lex fori. Dengan kata lain, Cheshire menyarankan agar konsep-konsep, seperti kontrak, perbuatan melawan hukum, dan sebagainya dalam HPI diberi pengertian yang lebih luas sehingga dapat


(13)

mencakup peristiwa/hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem hukum asing.

3. Teori Kualifikasi Bertahap11

Teori ini dikembangkan oleh Adolph Schnitzer (Swiss) dan didukung juga dalam pandangan-pandangan Prof. G. C. Cheshire, Prof. Ehrenzweig, dan Prof. Sunaryati Hartono.

Teori ini bertitik tolak dari keberatan terhadap teori kualifikasi lex causae karena kualifikasi tidak mungkin dilakukan berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku karena justru hukum yang hendak diberlakukan itulah yang masih harus ditentukan dengan bantuan proses kualifikasi. Penentuan lex causae dalam perkara HPI hanya dapat dilakukan melalui proses kualifikasi (dengan bantuan titik-titik taut) dan pada tahap penentuan lex causae kualifikasi mau tidak mau harus dilakukan berdasarkan lex fori terlebih dahulu.

Demi keadilan dan ketelitian dalam proses penentuan kaidah hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara, maka kualifikasi harus dilakukan melalui dua tahap, yaitu:

a. Kualifikasi tahap pertama

 Disebut juga qualifikation ersten grades, primary classification, qualificatie in de eerste graad.

 Kualifikasi ini dijalankan pada saat hakim harus menemukan kaidah HPI atau choice of la w rule (lex fori) yang akan digunakan untuk menentukan titik taut penentu.

11


(14)

 Kualifikasi ini dilakukan dalam rangka menetapkan lex causae.

 Kualifikasi pada tahap ini harus dilaksanakan berdasarkan lex fori.

 Proses kualifikasi dilakukan dengan mendasarkan diri pada sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex fori.

Setelah lex causae dapat ditetapkan, hakim dianjurkan untuk menjalani tahap kedua.

b. Kualifikasi tahap kedua

 Disebut juga qualifikation zweiten grades, secondary classification, qualificatie in de tweede graad.

 Kualifikasi ini dijalankan setelah lex causae ditetapkan, dan dalam rangka menetapkan kategori kaidah atau aturan hukum intern apa dari lex causae yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara.

 Kualifikasi pada tahap ini harus dijalankan berdasarkan sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex causae.

 Pada tahap ini semua fakta dalam perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan kategori lex causae.  Berdasarkan hasil kualifikasi ini maka hakim dapat

menetapkan kaidah hukum intern lex causae yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara.


(15)

4. Teori Kualifikasi Analitis/Otonom12

Tokoh-tokohnya adalah Ernst Rabel (Jerman) dan Beckett (Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak dari penolakan mereka terhadap asusmsi bahwa yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu hanya hukum intern dari forum. Setiap sistem HPI sebenarnya dibentuk untuk menciptakan keharmonisan internasional antara lex fori dan sistem-sistem hukum lain. Karena itu, metode perbandingan hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi HPI yang dapat digunakan secara universal di forum mana pun merupakan salah satu elemen terpenting dalam HPI.

Menurut para penganut teori ini, dalam tindakan kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya pada suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (bersifat otonom). Artinya, dalam HPI seharusnya dikembangkan konsep-konsep (begrip) hukum yang khas dan dapat berlaku secara umum serta mempunyai makna yang sama di mana pun di dunia.

Maka dari itu, untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Rabel, haruslah digunakan metode perbandingan hukum dalam rangka membentuk pengertian-pengertian HPI yang dapat diterima di mana-mana. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu sistem HPI yang utuh dan sempurna serta yang berisi konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak. Gagasan yang menarik dari teori ini dalam kenyataan sulit diwujudkan karena:

12


(16)

a. Sangat sulit untuk menemukan dan merumuskan pengertian-pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengeritan yang berlaku umum.

b. Hakim yang hendak menggunakan pola kualifikasi ini harus mengenal semua sistem hukum di dunia agar ia dapat memperoleh gambaran tentang konsep-konsep hukum yang memang diakui di seluruh dunia.

Prof. Sudargo Gautama beranggapan bahwa:

“Walaupun teori kualifikasi ini sulit dijalankan, tetapi hal yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah cara pendekatan/sikap seperti itu perlu dibina dalam HPI, walaupun seseorang akan mengualifikasikan sekumpulan fakta berdasarkan lex fori sekalipun. Artinya, konsep-konsep HPI jangan ditafsirkan hanya berdasarkan pengertian lex fori

saja, tetapi juga harus disandarkan pada prinsip-prinsip yang dikenal secara umum dan dengan memerhatikan konsepsi-konsepsi di dalam sistem hukum asing yang dianggap hampir sama (analogous).”


(17)

5. Teori Kualifikasi Berdasarkan Tujuan HPI13

Tokohnya adalah G. Kegel. Teori ini bertitik tolak dari pandangan bahwa setiap kaidah HPI harus dianggap memiliki suatu tujuan HPI tertentu yang hendak dicapai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui HPI harus diletakkan di dalam konteks kepentingan HPI, yaitu:

 Keadilan dalam pergaulan internasional

 Kepastian hukum dalam pergaulan internasional  Ketertiban dalam pergaulan internasional  Kelancaran lalu lintas pergaulan internasional

Karena itu, pada dasarnya masalah bagaimana proses kualifikasi harus dijalankan, tidaklah dapat ditetapkan terlebih dahulu, tetapi akan merupakan hal yang ditetapkan kemudian, setelah penentuan kepentingan HPI apa yang hendak dilindungi oleh suatu kadiah HPI tertentu.

13


(1)

kekosongan hukum semacam itum lanjutnya, hakim biasanya menjalankan kostruksi-konstruksi hukum (analogi) dengan memerhatikan cara-cara penyelesaian sengketa hukum yang serupa atau sejenis di dalam sistem-sistem hukum yang dianggap memiliki dasar yang sama.

Apabila cari itu belum juga dapat membantu penyelesaian perkara, barulah kualifikasi dilakukan berdasarkan lex fori.

Prof. Cheshire melihat mekanisme berpikir kualifikasi secara agak berbeda. Menurut pandangannya, kualifikasi dalam praktik seringkali dijalankan berdasarkan lex fori, tetapi karena dalam HPI kualifikasi dijalankan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang mengandung unsur asing, maka sebenarnya kualifikasi HPI tidak selalu harus dilakukan berdsarkan lex fori saja.

Menurut Cheshire, tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara HPI dan salah satu fungsi utama HPI adalah menetapkan aturan-aturan yang dapat diterapkan pada perkara-perkara yang merasuk ke dalam suatu sistem hukum asing. Karena itu pula, hakim tidak dapat terikat secara kaku (rigid) pada konsep-konsep lex fori saja. Sikap yang demikian dapat mengakibatkan dikesampingkannya suatu lembaga atau konsep hukum asing yang seharusnya digunakan hanya karena alasan tidak dikenalnya lembaga atau konsep hukum asing itu di dalam lex fori. Dengan kata lain, Cheshire menyarankan agar


(2)

mencakup peristiwa/hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem hukum asing.

3. Teori Kualifikasi Bertahap11

Teori ini dikembangkan oleh Adolph Schnitzer (Swiss) dan didukung juga dalam pandangan-pandangan Prof. G. C. Cheshire, Prof. Ehrenzweig, dan Prof. Sunaryati Hartono.

Teori ini bertitik tolak dari keberatan terhadap teori kualifikasi lex causae karena kualifikasi tidak mungkin dilakukan berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku karena justru hukum yang hendak diberlakukan itulah yang masih harus ditentukan dengan bantuan proses kualifikasi. Penentuan lex causae dalam perkara HPI hanya dapat dilakukan melalui proses kualifikasi (dengan bantuan titik-titik taut) dan pada tahap penentuan lex causae kualifikasi mau tidak mau harus dilakukan berdasarkan lex fori terlebih dahulu.

Demi keadilan dan ketelitian dalam proses penentuan kaidah hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara, maka kualifikasi harus dilakukan melalui dua tahap, yaitu:

a. Kualifikasi tahap pertama

 Disebut juga qualifikation ersten grades, primary classification, qualificatie in de eerste graad.

 Kualifikasi ini dijalankan pada saat hakim harus menemukan kaidah HPI atau choice of la w rule (lex fori) yang akan digunakan untuk menentukan titik taut penentu.

11


(3)

 Kualifikasi ini dilakukan dalam rangka menetapkan lex causae.

 Kualifikasi pada tahap ini harus dilaksanakan berdasarkan lex fori.

 Proses kualifikasi dilakukan dengan mendasarkan diri pada sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex fori.

Setelah lex causae dapat ditetapkan, hakim dianjurkan untuk menjalani tahap kedua.

b. Kualifikasi tahap kedua

 Disebut juga qualifikation zweiten grades, secondary classification, qualificatie in de tweede graad.

 Kualifikasi ini dijalankan setelah lex causae ditetapkan, dan dalam rangka menetapkan kategori kaidah atau aturan hukum intern apa dari lex causae yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara.

 Kualifikasi pada tahap ini harus dijalankan berdasarkan sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex causae.

 Pada tahap ini semua fakta dalam perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan kategori lex causae.  Berdasarkan hasil kualifikasi ini maka hakim dapat


(4)

4. Teori Kualifikasi Analitis/Otonom12

Tokoh-tokohnya adalah Ernst Rabel (Jerman) dan Beckett (Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak dari penolakan mereka terhadap asusmsi bahwa yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu hanya hukum intern dari forum. Setiap sistem HPI sebenarnya dibentuk untuk menciptakan keharmonisan internasional antara lex fori dan sistem-sistem hukum lain. Karena itu, metode perbandingan hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi HPI yang dapat digunakan secara universal di forum mana pun merupakan salah satu elemen terpenting dalam HPI.

Menurut para penganut teori ini, dalam tindakan kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya pada suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (bersifat otonom). Artinya, dalam HPI seharusnya dikembangkan konsep-konsep (begrip) hukum yang khas dan dapat berlaku secara umum serta mempunyai makna yang sama di mana pun di dunia.

Maka dari itu, untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Rabel, haruslah digunakan metode perbandingan hukum dalam rangka membentuk pengertian-pengertian HPI yang dapat diterima di mana-mana. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu sistem HPI yang utuh dan sempurna serta yang berisi konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak. Gagasan yang menarik dari teori ini dalam kenyataan sulit diwujudkan karena:

12


(5)

a. Sangat sulit untuk menemukan dan merumuskan pengertian-pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengeritan yang berlaku umum.

b. Hakim yang hendak menggunakan pola kualifikasi ini harus mengenal semua sistem hukum di dunia agar ia dapat memperoleh gambaran tentang konsep-konsep hukum yang memang diakui di seluruh dunia.

Prof. Sudargo Gautama beranggapan bahwa:

“Walaupun teori kualifikasi ini sulit dijalankan, tetapi hal yang dapat

ditarik sebagai pelajaran adalah cara pendekatan/sikap seperti itu perlu dibina dalam HPI, walaupun seseorang akan mengualifikasikan sekumpulan fakta berdasarkan lex fori sekalipun. Artinya, konsep-konsep HPI jangan ditafsirkan hanya berdasarkan pengertian lex fori saja, tetapi juga harus disandarkan pada prinsip-prinsip yang dikenal secara umum dan dengan memerhatikan konsepsi-konsepsi di dalam


(6)

5. Teori Kualifikasi Berdasarkan Tujuan HPI13

Tokohnya adalah G. Kegel. Teori ini bertitik tolak dari pandangan bahwa setiap kaidah HPI harus dianggap memiliki suatu tujuan HPI tertentu yang hendak dicapai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui HPI harus diletakkan di dalam konteks kepentingan HPI, yaitu:

 Keadilan dalam pergaulan internasional

 Kepastian hukum dalam pergaulan internasional  Ketertiban dalam pergaulan internasional  Kelancaran lalu lintas pergaulan internasional

Karena itu, pada dasarnya masalah bagaimana proses kualifikasi harus dijalankan, tidaklah dapat ditetapkan terlebih dahulu, tetapi akan merupakan hal yang ditetapkan kemudian, setelah penentuan kepentingan HPI apa yang hendak dilindungi oleh suatu kadiah HPI tertentu.

13


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Kesehatan Kota Salatiga dalam Mewujudkan Hak Anak Memperoleh ASI Eksklusif T1 312012046 BAB II

0 1 61

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal T1 312012027 BAB I

0 3 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal T1 312012027 BAB II

0 1 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga dalam Mewujudkan Kota Layak Anak T1 312009038 BAB II

0 0 61

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB I

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penanganan YLKI Salatiga terhadap Keluhan Atau Sengketa Konsumen di Kota Salatiga T1 312005016 BAB II

0 0 34

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Kesehatan Kota Salatiga dalam Melakukan Pengawasan terhadap Peredaran Vaksin T1 BAB II

0 0 49