36
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian tentang hasil penelitian yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn
telah dibuat. Hasil penilitan ini dan anaslisis tersebut disusun mengacu pada konsep- konsep yang telah dituangkan pada BAB II. Data Bab III ini diperoleh dari beberapa
sumber-sumber dari hasil wawancara dengan pasangan yang melakukan kawin lari dan dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang
berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang penulisan skripsi ini,
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
a. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian
Secara umum, sesuai dengan hasil penelitian penulis, keadaan geografis lokasi penelitian Desa Buru Kaghu, terdiri dari daerah pegunungan
rendah yaitu ketinggiannya berada antara 0-200 meter diatas permukaan laut. Meskipun desa ini terdiri dari bukit-bukit, tapi diantara bukit-bukit
tersebut terdapat lembah-lembah datar yang dapat dijadikanpersawahan. Seperti halnya dengan daerah-daearah lain didaerah Sumba Barat Daya,
khususnya di Wewewa Selatan, daerah ini juga berada pada daerah iklim tropis dan dipengaruhi oleh dua musim yang saling bergantian. Kedua
musim itu adalah musim penghujan dan musim kemarau. Pada bulan april sampai september bertiup angin timur yang bersifat kering. Angin kering
37
dikarenakan angin bertiup dari daratan Australia yang luas dan kering dan baru sedikit yang melalui lautsehingga upa air yang dibawanya tidak
banyak. Pada bulan oktober sampai dengan bulan maret bertiup angin barat yang sifatnya basah. Angin basah ini dikarenakan angin ini berasal
dari daratan Asia dan sudah banyak melalui laut sehingga uap air yang banyak sehingga turun hujan yang banyak pula.
b. Asal Usul Suku Wewewa
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memperkenalkan lebih awal tentang sejarah singkat tentang asal usul terbentuknya adat suku wewewa,
karena penulis merasa hal ini sangat penting untuk suatu tinjauan dan analisis baik asal usul maupun sosial budaya.
Sejarah asal usul Suku Wewewa tidak terlepas dari sejarah asal usul orang Sumba. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Adat
yang sekaligus Kepala Desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo, mengatakan bahwa arti kata Wewewa itu sendiri adalah “mencari – cari”.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa orang yang masuk ke pulau Sumba ini, yang sekarang sudah menjadi orang Sumba, berasal dari Malaka
semenanjung Malaysia sekarang, dan India. Mereka masuk ke pulau Sumba melalaui Tanjung Sasar. Ia mengatakan bahwa berdasarkan cerita
yang sudah diturunkan secara turun temurun bahwa dulu di Tanjung Sasar ada jembatan batu yang menghubungkan Sumba dengan Flores, dan
Sumbawa
1
. Cerita turun temurun ini diperkuat oleh Umbu Pura Woha 2008 : 24 yang mengatakan bahwa pada waktu itu daratan pulau Sumba
1
Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013
38
masih bergandengan dengan daratan pulau Flores dan Sumbawa. Melalui jembatan inilah mereka masuk ke pulau Sumba.
2
Suku Wewewa yang sekarang ini merupakan bagian integral dari gelombang migrasi ini yang masuk ke pulau Sumba. Dalam gelombang
migrasi ini masing-masing kelompok tersebar untuk mencari tempat menetap. Salah satu dari gelombang migrasi ini dalam mencari tempat
untuk menetap menemukan tempat untuk menetap di wilayah Wewewa sekarang ini. Itulah sebabnya mereka menamakan dirinya sebagai suku
Wewewa. Dari segi bahasa, desa Buru Kaghu termasuk dalam kelompok bahasa
suku Wewewa. Namun dari segi adat istiadat desa Buru Kaghu dalam kesehariannya memiliki perbedaan, tetapi secara umum sama.
3
c. Keadaan Sosial Budaya
Keadaan sosial budaya yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah tentang kepercayaan dan pendidikan.
1. Kepercayaan
Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang Marapu. Kehidupan beragama di desa Buru Kaghu dapat dikatakan cukup
rukun antar warga desa. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling toleransi terutama di dalam menjalankan kewajiban agama dan
kepercayaannya masing-masing. Adapun mengenai keadaan penduduk menurut agama dan aliran
kepercayaan yang dianut dapat dilihat pada tabel berikut:
2
Umbu Pura Woha, 2008. Sejarah, Musyawarah Adat Istiadat Sumba Timur, Cipta Sarana Jaya, hal.24
3
Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.
39
Tabel 1
Keadaan Penduduk Menurut Agama dan Aliran Kepercayaan di Desa Buru Kaghu tahun 2010
No Agama Aliran kepercayaan
Jumlah Prosentase
1 Kristen Protestan
9.975 50,93
2 Kristen Katholik
2.202 14,79
3 Islam
20 11,73
4 Hindu
- -
5 Budha
- -
6 Aliran Kepercayaan Marapu
5.835 22,49
Jumlah 18.032
100
Sumber data : Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu
Dari sajian data diatas, maka dapat diketahui bahwa
penganutpemeluk agama yang dominan adalah Kristen Protestan, selanjutnya Katholik, dan Islam. Sedangkan Aliran kepercayaan
Marapu adalah memiliki jumlah penganut nomor dua setelah agama Kristen Protestan. Dengan masih cukup banyaknya
penganut aliran kepercayaan Marapu di desa Buru Kaghu maka sudah dapat dipastikan bahwa adat istiadat dan kebiasaan adat
yang telah turun terumurun ada akan tetap dilakukan oleh masyarakat di desa Buru Kaghu, seperti kebiasaan kawin lari
40
pakondona yang merupakan bagian dari adat di desa Buru Kaghu.
2. Pendidikan
Pendidikan pada kenyataannya merupakan suatu kebutuhan masyarakat pada saat sekarang. Dikatakan demikian oleh karena
denganpengembangan pendidikan yang lebih baik maka orang akan memahami, mengetahui, menemukan, dan menyelesaikan
permasalahan hidupnya. Dengan pendidikan juga merupakan salah satu syarat bagi upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat
sejalan dengan apa
yang diharapkan bagi pelaksanaan
pembangunan nasional. Untuk lebih jelasnya mengenai keaaan saran dan prasarana
pendidikan yang tersedia di desa Buru Kaghu dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2
Keadaan Penduduk menurut Pendidikan di Desa Buru Kaghu tahun 2010
No Jenis Sekolah
Jumlah Jumlah Murid
Jumlah Guru 1
TK -
- -
2 SD
2 103
12 3
SMP 1
281 7
4 SMA
- -
-
41
Jumlah 3
180 19
Sumber data: Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu
4
Dengan melihat data diatas masalah prasarana dan pemerataan pembangunan juga dirasakan di desa Buru Kaghu ini, khususnya
dalam bidang pendidikan. Dimana hanya terdapat dua Sekolah Dasar di desa Buru Kaghu dan satu Sekolah Menengah Pertama,
sedangkan untuk SMASMK belum ada sehingga banyak warga desa yang hanya merasakan bangku pendidikan Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Petama saja, kalaupun ada warga desa yang ingin melanjutkan sekolah ke SMASMK maka mereka harus pergi
ke kota kecamatan. Dengan masih banyaknya anak-anak di desa Buru Kaghu yang tidak bisa merasakan bangku sekolah, khususnya
Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas secara tidak langsung berdampak pada kebiasaan melakukan kawin lari
pakondona. Apabila warga masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang layak maka dengan sendirinya warga masyarakat
akan memiliki tingkat kehidupan yang lebih layak sehingga faktor ekonomi yang menjadi salah satu penyebab kawin lari
pakondona bisa dihindari.
d. Hukum Perkawinan Adat di desa Buru Kaghu
Tujuan Perkawinan
4
Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.
42
Tujuan perkawinan menurut hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
garis kebapakan atau keibuan atau keibuankebapakan, untuk kebahagiaanrumah tangga keluargakerabat, untuk memperoleh bilai-
nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.
Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang menjadi tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5
Bentuk Perkawinan Adat yang biasa dikenal di desa Buru Kaghu Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh
masyarakat adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut: 1.
Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan
paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak
itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan. 2.
Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan
lamaran ternyata ternyata ditolaktidak diterima oleh pihak keluarga wanita dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status
sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan
tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni
ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau, kuda, sapi, kepingan emas mamuli dan lainnya, pembayarannya diatur
5
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 1.
43
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si
wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh si pria yang memaksakan kehendaknya.
3.
“Kawin Lari”
Pakondona
: Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian
secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria
6
. Adapun proses terjadinya Kawin Lari
Pakondona
sebagai berikut: Karena hubungan kedua pihak pria dan wanita tidak mendapat
restu dari kedua orang tua mereka dan biasanya tidak direstui oleh orang tua dari pihak wanita dikarenakan adanya perbedaan status sosial
diantara keduannya, mereka bersepakat untuk meninggalkan kedua orang tua mereka dan tinggal pada salah satu kerabat mereka keluarga
si pria atau wanita. Pada saat mereka melarikan diri si pria akan meninggalkan barang sebagai petunjuk bahwa mereka telah melarikan
diri dalam bentuk sebilah parang atau seekor kuda, tergantung pada kemampuan si pria. Sistem ini mirip dengan yang terjadi de daerah
Lampung yaitu mereka meninggalkan surat atau suatu barang, kadang- kadang sejumlah uang di rumah si wanita, pelarian ini merupakan awal
dari perkawinan mereka
7
. Konsekuensi logis dari bentuk atau cara memperoleh jodoh
dengan cara kawin lari pakondona diatas adalah pihak keluarga laki- laki harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya yakni
dengan ditandai pembayaran sejumlah belis kerbau, kuda, sapi, kepingan emas atau mamuli dan lainnya dan pembayaranya diatur
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu.
6
Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013
7
Soerojo Wignjodipoero, 1990. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung, Jakarta. Hal. 126.
44
Menurut Kepala Desa Buru Kaghu Herman Ndapatondo
8
, apabila seorang pria yang sudah melakukan kawin lari pakondona
harus berani
untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sedangkan menurut tokoh adat Kornelis Tanggu Solo kawin lari masih
terjadi sampai sekarang karena pada masyarakat adat di desa Buru Kaghu tidak ada aturan adat yang melarang untuk melakukan kawin
lari pakondona, dan dari segi agama juga tidak ada masalah karena yang paling penting adalah si pemuda mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan gereja akan ikut memperbaiki rumah tangga pasangan kawin lari pakondona secara rohani
9
. Mas kawin Dalam Perkawinan
Mas kawin adalah barang-barang yang diserahkan oleh pihak pengambil isteri laki-laki kepada pihak perempuan yang dapat berupa
hewan, emas mamuli, parang dan lain-lain, tergantung dari hasil persetujuan ke dua belah pihak yang diwakilkan oleh juru bicara kedua
belah pihak.
10
Sedangkan menurut Imam Sudiyat dalam Hukum Adat Sketsa Asas mas kawin merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh
keluarga pihak laki-laki dalam proses pelaksanaan perkawinan adat. Mas kawin ini biasanya akan jatuh ke tangan kelompok kerabat, orang
tua wanita atau calon isteri itu sendiri
11
.
2. Status Wanita Dalam masyarakat Adat di desa Buru Kaghu